9) pierssin, tidak menyesal telah mengatakan terimakasih
c h a p t e r 9
Nath Pierssin
tidak menyesal telah mengatakan terimakasih
"Susah, Kak. Mereka terlalu jago."
Catris; aku selalu terperdaya dengan nyanyiannya sehingga senjataku seringnya meleset hampir mengenai diriku. Shia; meskipun seringnya diam, sesungguhnya dia yang paling mematikan di antara ketiga temannya. Jebakan-jebakannya sulit dihindari. Rim; dia cuma pengguna elemen biasa, tapi skill-nya dalam mengatur tumbuhan-tumbuhannya, selalu berhasil meruntuhkan setiap pergerakan awal lawan yang berusaha menyerangnya.
Yang terakhir, ah, malas deh. Aku belum benar-benar pernah berhasil mendekatinya.
Aku menjelaskan semua itu ke Kak Aldo, orang yang menyewa jasaku; membunuh seluruh anggota Four Finalion. Tetapi nampaknya, aku bukan tandingan mereka.
Kak Aldo berdecak. "Udah hampir dua bulan, lho. Aku ngerasa sia-sia aja nyewa jasa kalian."
"Bukan 'kalian'. Saya aja, Kak." Aku tidak mau membuatnya berpikiran yang tidak-tidak tentang ASS, asosiasi tempatku berasal. Karena memang aku-nya saja di sini yang kurang pandai memainkan senjata.
"Kamu itu kan assassin, harusnya bisa ngebunuh mereka diem-diem." Jika kuhitung, itu keluhan Kak Aldo yang ke sepuluh yang berbunyi sama tiap mendengar kegagalanku membunuh target. Apa Kakak ini tidak pernah bisa mengerti bahwa sudah sepuluh kali pula aku menjelaskan tentang gagalnya usahaku ini?
Tak perlu ragu lagi kalau dia memang pelanggan yang merepotkan. Akibatnya jadi tak ada pelanggan lain yang bisa menyewa jasaku. Salahkan dirimu saja, Nath. Kau memang kurang berguna.
"Oke, gini aja." Rambut Kak Aldo tampak kusut, mungkin habis dia berantakin karena kesal. "Aku bakal bayar kamu, untuk satu aja target yang berhasil kamu bunuh. Satu aja, Nath."
Aku memandanginya dengan sedikit tertarik. Wow, ini tawaran yang sangat menguntungkan. Aku bisa segera terbebas dari kekangannya sekaligus mendapat bayaranku selama ini.
"Oh, hati-hati, nanti. Biasanya kehadiranku selalu berhubungan dengan kematian. Jadi ya kalau kamu nggak berhasil ngelakuin misinya, kamu yang mati."
Ya ampun, mudah sekali mulutnya menyebutkan perihal kematian. Apa untuk menakut-nakutiku? Apa untuk membuatku semangat? Tapi tidak tuh.
Kemudian percakapan berakhir dengan aku yang membalas pake jari jempol, merasa lebih percaya diri. Aku akan menggunakan otakku yang cemerlang dengan sangat maksimal kali ini.
Kemarin-kemarin di ASS, ada anggota baru. Namanya Kak Nisha, pengguna rantai. Tampangnya galak seolah tidak menerima siapa pun yang berusaha masuk ke hidupnya. Memang siapa yang pengen.
Karenanya Kak Mila jadi punya teman mengobrol lain selain Kak Queen (sangat jelas sekali terlihat Kak Mila segan terhadap Kak Queen, obrolan mereka jadi agak kaku). Kami selalu berkumpul tiap malam secara nomaden. Menciptakan obrolan-obrolan yang mungkin sedikit dipaksakan hanya karena kami mempunyai satu kesamaan, pemilik sihir senjata. Tidak akan jadi masalah bagi orang introver seperti aku.
Tapi belakangan, aku yang tidak peka ini sadar ada pergolakan batin antar dua anggota ASS yang semulanya kukira mereka berteman akrab. Kak Mila dan Kak Nisha. Kukira pertengkaran mereka cuma sekadar pertengkaran biasa antar sesama teman. Nyatanya, pada akhirnya Kak Queen memutuskan untuk membahasnya di suatu malam lain sebelum besoknya aku akan beraksi habis-habisan dengan 'satu saja' Four Finalion.
Kak Queen yang juga bertampang dingin meski dewasa, melirik satu-satu ke Kak Nisha dan Kak Mila yang duduk di kanan kirinya. Sedangkan aku di seberangnya. Semua anggota harus terlibat omong-omong, mengganggu waktu tidurku.
"Nath saja peka kalian ada apa-apanya." Tanpa diduga, itu yang menjadi awal pembicaraan panjang ini; padahal aku tak pernah memberitahunya aku peka. Atau mungkin lupa.
Kak Nisha dan Kak Mila saling menghindari pandangan.
"Kalau bukan karena urusan kepribadian masing-masing yang bertolak belakang meski aku yakin kalian akan cocok, karena urusan pekerjaan yang berhubungan dengan pelanggan, bukan? Tujuan kalian bertolak belakang."
Kak Queen ini, meski aku bukan seorang pengamat, aku sadar dia adalah pemimpin yang hebat dan berwibawa. Aku pun tak tahu apa aku berani menatap matanya atau tidak.
Kak Nisha bereaksi dengan menendang batu, alisnya datar.
"Ada. Saat-saat di mana, kita harus membocorkan rahasia misi kita terhadap anggota lain jikalau dengan sembunyi-sembunyi, itu akan meruntuhkan keutuhan asosiasi. Jika itu terjadi, semua anggota yang tidak terlibat pun, harus memberitahu misinya pada anggota lain."
Itu mengagetkan tiga anggota ASS lain selain Kak Queen. Bisa begitu, ya? Aku yang merupakan anggota ketiga yang bergabung ini, merasa kekurangan informasi.
"Serius, Kak?" timpal Kak Mila menatap Kak Queen. "Harus dikasih tahu?"
Yang ditanya hanya mengangguk. Kak Queen memang jarang menjelaskan sesuatu sebanyak dua kali. "Misinya saja. Tak perlu menyebut siapa pelanggannya."
"Ngancurin Clofan Vertasy." Kak Nisha yang pertama menjawab dengan muka masam menghadap sang pemimpin asosiasi.
"Clofan Vertasy? Eh terus, kenapa jadi gabung sama guild-nya Kak Kree ...." Suaranya mengecil seiring wajahnya yang berubah menjadi merenung. Mungkin baru menyadari sesuatu.
"Kalau Mila?" tanya Kak Queen.
Kak Mila memalingkan muka. "Menghabisi siapa saja orang terakhir yang bergabung dengan guild Kree."
Kak Nisha sontak berdiri dan hampir menerkam Kak Mila. "Udah kuduga pasti tujuanmu kagak bener!"
Kak Queen menenangkan. "Diam dulu. Jangan langsung mengambil tindakan."
Wah, nampaknya si paling misterius itu kewalahan juga dengan sikap kekanakan bawahan-bawahannya. Dua perempuan keras kepala, sih. Sulit diatur apalagi jika keduanya memiliki tujuan yang berbanding terbalik.
Setelah Kak Nisha kembali duduk dengan gaya khas laki-laki, Kak Queen menyuruhku menyebutkan misi. "Cuma membunuh anggota-anggota Four Finalion."
Tak ada yang tertarik.
Tapi aku pun tidak sakit hati.
Dan akhirnya, terakhir. Saatnya dia menyebutkan misinya selama ini. Aku selalu penasaran omong-omong. "Mengintai Kree."
"Itu aja?" Kak Mila, Kak Nisha, dan aku berkata bersamaan. Ya memang hanya 'itu saja'. Terdengar sangat simple, sih.
Lagi, Kak Queen cuma mengangguk. Sangat terlihat sekali sedang menyembunyikan sesuatu. Kenapa pula ya aku yang tidak peka ini bisa sadar.
"Oke, tentang kasus kalian berdua," sekali lagi dia mengarahkan bola matanya ke Kak Nisha dan Kak Mila, masih berwajah cuek, "sepertinya memang, tujuan misi kalian ini saling berkebalikan. Yang satu harus menghancurkan Clofan Vertasy mungkin salah satunya dengan bergabung dulu ke guild-nya Kree, ya? Dan satu lagi, berusaha membuat guild itu terus kehilangan anggotanya agar tidak menjadi resmi. Meski bisa dibilang, sebenarnya ada banyak langkah agar kalian tak bersinggungan."
Kak Nisha sudah akan berkomentar tetapi kembali menutup mulutnya, diam menyimak dengan menumpu kepala.
"Pertama," mulai Kak Queen. "Nisha, kau tak harus masuk ke guild-nya Kree. Menghancurkan Clofan Vertasy tak mesti harus dilakukan sebagai anggota sebuah guild. Lakukan saja dengan caramu sendiri, dan kau tak perlu menuruti setiap perintah pelanggan yang berada di luar jalur misi."
Aku melongo mendengar penuturannya. Hebat sekali, bisa dengan cepatnya menyimpulkan solusi dari perseteruan orang lain. Aku harus belajar darinya. Atau aku saja yang berlebihan dalam menilainya karena sedang kehilangan arah?
"Baiklah, kurasa tak ada nomor dua. Mila tidak bisa menggunakan cara lain karena tujuannya hanya menembak siapa saja anggota baru yang bergabung. Tapi jika Nisha tetap kukuh berada di guild itu, jika perseteruan kalian ingin berakhir, jangan pedulikan aksi Mila itu, Nish. Fokus saja pada tujuanmu dan bukannya mempertahankan kelengkapan anggota guild. Bukankah itu jadi melenceng dari misimu, Nish?"
Hm, benar juga. Aku mulai mengerti keadaannya. Kak Nisha ingin menghancurkan Clofan Vertasy dengan bergabung dulu ke guild-nya si Kree Kree itu. Tapi jelas saja Kak Nisha tidak akan pernah maju jika dia hanya terus mengurusi Kak Mila yang menjalankan misinya; tak membuat guild itu resmi. Itu adalah sebuah kesia-siaan terutama untuk Kak Nisha sendiri.
Oke, masalah mereka sepertinya akan selesai sebentar lagi. Aku tak perlu lagi melihat raut muka keduanya yang saling menunjukkan permusuhan secara terang-terangan. Meski aku cuek, tetap saja itu mengganggu pandanganku apalagi setiap malamnya aku hampir selalu bersama mereka.
Kurasa sekarang aku bisa tidur.
Ah. Aku teringat dengan 'kematian' yang dibicarakan Kak Aldo. Meski malas percaya, aku takut-takuti mereka saja. "Teman-teman," kuarahkan atensi gadis-gadis itu padaku di tengah topik seputar perseteruan Kak Nisha dan Kak Mila yang belum berakhir. Tak apa, aku cuma memerlukan sedikit waktu saja.
Ketiganya menoleh ke arahku. Tanpa sadar pun, kupandangi satu-satu wajah mereka yang sedikit buram di bawah langit mendung berawan. Keadaan selalu gelap saat semua anggota ASS berkumpul.
"Besok aku bakal ngelancarin aksi terakhir buat membunuh salah satu dari Four Finalion. Yah, udah basi sih misinya, satu bulan lebih, pelanggannya makin kecewa." Yah, mengapa pula aku malah curhat. "Jadi kalau malam besok aku gak balik ke sini, ada kemungkinan aku udah mati. Mungkin juga ini malam terakhir sekaligus pertama kali aku ngobrol serius sama kalian. Maaf kalau kerjaku kurang maksimal. Sama makasih, udah nerima Nath di ASS."
Apa aku sedang main drama? Tapi seorang Nath Pierssin tak pernah tak serius dengan ucapannya.
Jika Kak Aldo berbicara tentang kematian, barangkali, aku memang harus serius dan mengerahkan seluruh tenagaku untuk misi pertama yang akan berhasil atau terakhir ini. Misi terakhir.
.
Ke sekian kalinya, aku kembali ke kota markas Four Finalion berada. Padahal ini cuma kota asing, tapi saking seringnya aku ke sini, bahkan kukira warga-warga sini pun sudah bosan melihat diriku yang bolak-balik dan terkadang menimbulkan kegaduhan. Meski aku adalah pembunuh yang seharusnya bekerja secara diam-diam, tindak-tandukku selama ini justru menunjukkan kebalikannya. Entah deh, mungkin aku masih berada di masa-masa malasnya.
Di antara Catris, Shia, Rim, jika menilik dari otakku yang senang bermain hitungan, aku ingin pertarungan terakhir ini kulaksanakan melawan Shia, adu kepintaran. Aduh kok sudah putus asa duluan sih dengan menyebut pertarungan terakhir. Kak Aldo benar-benar meracuni pikiranku.
Aku menahan napas dan mempercepat langkah dengan suara pelan, menggunakan skill menghilangkan keberadaanku. Meski guild kegelapan, terkadang mereka berbaur dengan orang-orang sekitar, benar-benar menyamarkan identitas. Akan kulawan dengan aksi diam-diamku yang menyelinap di antara penduduk kota ini.
Tetapi baru seratus meter, aku ditabrak oleh seseorang dari belakang hingga membuat badanku terjungkal. Otomatis diriku kembali mudah terlihat dan menimbulkan kegaduhan lagi, menarik perhatian lagi. Astaga ya Tuhan.
"Maafin Qiby. Sakit, ya?"
Seorang perempuan ternyata. Aku jadi tidak bisa memarahinya.
Kuperhatikan dia sembari mengepruk-ngepruk baju depanku. Entah mengapa dirinya seolah diselimuti nuansa hijau. Agak aneh dilihat, tapi juga terkesan indah. Aku mengeluarkan senyumku padanya. "Kamu kenapa ada di sini?" Karena dirinya begitu asing di mataku. Seolah aku sudah akrab dengan kota ini saja.
Qiby (namanya Qiby, kan?) menatapku gelisah dan terus melirik ke sana kemari. "Qiby seringnya muncul di satu tempat aja."
"Ouh. Tadi lari-lari kenapa? Lagi dikejar seseorang?" Langsung perhatian saja aku ini.
Bola matanya yang bergerak-gerak sangat menyaratkan keresahan. Ada apa, sih. Apa sedang dikejar penculik?
"Ngobrolnya jangan di sini. Yuk ikut Kakak." Memangnya aku lebih tua darinya?
Qiby menurut dengan mengangguk. Dia berjalan di belakangku lalu. Setelah cukup jauh, aku berbalik melihatnya. Sekarang gadis itu menggigit bibir.
"Qiby kenapa? Ada yang nyakitin Qiby?" Tak apa berbasa-basi sejenak dengan gadis kecil yang baru dikenal. Dia nampak sangat butuh bantuan. Aku bisa menyelesaikan urusanku nanti.
Karena dia tak juga bicara, aku lalu membawanya ke sudut kota, duduk di suatu batang pohon yang sepertinya memang biasa digunakan untuk duduk. Setelah menarik napas sejenak, Qiby akhirnya mau ngomong. Masing-masing tangannya bergetar di sisi tubuhnya. "Kak Nath, kalau ada teman atau saudara Kakak yang jahat, Kakak bakal ngikutin dia atau nggak?"
Sudah jelas sekali dong apa jawabannya. Tergantung orangnya. "Tergantung keadaan. Ada suatu waktu di mana mau gak mau, kamu harus berbuat jahat."
"Ya kan?" Qiby mendongak padaku. "Qiby gak salah kalau gitu. Tapi ...."
Gelagat ketakutannya sangat kentara.
"Hati dan pikiran Qiby nggak nyaman. Selalu merasa gak aman. Apa mungkin, tindakan Qiby selama ini salah?" gadis berperawakan kecil itu memainkan jari-jarinya di pangkuan. Sangat kelihatan seperti anak yang baru masuk sekolah meski kukira jarak usia kami cuma satu tahun. "Tapi kalau kabur, Qiby nggak bisa. Udah terikat kontrak."
"Emang Qiby nggak bisa nyuruh dia buat berhenti berbuat jahat?"
Kepalanya menggeleng. Bibirnya menekuk ke bawah. "Udah pernah, sekali doang tapi. Dan Qiby nggak mau lagi. Kapok ...."
Seiring dengan air matanya yang perlahan luruh, tetes-tetes hujan pun berjatuhan dari langit, mengenai kulit dan pakaianku. Perlahan lagi bertambah banyak sampai membuat rambut basah, aroma petrichor pun menguar. Bersama seorang gadis kecil yang menangis di sampingmu, di hari yang kukira ada kaitannya dengan kematian, aku tak mau jika yang mati itu Qiby.
"Tolong Qiby, Kak Nath."
Ketika tangan itu mencoba meraih ujung lengan baju pendekku tapi gagal, aku melototkan mata. Kok bisa nembus?
Satu tetes lagi mengenai wajah.
"Keluar."
Ada seseorang yang tertawa tertahan. Saat mendongakkan pandangan, aku bersyukur jika yang dimaksud dengan orang jahat menurut Qiby itu adalah Shia, bukan dua temannya yang lain.
"Kok tahu aku ada di sini?"
"Aku punya skill menyadari hawa keberadaan orang lain juga. Berguna banget, kan?" Aku berdiri, menyadari anting yang dia pakai di telinga kiri menghilang. Saking seringnya aku berurusan dengannya, sampai hafal. Otakku begitu mudah mengingat perkara kecil.
Shia cengengesan. "Lagi ngehibur siapa, Nath?"
Aku mengedikkan bahu. "Dia kayak bukan bener-bener manusia. Entah juga kenapa dia bisa tahu nama aku selain kalau dia punya ikatan kontrak dengan manusia lain. Apa sih istilahnya?"
"Masa aku harus kasih tahu? Katanya otakmu cemerlang?"
"Lebih cemerlang otakmu-lah."
"Jadi mau tanding adu panco, nih?"
"Kuis hitungan aja gimana?"
Ah sialan. Qiby sengaja memberitahu masalahnya ketika kami sudah duduk di sini. Sekarang aku tidak bisa keluar. Telat sadar kau, Nath. Spektrum hijaunya benar-benar mengelabui konsentrasi.
Aku hanya menyimpan tiga buah pedang kecil di tiga bagian tubuhku.
Ya tinggal dilempar saja, Nath.
Pedang pertama; musnah kala melewati lingkaran pertama di depan sosoknya. Benar, benar, benar. Pasti dia memasangnya di sekitar situ juga, tak hanya di sini. Pertanyaannya, apa itu berfungsi pada si pembuat lingkaran juga? Apa aku harus mengambil resiko? Pedangku tinggal dua. Atau dia cuma berakting seolah tak bisa bergerak karena terjebak lingkarannya sendiri?
"Nah, bagus. Buat sampai cerah banget, Qiby. Tubuh aku sudah cukup basah karena hujan yang kamu buat." Dia mengusap wajahnya dengan tidak sabaran.
Kulihat ke atas langit. Mataharinya memang benar-benar muncul dan menyilaukan pandangan. Ulah Qiby?
"Aku pengen cepet nyelesein ini. Tapi gak mau juga kalau pertarungan terakhirnya harus selesai cepet. Serba salah ya, Nath?" keluhnya, curhat pada musuhnya ini.
"Pertarungan terakhir gimana maksudnya, Shia?" Kusimpan tangan di masing-masing pinggang, menatapnya dengan menyipit.
Shia jongkok, menggambar-gambar sesuatu di depannya. Di atas lingkaran yang memusnahkan pedang pertamaku tadi. "Aku bosenlah tanding sama kamu mulu. Kayak yang gak ada perkembangan."
"Ya kalahin dong, makanya." Meski perkataanku menantangnya, tetap saja kegelisahan itu muncul. Kenapa pula aku jadi takut.
Shia menghela napasnya. "Tapi kamu lawan yang asyik kok. Kita seumuran, lho."
"Tapi gak mesti, mati di umur yang sama juga."
Senyum lebarnya terkembang. "Mau aku, atau kamu duluan nih?"
"Apanya?"
"Yang mati."
"Kak." Qiby memutuskan menjadi orang ketiga dalam percakapan di tengah terik matahari ini. Aku melihatnya. Masih gemetaran. "Qiby aja, Kak Shia. Jangan Kak Nath."
"Apa sih, ikut campur aja." Shia sewot.
"Jangan ngomong gitu dong sama temen sendiri." Aku membela Qiby.
"Kamu kali Nath, yang lebih kuanggap temen daripada dia."
Kurang ajar.
Jarang sekali aku marah. Apalagi karena termakan provokasi. Tapi Shia ini sikapnya sudah kelewatan pada orang lain yang menyayanginya. Betul kan Qiby sayang Shia?
Ketika itu, dia menyeringai. Berbarengan dengan aku yang tetiba merasakan panas di sekujur tubuh. "Ada apa, nih."
Panas itu bukan gerah dari sinar matahari. Seperti berasal dari dalam diriku sendiri. Menyengat sampai ke ubun-ubun.
"Apa ini, heh." Aku mengibas-ngibaskan baju meski tanpa guna. Selanjutnya panasnya melumpuhkan kedua kakiku. Aku terjatuh di tempat, merasakan deru napas yang kesusahan. "Ini apaan, Shia."
"Kak Nath!" Qiby menyentuh pundakku tapi tembus lagi seperti tadi. "Kak Nath kok panas banget. Qiby yang gagal nyentuh aja bisa ngerasain panasnya."
Nenek lampir itu tertawa. Aku menanti-nanti apa semua ini memang karena ulahnya atau bukan. Ya terus siapa lagi.
"Bodoh banget, sih. Itu bukan lingkaran yang bisa ngancurin kamu kalau kamu sentuh," posisi kami sejajar karena dia masih berjongkok. "Kalau kamu marah di sekitar situ, baru lingkarannya aktif. Efeknya juga aktif."
Kulitku banjir keringat sampai membuat pandanganku tak jelas ketika melihatnya.
"Awalnya aku mau mancing kamu marah dengan mengejek-ngejek Qiby. Yah, untung aja sih, kamu kasihan ke anak itu. Jadi beneran marah dan sihirnya aktif, kan?"
Umpatanku keluar.
"Kak Shia, udah! Kak Nath bisa mati."
Ucapan Kak Aldo ternyata bener, ya.
"Ayolah cepet bunuh aja. Gak usah siksa-siksa begini. Kasihan Qiby-nya harus ngeliat ini!" Walau berteriak, tapi yang keluar hanya sebesar cicitan.
"Apaan, Nath. Gak kedenger." Tangannya disimpan di dekat telinga, mencoba mendengar lebih jelas.
Posisiku sudah tengkurap, mencakar-cakar tanah sebagai metode pertahanan diri. Kekuatan dia gak ngotak.
Halah, kau-nya saja yang lemah, Nath.
Masih kalah pintar.
"Coba aja tadi kamu ngelewatin lingkarannya dan hajar aku pake pedang kecil itu dengan lebih kuat. Aku yang bakalan mati."
Gak usah ngejek!
"Makanya, jangan cuma ngandelin pengalaman. Sihir kan bisa berkembang. Pake semua kemungkinan dan biasain mikir cepet!"
Kok aku dimarahi.
"Udah, ya. Selamat tinggal, Nath Pirssien. Aku benci kamu kok, gak usah khawatir."
Aku tidak tahu apa Qiby selamat atau tidak. Aku harap sih, iya. Nampaknya dia terikat suatu kontrak dengan Shia. Sungguh malang sekali nasib gadis itu harus selalu berada di bawah tekanan si iblis yang tak berperike-Nath-an.
Aku tidak tahu apa Qiby selamat atau tidak.
Karena aku sendiri ... tidak selamat.
yang nyadar suatu hal tentang flc belakangan, pasti tahu siapa anggota terakhir four finalion.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro