STEP 15 - NASIHAT ADEL
Sifat Ares memang keras kepala selayaknya manusia lain, tidak selamanya semua orang akan bersifat lemah lembut. Kata lelaki itu, lemah lembut tidak mencerminkan ketangguhannya sebagai prajurit TNI dan sangat tidak cocok dengan image yang sudah dibangun lama olehnya.
Sebab itulah, Ares memang dikenal keras kepala bahkan ketik berpacaran dengan Nesha dulu. Wanita itu juga paham betul bahwa sulit meredakan emosi yang meledak-ledak dari Ares.
Tak disangka, sifat Ares bahkan ada hingga detik dimana Arasha sudah menginjak masa SMA menuju dewasanya. Tidak berubah sedikitpun.
Seperti hari ini, Ares memaksanya mengenakan sepatu pantofel disaat kakinya masih terasa sakit. Katanya, supaya tidak ada yang tau bahwa Arasha terluka cukup dalam. Supaya tidak ketahuan, maka Arasha berangkat lebih awal saat gerbang sekolah baru saja dibukakan oleh satpam.
"Selamat pagi, Pak." Arasha menyapa satpam sekolah dengan kaki yang terpincang-pincang dan menahan rasa sakit seperti ditusuk-tusuk.
"Pagi juga, Neng. Kakinya kenapa?" tanya satpam bernama Pak Diro tersebut. "Habis jatuh?"
"Ah, cuman keseleo dikit tadi pagi, Pak. Nanti juga bakalan sembuh sendiri," jawab Arasha dengan kebohongan. Mana ada keseleo tapi jalannya seperti orang yang kakinya habis kecelakaan.
"Waduh, semoga cepet sembuh ya, Neng. Mau saya anterin ke dalem?" tawar beliau hendak membantu tetapi Arasha langsung menolaknya. "Enggak perlu, Pak. Saya bisa jalan sendiri." Lanjut perjalanan, ia berjalan sambil memegangi pahanya sebagai tumpuan.
Agak gila ketika ia memandangi anak tangga menuju lantai dua. Karena kelas 11 diberikan tempat di lantai dua, otomatis ia harus menaiki satu persatu anak tangga tersebut dengan hati-hati.
Beruntung saat itu keadaan sekolah masih benar-benar sepi. Sepertinya Arasha datang paling awal dari seluruh siswa yang ada di sekolahnya.
Ketika baru menaiki 6 anak tangga, kakinya terasa ngilu. Ia pun memilih menaiki tangga sambil terduduk dan mengangkat tubuhnya. Benar-benar terlihat seperti orang lumpuh kalau dilihat dari jarak jauh karena Arasha tidak menggunakan tongkat.
Setelah sekuat tenaga berupaya, akhirnya ia bisa sampai dan duduk dengan tenang di bangkunya. Ia meletakkan tas di belakang tubuh dan menyandarkan punggungnya ke kursi yang bersamdar tersebut.
"Fiyuhhh capek banget, untung belum waktunya piket," katanya mengelap keringat yang meluncur dari pelipis.
Tidak lama berselang, satu persatu siswa di kelasnya mulai datang dan menyapanya. Mungkin jug sedikit terheran mengingat Arasha bukan tipe anak yang berangkat paling awal dan cenderung datang menjelang gerbang sekolah akan ditutup.
Adel, teman sekelasnya baru datang kemudian menyapanya juga. "Pagi, Arasha." Ia meletakkan tas sekolahnya kemudian duduk di samping Arasha. "Tumben berangkat pagi."
Arasha menyengir. "Iya, tadi Papa ada urusan mendadak pagi-pagi jadi dianterin sekalian," jawabnya.
"PR dari Bu Endah udah dikerjain, kan? Hari ini pembahasan soal-soal," kata Adel lalu diberikan dua jempol dari Arasha. "Udah dong, dikerjain setelah dikasih soal biar gak mepet-mepet."
Tidak heran, itu Arasha. Sekaliny rajin, PR alias pekerjaan rumah dari guru pun bisa dikerjaan setelah guru tersebut selesai mengajar mereka.
"Oh iya, ngomong-ngomong kaki kamu gak kenapa-napa, kan?" tanya Adel membuat degub jantung Arasha lebih cepat dan jantungnya nyari copot.
Kenapa Adel menanyakan keadaan kakinya? Jangan-jangan...
"Kemarin aku dikasih kabar dari adik kelasku, dia anak paskibra juga yang kepilih jadi peserta lomba. Katanya kakimu luka parah, ya? Apa gak pa-pa kalau diterusin buat lomba nanti?" Adel bertanya dengan nada khawatir.
Sejujurnya, ia tidak tahu seberapa parah luka Arasha. Menurut informasi dari adik kelasnya, itu cukup membuat banyak darah keluar tanpa henti saat kejadian hingga akan dibawa ke klinik terdekat.
"Terus, kenapa kamu pakai sepatu ini? Malah bisa tambah infeksi karena lembab dan kurang udara. Harusnya pakai sandal aja, Sha. Kayak gini malah memperparah keadaan luka kamu! Gini-gini dulu pas SMP aku anak PMR juga," kata Adel menunjuk ke arah kakinya yang dibalut kaos kaki dan mengenakan sepatu pantofel.
Suara Adel terdengar cerewet namun penuh perhatian, Arasha jadi merasa terharu mendengarnya. Ia ingin menangis saat seseorang paham akan kondisinya itu. Tetapi, kalau menangis pun percuma, tidak akan membuat sang papa merubah keputusannya.
"Masalahnya, Del ... papa aku--"
"Enggak ada tapi-tapi, kalau infeksi malah jadi bahaya. Aku ambilin sendal punyaku dulu di mushola. Itu kering dan bersih, yang penting kaki kamu udah dibalut sama roll kasa," kata Adel tanpa babibu langsung bergegas ke mushola SMA dan meninggalkan Arasha di bangkunya sendiri.
Jelas Arasha ingin mencegahnya, namun berdiri saja bisa membuatnya kesakitan dan ia terlihat pasrah.
Tidak lama setelah Adel keluar, gadis itu kembali dengan membawa sepasang sandal bermotif Hello Kitty. Ia berjongkok dan melepaskan sebelah sepatu Arasha setelah bertanya dimana kaki yang terluka itu.
Adel membukanya perlahan dan terlihat kaki Arasha sudah terbungkus dengan kain kasa. Kenapa pula Arasha keras kepala dan ingin menyakiti dirinya sendiri seperti ini?
"Sha, mau itu keinginan papa lo, kalau sampai bikin lo sakit, stop ya?"
Sibuk memasangkan sandal ke kaki Arasha, Adel berharap temannya mengerti dengan ucapannya. "Jangan pernah menghancurkan diri sendiri. Karena memulihkan semuanya seperti sedia kala tidak semudah membalikan telapak tangan. Beri pelindung sejak awal, tanamkan bahwa semua orang bisa kasih kamu ekspetasi, tapi tidak semua ekspetasi harus terwujud."
Sulit, Del. Bahkan sulit untuk berontak karena papa gak bakalan mau denger seluruh isi hati aku, batin Arasha.
"Nah, sekarang udah mending. Kalau kainnya lembab, bilang aja oke? Nanti kita ke UKS buat ganti perban," kata Adel.
Setelah Adel melakukannya, beberapa teman kelas sadar kalau kaki Arasha terluka dan membuat seisi kelas melihatnya. Mereka bergantian melempar pertanyaan seputar 'Mengapa kakinya bisa terluka?' 'Apakah separah itu?' dan masih banyak lagi.
Arasha hanya menjawab beberapa pertanyaan saja dan sisanya ia jawab dengan senyuman. Ia tidak bisa terus menerus menjawab pertanyaan mereka yang lebih mendetail.
Sampai akhirnya bel jam pelajaran pertama berbunyi dan tidak lama kemudian guru mereka datang. Semua kembali ke bangku masing-masing dan Arasha mencoba bersikap seperti biasa.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro