Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5) romanter, 23 jam 59 menit tak bertemu dia yang menghibur tangisan

c h a p t e r 5
Ana Romanter
23 jam 59 menit tak bertemu dia yang menghibur tangisan

Seberapa sering kamu merayu seseorang?

Ah, enggak mesti ke lawan jenis kok. Aku sebagai yang merasa ahli saja selalu menomor terakhirkan pilihan itu. Merayu enggak selalu berhubungan dengan cinta. Bisa saja maksudnya mengajak seseorang untuk bergabung dengan suatu perkumpulan juga, kan? Nah, aku memanfaatkan kespesialanku itu pada hal-hal semacam itu.

Ketika diberitahu bahwa ada satu pengguna elemen baru, jiwaku langsung bangkit. Urusan ini sangat penting untuk kelangsungan guild. Harusnya sih bukan aku yang paling semangat. Tetapi sepertinya aku yang paling semangat dan 'paling dipercaya' untuk merayu si pengguna elemen baru ini bekerja sama dalam satu dua hal. Memang untuk itulah fungsiku sebagai anggota guild.

Begitu mendapat laporan, selama seharian itu aku berusaha membentuk rencana yang bagus. Memang, aku sudah handal dalam ilmu per-rayu-an. Tetapi tetap saja apalagi terhadap orang baru yang sama sekali belum pernah kutemui, aku harus mempunyai banyak rencana.

Besok eksekusinya, aku sudah sangat tidak sabar bertemu dengan sihir yang sejenis denganku ini!

"Yang namanya Sura katanya, Rei." Aku terus melongokkan wajah ke tempat mereka berlima berkumpul. Aku dan Rei yang diutus. Katanya si pengguna elemen baru ini sudah bergabung dengan guild yang belum resmi. Kulihat sih anggotanya sudah lima. Mengapa belum resmi, ya?

"Mau Rei ke sana buat dengarin apa yang lagi mereka obrolin?" Rei ikut-ikutan melongokkan kepala, berusaha melihat ke lingkaran yang menyudut di dekat pohon tunggal berukuran tak terlalu besar. Sepertinya ini markas mereka biasa berlatih.

"Tunggu dulu. Bisa bahaya, Rei. Walau kita udah tau apa aja kekuatan mereka dan katanya soal mereka yang masih amatir, siapa tau dalam semalam skill mereka langsung melejit. Kita liat dulu aja." Jari-jariku yang tertempel di pinggiran tembok rumah tempat aku dan Rei bersembunyi, bergerak-gerak dengan tidak sabar seolah aku sama-sama ingin segera beraksi.

Yang ketua omongkan kemarin, kekuatannya tuh shapeshifter dan rantai. Sura itu perempuan yang tangan kanannya dibebat. Ah, berarti gadis yang sedang duduk dengan memeluk lutut itu! Ahh, posisiku dengan mereka terlalu jauh. Wajahnya tak terlalu bisa aku tandai.

"Rei, aku pengen ngeliat mereka lebih deket. Tapi gak ada lagi yang bisa dijadiin tempat sembunyi. Lahan itu bener-bener kosong. Pandai juga ya mereka seolah bisa mengira gak akan ada mata-mata yang berani mendekat."

"Kita ini mata-mata ya, Kak? Keren juga." Rei berceloteh di belakang punggungku, membuatku menoleh pada anggota termuda guild-ku ini. Otomatis aku memerhatikan dia yang kali ini tengah menjadi partner-ku itu.

Aku agak takut-takut Rei dipasangkan denganku untuk melaksanakan tugas elemen ini. Kenapa harus Rei? Kan masih banyak anggota lain yang tak perlu membuatku merasa khawatir karena aku seperti punya dua tugas di mana harus melindungi si anggota bungsu ini juga. Bukannya aku meremehkan kemampuannya. Hanya saja kan, ini tugas pertama Element Project. Kenapa harus Rei?

"Kak Ana. Liat lagi ke depan dong. Itu mereka diserang."

'Hah'-ku tercipta lewat membulatnya kedua mataku, spontan membalikkan kepala kembali pada fokusku semula. Dan bola mataku membulat lebih besar.

Be-beneran ada yang nyerang. Kok bisa?

Bunyi tembakan senjata jarak jauh dan rantai yang digerakkan secara brutal dan lincah, membuat seketika suasana sekelilingku seperti dilanda perang. Memang di sini tak banyak penduduk yang terlihat. Tapi tetap saja. Sekian lama aku tak melihat lagi pertempuran sihir, ini ... rantai dan pistol, aku ngeri.

"Kak Ana, Kak Ana, sembunyi. Nanti kita bisa kena." Rei menggerak-gerakkan sikuku seperti sama-sama ketakutan.

Tapi ucapan mustahil Rei sama sekali tak kugubris. Maksudnya kan dari tadi kami emang udah sembunyi, ngapain sembunyi lagi. Aku cuma masih kaget, sama sekali tidak menyangka akan melihat hal seperti ini di tengah-tengah misi yang paling kunantikan.

I-ini serius? Kenapa mereka diserang?

"Kak Ana. Ayo."

"Rei." Aku berhasil mengeluarkan suara meski sedikit bergetar. "Sura-nya. Sura-nya. Lihat Sura-nya. Dia ada di mana?"

Padahal pandanganku masih mengarah ke sana. Tapi dengan dihalangi serangan-serangan tembakan senjata dan rantai itu, aku kesulitan menentukan fokus. Mendadak seperti ada banyak bayangan tercipta yang terbentuk hanya untuk merusak konsentrasiku.

Aku harus tenang. Aku harus tenang.

Bagaimana caranya aku menangkap Sura di tengah kondisi seperti ini? Si pengguna rantai itu bisa saja langsung menyakitiku jika aku ketahuan menculik salah satu teman kelompoknya. Belum lagi masih ada tiga laki-laki lain yang melindungi Sura. Astaga, rencanaku kemarin apa, sih.

"Rei. Tetap di belakangku, ya. Jangan langsung main lari gitu aja." Tak ada sahutannya dari belakangku membikinku langsung menyangka kalau Rei, SUDAH MASUK KE MEDAN PERANG. Argh, telat.

Baiklah.

Aku hanya harus percaya pada kemampuanku. Aku adalah anggota guild terkemuka, lho.

Aku berkonsentrasi, menghirup napas panjang sembari memejamkan mata, fokus pada apa yang akan kuciptakan. Rei tidak akan kena, dia transparan.

Kukeluarkan bulu penaku, mata masih terpejam. Ini, mantra yang sangat dahsyat, aku tak perlu ragu mengeluarkannya.

Dan.

"REI!"

Mata membuka, tatapanku kontan menangkap satu-satunya orang yang bergerak seperti ditarik oleh seseorang. Mereka semua akan kesulitan bergerak karena aku telah menyebabkan banjir. Rei akan menarik Sura hingga ke sini hingga kami bisa kabur.

Tapi.

"Yuma, lindungi Sura! Reez, jadi Sura!"

Apa, apa.

Harusnya terjadinya tidak secepat itu. Rei yang bertubuh kecil meski tidak terlihat, tetap saja kalah oleh seekor gorila yang tiba-tiba muncul di arena. Aku menahan teriakan, meluncur menuju tempat kejadian perkara. Air bah yang kuhasilkan sampai seukuran paha mampu melemahkan pergerakan mereka. Meski aku pun basah, tapi airku sudah berteman akrab denganku, aku berlari seperti layaknya di tengah udara.

"Reez, masuk ke belakang Yuma!"

Ahh, mengganggu saja. Kepalaku jadi terdistraksi.

Aku belum mencapai sang target. Dan penglihatanku dikejutkan oleh adanya dua orang berwajah Sura. Sama-sama dibebat, sama-sama berdiri di belakang si gorila. Rei ke mana?

Sudahlah.

Banjir itu kulenyapkan dan membuat seombak air baru menghantam ketiga orang itu. "Rei, bawa salah satunya!" Meski tak terlihat, aku yakin Rei masih ada di sana, di dekat posisi gorila dan dua Sura itu barangkali. Aku pun menangkap salah satunya, mencekal tangannya untuk kubawa kabur.

"Nisha!"

Jeratan rantai panjang hampir saja mengenai diriku sebelum hancur ditembak oleh sesuatu. Aku sempat berhenti dan orang di belakangku mencoba melepaskan diri. Untungnya tenagaku lebih kuat hingga aku berhasil membawa orang ini ke tempat persembunyianku dan Rei tadi.

.

Ironis sekali. Setahuku, jarang sekali anggota Clofan Vertasy yang gagal dalam menjalankan misi. Rei dan aku sih berhasil selamat dari serangan apa pun yang bisa saja mengenai kami. Tapi, tawanan kami salah.

Orang yang aku tangkap itu bukan Sura. Tapi seorang pengguna sihir yang mengubah dirinya menjadi Sura. Dia laki-laki, tampangnya sangat ketakutan begitu dengan kesalnya kumasukkan dia ke sel penjara bawah tanah.

KENAPA BISA SALAH?

"Kak Ana sabar." Sepanjang hari Rei terus berada di samping muka memberengutku. "Ini salah Rei, karena Rei gagal mengalahkan gorila itu hingga Sura-nya dibawa lagi."

Itu bukan ucapan permintaan maaf Rei atau semacamnya yang pertama. Ini jelas adalah salahku. Tapi Rei juga berpikir bahwa ini adalah salahnya. Salah kita berdua. Tetapi tetap saja sebagai penanggungjawab misi ini, aku merasa begitu kecewa sekaligus menyesal. Seharusnya aku bisa berusaha lebih keras lagi. Tapi serangan itu, ada orang lain yang menyerang kelompoknya Sura. Apa tujuannya dia?

Element project ini, hanya anggota guild saja yang tahu. Atau .... Tidak, aku tidak boleh memikirkan dia.

Sudah satu harian penuh, aku mendiamkan si tawanan yang terus menunduk seolah tak berani menatap wajahku atau Rei. Padahal muka kami juga tidak seram. Apa dia seseorang yang penakut?

"Hey." Karena tidak tahan berada di satu ruangan yang sama dengan saling mendiamkan, aku berujar keras padanya, menyuruhnya mengangkat kepala. "Kenapa bisa-bisanya kamu berubah jadi Sura? Rela mengorbankan diri?"

Laki-laki yang tangannya terborgol ke belakang itu memainkan bola matanya dalam kegelisahan yang kentara. "Begitulah." Suaranya sangat pelan seperti sangat kehausan. "Baru kali ini, akhirnya saya direkrut ke suatu guild. Enggak ada salahnya, mengorbankan diri."

Oho, begitu. Tapi sayangnya aku tidak tertarik pada cerita murahan seperti itu. Ternyata benar juga soal tidak semua pemilik sihir itu orang hebat. Buktinya laki-laki macam ini, seperti baru saja melihat bentuk dunia yang sesungguhnya.

Rei menyikut pelan lenganku. "Cari tahu tentang Sura, Kak."

"Benar, Sura itu pengguna elemen bumi?" kumulai instruksiku pada si tawanan. Ketika dia mengangguk seolah hanya itu yang bisa dia perbuat karena tak bisa meloloskan diri, kutanyakan nama dan kekuatannya.

Reez, sihir pengubah identitas. Dia bisa menjadi siapa saja, mengubah gender, tinggi tubuh, pokoknya yang hanya berkaitan dengan fisik, tanpa kepribadiannya. Sihir yang biasa saja, namun bisa sedikit berguna juga.

"Mau masuk Clofan Vertasy?"

Rei kembali menyikutku. "Kak. Gak boleh main rekrut gitu aja."

Aku menyuruhnya diam, tahu apa yang kulakukan.

Dan seperti dugaanku tentang dirinya yang seorang pengikut setia, Reez menggelengkan kepalanya pelan, kembali memasang raut putus asa. Astaga, itu membuatku kesal. Harusnya sedari awal aku menggunakan ini.

Kuhela napas sebelum mengeluarkan bulu pena. Saat tanganku basah oleh sejumput air, aku melangkah ke depan laki-laki itu lalu kucipratkan airku ke wajahnya. Rei bersuara terkejut di belakangku, mungkin menganggap perbuatanku ini tidak sopan. Kita lihat saja bagaimana hasilnya.

Reez menunjukkan wajah tersenyumnya. Tapi kembali menunduk.

Oke, orang pemalu, akan kubuat kamu terpaksa menunjukkan sisi beranimu demi cewek yang kamu taksir.

Setelah sekian lama, senyuman paling kubenci pun kutampilkan lagi pada korbanku selanjutnya. "Nah, Reez. Kasih tahu apa pun yang kamu tahu tentang Sura."

"Sura ...?" Kedua alisnya mengangkat. "Kurang tahu. Si saya baru kenal tadi."

"Kayaknya gak bakal ada gunanya deh, Kak. Orang ini beneran kekurangan informasi," kata Rei, masih berada di sana. "Kenapa gak sekalian cari tau aja soal—"

"Bukan urusan kita. Itu hak ketua." Tanpa sadar suaraku meninggi. Menyadari telah berbuat kesalahan, aku membalikkan kepala, melihat Rei yang terperangah dalam posisi duduknya. Aku mengembuskan napas. "Maaf, ini semua bikin aku frustrasi." Aku mengusap wajah, merasa lelah dengan semua ini. 

Sama seperti si tawanan, Rei menundukkan kepalanya dalam-dalam, tampak sangat menyesal. Aku jadi merasa bersalah.

"Maaf, Rei. Bisa kamu tinggalin aku dan Reez berdua di sini?" Daripada menyakitinya lebih lanjut, kusuruh dia untuk meninggalkan tempat ini saja. Emosiku belum benar-benar bisa reda.

Setelah Rei pergi dengan menyisakan bunyi gerbang jeruji besi yang dibuka (iya, kami juga berada di sel), aku menolehkan pandangan ke targetku. Kusadari ruangan menjadi lebih remang. Aku tak terlalu bisa melihati wajahnya meski kegelisahan itu masih ada. Padahal sudah kuberi mantra pemikat. 

"Saya mau diapain lagi?" 

"Kenapa kamu keliatan kayak takut banget gitu?"

Dua matanya berkedip cepat. "Kamu yandere, ya?"

Tertawaan paling kerasku mengudara di salah satu sel penjara bawah tanah yang terisi itu. Kocak sekali. Aku mendapat mangsa yang begitu polos sampai mungkin aku dikiranya psikopat? Sejak kapan aku menobatkan diri sebagai orang jahat. Tapi, dengan menargetkan beberapa orang untuk kuculik, sebenarnya itu sudah termasuk tindak kejahatan. 

"Kenapa ketawa? Berarti bukan, ya?" Wajahnya yang seperti orang kebingungan ketika bicara begitu entah kenapa terlihat lucu. Meski masih kesal, setidaknya aku mendapat penghiburan.

Aku menautkan tatapan pada satu titik di ujung hidungnya. Lanjut menatap bola mata itu dengan berani sembari melebarkan senyum. "Kalau kamu beneran suka, pasti bakal terima dong ya mau aku senakal apa pun itu?"

Keningnya mengernyit. "Saya harap sih gitu, meski sebaiknya saya nggak nerima dia yang berbuat jahat." 

"Kamu pikir aku berbuat jahat?"

"Diliat dari gelagat, iya."

Besar juga hati malaikatnya. Apa aku akan kesulitan menyuruhnya misal mati demi aku? Ah, tidak separah itu kok. Tapi kalau dia tidak hati-hati, bisa saja nyawanya melayang dan terkatakanlah Reez mati dalam misi pengabulan permintaan Ana Romanter. Aduh, keren sekali. Jika aku berharap Reez mati, maka aku beneran seorang psikopat. 

Kukeluarkan lagi senyum lebar penuh rasa mengatur. "Mau jalan-jalan berdua denganku?"

Dalam tiga detik, raut kekalahannya berubah menjadi semringah. "Jalan-jalan berdua?" Aku seperti melihat ada bintang di lingkaran hitam kecil itu. Seperti anak-anak saja. 

Aku menganggukkan kepala, masih tersenyum seperti tadi. "Tapi tentu aku menginginkan sesuatu dulu, darimu."

"Apa?" sahutannya secepat kereta shinkansen.

"Bawa Sura ke sini."

Dan lipatan di keningnya pun terbentuk. 

Tetapi sebelum dia sempat mengomentari apa pun, aku menyela, "Cuma bawa Sura ke sini. Aku gak bakal apa-apain dia, janji. Aku cuma punya urusan aja sama dia." Kubentuk tanda peace dengan telunjuk dan jari tengahku, meyakinkannya terkait ini yang tidak akan menjadi sebuah masalah. 

Reez menimbang-nimbang. Lumayan lama sampai aku mengubah posisi dudukku menjadi memeluk lutut. "Gimana caranya?"

Kepalaku terkulai, tidak seharga sekali aku memerhatikan dirinya berlama-lama hanya untuk mendapat pertanyaan macam itu. "Gampang bangetlah. Kamu bilang aja ke kelompokmu itu kalau kamu udah punya bangunan yang bisa ditinggali guild. Tapi harus kamu dan Sura dulu buat survey. Jaga-jaga, takutnya keadaannya masih nggak aman."

"Kenapa harus sama Sura?" 

"Soalnya ...," aku memikirkan jawabannya, "Karena dia pengguna elemen bumi. Oke, ganti pake alasan penjual bangunannya ingin dibuatin pajangan dari tanah. Sura udah bisa bikin sesuatu dari tanah kan sampai membentuk?"

Bahunya mengedik. "Nggak tahu, baru ketemu tadi. Dan kalau saya lihat, bukannya tangannya dibebat?"

Astaga, aku melupakan fakta satu itu. 

Ini akan merepotkan. 

"Ya sudah," kataku. "Apa pun alasannya, aku nggak mau tau, kamu harus bawa Sura ke sini. Aku gak akan nyakitin dia jadi kamu nggak perlu takut bakal ngekhianatin kelompok. Dan abis itu, ayo kita jalan-jalan berdua." 

Tidak ada gunanya aku terus menahan Reez di sana. Aku bahkan ragu teman-temannya bisa menemukan tempat ini. Jadi aku akan membuatnya terjadi lebih cepat. Dengan mengikatkan sebuah perasaan suka Reez padaku, setidaknya dia bisa sedikit kukendalikan. Mengenai hasilnya, aku serahkan ke dia saja. 

Kubilang padanya jika dalam 24 jam dia tidak ke sini, rencana jalan-jalannya batal. Rencanaku juga gagal. Aku harus mengincar keberadaan mereka lagi dan menyerang mereka lagi. Itu jelas lebih merepotkan.

.

Satu menit sebelum tepat 24 jam sejak pertemuan terakhirku dengan Reez, aku berdiri, muka datarku terpampang jelas untuk siapa saja yang tidak sengaja melihatnya. Jika kaki kanan bodohmu tak sengaja menginjak kaki kiri pintarku, mungkin tampang datar itu akan segera melukai perasaanmu dibanding bom paling mematikan mana pun itu. Jika aku bicara berlebihan, maka kurang dari nol koma satu persen, aku sedang bisa diajak bercanda.

Aku tak bisa dan tak mau mengatur napas. Langkahku sudah pasti menuju dia yang akan datang dengan membawa oleh-oleh. Kuanggap dia pemberani. 23 jam 59 menit tak ketemu, nampaknya perasaan suka buatanku itu berkembang menjadi penuh rasa menantang. Reez sudah berani macam-macam dengan sengaja mentelatkan diri.

Aku menunggu tepat satu milimeter di sebelah pintu masuk, menunggu seseorang membukanya.

Dan yang berfungsi selanjutnya bukanlah indra penglihatanku. Melainkan kupingku menerima suara gedoran pintu yang cukup keras.

"Ck."

Bersiaplah, siapa saja yang membuka pintu itu nanti.

"Kak Ana. Ini Rei."

Aku sedikit terlonjak ketika mendengarnya. "Rei?" Suaraku pun sedikit gugup. "Ngapain ke sini Rei."

"Udah seharian ini Kak Ana enggak pulang. Kakak udah makan?"

Sekelebat bayangan tetiba masuk ke dalam pikiranku yang hanya berisi tentang Reez selama 23 jam 59 menit ini. Tentu saja aku akan melupakan fakta super penting satu itu jika yang kupikirkan hanyalah hal-hal baik tentang Reez.

Aku lalu membuka pintu, mempersiapkan senyum terbaikku untuk menyambut keterlambatannya. "Oh, senang sekali bisa bertemu denganmu di detik-detik terakhir rencana kita batal. Tentu kamu bakal menggantinya kan dengan servis lain?"

Wajah orang di depan sana terlihat begitu lucu, dalam artian, aku ingin tertawa melihatnya.

"Kak ...?"

"Kebetulan aku punya idola yang sangat ingin kutemui. Bisakah kamu menjadi dia saja daripada mengelabuiku dengan berpura-pura menjadi teman guild-ku, heh?" Aku mengeluarkan ekspresi kesalku yang kutahan-tahan karena yakin Reez tidak akan mengkhianati. Double mengkhianati karena dia muncul dalam rupa lain.

Pada saat itu, muncul dua manusia dari kejauhan. Wajahnya baru bisa kulihat setelah kurang dari semenit langkahnya akan sampai menuju sini. Satu orang yang hari kemarin keberadaannya kucari-cari, dan satu orang lagi yang kubuat dia menyukaiku.

Aku tak bisa melakukan apa pun.

"Ng, maaf telat." Reez mengusap belakang kepalanya. "Saya agak lupa jalan menuju sini. Tapi saya udah bawa Sura-nya."

Iya, tanpa dia bilang pun, walau dengan mata tertutup aku pasti bakal percaya.

"Tapi saya ada syarat," masih Reez yang bicara. "Saya gak bakal masuk ke pembicaraan kalian. Tapi kamu harus kasih tahu info soal Clofan Vertasy ke Sura. Baru, nanti Sura bakal turutin apa pun katamu itu. Tapi sebelumnya kamu janji kan nggak bakal sakitin Sura?"

Kepalaku mengangguk lambat, sangat lambat, sampai rasanya aku bisa berlama-lama menatap perangai yang menemaniku di sel penjara 23 jam 59 menit lalu. Mungkin sekarang sudah 24 jam.

Reez senyum tipis. "Ya udah, saya titip Sura. Bicaranya di dalam sana, ya. Ingat lho, jika kamu macam-macam, saya nggak sendirian."

Sura memandang kepergian Reez sampai ke sudut yang tidak terlihat. Tanpa memedulikan satu orang lain yang tadi masih berada di situ, kugenggam tangan Sura dan membawanya ke tempat Reez inginkan kami bicara berdua.

Tidak jauh dari pintu, aku langsung melepaskan sentuhan itu. "Aku ingin kamu bergabung dengan Element Project. Gak ada alasan buat nolak. Projek ini sama sekali gak akan ngerugiin kamu."

Sura bengong, dan cuma diam saja tidak bertanya lebih lanjut.

Decakanku keluar. "Projek ini mengharuskan kamu mengasah kekuatanmu dulu, jadi bagus kan dengan berlandaskan alasan Element Project, kamu jadi punya alasan buat bertambah kuat."

"Element Project apa?"

"Semua pengguna sihir elemen berkumpul. Aku bilang, sama sekali gak akan merugikan kamu. Jadi gak perlu banyak mikir." Gaya bicaraku meninggi. "Dan soal info Clofan Vertasy, satu hal yang ingin aku sampaikan. Yang namanya Rei, jangan kamu dekati atau sakiti. Dia berbahaya."

Aku tidak memberitahu lebih jelas mengenai apa itu Element Project. Tentu saja, mana mungkin aku membocorkan rahasia besar guild. Tetapi aku pun tidak berkata bohong. Hanya sedikit memperhalusnya.

Kukatakan kepada Sura yang masih jelas-jelas kebingungan untuk merahasiakan kepada selain anggota guild-nya mengenai Element Project. Nanti dia akan kuhubungi lagi jika rencananya sudah hampir mendekati matang. Sekarang baru 50%.

Tak sampai setengah jam, kubiarkan Sura pergi. Aku mengunci diriku sendirian di dalam penjara bawah tanah itu, berjongkok di depan pintu. Air mata itu akhirnya bisa kukeluarkan.

"Maafin aku. Rei."

Saat itu, pintu penjara bawah tanah diketuk lagi. Aku tak memikirkan soal pipi basahku, membuka kenopnya begitu saja. Kudapati seseorang yang melihatku khawatir, atau aku mengharapkannya begitu.

"Jalan-jalan?"

Meski palsu, aku bersyukur mempunyai sihir perayu ini. Setidaknya aku memiliki dia yang meski aku melukai perasaannya pun, mungkin saja aku masih bisa dimaafkan. Selama seharian itu, aku menghabiskan jam-jam penuh penyesalanku dengan bercerita ke Reez. Dia bilang, jika aku menganggap Rei teman, dan Rei menganggapku teman, maka tidak mungkin permintaan maafku akan diabaikan.

Dan ketika aku mengatakannya ke Rei dengan rasa bersalah nampak di kedua mataku, Rei menyahuti dengan bingung.

"Perasaan kemarin Rei nggak ke penjara bawah tanah. Rei ada quest, nggak ketemu Kak Ana."

Huh?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro