Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15. Masalah

Sunyi menyambut Jella ketika ia sampai ke rumah. Ia menyalakan musik dan tanpa sengaja, lagu yang terputar malah membuat ingatan lama menghantamnya tanpa peringatan. Ia jadi merindukan Niko. Bohong kalau ia berkata tidak pernah merindukan pria itu. Bagaimana juga, Niko telah menjadi bagian dari hidupnya selama tujuh tahun. Jella sudah mengemasi semua barang pemberian Niko dan barang-barang yang berhubungan dengan pria itu. Namun, hanya dengan sebuah lagu, tiba-tiba saja, rindu menyerangnya.

Lagu tersebut berakhir dan ditutup dengan helaan napas berat. Lelah dengan ingatan lama yang terus menyerang, Jella memilih untuk mandi agar pikirannya tenang. Namun, ketika mandi, ia juga tetap memikirkan pria yang menyelingkuhinya. Terlalu kesal dengan pikirannya sendiri, Jella akhirnya berteriak seperti orang gila. Ia mengingatkan dirinya kalau merindukan Niko adalah sebuah dosa besar.

Jella masih mengenakan handuk ketika pintu rumahnya diketuk dengan membabi buta. Ia segera berlari ke pintu depan dan membukanya sedikit.

Mata kanan Jella bisa melihat kalau musuh bebuyutannya tengah berdiri dengan celana pendek dan kaus tanpa lengan. "Apa?"

"Lo nggak apa-apa?" Tim bertanya setelah memastikan kalau yang membuka pintu adalah Jella.

Jella memutar bola matanya malas. "Nggak lihat, gue udah berdiri di sini? Ya, nggak apa-apa, justru gue yang mau tanya, kenapa lo dateng ke sini?"

Pria bermata sipit itu menghela napas. "Lo teriak kenceng banget tadi, gue kira ada apa-apa."

"Enggak ada apa-apa, tuh?" Jella menjawab santai.

Tim berdecak. "Lo agak gila ternyata. Jangan teriak malem-malem. Kalo lo teriak kayak orang gila lagi, gue bakal aduin ke RT."

"Dih, rumah-rumah gue. Suka-suka gue mau ngapain."

Tim mengepalkan tangan dan menunjuk Jella. "Inget, lo nggak tinggal sendirian. Lo punya tetangga, jadi, tolong jangan berisik!"

"Emang gue pikirin?" Jella membuka pintu lebih lebar hingga wajahnya terlihat jelas oleh Tim, kemudian ia menjulurkan lidah dan menutup pintu sebelum tetangganya itu melempar sendal.

Tawa keras terdengar tepat setelah pintu tertutup. Diam-diam, Tim tersenyum setelah mendengar tawa Jella.

Ketawa lebih cocok buat lo.

Sebelum turun ke rumah bawah, Tim tengah di kamar mandi ketika ia mendengar teriakan keras Jella. Tidak hanya teriakan keras yang terdengar, tetapi ia juga bisa mendengar segala jenis umpatan yang wanita itu tujukan untuk dirinya sendiri karena merindukan Niko. Tim berinisiatif turun karena tidak lagi mendengar suara Jella setelah teriakan paling keras. Jujur, jantungnya hampir merosot hingga perut begitu mendengar teriakan spektakuler tetangganya.

Tim bisa lega karena Jella baik-baik saja. Ia sempat khawatir kalau wanita itu mungkin melakukan hal di luar nalar, saking galaunya. Sambil menaiki tangga, Tim merogoh sakunya, mengambil ponsel dan mengetikkan sebuah pesan di sana.

Jangan lupa minum obat lo.

Jella D.
Kok perhatian?

Biar gila lo berkurang dikit.

Jella D.
Dih, nggak ngaca

Tidur lo.
Jangan mikirin mantan.
Besok latihan fisik.
Bawa baju olahraga lo.

Setelah meminum obat, Jella merasa baikan, tetapi ia langsung sakit kepala lagi begitu membaca pesan dari mentornya. Tim memang paling ahli membuatnya sakit kepala. Oh, bukan hanya kepala, tetapi sekujur tubuh. Sakit bekas latihan kemarin belum juga hilang, besok ia sudah harus menghadapi latihan tidak masuk akal dari Tim.

"Lo orang paling nyebelin tahu nggak, Timotheo Nathanael?" Jella sengaja berteriak supaya Tim yang ada di rumah atas mendengarnya. Ia baru mau mengulangi teriakannya ketika sebuah pesan kembali masuk ke ponselnya.

Timotheo Nathanael (V-Bio)
Diem atau gue laporin RT karena mengganggu kenyamanan tetangga.

Dih, ngaduan

Timotheo Nathanael (V-Bio)
Sekali lagi lo teriak, gue bakal tambah waktu latihan besok.

Parah banget, sumpah.
Tolong bedain urusan pekerjaan sama urusan pribadi.
Eh, besok nebeng, dong.

Kan, kita searah.

Timotheo Nathanael (V-Bio)
Tolong bedain urusaan pekerjaan sama urusan pribadi.

Jella hanya bisa mengembuskan napas kasar ketika membaca balasan dari tetangganya. Apa susahnya nebengin gue? Namun, ia tersadar. Kehadiran Tim menjadi distraksi yang mampu membuatnya melupakan Niko dalam sekejap. Kenangan manis bersama Niko langsung diambil alih oleh bayangan macam-macam latihan yang mungkin akan ia tunaikan esok hari. Hati ambyar sudah tidak punya tempat di pikirannya, kini yang harus dilakukan Jella hanya tidur dan berdoa, esok ia bisa selamat dari latihan bersama Tim.

***

Tim tiba di kantor dua jam sebelum waktu masuk. Ia menyempatkan diri untuk bersepeda mengelilingi V-Bio. Namun, kegiatan bersepedanya harus terganggu karena ibunya menelepon. Tadinya Tim ogah mengangkat, tetapi melihat tekad ibunya yang menelepon hingga puluhan kali, akhirnya ia menyerah.

"Halo."

"Kapan kamu pulang?" Suara wanita itu terdengar tegas, tetapi juga rapuh di saat yang sama.

Tim menghela napas. Ia memarkirkan sepedanya, kemudian ia duduk di aspal, tidak lupa meluruskan kaki. "Mama udah izinin aku buat naik gunung?"

"Nael, Mama nggak melarang kamu, tapi Mama nggak mungkin sanggup nggak ketemu kamu selama itu. Terakhir kali, kamu pergi satu bulan aja, Mama hampir kerahin semua orang buat cari kamu."

Tim berdecak. "Kapan tabungan aku dibalikin?"

"Nael."

"Jangan harap aku balik ke rumah kalo Mama masih terus egois kayak gini."

"Nael, Mama nggak punya siapa-siapa, selain kamu."

"Mama kira aku punya siapa? Kita cuma punya satu sama lain, tapi ...." Tim tidak melanjutkan kalimatnya. "Aku sibuk. Aku tutup teleponnya."

Tim memejamkan mata untuk meredam emosinya. Ia sudah cukup kewalahan dengan persiapan penelitian terbaru dan pelatihan Jella, ia tidak mau masalah lain menambah bebannya. Namun, usahanya sia-sia. Dadanya tetap terasa sesak, seolah-olah semua udara yang ada di sana mendesak dan berebut keluar. Ia mendongak, berusaha menarik napas sebanyak-banyaknya, tetapi sebuah bayangan yang ada di depan, membuatnya membuka mata.

"Ribut lagi sama nyokap?" Jun duduk di samping Tim. Ia tampak tidak peduli kalau celananya mungkin kotor karena duduk di aspal.

Setelah melihat sahabatnya, ada rasa lega yang membasuh sesak di dada Tim. "Biasa."

Jun tertawa. "Dari zaman bocil, lo hobi banget cari masalah sama nyokap."

"Ya, gimana, doi doyan banget bikin gue pengen cari masalah."

Jun menepuk bahu sahabatnya. "Semua orang tua pasti pengen yang terbaik buat anaknya. Lo aja yang emang hobi cari masalah. Dulu lo ambil kehutanan buat jauh-jauh dari kerjaan nyokap, kan? Ujungnya apa? Lo malah makin jago di lapangan dan itu malah bikin nyokap lo seneng. Gue kadang heran, lo sebenernya mau buat nyokap sebel apa seneng?"

"Dua-duanya. Mau kemana juga, gue ketemunya nyokap lagi." Tim cengar-cengir.

"Gue pengen nanya sesuatu, deh." Jun menggeser duduknya, kini mereka berhadapan.

"Tanya aja."

Jun meletakkan tangannya di atas paha, menyerupai posisi meditasi. Ia menarik napas, sebelum bicara. "Lo serius mau ikut ke Lampung? Waktu itu lo bilang, lo nggak mau turun ke lapangan?"

Tim menghela napas. "Gue dipaksa sama kabag gue, sih."

"Nggak mungkin cuma karena gue. Bu Alia, ada bilang sesuatu ke lo?"

Tawa getir keluar dari mulut Tim. "Kan, lo yang maksa gue buat ikut. Harusnya gue yang tanya, Bu Alia ngomong apa ke lo?"

"Bu Alia secara khusus minta lo jadi PJ proyek ini. Beliau juga bilang, Jella memang udah lama diincar buat proyek ini dan lo tahu semua persiapannya."

Mata Tim yang sudah sipit, disipitkan hingga hanya menyisakan garis lurus. "Jadi, lo sok keren belain gue waktu itu bukan buat nahan gue, tapi emang disuruh Bu Alia?"

Jun cengar-cengir. "Itu salah satunya, tapi gue seneng berhasil nahan lo. Gue nggak akan bisa nemuin partner yang lebih baik dari sahabat gue sendiri."

Pembicaraan keduanya langsung terhenti ketika seorang wanita dengan pakaian olahraga berdiri di depan mereka sambil berkacak pinggang.

"Bagus, ya, gue nungguin lo di bawah pohon samping gedung sampe krik krik, lo malah asyik ngobrol di sini."

Jun bangkit dan menepuk celananya. "Maaf, ya, Jella."

Berbeda dengan tatapan galak sebelumnya, Jella langsung tersenyum lebar pada Jun. "Iya, nggak apa-apa."

"Oke, gue tinggal dulu."

Begitu Jun pergi, Jella langsung menatap Tim dengan sinis. "Ayo, latihan. Kalo mulainya tambah lama, ntar tambah panas."

Satu masalah di hidup gue udah muncul.

"Ganti baju lo. Lo nggak bisa latihan dengan muka pucat kayak gitu. Hari ini, kita belajar di ruang kerja aja." Tim beranjak dan menaiki sepedanya, kemudian ia pergi tanpa menoleh lagi.

"Woy, sialan! Heh! Gue udah siap gini, terus lo batalin! Tim! Dasar cowok plin-plan."

Lo masalah hidup yang bakal gue cari terus-terusan.

***

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

Hidup, tuh, emang suka bercanda, ya.
Semua yang nggak mungkin, tiba-tiba jadi mungkin cuma dalam sekejap mata doang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro