Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4) snipin, penyewa yang mulanya akan dia tembak

c h a p t e r 4
Mila Snipin
penyewa yang mulanya akan dia tembak

Aku tidak akan pernah bisa, melampaui dia.

Kak Queen. Sebagai seorang bawahan, (anggap saja bawahan, karena mau bagaimana pun, Kak Queen yang merekrutku ke ASS), harusnya aku merasa segan, takut, hormat pada gadis yang jika ditilik berdasar usia pun, aku seharusnya merasa begitu.

Tapi malah benci yang mengakar.

Kak Queen sama sekali tidak salah apa-apa. Dia menjalankan tugasnya sebagai pemimpin dengan bijak dan dewasa.

Tapi tentu saja yang namanya rasa iri hampir selalu berakibat pada kebencian.

Gunakan otakmu. Tak mungkin aku terang-terangan menunjukkannya di depan dia atau orang lain. Hanya Mila Snipin saja yang boleh tahu tentang rasa benci itu, pada pemimpin sendiri.

Ketika Kak Nisha datang, aku jelas-jelas tidak menghiraukannya. Syukur karena aku ada teman bicara lain di asosiasi yang sejenis kelamin selain Kak Queen. Tapi tidak syukur jika melawan dia saja, aku tidak tahu siapa yang lebih kuat di antara kami.

Berisik, ah.

Kata-kataku kemarin ke Kak Nisha cuma bualan.

Menurut aku pribadi, aku ingin siapa saja mengakui bahwa aku lebih kuat dibanding minimal teman-teman segrupku.

Siapa yang tidak ingin menjadi terkuat di semesta yang baru saja kedapatan berkah sihir ini?

Tapi percuma. Mau segimana aku menambah porsi latihanku dengan pistol dan tembakan yang kukuasai, dengan melihat sosok Kak Queen di depanku saja, latihanku yang kemarin-kemarin seperti tidak ada gunanya. Aku selalu merasa kalah duluan sebelum pertarungan dimulai.

Kau tahu. Ini menyebalkan.

Menjadi bawahan seumur hidup itu sama sekali tidak keren.

"Sama sekali tidak keren. Tapi aku juga jadi bawahan, Mil."

Aku melirik cewek berkulit putih yang duduk memeluk lutut di sebelahku. Berkali-kali kami main bareng, baru sekarang dia sedikit membuka latar belakangnya.

"Tapi percuma," Shia menggambar sesuatu di atas tanah dengan sebatang kayu, "gimana pun kita berusaha, suka ada semacam sesuatu yang membuat mereka beda, yang gak mungkin bisa kita gapai."

"Nggak ada yang nggak mungkin."

"Jangan naif." Gaya bicaranya ketus dan penuh penekanan. "Tiap orang punya batasannya masing-masing. Kalau dipaksain, nanti jadinya kacau. Cukup terima aja, sambil ngejalanin hidup apa adanya."

Cih.

Apa-apaan.

Cara berpikir yang salah. Kalau gitu sih ya gak akan maju-maju, stuck. Selamanya menjadi pecundang dungu akan kehebatan yang bisa saja dia raih dengan sedikit lebih berusaha lagi. Sedikit. Meski inginku cepat-cepat dan bagus jikalau pun harus melakukan hal-hal gila, aku akan rela sekali meluangkan waktu dan tenaga untuk melakukannya. Tapi jika itu masih juga tidak berhasil, maka lakukanlah yang sedikit. Paham?

"Terus kamu mau ngapain, Mil? Ngekhianatin kelompokmu? Ngambil alih kekuasaan?"

Bicaranya yang menuduh seolah aku benar-benar akan melakukan tindak kejahatan tersebut, entah mengapa sangat bikin aku kesal. Meski mungkin aku jahat, tapi jahatku masih belum mencapai level keterlaluan. Aku bukan seorang pengkhianat! Hanya ....

"Emang nyebelin, di saat ada orang yang lebih hebat dari kita dalam segala hal termasuk salah satunya yang kita juga ahli. Tapi, Mil," Shia menghentikan gerakan menggambarnya. "Itu tergantung gimana kita menyikapinya. Mau dijadiin motivasi, atau alasan rendah diri."

"Nah, kamu—"

"Beda lho sama omonganmu tadi," selanya, memperparah rasa kesalku. "Terlalu berambisi buat melampaui juga enggak baik. Ke kamu-nya sendiri apalagi."

"Sok tahu."

Shia senyum yang hanya bisa kutangkap dari samping. Di tangannya tiba-tiba ada secarik tisu. "Terserah. Yang jelas aku gak seambis itu." Tisunya yang terus dia main-mainkan tidak bisa luput dari perhatianku. "Tapi tenang aja. Kamu kan temen aku, jadi gak bakal aku apa-apain. Dan berhubung kamu temen aku, aku mau ngasih tahu rahasia."

Reaksiku berupa sebelah alis yang dinaikkan, tidak mengerti sekaligus menuntut jawaban.

Shia senyum sekali lagi. Aku tidak tahu apa artinya. "Aku anggota Four Finalion. Kalau kamu gak tahu apa itu Four Finalion, itu guild kegelapan. Satu-satunya misi kami adalah melenyapkan semua sihir di benua ini sehingga hanya empat sihir Four Finalion aja yang tersisa. Tolong ingat itu, ya. Karena asosiasimu jadi target kami juga."

Baru satu detik aku berkedip, tisu yang digenggamnya tadi dia embuskan dan mengenai wajahku. Langsung tisu itu kusingkirkan, aku melihat seorang gadis asing berkulit putih yang kelihatan sepantaran denganku sedang tersenyum aneh menghadap sini. Alisku berkerut. "Siapa kamu?"

Dia ketawa yang bikin aku sebal. Lalu berdiri di tengah posisiku yang duduk. "Nanti reuniannya abis kamu jadi kuat, ya. Ingat lho kata-katamu tadi, mau melampaui pemimpin kelompokmu."

Pergi kemudian dengan sejuta pertanyaan di benakku.

Apa sih barusan?

.

"Menurutmu itu tidak menyebalkan Kak Nish?" Aku dan Kak Nisha sedang berlatih bersama, lumayan jauh dari titik berkumpul asosiasi yang sebelumnya. Kak Nisha tengah berusaha menghindari tembakan-tembakanku, sementara sebaliknya aku berusaha mengenai rantainya. Tidak usah khawatir, aku telah menyetel tembakanku menjadi hanya akan mengenai benda-benda mati. Jadi dia tidak akan tertembak seandainya jalur tembakanku meleset.

Meski posisi kami agak berjauhan dan suara rantai serta pistolku lumayan membuat bising, aku masih bisa mendengar lawan bicaraku berdecak keras-keras. "Tentu aja menyebalkan. Tapi aku tau, aku gak bakal bisa ngelampaui Kak Queen."

Sebelah mulutku kunaikkan membentuk ketidaksukaan. "Kenapa sih gak dicoba dulu aja?"

"Aku baru datang. Kalau untuk aku sih, lebih baik memperakrab diri dulu di asosiasi ini. Kalau udah bosen, baru bisa dicoba."

"Kak Nisha gak asik."

"Sabar aja dulu, Mil. Bahkan sebagai orang yang baru gabung aja, aku tau kemampuanmu sama Kak Queen itu lumayan jauh."

DOR!

Jeritan cewek itu terdengar berbarengan dengan suara peluruku yang menghantam tengah-tengah telapak tangan kanannya, melenyapkan rantai sihir buatannya. Aku berhasil. Berhasil membuat dia sadar bahwa salah sekali mencoba Mila Snipin murka.

"Kamu mau apa? Mengatakan kebohongan hanya untuk membuatmu senang? Berpura-pura senang pada sesuatu yang sesungguhnya tidak terjadi? Pengecut."

Bisa-bisanya dia terus bicara setelah menjerit tadi. Setelah KULONTARKAN peluruku menghancurkan satu-satunya senjatanya. Aku bisa melakukan itu! Dan dia tetap membela diri?

"Mil. Kita emang belum kenal banget. Aku nggak tau kamu punya sifat asli kayak gimana. Tapi coba dengerin," keterkejutan akibat serangan mendadakku padanya telah sepenuhnya hilang dari wajahnya. "Aku, yang asalnya sombong selangit nganggep diri paling hebat, begitu ketemu Kak Queen, aku langsung liat ada langit lain yang membentang di atas langitku. Aku cuma sadar diri! Kak Queen menyembunyikan sesuatu dari kita."

Mengapa rasanya aku seolah kena nasihat dua kali? Hari ini aku baru mengobrol dengan Kak Nisha ... dan gadis asing tadi. Apa yang salah?

Apa yang salah!

Aku memikirkan rencana gila. Rencana terakhir, paling praktis, dan langsung menyelesaikan masalah. Tapi tentu jika berhasil, segalanya akan berubah. Hidupku. Asosiasi. Setidaknya permasalahan hatiku terselesaikan. Setidaknya?

Ketika malam tiba, aku sulit bersikap biasa saja di depan targetku. Dengan terang-terangan pun Kak Nisha terus melirikku seolah tahu beberapa menit lagi akan terjadi sesuatu yang mengacaukan kelompok, membuatku makin mengeluarkan keringat di pelipis dan telapak tangan. Oh, tak bisakah aku tenang sedikit? Badanku yang sudah terbiasa dengan udara dingin pun kali ini tak dapat mengatasinya. Gemetaran seperti berada di tengah balok es.

Tak tahan, aku lalu pergi begitu saja tanpa berkata akan ke mana. Tak ada yang menanyai juga, tetapi sudah pasti hilangnya diriku dari situ akan langsung ketahuan.

Tenangkan dirimu, Snipin.

Kamu bisa melakukan ini.

Aku mengambil jarak terjauh dari rekor menembakku selama ini. Belum kuperhitungkan, tapi kuyakin 99,9% peluru itu akan menembus jantungnya. Berlama-lama aku telah melatih skill ini. Right to Heart. Hanya satu tujuannya. Harus tepat ke jantung untuk mematikan nyawa. Harus. Harus kena.

Senjata paling besar dan panjang, paling mematikan yang mampu sihirku buat. Pertama kalinya aku memegangnya. Satu-satunya, hanya untuk momen ini!

Kak Queen ....

Sebelah mataku telah memusatkan target pada satu titik itu. Pemicunya pun tinggal kutekan. Tapi ... tapi ... kenapa aku seolah mengangkat sebuah batu besar? Kenapa berat sekali hanya untuk menarik jariku ke belakang!

....

Kalau Kak Queen mati, lantas apa? Asosiasi bubar? Aku akan kehilangan pekerjaan? Kembali menjadi petualang solo? Bukankah rasanya mengesalkan jika tak ada seorang pun yang bisa diajak bicara? Bukankah ketika Kak Queen dulu mengajakku membuat perkumpulan pesihir yang menggunakan senjata, aku seolah mendapat berkah?

Aku hanya membunuh Kak Queen, tak lantas itu menyebabkan aku lebih hebat daripadanya. Aku menggunakan cara kotor. Sementara Kak Queen yang bisa melakukannya (membunuh) kapan saja padaku memilih untuk membiarkan, karena aku ini temannya ...?

Temannya atau bawahannya?

Sekelebat ingatan mengenai awal-awal pembentukan ASS tiba-tiba menyeruak ke dalam pikiranku.

Di situ aku dan Kak Queen berkelana mencari pengguna sihir senjata lain untuk menambah anggota asosiasi. Sekitar tiga hari kami hidup mengandalkan masing-masing dari kami. Sempat diserang bandit, kumpulan penjahat yang melarikan diri dari tahanan.

Aku dan Kak Queen melawannya berdua dengan mati-matian. Tak ayal semua itu pun dihadiahi oleh bekas luka yang sampai sekarang masih nampak. Ini bukti bahwa menjadi petarung sihir itu pasti ada setetes darah yang keluar dari kulitmu.

Jika aku membunuh Kak Queen, apa aku akan merasa puas? Puas sesaat? Atau justru, menyesal?

Tapi mau sampai kapan aku dibayangi oleh kehadirannya di depanku!

Aku akan terus merasa lebih lemah daripada dia.

Jadi, tembak jangan?

Tembak. Jangan. Tembak. Jangan. Tembak. Jangan. Tembak. Jangan. Tembak. Jangan. Tembak. Jangan. Tembak. Jangan. Tembak. Jangan. Tembak. Jangan. Tembak. Jangan.

"Kau langsung urus mereka semua, Sniper. Aku harus melakukannya satu-satu. Percuma, akan membutuhkan waktu yang lama. Hanya kau yang bisa melakukannya."

Hanya kau yang bisa melakukannya.

Sesuatu yang hanya aku yang bisa melakukannya. Tidak Kak Queen, tidak orang lain.

Hanya aku yang bisa melakukannya.

Hanya aku ....

.
.
.

Aku ini, jahat ya?

"Sniper, untung kau kembali."

Orang pertama dari dua kepala itu yang mengakui eksistensi manusia spesialisasi penembak jarak jauh ini adalah pemilik jantung yang tadinya akan kutembak. Dia tidak tersenyum, Kak Queen tak pernah menunjukkan senyumnya yang berarti sebuah gerbang untuk berteman.

Tetapi, pada dua orang rantai dan pistol ini, senyumnya yang lain menunjukkan kepercayaannya pada kemampuan-kemampuan yang diakuinya ini. Untung saja tadi aku sudah mengeringkan mata.

Aku duduk di tempatku semula, menemukan posisi ternyamanku selama ini. Tak berani memandang ke yang menyapa tadi.

"Kau mendapat seseorang yang ingin menyewa jasamu."

Satu informasi yang aku tunggu-tunggu untuk Kak Queen ucapkan padaku sebagai anggota ASS, mampu membikinku lupa tentang segala dosaku tadi padanya. Aku punya pekerjaan? Setelah berminggu-minggu.

Tahu bahwa kehadirannya di situ hanya sebagai pengganggu, Kak Nisha lantas pergi entah ke mana. Semoga saja tidak menargetkan kami berdua untuk masing-masing jantungnya dia lenyapkan dengan rantai.

Kak Queen beralih duduk di sebelahku. Itu agak membuatku tegang sampai rasanya jantungku seolah diincarnya. Menjadi mantan iblis itu ternyata sungguh menakutkan.

"Aku tahu hanya kau yang bisa melakukan ini. Serangan jarak jauh." Kak Queen sama sekali tak memberiku ruang untuk melamunkan ketakutan. "Aku membutuhkan jasamu untuk melukai siapa saja orang terakhir yang akan bergabung dengan guild-nya Kree."

Tunggu .... Apa?

"Aku menyewamu." Kak Queen berucap lugas seakan tahu pada detik pertama aku mendengarnya, aku tak mungkin bakal percaya.

Dan memang aku tidak percaya.

"Kree baru saja mendapat orang keempat sebagai anggota guild-nya. Dan siapa sangka kalau dia si Rantai!" Meski tak membuat gestur, ucapan gondoknya seolah ikut menegakkan bulu kudukku sampai aku hampir saja berjengit. Kenapa mendadak aku takut begini ke Kak Queen?

Meski satu milimeter, kujauhkan diriku dari posisi duduknya.

"Hanya butuh satu orang lagi untuk dia bisa meresmikan guild itu." Suaranya masih memperdengarkan aura kebencian. "Aku ingin kau mengikuti mereka. Sampai malam ini jumlahnya masih empat. Besok pagi, dan seterusnya, hajar orang baru yang masuk ke sana."

"Kree ...." Aku bergumam sendirian. "Aku tidak tahu orangnya yang mana."

"Dia yang memperkerjakan Nisha. Punya dua anggota lain tapi kelihatannya masih amatir. Pokoknya jangan sampai guild-nya terbentuk secara resmi."

Kree, ya. Aku tidak tahu mengapa Kak Queen seakan ingin menghancurkan orang ini. Dia kan penyewa Kak Nisha. Ke pelanggan, seharusnya dia bersikap baik. Tapi Kak Queen hanya menyuruhku untuk tidak membuat guild-nya resmi dengan melukai si orang terakhir. Hm .... Ada yang aneh. Mengapa Kak Queen tidak menyuruhku langsung untuk melukai Kree saja?

Tapi yang mana pun itu, aku tak boleh tahu tentang hal-hal yang memang tak disebutkan oleh pelanggan. Mau bagaimana pun, Kak Queen ini adalah pelangganku. Sedikit membuatku terkejut karena jikalau tadi aku mematikan detak jantungnya, mungkin aku masih menjadi pengangguran.

Sembari melihati dua bintang yang berjajar terang di langit kelabu sana, aku menganggap dua bintang itu adalah aku dan Kak Queen. Kami berkilau dengan cahaya kami masing-masing.

.

Misiku adalah menyerang siapa saja yang hendak bergabung dengan guild setengah jadinya Kree. Dengan dibekali petunjuk dari Kak Queen, aku terus memosisikan diri berada di jarak pendengaran mereka, menangkap setiap obrolan mereka termasuk soal Kree yang menyuruh Yuma jadi alien.

"Coba saja, Yum. Jadi makhluk aneh selain hewan atau benda mati." Nada suara laki-laki ini hampir seperti ingin melawak namun dengan logat yang serius. Serius dia ketuanya?

Yuma yang kelihatan seumuran denganku cuma mencibir. "Kak Kree ini dari hari ke hari selalu aja minta yang aneh-aneh. Ya mana mungkin saya mau jadi selembar uang yang harganya senilai dengan soda."

"Kan nanti kamu bisa melarikan diri sebagai uang itu, namanya uang berjalan. Atau kamu bisa jadi semut, capung, kupu-kupu, biar bisa kabur."

Aku bisa merasakan kalau si Yuma ini sebenarnya ingin minggat saja dari perkumpulan somplak itu. Tapi tak ada lagi sahutan yang terdengar. Hanya suara sedotan yang berbunyi nyaring memaksa meminta air tambahan dari gelas yang sudah kosong. Aku duduk tepat di belakang dia.

"Kak Nisha ke mana aja sih, Kak? Kok gak pernah nongol lagi abis gabung." Sura yang berikutnya bertanya.

"Dia anggota semacam asosiasi pasar gelap gitu. Sebenarnya aku nyuruh dia buat gabung. Dia jago. Bisa kita andelin."

Kepalan tanganku sudah membentur meja lumayan keras. Enak saja dibilang pasar gelap. Aku tersinggung.

"Kakak kalau rekrut orang itu jangan sembarangan dong, Kak. Kakak gak liat kalau tampang Kak Nisha itu kayak diktator," celetuk Yuma yang selanjutnya hampir membuatku menyemburkan soda yang tengah kuminum. "Kalau dia macem-macem gimana."

"Ya kayaknya emang bakal macem-macem. Tapi santai ajalah. Biar kita bisa cepet kuat, harus rajin gaul sama orang yang kuat juga."

Kree ini bicaranya lucu sekali kayak penulis cerita komedi. Tipe ketua santai yang suka seenaknya sendiri. Gak kebayang kalau aku jadi bawahannya. Terimakasih Tuhan karena telah mempertemukanku dengan Kak Queen.

"Nah itu orangnya dateng."

Aku ikutan mendongak. Aku bertatapan dengan dia yang semalam berada di tenda yang sama denganku. Dia sengaja berhenti diam di sebelah mejaku yang dekat dengan mejanya Kree, menoleh memandangku pula seolah aku ini orang yang baru saja dia temui kemarin malam. Ya memang benar, sih.

"Nish, sini."

Kak Nisha pergi menemui keluarga simpanannya itu. Cih. Kenapa aku merasa terkhianati. Apa misi yang Kree beri untuk dia? Tidak mungkin kan hanya sekadar gabung ke guild?

"Anggota kelimanya kapan? Aku pengen cepet-cepet tarung." Baru datang langsung jadi bos. Aku setuju soal dia yang bertampang kayak diktator.

"Ada rikuesan? Mau laki-laki apa perempuan?"

"Yang dual gender sekalian, Kak."

Aku hampir ngakak.

"Dual gender, ya?"

Ampun, kenapa dipikirin serius, sih?

"Kak Kree ini seolah udah tau siapa aja pengguna sihir di kota ini. Kenapa kemarin saya carinya susah, ya." Suara Yuma.

Si yang dipuji tertawa. "Iyalah, aku cuma ngeliat mereka yang kayaknya lagi kesusahan aja biar gampang aku rekrut."

Kak Queen, boleh aku tembak gak mulutnya biar gak bicara terus? Uh, itu pasti melukai harga diri Yuma dan Sura. Seandainya kalian punya senjata, sini gabung ASS.

Kree selanjutnya gak bilang apa dia bercanda atau tidak. Tapi diliat dari tak adanya yang menyahut, sepertinya Yuma dan Sura sudah terbiasa memasang hati yang tegar setiap perkumpulan dilaksanakan (yang ada Kree-nya). Sabar aja, ya.

"Kamu pengen yang laki-laki dan perempuan, Nish?"

"Iya." Kak Nisha pasti cuma menjawab asal.

Tapi tak terduga, Kree malah berdiri. "Aku jelas tahu siapa orangnya."

Ya tidak usah sombong juga, Pak. Pake kata 'jelas' lagi.

Rombongan, mereka memasuki area dalam kedai. Aku menunggu satu menit sebelum mengikuti. Di dalam kedai, seorang perempuan tengah bernyanyi merdu membuat sebagian besar pengunjung pria di sana tak dapat memalingkan muka. Memang cantik, sih. Kekuatan pengikat yang lumayan.

"Namanya Raisa. Tapi dia juga seorang laki-laki."

"Hah?"

Aku juga ikut berseru 'hah'. Juga katanya?

"Kekuatan sihirnya. Dia bisa menjadi siapa saja. Penyanyi paling merdu, shapeshifter chipmunk, diktator pemakai rantai macan, bahkan menjadi aku saja dia bisa."

Aku ikutan melongo mendengar penjelasannya tentang kekuatan sihir si penyanyi. Mak-maksudnya? Apa dia dual gender? Targetku dong, nih.

Setelah menunggu Raisa selesai bernyanyi, kulihat Kree berjalan menuju area belakang panggung dengan tidak sopan. Maksudku dia itu siapa, sih? Main masuk saja seolah dia wakil asisten manajer keuangan kedai ini.

Tak lama seakan dia cuma berbicara dengan remaja berusia 18 tahun yang masih pusing mencari jati diri, Kree datang dengan seorang laki-laki cakep yang kuduga dia adalah Raisa, si penyanyi pemikat pria-pria dewasa tadi. Benar, ternyata dual gender.

Dari penglihatan sampingku, Raisa masuk ke lingkaran itu dengan tampang malu-malu. "Se-selamat siang." Tangannya berada di belakang kepala.

Tapi kalau kutilik, Raisa ini bukan jenis orang 'kesusahan' yang bakal mudah direkrut Kree ke guild. Ah, aneh sekali menyebutnya Raisa dengan perangai laki-laki itu.

Selanjutnya, aku tak terlalu serius mengikuti percakapan basa-basi mereka yang sebetulnya mengundang tawa itu. Aku fokus pada rencanaku nanti menghajar Raisa. Omong-omong katanya, nama aslinya Reez.

Melihat gelagatnya yang baik hati, Reez pasti akan dengan mudahnya menerima tawaran Kree masuk ke guild-nya. Jika bahkan nanti aku memutus kakinya, merobek ginjalnya, atau memaku ususnya, kayaknya sih bakalan tetap setia. Seperti tipe pengikut. Tapi kucoba saja dulu.

Mereka melangsungkan pertemuan dengan lima anggota di suatu lahan luas kosong yang sepertinya sudah menjadi markas mereka untuk latihan. Satu-satunya tempat yang kupikirkan untuk menembak dari jarak jauh adalah, atap bangunan.

Aku telah memasuki posisi. Senjata jarak jauhku pun sudah terpasang nyaman untuk kugunakan. Tinggal menargetkan ke salah satu bagian tubuh Reez.

Dan lihat apa yang terjadi selanjutnya.

Tembakanku diringkus rantai Kak Nisha.

Dia langsung tahu posisiku berada.

"Keluar, Mil. Sini lawan aku."

Wah, wah.

Apa boleh aku menyerang anggota kelompok sendiri demi menjalankan misi?

Ah tapi nyawaku saja harus jadi taruhannya. Apalagi nyawa teman yang baru kenal.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro