Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14. Baikan?

Setelah latihan fisik selama dua jam dua puluh menit lima puluh detik usai, Tim dan Jella kembali ke ruang kerja. Tim terus mengawasi dan memastikan kalau muridnya masih baik-baik saja. Ia sudah mengukur kemampuan wanita bersetelan hitam itu dan ia menyimpulkan kalau rekannya bisa dibawa ke lapangan. Jella memang banyak protes, tetapi ia bisa menyelesaikan semua tugasnya hari itu.

Tim tahu kalau Jella punya kemampuan untuk membuatnya melonggarkan latihan. Jadi, mau tidak mau ia harus keras sejak awal. Kalau saja ia memulai latihan dengan santai, wanita berponi itu pasti akan melakukan tawar-menawar yang mungkin akan berhasil. Selain alasan itu, Tim juga masih kesal karena Jella terus memanggilnya bocah dan mengejeknya karena bertengkar dengan Jun.

Baru juga Tim memikirkan cara untuk minta maaf pada sahabatnya, tanpa diundang, Jun sudah datang ke mejanya. Dengan wajah tanpa ekspresi, pria bertubuh tinggi itu berkata, "Ke ruang dokumentasi, sekarang!"

Tim tidak menjawab dan tidak bergerak. Bukan karena mau menolak, tetapi ia terlalu terkejut karena kedatangan Jun yang tiba-tiba. Wajahnya yang serius juga membuatnya bingung.

Pria tinggi berkalung kamera itu menghela napas sebelum mengulangi kalimatnya. "Gue panggil lo sebagai atasan, bukan teman. Ke ruang dokumentasi sekarang!"

Suara Jun yang agak keras, sempat membuat ruangan itu hening sejenak. Anggota bidang herbarium yang ada di sana langsung pura-pura tidak melihat Jun dan Tim yang kini bergerak ke ruang dokumentasi.

Begitu sahabatnya masuk, Jun langsung mengunci ruang dokumentasi. Ia duduk di kursinya dan tidak mempersilakan Tim untuk duduk. "Latihan buat Jella terlalu keras, dia bukan anggota lo dan dia cewek."

Tim berdiri dalam posisi tegak dengan tangan bertaut di belakang pinggang.

"Gue lihat dia basah kuyup waktu balik tadi. Lo masih paksa dia latihan walau di luar hujan. Gue tahu, maksud lo baik, tapi jangan berlebihan." Jun bicara dengan nada yang tenang. Ia menatap Tim dengan tatapan yang sulit diartikan.

Tim masih tidak berkomentar. Ia mengunci mulutnya dan fokus mendengarkan atasannya yang sedang bicara.

"Gue yakin, lo pasti udah lihat jalur track kita." Jun memperhatikan Tim yang masih belum memberikan respon apa-apa. "Titik sampling kita nggak jauh dari semua pos. Jadi, kita nggak akan jalan berhari-hari atau perlu belajar bertahan hidup di sana. Kalo lo paksa dia latihan kayak tadi terus-terusan, lo bisa buat Jella sakit atau lo emang sengaja mau buat dia sakit? Lo mau tanggung jawab kalo dia sakit?"

Tim menatap atasannya dengan tatapan kosong, tetapi tangannya sudah terkepal hingga buku jarinya memutih. Ia menahan emosi. Dalam sekejap, niatnya untuk minta maaf langsung sirna. Kata-kata Jun yang menuduhnya, membuat ia berasumsi kalau sahabatnya itu tengah mengajaknya berperang.  "Anda yang memberi saya wewenang. Jadi, tolong jangan mengganggu pekerjaan saya."

Jun bangkit berdiri. Ia memunggungi Tim dan mengacak rambutnya frustrasi. Kemudian, ia mengembuskan napas kasar. "Oke, sekarang gue bakal ngomong sebagai teman lo. Gue salah karena ungkit masalah itu kemaren. Gue nggak akan bahas masalah itu lagi. Jadi, tolong jangan perlakukan gue kayak musuh. Jella nggak salah apa-apa."

Tangan Tim yang terkepal karena menahan emosi, langsung mengendur begitu mendengar permintaan maaf dari sahabatnya. Ia menatap punggung Jun. Ia juga paham betul kekhawatiran Jun pada Jella yang tentu beralasan. Tim memang dikenal ramah dan sangat mudah berteman dengan orang lain, tetapi ia selalu tegas dan tanpa ampun untuk urusan pekerjaan. Hal itu juga yang membuatnya berhasil menjadi kepala sub bagian dengan cepat. Namun, ada satu kejadian membuatnya hampir berhenti dari pekerjaan yang ia sukai.
Sejak kejadian itu, Tim tidak lagi mau pergi ke lapangan dengan orang yang tidak ia ketahui kompetensinya.

"Gue nggak akan bikin Jella sakit. Gue yang bakal jamin itu. Buat yang kemaren, gue yang salah."

Jun tidak langsung berbalik. Ia menahan diri untuk tidak bersorak dan memeluk sahabatnya.

"Harusnya gue nggak langsung kebawa emosi." Tim menarik kursi dan duduk di sana. Ia sudah lebih tenang. "Gue denger, lo bantuin gue cari rumah. Gue denger ceritanya dari Jella."

Jun menghela napas lega. Ia bersyukur karena pertengkarannya dengan Tim kali ini tidak perlu memakan waktu berbulan-bulan. Terhitung sudah hampir setengah tahun, Tim menolak pergi ke lapangan. Selama itu juga, ia jadi lebih sering mendapat pekerjaan di kantor, baik itu untuk urusan internal atau eksternal.

Setelah kejadian itu, Tim mundur dari posisinya sebagai kepala sub bagian sampling, tetapi pengunduran dirinya ditolak oleh Bu Alia. Tim menduga kalau Jun yang membuat Bu Alia mempertahankan posisinya. Akibat kejadian itu, keduanya tidak bicara selama tiga bulan. Namun, mereka berhasil berbaikan setelah Jun menjelaskan kalau Bu Alia mempertahankan Tim tanpa dorongan apapun darinya.

"Ada satu hal yang mau gue tanya." Jun kembali duduk di kursinya.

Pria berambut mullet itu menggeser kursinya untuk mendekat. "Apaan?"

"Lo serius soal resign? Bukannya pekerjaan ini impian lo?" Jun sudah kembali duduk ke kursinya setelah berhasil mengontrol ekspresinya.

Tim menyandarkan tubuhnya di kursi. "Tadinya, gue serius."

"Tadinya?" Salah satu alis Jun terangkat.

"Sekarang gue punya alasan buat bertahan."

Yang pertama, gue punya Jella sebagai rekan kerja yang bikin hari-hari gue mungkin nggak akan satu warna lagi.

Yang kedua, gue punya Jella sebagai tetangga yang pasti bikin hari gue nggak pernah sepi.

Yang ketiga, gue punya Jella yang berhasil mengerem emosi dan bikin gue bisa mikir waras.

"Karena lo udah miskin?" Jun bertanya sambil mengejek.

"Sial, bener juga. Gue butuh duit. Kayaknya nyokap gue marah beneran. Uang gue nggak balik-balik soalnya."

Jun tertawa. "Makanya jangan kebanyakan tingkah."

Setelah itu, mereka keluar dari ruang dokumentasi, tetapi suasana yang tercipta sungguh bertolak belakang dari sebelumnya, kini Tim dan Jun sudah full senyum.

"Kayaknya udah baikan." Jella turut tersenyum begitu melihat mereka tersenyum cerah.

***

Dugaan Jella kalau sekujur tubuhnya akan sakit, langsung dibayar tunai ketika ia bangun tidur. Kakinya sudah dipenuhi koyo dan olesan balsem, tetapi nyeri di sana masih terasa menusuk. Belum lagi, badannya juga terasa pegal semua. Kepalanya juga terasa lebih berat. Namun, sebagai anak baru yang harus teladan, Jella tetap bersiap berangkat ke kantor.

"Oh, masih bisa bangun?" Tim bertanya setelah melihat tetangganya keluar dari rumah. Ia sudah menunggu setidaknya setengah jam di sana untuk memastikan kalau Jella baik-baik saja.

"Lo berharap gue mati?" Jella langsung menjawab songong.

Tim tertawa setelah melihat koyo yang menempel di leher belakang Jella. Koyo itu terlihat jelas karena wanita itu mengikat rambutnya. "Lo beneran mau pake koyo ke kantor?"

Wajah Jella lebih merah dari biasanya. Ia menarik napas panjang sebelum menyerukan umpatan. "Ini semua karena lo, ya, anak setan!"

"Oh, masih bisa marah. Berarti masih sehat. Gue cabut duluan." Tim tertawa kecil sebelum menutup helmnya dan pergi dari sana.

Jella tiba di kantor dan mendapati sebuah buku tebal yang asing di mejanya. Buku itu berjudul, Manual Lapangan : Pembuatan Spesimen Herbarium.

Tim keluar dari ruang arsip dan membawa satu buku lainnya. "Latihan hari ini nggak pake fisik, tapi otak. Gue yakin kalau urusan identifikasi, lo pasti udah jago, makanya sekarang lo baca buku itu. Kalo udah selesai, boleh lanjut ke buku ini."

"Ini buku tebelnya bisa saingan sama buku keramat, masa gue disuruh baca sehari?" Jella langsung protes.

"Gue nggak nyuruh lo baca ini dalam waktu sehari, tapi setengah hari. Hari ini lo harus baca dua buku ini. Itung-itung belajar sebelum beneran ke lapangan."

"Wah, bener-bener sinting." Jella bergumam, tetapi suaranya cukup keras.

"Kenapa? Mau protes atau mau minta latihan fisik aja?"

"Kepala gue agak pusing, jadi mending lo jangan ajak gue ngobrol."

"Jadi, sekarang ngeluh?" Tim tidak beranjak dari tempatnya.

"Gue nggak ngeluh, tapi lo ganggu banget. Sumpah!"

Satu hal yang tidak diketahui Jella, Tim sadar kalau Jella kelihatan tidak enak badan. Hal itu juga yang membuat pria bermata sipit itu tidak memaksanya untuk melakukan latihan fisik.

Saat pertama kali melihat Jella di seminar internasional, Tim sudah merasa familier dengan wanita yang menarik perhatiannya. Ia baru sadar kemudian, setelah melihat wanita itu bertengkar dengan Niko. Kebetulan, ia datang ke Arcie Grup untuk menghadiri rapat dengan bidang Fitopatologi. Ia sudah sering mendengar cerita dari Niko tentang Jella. Meski tidak kenal secara langsung, ia sudah paham bagaimana sifat ceria dan tangguh wanita itu karena Niko sering memujinya.

Tadinya, Tim kira Jella dan Niko hanya terlibat pertengkaran biasa. Makanya ia hanya menonton dan tidak ikut campur, tetapi ia heran ketika melihat Niko membawa wanita lain ke acara perayaan kenaikan jabatannya. Saat itu, ia sadar kalau ada yang tidak beres dengan temannya. Hal itu juga yang membuat ia menonton adegan lempar batu dari jarak dekat.

Tim sudah pernah mendengar tentang seorang wanita yang direkomendasikan profesor di kampusnya, ketika ia dan Bu Alia mencari seseorang dengan kualifikasi yang dibutuhkan di V-Bio. Nama Jaella Danastri sudah sering Tim dengar, bahkan sebelum ia bertemu dengan wanita itu.

"Buku yang ini udah selesai. Gue nggak baca semua. Gue cuma baca bagian yang relevan sama penelitian kita nanti."

Jella menjelaskan hasil belajarnya, ketika Tim berdiri di depan mejanya setelah makan siang. Ketika wanita berambut terikat itu menyerahkan buku pada mentornya, tangan mereka tidak sengaja bersentuhan.

Dia demam.

Tim berdeham. "Lo boleh istirahat. Buku yang satu lagi, besok aja."

Jella langsung semringah. Ia tersenyum lebar. "Serius? Jangan tarik ucapan lo."

"Iya."

"Gue bisa ikutan buat spesimen di lab kalo gini." Wanita berkemeja kuning itu langsung mengambil jas labnya dan meninggalkan Tim tanpa menoleh.

Padahal gue suruh istirahat.

"Lo pasti ngerasa bersalah, kan?" Jun bertanya tanpa beban.

Tim langsung gelagapan dan mengalihkan pandangannya dari Jella.

"Kayaknya dia sakit. Mukanya pucet banget." Jun menunjuk Jella dengan pulpen yang ada di tangannya.

Tim mengangguk. Ia tahu kalau Jella sedang sakit dan ia tidak bisa memungkiri kalau ada rasa bersalah yang menyelimuti hatinya. Keegoisan dan ambisinya untuk membuat Jella siap terjun ke lapangan malah membuat wanita itu sakit. Meski tidak tumbang, Tim yakin kalau wanita itu benar-benar mengalami demam.

"Kasih obat, gih." Jun menunjuk kotak P3K yang ada di dekat TV.

Tim beranjak dari tempatnya dan mengambil obat. Ia langsung memberikannya pada Jun, kemudian ia menatap sahabatnya dengan tatapan memohon. "Tolongin gue."

Jun tertawa kecil. Ia merasa geli dengan tingkah sahabatnya yang muncul hanya setahun sekali saking jarangnya. "Udah lama gue nggak liat lo begini."

"Ya, masa tiba-tiba gue kasih dia obat? Lo aja, lagian dia lebih jinak kalo sama lo." Tim beralasan.

Seringai sudah menghiasi wajah tampan Jun. Ia mengembalikan obat yang diberikan Tim. "Lo harus biasain, minta maaf sama orang, tuh, nggak dosa. Susah banget minta maaf. Sono, kasih sendiri. Gue nggak ikut-ikutan."

Kata-kata Jun yang dilontarkan dengan nada bercanda, berhasil menusuk Tim di dada. Ia tidak bisa menyangkal pernyataan sahabatnya. Setiap bertengkar dengan Jun, ia selalu jadi pihak yang memaafkan, bukan meminta maaf. Ia juga sulit memita maaf, walau tahu kalau ia salah.

Akhirnya, Tim nekat turun ke ruang laboratorium. Ia memanggil Jella dan membawanya kembali ke atas.

"Lo sakit. Ini obatnya."

Jella terkejut. Mata besarnya sampai melotot tidak percaya. Mulutnya juga menganga sempurna.

"Gue nggak boleh nyentuh lo sembarangan." Tim menunjuk dahi wanita itu. "Boleh gue cek?"

Jella masih terlalu terkejut dengan perubahan sikap Tim. Kemarin pria itu sudah seperti spartan yang melatihnya tampa ampun, tetapi kini malah kelihatan peduli.

"Gue bisa cek sendiri." Jella meletakkan punggung tangannya di dahi, kemudian ia mengangguk. "Kayaknya emang panas."

"Lo istirahat aja. Kalo pusing, bisa tiduran di sofa." Tim merogoh kantongnya dan menyodorkan obat. "Ini obatnya."

Jella masih tidak percaya. Kayaknya gue harus bilang wow.

Tidak tahan dengan kecanggungan yang tercipta, Tim akhirnya pergi dengan sukarela.

***

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

Capek banget, kan, ngadepin Tim? Udah gue bilang, sahabat gue itu emang agak nggak waras. Jadi, mohon dimaklumi tingkah absurd-nya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro