
STEP 32 - BULLYING
Hingga detik ini, Gheko tidak tau mengenai rumor Arasha yang beredar luas hingga satu sekolah. Alasannya simple, ponsel Gheko sedang rusak dan masih berada di tukang service sehingga dari semalam ia hanya menggunakan ponsel milik ibunya saja.
Perasaan tidak enak sudah ia rasakan dari semalam, namun ia tidak berani membuka sosial media yang begitu kejam menyebarkan berita hoax usai kemarin ia membaca ada seorang pekerja yang dituduh aneh-aneh meninggal bunuh diri akibat tidak kuat menghadapi berita palsu dari media.
Sungguh ironi dan ia sadar bahwa negaranya masih tinggi kasus penyebaran berita hoax dari satu mulut (akun) ke mulut yang lain.
Benar saja, baru berangkat ke sekolahnya saat detik-detik gerbang sekolah akan ditutup, Gheko melihat Arasha sedang dibawa oleh beberapa guru menuju ke UKS.
"Eh? Itu Arasha? Dia pingsan?"
Rasa-rasanya Gheko ingin menyusul Arasha ke sana, namun mengingat pelajaran pertama juga penting, jadi ia menunda dan akan mengunjunginya saat istirahat pertama nanti.
Begitu tiba di kelas XI IPS 3, Wildan menyenggol lengannya seraya berbisik, "Udah tau belum gosip tentang Arasha?"
Alis Gheko naik sebelah. "Emang gosip apaan? Hp gue kan mati dari kemarin."
"Katanya, dia simpanannya om-om. Di mading sekolah juga ada foto dia sama si om-om itu di sebuah hotel mewah. Wah, gila sih kalau itu bener. Gue antara percaya gak percaya, soalnya buktinya ada dan informasinya jelas."
Gheko tercengang dengan perkataan Wildan mengenai rumor Arasha. Lebih sampah informasi yang disebarkan daripada yang ia kira.
"Semua orang percaya sama rumor itu, makanya satu sekolah benci sama Arasha," lanjut Wildan.
"Kalau mereka semua percaya, gue bakal jadi orang pertama yang gak bakalan percaya sama rumor sampah kayak gitu, Dan. Lo tau sendiri, dulu ada kasus begitu dan ternyata hoax. Kalau sampai rumornya gue buktiin gak bener dari apa yang disebar, gue bakalan tuntut orang itu dan suruh cium kaki Arasha di depan semua orang."
Wildan merinding dengan segala kata-kata Gheko yang tidak gentar dan tidak ragu dalam membela Arasha. "Bucin boleh, bego jangan." Ia mengingatkan dengan nada kecil.
"Enggak, bagi gue ini bukan masalah karena gue sekedar suka sama Arasha, tapi gue gak bakalan percaya sebelum dengar langsung dari orangnya. Bahkan gue bakalan sampai temuin siapa yang jadi om-om yang dimaksud. Lo tau rumor kayak gini malah bikin mental orang jadi jatuh? Tadi gue liat Arasha pingsan, dan kayaknya setelah gue denger dari apa yang lo ucapin, gue paham penyebabnya apa."
Pernyataan yang rasional hingga membuat Wildan membuka matanya dengan baik.
Benar apa yang diucapkan Gheko, tidak seharusnya ia menelan hoax hanya berdasarkan informasi yang beredar di sosial media. Seharusnya, pelaku yang difitnah memberikan pernyataan klarifikasi sebelum segalanya menjadi lebih rumit. Akan tetapi, Wildan tidak tahu menahu kapan Arasha akan memberikan klarifikasi itu.
Segalanya seolah sudah terlambat karena hoax yang diumpankan oleh Eva telah dimakan oleh netizen, termasuk siswa siswi SMA Nusa Pelita. Hanya segelintir orang yang tidak percaya maupun tidak peduli akan berita itu.
Eva sedari tadi melirik bangku Gheko untuk mengetahui reaksi dari cowok tersebut, dan ia sangat tidak suka karena terlihat Gheko terus menggelengkan kepala. Tatapan seriusnya juga menunjukkan bahwa cowok itu justru tidak percaya dengan gosip yang sudah ia sebarkan.
"Padahal udah disebarin rumor, kenapa dia malah keliatan gak percaya sih?" Eva mengepal tangannya dengan erat dan seakan bersiap memukul meja.
Meskipun kesal, ia masih harus bersyukur satu tahap dalam menyingkirkan Arasha dengan gosip yang ia sebarkan.
Sudah pasti sebentar lagi Arasha akan dipanggil ke ruang BK kemudian diinterogasi. Jika sudah seperti itu, pilihannya antara diskors selama satu bulan lebih atau dikeluarkan dengan alasan mencemari nama baik sekolah.
Eva tidak berpikir jauh mengenai bukti CCTV hotel didekat tempat ia memotret Arasha, undangan, kesaksian orang tua Arasha dan keluarga lainnya.
Ia hanya berpikir sama seperti Rachel untuk menjatuhkan Arasha ke dasar yang paling dalam dan menyakitkan.
***
Cukup lama Arasha pingsan, ia perlahan-lahan kembali sadar. Para guru yang membawanya akhirnya bisa bernapas dengan lega melihat anak muridnya yang merupakan siswi berprestasi itu ditemukan tergeletak pingsan di depan mading.
Guru-guru juga sudah tau mengenai rumor yang beredar, namun tidak bisa memutuskan dengan cepat tindakan untuk Arasha selaku pelaku di rumor. Mereka perlu mendiskusikan terlebih dahulu supaya tidak salah langkah.
"Bapak dan ibu kembali ke kelas dulu. Kamu istirahat saja, kalau masih tidak enak sampai jam 11 nanti, kamu diizinkan pulang," kata salah satu guru.
Arasha ditinggal sementara hingga keadaannya pulih karena guru-guru masih tetap harus mengajar.
Di UKS, Arasha hanya berbaring saja sambil menangis dalam diam. Ia ketakutan jika rumor itu terdengar hingga ke telinga sang papa, menjadi sebuah bencana terburuk karena dicap sebagai anak yang tidak berarti meskipun bukan salah Arasha.
BRAK!
Pintu UKS terbanting cukup keras saat dibuka oleh seseorang. Tidak peduli bahwa di samping UKS adalah perpustakaan, orang itu hanya fokus mencari keberadaan Arasha dari salah satu bilik di sana.
Setelah menemukan Arasha, tiga siswi yang mencari dirinya itu menjambak rambut Arasha dan menyeretnya ke toilet dengan memperhatikan sekeliling supaya tidak ada yang melihat.
Salah satu siswi tadi mendorong tubuh Arasha dengan kencang hingga terjatuh ke lantai toilet dan membentur dinding.
Masih menarik rambut, ia mendekati wajah Arasha sambil berkata, "Jal*ng kayak lo ngapain masih di sekolah ini? Bukannya enak udah sama om-om? Masih gak puas ya sama goyangannya? Padahal di foto itu, lo sok cakep banget deh. Sengaja mau goda om-om biar sawerannya banyak. Iya, kan?"
"Saya tidak ada macam-macam sama om di foto itu, Kak. Saya cuman‐-"
"Cuman apa? Cuman mau nyangkal? Enak aja ya lo, mentang-mentang cakep, terus bawa piala ke sekolah. Sekali bikin nama baik sekolah tercemar, lo mau lari gitu? Mana bisa. Lo harus gue kasih pelajaran dulu biar ga banyak bacot."
Kepala Arasha dihempaskan dengan keras. Kali ini, satu ember berisikan air bekas pel sudah disiapkan oleh tiga siswi dari kelas 12 itu padanya.
Dengan tawa yang kencang, mereka menyiramkan air itu tanpa rasa ragu pada Arasha yang diam tak melawan. Tubuhnya ditendang dan diinjak-injak dengan keras hingga membuatnya merintih kesakitan. Tetapi, tiga siswi tersebut seolah tuli mendengarnya.
Belum puas, mereka memasukkan Arasha ke toilet yang sedang rusak karena pintunya macet dan sulit untuk dibuka dari dalam. Mereka bahkan menuliskan kalau pintu toilet rusak.
"Kak! Buka pintunya! Saya mohon, Kak. Dengarkan dulu penjelasan dari saya."
Arasha sudah menggedor-gedor pintu tersebut supaya dibukakan, namun tidak ada yang mendengar teriakannya. Tiga siswi tadi juga sudah pergi karena mereka masih harus melanjutkan pelajaran tambahan sebelum UNBK.
Arasha sudah lemas. Tenaganya terkuras habis untuk berteriak namun tidak ada yang mau menolongnya. Ia kembali pingsan di dalam bilik toilet yang rusak itu hingga petugas yang memperbaiki pintu toilet datang dan menemukannya hingga melaporkannya ke guru sekolah.
Keadaan Arasha semakin memburuk karena terserang demam hingga harus dilarikan ke rumah sakit terdekat untuk diberikan pertolongan pertama.
Kali ini, Arasha tidak sadarkan diri hingga kondisinya sangat mengkhawatirkan akibat masuk angin setelah disiram air bekas pel oleh kakak kelas yang membencinya. Mulanya masuk angin hingga dokter berkata bahwa pencernaannya juga sangat buruk pasca dicekoki air bekas pel.
"Siapa yang melakukan ini padanya?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro