8) noriaki, miki; pelenyap jiwa noriaki, dan sebaliknya
c h a p t e r 8
Harutaki Noriaki
miki; pelenyap jiwa noriaki, dan sebaliknya
Menurut aku, menjadi orang yang menyaksikan kematian orang lain itu adalah hal paling menyakitkan di dunia. Terlebih jika dia orang yang dirimu kenal. Untuk sesaat, kau pasti tidak akan percaya. Yuma ini, aku baru kenal satu hari. Dia membantu aku menemukan pencuri yang mencuri uangnya Naru. Kesan pertama yang lumayan. Seenggaknya dia bisa aku jadikan teman.
"Sihir bobrok."
Reez menampilkan ekspresi terluka yang paling dalam sembari memalingkan muka dari makam. Aku yang berdiri di sampingnya jadi bisa menyaksikan dengan jelas akibat ketragisan pembunuhan tak terencana itu pada temannya. Ketika di kedai, mereka berdua (Yuma dan pembunuhnya) seperti sama-sama terkejut mendapati kehadiran masing-masing di tempat dan situasi tak terduga itu. Aku tidak benar-benar bisa dikatakan bagian dari kelompok mereka. Tapi aku juga dapat merasakan sakitnya kehilangan teman dekat.
Entah, kalau itu terjadi sama Naru. Dia lebih dari sekadar teman dekat.
"Sayang, kau menyadari selama ini anak kita bergabung dengan aliansi sihir yang tidak jelas?"
Dengan cepatnya, alis itu berkerut dalam seperti tersinggung. Si Kakak paling tua dari 'aliansi sihir'.
"Aku tidak tahu. Aku kira dia hanya bermain kasti saja seperti biasa."
"Tapi tidak mungkin kalau hanya bermain kasti bisa sampai kehilangan nyawa begini."
"Saya mau ke tempat Sura aja." Reez berbisik ke teman di sebelahnya (bukan aku) dan pergi dari area pemakaman itu. Bukan. Area sindir-sindiran.
Meski tahu kedua orangtua Yuma menyalahkan perkumpulan sihirnya secara terang-terangan di depannya, Kak Kree hanya bereaksi tersinggung tanpa membalas apa-apa. Raut mukanya kurang menunjukkan kebersalahan atas ketidakhadiran dirinya yang mungkin menjadi salah satu penyebab Yuma meninggal. Tidak adanya perlindungan.
Pada saat itu, Ayah dan Ibu Yuma berdiri. Masing-masing matanya merah akibat menangis sekaligus murka. "Tolong dengarkan ini. Kalian, sebagai perwakilan pesihir yang menggunakan sihirnya dengan tidak bijak, kami berkata pada kalian bahwa kami tidak akan lagi menghargai siapa pun yang ketahuan memiliki sihir. Mulai saat ini kalian kami anggap sebagai manusia tak bernurani yang pekerjaannya hanya membunuh, dan saling membunuh saja. Kami keluarkan kalian dari definisi manusia normal."
Tanpa disertai permisi, dan lirikan yang masih tajam, kedua orang itu meninggalkan aku dan Kak Kree berdua di pengistirahatan terakhir teman kami itu.
Kak Kree hanya mengepalkan tangannya saja.
"Kamu, kenapa tiba-tiba ada di sini?" dia bertanya ke aku.
"Tiba-tiba gimana? Kan ngehadirin pemakamannya Yuma."
"Maksudnya bersama Sura, Reez, dan Yuma." Ada kekesalan dalam suaranya seolah tak suka mendapati orang lain masuk dengan sembarangan ke kelompoknya. Padahal ini tidak sembarangan. Lagian aku juga belum bener-bener masuk ke guild itu.
"Kebetulan aja mereka bantuin Haru nemuin pencurinya. Jadi Haru ngikut." Aku menjawab santai dibanding dia yang menunjukkan ketidak-kaleman.
Kak Kree mendengus, ikut pergi setelahnya. Sekarang tinggal aku aja yang ada di situ, bersama makam Yuma. Sebelum benar-benar meninggalkan tempat itu juga, aku berjongkok, memerhatikan nama yang tertera di batu nisan.
Yuma Georrac.
Belum benar-benar kenal, tapi hati aku teriris melihat tanda penunjuk meninggalnya seseorang pemilik nama tersebut. Begitu cepatnya orang yang baru aku temui pergi meninggalkan orang-orang di sekitarnya termasuk yang baru hadir ini (aku). Lebih dari sekadar pulang ke rumah. Kau tidak akan bisa bertemu dengannya lagi kecuali jika kau menyusulnya dengan ikut menghentikan detak jantungmu.
Tiba-tiba aku kepikiran Naru. Dia ada di sana ketika penembakan itu terjadi. Sama-sama tegang seakan tak menyangka dengan keadaan itu. Tapi kenapa dia ditargetkan oleh Clofan Vertasy? Clofan Vertasy. Guild tersohor yang kami tonton kemarin di parade. Ada yang aneh di sini. Apa yang terjadi dengan Naru kemarin malam setelah kami berpisah?
Aku kembali ke tempat kemarin aku bermalam, penginapan yang menyatu dengan asrama. Maksud aku selain kamar yang disewa perhari, ada juga semacam kamar yang dibayarnya perbulan. Jadi untuk pelancong macam aku yang berniat menetap di kota lebih lama tapi tak punya banyak uang untuk membeli rumah, jawabannya adalah asrama!
Aku menyusul ke kamarnya Sura, tempat dia memutuskan diam dan tidak pergi ke pemakaman Yuma, tidak tahu apa alasannya. Di pintu yang terbuka itu, sudah ada Reez yang duduk di kursi meja belajar dan Kak Kree yang berdiri menempel ke tembok. Kedatangan aku ke sana tiba-tiba membuat kondisinya jadi hening.
"Kenapa? Kok diem," kata aku. "Haru cuma dateng, nggak mancing keributan."
Sepertinya salah, nge-jokes dalam keadaan berduka begini. Aku langsung minta maaf.
Kak Kree mengembuskan napas. "Yang tadi aku juga maaf, nggak ada maksud bikin kamu nggak nyaman di sini." Kepalanya menunduk sambil bersedekap dada. "Aku cuma kesel, kenapa pas itu aku nggak ada di sana. Kalau gitu kan, seenggaknya, pistolnya ...."
Dia tidak menyelesaikan kalimatnya dengan pergi dari tempat itu. Mungkin tidak ingin tangisannya terlihat oleh teman-temannya. Kecuali aku, karena aku masih ragu apa dia sudah menganggap aku teman atau belum. Bukan masalah.
Kala suasananya masih dikuasai sepi yang bahkan bagi orang luar seperti aku saja terasa memilukan, aku berdeham-deham. "Jadi, guild-nya masih lanjut, kan?" Aku bilang begitu untuk memunculkan harapan di hati mereka, agar jangan padam meski ada salah satu anggotanya yang telah tiada.
Reez mengangkat wajahnya, menghadap aku. Rautnya tak seramah kemarin. "Orang luar mending keluar aja."
"Reez!" peringat Kak Sura.
Sakit, sih. Tapi tak aku anggap apa-apa karena pikiran mereka pasti sedang kacau akibat kepergian Yuma yang mendadak.
"Gara-gara dia kan, dan yang namanya Hanaru itu, yang kayaknya punya konflik sama Clofan Vertasy tapi malah kita yang terlibat, yang jadinya berujung apa? Yuma mati."
"Reez!"
Tega sekali dia menyebut Yuma mati di depan orang yang tidak sanggup pergi ke pemakamannya barangkali karena masih tak rela.
"Haru pergi aja. Maaf udah ganggu."
"Jangan," ini yang ngomong tentu saja Kak Sura. Jangan berharap ke si paling menyalahkan itu. "Di sini aja. Reez cuma bercanda tadi. Kamu nggak salah apa-apa kok."
Betul. Tidak ada yang betul dari saling menyalahkan atau menyalahkan orang lain. Apalagi menyalahkan dia yang merupakan orang luar guild seperti aku. Patutnya ya jadi bahan evaluasi saja.
"Reez." Suara Kak Sura bertambah lemah. Dia juga menundukkan kepalanya seperti Kak Kree. Pasti karena tak ingin menunjukkan kesedihan mendalamnya pada kami, walau kami sudah tahu sedih yang paling dalam itu milik Kak Sura. Katanya dia yang paling dekat dengan Yuma.
Aku menyimak.
"Bisa berubah jadi Yuma? Q pengen ngobrol sama Yuma ... untuk terakhir kalinya."
Permintaan yang sulit, mengingat tadi dia menghentikan cercaan Reez terhadap aku. Mungkin saja Reez sekarang jadi ikut dendam ke Kak Sura yang tidak bersalah.
Huh, hubungan yang rumit.
"Iya, Neechan. Saya di sini."
....
Sendi-sendi tulang aku tetiba kaku. Perubahan wujud itu berlangsung secepat kedipan mata. Di ruangan tak terlalu luas yang remang-remang itu, melihat lagi seseorang yang pemakamannya baru saja aku kunjungi, aku merasakan tubuh aku merinding.
Tapi aku putuskan untuk hanya memalingkan tatapan, tetap berada di situ untuk lanjut menyimak.
Tapi lagi, yang terdengar bukannya dimulainya obrolan, melainkan suara tangis Kak Sura yang serasa membuat hati aku pecah lagi.
Kemarin dia tidak menangis. Atau mungkin, tangisannya serupa perasaan sakit yang tak terlihat mata manusia.
"Yummy. Maafin Neechan ya, nggak bisa lindungin Yummy ...."
Kok Haru jadi pengen nangis juga. Padahal Haru kuat.
"M-maaf juga, Neechan, belum siap dateng ke ... makam ...."
Kak Sura, jangan sakitin diri Kakak sendiri dong.
Aku ikut menyembunyikan muka dan langsung paham bahwa hal ini memang wajar dilakukan ketika sedang bersedih.
"Yummy. Walaupun cuma bentar, makasih ya udah dateng ke hidup Neechan. Yummy yang bahagia di sana. Nanti Neechan juga bakal nyusul."
"Kak Sura!"
Untung pencahayaannya minim dan air mata aku pun cuma keluar dikit.
Itu aku yang ngomong tadi, menghentikan kalimat terakhirnya yang bernada tak sedap. "Nyusulnya nanti aja, Kak. Kalau udah waktunya," kata aku. "Sekarang Kakak masih harus perjuangin guild ini, kan?"
Mereka berdua diam seolah ragu. Padahal aku di sini yang orang luar guild. Tapi kenapa aku yang nampaknya semangat?
Ketika itu Reez sudah mengganti lagi rupa dirinya dengan dia yang asli. Melihat ke arah aku tidak lagi dengan pandangan tak suka, tapi ternyata, yang dia tuju itu arah belakang aku, ambang pintu, celah di mana Kak Kree muncul, bersama orang asing.
Eh, tidak, dia bukan orang asing. Wajahnya seperti baru kemarin aku lihat.
Kemudian Reez yang bangkit dari kursi dengan tidak kalem, menatap galak pada si perempuan itu. Segera saja hal tersebut menyadarkan otak aku yang jarang berpikir ini.
Oh, iya. Dia. Kemarin ada di sana. Teman pembunuhnya Yuma.
"Ada yang mau ketemu kita. Rai."
.
"Yang namanya Hanaru itu, dia harus dibunuh."
Aku nyaris mencekiknya tapi langsung Kak Kree hentikan. Jalanku baru mencapai setengah. Kemudian aku berdecih. "Gak guna banget ke sini cuma buat bilang gitu. Kopikir kita bakal percaya."
"Terserah." Tampang datarnya menyebalkanku. "Kemarin lusa, di hari parade, aku mengikuti kalian." Entah siapa yang dia maksud sebagai 'kalian'. "Bukankah kamu kehilangan uang untuk membeli sihir terus dibantu oleh dua orang lainnya?"
Decihan aku keluar lagi.
"Kalian, kamu dan Hanaru, bertengkar di depan kedai sihir," matanya lurus menatapku biarpun jarak berdiri kami terbilang agak jauh. "Tapi kamu tetap memasukkan uang yang berhasil kalian temukan itu ke tasnya Hanaru. Hanaru lari, dikejar Harutaki. Pas Harutaki pergi, di situlah, pengendali pikiran muncul, nyamperin Hanaru."
Sekejap, ruangan terasa penuh tekanan.
Pengendali pikiran? Alis aku mengernyit memikirkannya, tapi juga ada rasa tegangnya.
Rai diam sebentar. "Intinya pengendali pikiran itu nyuruh Hanaru buat beli bulu pena. Yang setelahnya, Hanaru boleh menggunakan sihir itu hanya untuk membunuh pesihir lainnya."
Gimana maksudnya?
"Tunggu," Kak Kree menyela. "Gimana caranya kamu bisa nguping?"
"Mengubah diri menjadi kecil."
Yang tadi gimana maksudnya?
"Jadi," Kak Kree mewakilkan kami bicara lagi, "Hanaru harus dibunuh biar nggak ada pesihir lain yang jadi korban?"
Di saat Rai mengangguk, aku menggerak-gerakkan tangan karena tak nyaman dengan situasi itu. "Wey, wey, wey. Jangan main provokasi gitu aja dong, sembarangan bilang Naru harus dibunuh. Kamu bohong, kan?"
"Sekali lagi aku bilang, terserah, mau percaya atau enggak. Yang penting aku udah peringatin. Sebagai pesihir juga, kalian harus waspada. Apalagi waktu itu kan kalian sempet bertengkar sama Hanaru. Bisa aja grup kalian yang bakal jadi target pertamanya."
Bicaranya Rai yang percaya diri seolah berkata jujur itu benar-benar bikin aku sebal. Tentu aja aku nggak bakal langsung percaya karena ini menyangkut Naru.
"Lalu kemarin pagi aku dan Riq pergi ke kedai sihir untuk mencegah Hanaru membeli bulu pena. Tapi ...," huruf i-nya dipanjangin, "aku juga nggak tau Riq ternyata punya hubungan pertemanan dengan Yuma sebelumnya. Dulu mereka sering main bola kasti bareng sebelum terlibat dengan sihir-sihiran. Dan nampaknya, Riq nggak kasih tahu ke Yuma bahwa dia gabung dengan sebuah guild sihir. Alhasil, kejadian kemarin nggak terelakkan."
"Oh ...." Yang ini juga huruf h-nya panjang. Yang ngomong Kak Sura ngomong-ngomong. "Pantes. Q kayak yang pernah liat ...."
Rai senyum, senyum getir. "Jadi, aku pun ingin bilang." Bernapas sebentar. "Riq, gak sengaja nembak Yuma karena saat itu dia emosi dan nggak bisa ngendaliin diri gara-gara 'diserang' Yuma. Dia membela diri dengan cara begitu. Dan aku akui itu perbuatan yang sangat salah."
"Maksudmu apa bilang begitu ke kami?" tampik Kak Kree.
Rai senyum lagi, senyum arogan. "Itu cuma kesalahan pribadi, bukan guild. Kami sama sekali nggak ada niatan buat ngebunuh anggota guild lain. Kami punya tujuan sendiri dan jelas itu nggak ada kaitannya dengan bunuh-bunuhan. Kejadian kemarin, sebagai kesalahan individu, aku mewakilkan untuk minta maaf. Setelah ini, aku harap kalian tidak berpikiran tentang guild kami yang anarkis. Permisi."
Seiring derap langkahnya yang terdengar bergema di ruangan kamar itu, kemudian lenyap, kemudian diam, Kak Kree lalu memukul tembok. "Apanya yang kesalahan individu. Jelas-jelas mereka tahu Yuma bagian dari guild-ku makanya menyerang. Ya walau aku nggak bener-bener yakin apa mereka tahu soal aku yang mengincar mereka, kemungkinan itu masih besar."
"Anu." Saatnya aku pergi.
Mereka menatap aku, dan aku menatap mereka.
Saling pandang dulu sekajap.
"Yang dia katakan tadi soal Naru, biar Haru aja yang urus. Udah cukup sampai sini Haru nyusahin kalian." Aku menundukkan kepala sedikit. "Terimakasih atas bantuan kalian selama ini ke Haru. Maaf kalau Haru ngerepotin."
Reez sudah pasti senang aku pergi. Kak Sura pun bahkan tidak menghentikanku saat aku mulai melangkahkan kaki meninggalkan mereka. Cuma Kak Kree yang menyusul aku sampai ke lorong. "Mau ke mana kamu?"
"Ngurus Naru-lah. Dia tanggung jawab Haru."
"Bakal balik lagi nggak?"
Aku tak perlu berpikir. "Kayaknya nggak, Kak. Udah cukup Haru ngerepotin kalian. Terlebih kata Reez tadi, secara gak langsung, emang gara-gara masalah Haru, Yuma meninggal. Kalau kalian sekarang ikut bantu mengurusi Hanaru, nanti takutnya bakal ada korban lagi."
Kak Kree bergerak sedikit, antara masih ingin mempertahankan aku, tapi juga ragu. Kemudian dia senyum ramah. "Soal Sura, kayaknya dia trauma karena udah dua kali nyaksiin kematian temannya secara langsung. Mungkin untuk sementara, dia gak mau nerima orang baru dulu. Takutnya bakal ngalamin 'itu' lagi. Jadi Sura bukannya bener-bener gak mau Haru masuk sini."
"Iya gapapa. Haru terima-terima aja. Dan kalau emang itu yang terbaik, Haru pasti bakal balik ke sini."
"Soal Hanaru itu, Haru percaya?"
Sulit. Aku membalikkan badan. "Nggak tahu. Sekarang Haru mau nyamperin Naru dulu aja. Haru ke sini kan bareng dia."
Setelah itu, sekali lagi Kak Kree menawarkan guild-nya untuk aku masuki jikalau nanti aku merasa kehilangan arah. Tentu aja aku menyambutnya karena memang aku butuh tempat bernaung lain kalau-kalau terpaksa aku harus melepaskan Naru sebagai jalan terakhir.
....
Sebenernya pas malam itu aku ngejar Naru, aku sadar Naru ada di situ, di reruntuhan bangunan. Tapi melihat dia yang malah berlari saat aku kejar, seolah nunjukin dia yang benar-benar ingin lepas dari saudara kembarnya ini, aku memutuskan menyerah meski besoknya aku masih saja mampir ke kedai sihir untuk mencarinya.
Aslinya nama panjang Naru itu Noriaki. Hanaru Noriaki. Sama kayak aku. Tapi dengan mantap setelah dia tiba-tiba yakin aku yang membunuh ibu, nama asing berupa 'Miki' itu langsung menghampiri dirinya. Mungkin aku tidak lagi mengenali Naru sebab Miki itu tadi. Dia berubah galak kayak bukan lagi saudara kembar aku.
Hari itu, pas ibu meninggal, Naru lagi nggak ada di rumah. Cuma aku dan ibu yang seperti biasa menjalani aktivitas masing-masing. Kala itu, seorang tamu asing tiba-tiba aku lihat ada di ruang tamu, sedang ngobrol sama ibu. Laki-laki, perawakannya agak gede dari tampilan usianya.
Aku curiga. Tapi nggak tahu harus berbuat apa. Kalau aku menghampiri dan menunjukkan kecurigaanku begitu saja, dia pasti akan langsung murka dan menyerang. Tapi dengan aku berdiam diri pun, tetap berdiri di situ untuk menguping, tamu asing itu tetap membunuh ibu.
Sulit sekali aku mencegahnya. Tak terdengar suara aneh apa pun untuk membuat aku menengok ke ruang tamu itu. Ibu sudah kehilangan nyawanya dengan bercak darahnya yang tetiba berubah hitam. Ibu tergelepar dengan posisi tak masuk akal. Dan pada saat itulah, Naru kembali ke rumah. Yang berarti harusnya, Naru tak pernah kembali ke rumah karena kepribadian 'Miki' itu telah menghinggapi tubuhnya; menyalahkan aku sebagai penyebab kematian ibu. Setahu aku, Naru tidak akan mudah curiga begitu ke aku. Dia habis dari mana atau habis menemui siapa?
Saat aku ikut kesal karena Naru terus-terusan mengeluarkan perkataan kasar ke aku, tiba-tiba dia ingin melakukan perjalanan jauh untuk mendapatkan sihir. Tapi katanya sihir itu dijual dengan harga mahal. Awalnya aku nggak ada niat untuk membantunya mengumpulkan uang. Tapi kala itu sedikit-sedikit, aku seperti kembali menemukan 'Noriaki' dari dalam dirinya. Rasanya sudah lama sekali biarpun hanya seminggu, dia meminta bantuanku lagi. Gimana aku bisa nolak?
Puncaknya, ketika malam itu aku melihat Naru yang sudah benar-benar di luar kendali; menghindari kejaranku, perlahan muak yang selama ini aku pendam pun akhirnya muncul ke permukaan. Aku merasa sudah tak sanggup lagi mengurusinya. Hanaru terlalu berubah.
Dan apa katanya tadi, Hanaru dikendalikan pengendali pikiran? Akan membunuh pesihir lainnya?
Oh, tentu aja, aku percaya.
.
Aku kembali ke kedai sihir, bertanya ke penjaga sana apa Hanaru telah membeli sihir atau belum. Jawabannya adalah sebuah anggukan. Aku lalu membalikkan badan dengan segala emosi di hati.
Ke mana kamu, Hanaru.
Aku berjalan-jalan di sekitaran situ, fokus mencari seseorang yang siap aku urusi. Nampaknya nanti akan menjadi pertemuan terakhir kami, entah aku atau dia yang bakal mati. Meskipun yang dia tahu aku bukan pesihir, sangat bisa saja dia juga akan menghabisi nyawaku, orang yang menghalangi tujuannya selama ini. Pada dasarnya dia sudah benci aku. Jadi aku merasa percuma jika meneruskan berjuang keras sendirian. Biarpun ada kemungkinan dengan kekuatan persaudaraan Hanaru bisa berubah kembali, bukannya harus dibunuh kata Rai tadi?
Ya sudah.
Ketika aku berjalan lambat, sekuntum mawar hitam tetiba jatuh di depan kakiku, otomatis menghentikan langkah. Aku mendongak ke samping, menemukan pelaku yang melemparnya. Setahuku mawar hitam melambangkan kematian.
"Masih aja di sini. Mau beli sihir juga?"
"Kan uangnya udah dipake kamu."
Aku dan dia saling memberi tatapan yang sama. Kalau bisa, aku ingin melemparnya dengan mawar hitam juga.
Dia berdiri dari duduknya, tapi kontan aku menginterupsi. "Ada banyak orang lho di sini. Mau dikatain lagi sihir itu berbahaya?"
Walau kenyataannya ya memang berbahaya. Bisa menyebabkan seseorang trauma sampai memutuskan untuk mengambil cuti terlebih dahulu dari menerima orang baru.
Dia setuju, berjalan mengikuti langkahku menuju tempat sepi. Ke sebuah arena pertarungan antar saudara kembar yang tak lagi saling memahami.
"Mancing banget ya, pengen Naru bunuh."
Tajem banget itu mulut. Hanaru yang Harutaki kenal telah benar-benar lenyap dari dunia. Tak pernah aku sangka pun akan melontarkan seringaian nyata ini pada orang yang dulunya sangat aku sayangi itu. "Iya. Bunuh aku dulu Nar, sebelum yang lain."
Perkataan Rai memang benar.
Hanaru berada di bawah pengaruh pengendali pikiran.
Mawar hitam itu kembali menyapa ujung sepatuku. Aku melihat ke arahnya, mengamati dirinya sekejap sekaligus mengulas masa lalu bersamanya yang terasa menyenangkan. Tapi itu hanya jadi kenangan. Apa pun yang aku pikirkan setelah ini, aku tak boleh membiarkan dia hidup untuk pergi dari tempat ini dan menuju tempat lain demi melancarkan misi tersembunyinya. Aku harus melindungi para pesihir.
Kukeluarkan bulu pena yang selama ini aku sembunyikan dari semua orang. Tidak menyangka lagi pertama kalinya kekuatan ini aku gunakan justru kepada saudara kembar sendiri dengan niat menyakiti, ralat, menghabisi nyawa.
Aku tidak mau menceritakannya dengan rinci. Bagaimana pun juga dia tetap saudara kembar aku.
Yang jelas sekarang, para pengguna sihir itu terutama Rai, tak perlu lagi khawatir akan adanya manusia pembantai pesihir yang menghantui jantung mereka.
Menggunakan satu serangan, nyawanya pun lenyap di tangan Harutaki Noriaki.
clue sudah muncul di chapter kemarin.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro