STEP 22 - SHE HATE IT
Kadang, hari penting bisa menjadi hari yang paling dibenci oleh beberapa orang biarpun pernah menjadi salah satu hal yang paling dinantikan sebelumnya. Itu dikarenakan keadaan yang berbeda antara hari sebelumnya dengan kondisi sekarang ini.
Arasha ikut menghadiri perlombaan paskibra dengan beberapa temannya setelah jam pelajaran hari itu selesai sebelum pukul 12 untuk mendukung SMA mereka dalam pertandingan.
Raut wajah Arasha tentu tidak enak dilihat, namun ia mau tidak mau harus ikut karena dipaksa oleh papanya sebagai evaluasi atas kesalahan yang diperbuat sebelumnya. Padahal, Ares paham kalau itu bukan sepenuhnya kesalahan anak bungsunya.
Pertandingan dimulai pukul 11.00 WIB, dan nomor urut sekolah mereka berada di tengah-tengah keseluruhan peserta.
Lomba Paskibra diadakan di sebuah GOR outdoor di kota mereka dimana cakupan penotonnya lebih banyak dibandingkan di ruang tertutup.
Kedatangan siswa-siswi dari SMA Nusa Pelita yang mengisi sebagian tempat di sisi kanan GOR, cukup membuat tim mereka merasakan gugup karena ditonton oleh hampir semua warga sekolah di sana. Namun, ekspresi mereka cukup profesional.
"Sha, hati-hati."
Arasha dituntun saat naik ke anak tangga yang cukup tinggi menuju bangku penonton. Kondisi kakinya belum bisa menaiki anak tangga yang terlalu tinggi setiap pijakannya. Hal itu membuatnya harus dibantu oleh salah satu anak kelasnya.
"Makasih ya, Len," ucap Arasha pada Galen, teman kelasnya.
"Iya, sama-sama. Gue ke atas dulu ya nyusul yang lain," kata Galen pamit menuju tribun atas dimana siswa berkumpul di sana.
Tidak lama, tim SMA mereka sudah bersiap untuk tampil dengan apik. Bila sesuai latihan sebelumnya, Arasha percaya mereka bisa membawa piala juara pertama ke sekolah.
Sayang, Arasha tidak diizinkan untuk bisa bergabung dengan tim sampai perlombaan dimulai oleh semesta.
Sang komandan mulai menyerukan aba-aba untuk memulai, dan semua orang bertepuk serta bersorak menyemangati anak-anak yang berlomba dengan suara kencang.
Gheko yang juga hadir di sana ikut melakukannya, juga melirik tempat Arasha yang tidak jauh darinya. Perasaan yang dirasakan oleh perempuan itu juga bisa dirasakan olehnya. Sedih, kecewa, namun juga berharap akan kemenangan.
"Kalau gue jadi Arasha sih, gue gak bakalan mau dateng ke sini. Perasaan udah hancur, mana mau ketemu sama hal-hal yang bikin hati hancur. Tapi ya, karena itu Arasha, gue rasa dia punya hati yang besar buat terima semua," ucap Wildan yang juga ikut memperhatikan arah pandang Gheko.
Wildan juga mengenal bagaimana Arasha selama di OSIS, dia tau bagaimana rasanya posisi yang telah lama diincar dan diduduki tetapi direbut karena musibah tak terduga.
"Dan," panggil Gheko.
"Apaan manggil?" sahut Wildan.
"Gak jadi, mendingan nonton perlombaannya aja," kata cowok itu malah dipukul lengannya oleh Wildan.
Awalnya Gheko mau meminta saran bagaimana cara menghibur Arasha, namun setelah ingat Wildan akan berbuat seenaknya, ia mengurungkan niat dan memilih mencari tau sendiri.
***
Pengumuman pemenang utama sudah diumumkan satu menit yang lalu.
Sudah terlihat dari gerakan dan kekompakan tim, SMA Nusa Pelita meraih piala utama dan menjadi juara umum. Piala diangkat tinggi-tinggi dan dipamerkan kepada seluruh siswa-siswi yang sudah menonton dan mendukung mereka secara langsung.
Arasha bertepuk tangan kecil dan tersenyum tipis, ia tetap menghargai kerja keras mereka meskipun ialah penyebab tim harus lebih bekerja keras karena mendadak terhenti di tengah proses persiapan.
Ponselnya bergetar, satu notifikasi pesan masuk ke layar utama. Ares. Siapa lagi yang akan mengirimkan pesan padanya bila disaat yang tidak bergitu urgensi ini.
Papa
Lihat, kan? SMA kamu juara pertama
Harusnya kamu yang ada di sana
Harusnya kamu bisa seperti Raka
Kamu harus bawa posisi pertama
Anak-anak papa tidak boleh kalah dari orang lain, buatlah papa mama bangga
Jangan kecewakan papa selagi ada waktu, Arasha. Mengerti?
Arasha mematikan ponselnya.
Ia ingin menginjak-injak ponselnya, kemudian tidak pulang seharian untuk pergi jauh dari rumah sambil menenangkan pikirannya.
"Raka, Raka, Raka, Raka! Kenapa papa selalu pakai kakak sebagai acuannya? Apa aku gak bisa jadi diri aku sendiri?" Rasa frustasi yang tidak bisa dibendung lagi, juga tidak bisa ditunjukkan secara terang-terangan. "Harusnya, kakak juga jangan terlalu sempurna. Ini terlalu menekan aku sebagai bungsu di sini."
Ia tau ia salah ketika menyalahkan kakaknya yang juga korban tekanan papa mereka, Arasha termakan emosi.
Sekarang ini, ia tidak bisa mengontrol emosinya dengan baik. Jadi, ia memilih diam di tengah keramaian yang menggema di berbagai sudut tribun.
Setelah beberapa waktu, siswa siswi mulai turun karena perlombaan sudah selesai dilaksanakan. Banyak yang menghampiri anggota tim dan berfoto ria sambil memamerkannya ke sosial media sebagai dukungan, juga memamerkannya ke khalayak umum.
Arasha kembali dibantu ketika turun tangga, dan tidak sengaja berpapasan dengan Rachel yang baru kembali dari kamar mandi saat sudah di bawah dan tanpa ditemani temannya.
"Ah, Arasha. Kaki lo masih sakit, ya?" kata Rachel berpura-pura peduli sambil menunjuk bagian kaki Arasha yang maskh terbalut kain kasa.
"Iya, Hel," jawab Arasha.
"Semoga cepet sembuh, ya. Ya, untungnya aja lo ga lanjut. Kayaknya bakal jadi beban tim aja kalau maksa," ujar Rachel dengan nada sombong.
Sebelah alis Arasha terangkat. "Maksudnya gimana, Hel? Aku juga sadar diri kalau ga mungkin dipaksa buat lanjut, keputusan kan juga ada di tangan Pak Ahmad sama Pak Sonny."
"Bagus dong. Jadi kasih kesempatan buat yang lain dan ga maruk. Masa lo harus terus menerus jadi unggulan, kasih kesempatan ke yang lain kek."
Perkataan Rachel semakin tidak enak bagi Arasha, ada nada merendahkan, dan seolah-olah Arasha sengaja merebut semua kesempatan orang lain tanpa memikirkan perasaan mereka. Padahal, Arasha tidak merasa demikian. Ia tetap memberikan peluang bagi mereka yang sama-sama berjuang.
"Sekarang, gue bisa merasakan posisi pertama yang selalu lo genggam. Anggap aja, kali ini masa kejayaan lo di paskibra udah mulai redup karena kondisi sekarang. Untung aja sebentar lagi kelas 12, jadi lo bakal ga mungkin ikut apapun karena udah kelas 12," lanjutnya dengan tertawa mengejek.
Sebelum pergi, Rachel menepuk pundak Arasha dan berbisik singkat di daun telinganya. "Kali ini, gue ga bakal pura-pura lagi. Kesempatan ga bakal terjadi dua kali, karena gue senang ternyata orang yang gue benci ada di masa terpuruk kayak gini."
Setelah mendengarnya, Arasha terdiam mematung di tempat. Kali ini, perasaan bergejolak di dalam hatinya.
Arasha paham bahwa semua yang unggul akan memiliki musuh dan seseorang yang akan membencinya. Hanya saja, ia tidak menyangka bahwa Rachel mendeklarasikan kebencian tepat di depannya.
Kalau Rachel bisa membencinya, maka Arasha pun juga bisa.
Mulai sekarang, ia tidak akan pernah menyukai Rachel seperti Rachel yang sangat benci kepadanya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro