Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3) tigerchain, percuma kalau tidak sefrekuensi

c h a p t e r 3
Nisha Tigerchain
percuma kalau tidak sefrekuensi

Bagi mereka yang baru saja mempunyai sihir, ada dua langkah selanjutnya yang bisa dilakukan. Melatih sihir itu sendirian, bertemu dengan pengguna sihir lain dan melatihnya bersama (ini lebih praktis dilakukan kalau kalian sefrekuensi), dan terakhir langsung bergabung dengan guild.

Di antara tiga pilihan itu, yang paling enak untuk kujalani adalah yang pertama. Aku tipe yang ingin memperbagus diri dulu, baru bisa lebih berani bertemu dengan orang lain. Jika mereka langsung menemukan diriku dalam wujud kurang mumpuni, first impression-nya akan jelek. Dan aku tidak suka itu. Aku ingin mereka mencapku langsung sebagai orang hebat.

Maka dari itu selama dua minggu, aku melatih diriku sendiri, sendirian. Beruntung ini yang kudapatkan. Rantai. Tigerchain. Rantai macan. Berhubung aku suka macan, kugabungkan saja keduanya. Tapi sampai saat ini, sihir rantaiku belum bisa kuhubungkan dengan unsur macan. Belum. Aku masih perlu meningkatkan skill-ku lagi.

Latihan sudah kujalani. Tinggal mempraktikkannya. Bersama seseorang. Harus ada seseorang yang kutargetkan sebagai lawan. Tapi selama ini aku belum menemukan satu pun pengguna sihir lain. Akan memakan waktu yang lama lagi jika aku menunggu sampai menemukan satu saja sosoknya.

Selama ini pula, aku terus menyembunyikan soal diriku yang mempunyai sihir. Aku tetap bertemu dengan kenalanku. Cuman, tetap menjadi Nisha yang dulu, bukan Nisha Tigerchain.

Ahh ....

Aku bisa menyombongkan kekuatanku. Sekarang aku sudah hebat. Untuk apa lagi aku menyembunyikannya.

"Kamu mau ngapain, Nisha?"

Juro, satu-satunya laki-laki yang dekat denganku, berdiri patuh beberapa meter di depanku. Dia nurut-nurut saja saat kuajak dia pergi ke suatu lahan luas tempat biasa aku berlatih. Dialah, orang pertama yang akan kutunjukkan tentang sesuatu yang telah menjadi bagian dari nama panjangku.

Aku cuma memberi dia senyum.

Bulu pena itu keluar setelah kuucapkan kata kuncinya.

"Nish—"

Suaranya tertahan akibat badannya terjerat rantai yang kukeluarkan dari telapak tanganku. Tapi tak sedikit pun dia mengaduh. Hanya bingung yang terlihat di wajahnya.

"Kamu bisa sihir?"

Aku berdecak. Kenapa dia seolah tidak tersiksa? Apa energi yang kukeluarkan kurang kuat?

Satu decakan lagi, lalu semakin erat rantai itu yang melilit tubuhnya. Pernapasannya bisa saja terganggu. Tenggorokannya bisa saja tak mampu menghasilkan suara. Tapi kenapa masih raut bingung yang dia perlihatkan!

Baru setelah rantai itu kulepas, Juro jatuh terduduk dengan batuk hebat yang melandanya. Aku menghampirinya, berjongkok di hadapannya. "Kenapa kamu gak kesiksa?"

Masih batuk-batuk dia seperti kakek-kakek yang bentar lagi pingsan. "Kesiksa gimana maksudnya?" suaranya serak.

"Kekuatan aku tadi. Kurang kuat apa gimana?"

Batuk lagi, satu dua kali. "Dari dulu juga kamu udah kuat."

Ck.

Gak ada gunanya.

Emosiku meluap hingga ke ubun-ubun. Kutampakkan saja lewat mukaku yang merengut abis. Seharusnya Juro tahu, aku kesal akan perkataannya tadi. Sama sekali tidak membantuku.

Kemudian perlahan, aku melangkah meninggalkannya. Saat itu, aku seperti mendengar suara Juro yang masih serak akibat ulahku. "Jaga itu baik-baik. Aku nggak mau cuma gara-gara rantai itu, Nisha yang aku kenal jadi berubah."

Basi.

Itu terakhir kalinya aku menangkap sosok Juro sebagai temanku. Pada momen selanjutnya, dirinya hanya kuanggap sebagai orang asing yang menumpang lewat. Aku tidak butuh orang lemah macam dia.

.

Satu minggu berikutnya, masih tidak ada yang salah. Aku masih berlatih, tapi belum menemukan satu pun objek yang bisa kujadikan lawan. Manusia biasa yang kelihatan kuat kek. Apalagi pengguna sihir. Susah sekali menemukannya. Apa mereka menyembunyikannya, ya?

Sihir memang agak tabu di kota ini. Jika sebagian menganggap sihir itu luar biasa, maka sebagiannya lagi menganggap sihir itu aneh, tak berguna, dan jahat. Hanya menilai dari gosip yang beredar dan bukan orangnya langsung. Aku muak dengan cara pandang orang-orang sini. Apa sebaiknya aku berkelana saja?

Pada saat aku memikirkan rencana itu, dua orang perempuan dan laki-laki yang kelihatan lebih muda dariku, tiba-tiba mendudukkan diri di meja yang kutempati. Dengan melihat muka tertekukku ini, apa mereka tidak sadar kalau aku tidak ingin diganggu?

"Kakak pengguna sihir?"

Kupikir aku akan antusias. Nyatanya aku sedikit tersinggung juga melihat muka polosnya yang seolah menangkap rahasiaku.

"Kenapa emang?" tanyaku, ketus.

Mereka berdua saling pandang. Kemudian yang perempuan kembali bicara. "Mau gabung ke guild kita?"

Hah.

Gak salah?

Berani ngerekrut orang asing ke guild—

"Guild apaan?"

"Belum ada namanya sih. Kak Kree belum ngasih nama. Anggotanya juga baru tiga orang."

Pfft. Bercanda ini orang.

"Kenapa aku harus terima?" Aku berbasa-basi.

"Ya gak harus, sih. Tapi lebih baik terima. Biar anggotanya nambah buat jadi lima."

Aku melirik ke si laki-laki. Sepertinya dia pun menyadari ucapan temannya itu yang terlalu polos. Sepertinya sih mereka pengguna sihir juga. Tapi kalau dilihat dari tampangnya, kayaknya gak bagus-bagus amat. Mana cara ngerekrutnya juga murahan.

"Mana anggota yang satunya lagi? Katanya ada tiga."

"Kak Kree lagi ada urusan." Akhirnya si laki-laki bersuara juga. "Beliau mengutus kami buat ngajak Kakak gabung ke guild kami."

"Jadi dia ketuanya?"

"Bisa dibilang gitu."

"Kekuatan kalian apa?"

Jawaban mereka berdua lumayan memecah ekspektasiku. Kukira akan lemah lagi. Earth magiya dan shapeshifter. Lumayan bisa diandalkan. Meski sepertinya kemampuanku masih di atas mereka.

"Kalian ini," aku mulai mengomeli. "Berani banget ya main rekrut orang asing gitu aja ke guild yang bahkan belum ada namanya. Gimana mungkin aku bakal terima."

Wajah si laki-laki menunjukkan kekesalan. "Yaa di sini jarang banget ada pengguna sihir lain yang kami temui. Sekalinya ada, nggak ada salahnya kan buat kami ajak ngebentuk guild baru?"

"Terus kalian tau apa kekuatan aku?" Tampangku meremehkan.

"Rantai."

"Nah." Aku menaikkan sebelah kaki ke kursi panjang. "Diliat dari skill aja, udah keliatan kan kalau kita gak cocok?"

Salah satu dari empat tangan yang berada di atas meja itu, terkepal.

"Sebelumnya, kayaknya kalian udah sering ngeliat aku latihan sendirian, ya?" kataku, sembari melipat tangan di dada. "Udah liat sendiri dong kalau perbedaan kekuatan kita terlalu jomplang."

Yang mengepalkan tangannya tadi sontak berdiri. Berdasarkan ucapanku, pastinya sudah mengerti dong tanpa aku harus terang-terangan bilang tentang penolakan?

"Ayo, Neechan. Masih banyak pengguna sihir lain yang gampang kita ajak kerjasama."

"Kalau gak gampang, berarti gak sefrekuensi. Simple aja, sih." Celetukanku tak tersampaikan karena laki-laki itu keburu pergi, meninggalkan temannya yang dia panggil 'Neechan' ini.

Si Neechan memandangku pilu seakan aku adalah makhluk yang perlu dikasihani. "Kok Kakak gitu? Bisa-bisanya bilang kita gak cocok? Kan belum dicoba, Kak."

"Ngapain dicoba kalau udah tau gimana hasilnya. Buang-buang waktu aja yang ada." Aku meminum sisa sodaku dan menaruhnya di meja dengan keras, menyuruh dia pergi secara gak langsung. "Kenapa masih diem di situ?"

Dia gak ngejawab. Bikin aku berdecak lagi. Bisa-bisanya kehadiran dua pengguna sihir ini begitu menguras tenagaku. Kalau gak sefrekuensi ya bakalan susah. Sudah berbeda tujuan. Buat apa lagi disatuin?

"Kakak kalau berubah pikiran bisa temui Q ya, Kak." Memandang lagi tiga detik masih dengan tatapan yang sama. Baru setelah itu, dia yang baru kusadari sebelah tangannya dibebat, pergi menyusul teman laki-lakinya keluar kedai.

Huh. Kalau dengan orang-orang yang seperti itu, aku kira sendirian lebih baik.

Aku mulai terbiasa sendirian.

Esok harinya, rasa kesalku belum padam. Aku melampiaskannya dengan menghancurkan benda-benda kecil di sekitar tempat latihan dengan rantai yang keluar dari telapak tanganku. Bergabung dengan guild katanya? Memang aku sempat kepikiran itu, tapi bukan untuk guild abal-abal. Bisa-bisa nanti aku akan jadi tulang punggung kelompok.

Ketika ujung rantaiku hendak meleburkan batu ke sekian, sesuatu memutusnya hingga tak sempat ujung rantai itu kukendalikan. Itu sangat cepat terjadi dibarengi oleh suara yang memekakkan telinga. Aku perlu bernapas beberapa detik untuk sadar dengan apa yang terjadi.

Saat menoleh ke kanan dengan muka kaget bercampur tegang, tak kutemui sesuatu sebagai penyebab putusnya tali rantaiku. Ini pertama kalinya aku merasa seperti seseorang tengah menyerangku. Biarpun aku tak pernah memperkirakan ini, ternyata ... mengasyikkan juga.

Aku memutar tubuh penuh untuk memeriksa dengan jelas tentang objek yang bisa saja kulewati. Terus begitu sambil salah satu tanganku masih menggenggam rantai yang terputus tadi. Kemudian seringai muncul dari mulutku, menghadap dia yang mungkin sedang berada di luar jarak pandangku.

"Ayo, lakukan lagi. Lakukan lagi!"

!!!!

Kena!

Rantaiku terputus lagi menjadi tiga bagian yang salah duanya tergeletak di atas tanah. Ah wujud keras besi ini bisa kulenyapkan dalam sekejap sesuai inginku. Tak perlu hiraukan. Aku sedang memancing sosok yang tadi menembak itu.

"Keluar, woy. Ayo tarung sini lawan macan."

Karena tak mendapat sahutan, aku lalu memejamkan mata, mencari fokus untuk menggunakan skill baruku ini. Baru untuk kugunakan maksudnya.

Kulilitkan rantai kepunyaanku di sekitar tinju tanganku, menempelkannya keras ke wajah. Saat muncul sebundar merah dalam penglihatan gelapku, segera kurentangkan rantainya mencapai si target. Jaraknya lumayan jauh ternyata. Suara pekikkan tertahan itu berasal dari perempuan asing bertampang tajam dengan ... apa itu, itu bukan sekadar pistol. Senjata api? Senapan? Posisinya bersembunyi di belokan yang terhalang oleh dinding rumah.

Aku agak malas berjalan menujunya. Dan sepanjang ingatanku, mengamati rantaiku yang teracung lurus sampai ke ratusan meter sana, ini jarak terpanjang rantaiku membentang keluar dari telapak tanganku. Aku membuat rekor.

Tapi kulihat dia pun terdiam dari tempatnya tertangkap, wajah kecilnya tampak merengut sekali kala menatapku. Orang jahat. Orang jahat macam ini enaknya dikerjai saja.

Saat akhirnya perempuan itu memberontak hendak mencoba melepaskan kaitan rantai, aku memutuskan mengalah, berjalan ke dekatnya. Tak akan ada habisnya jika dua orang keras kepala dipertemukan dan berseteru meski dalam diam.

"Pengguna kekuatan sihir. Kali ini, apa?" Betul. Mood-ku sudah jelek mengenai apa pun tentang orang lain selain diriku yang juga memiliki sihir. Dia bisa jadi lawan yang tangguh. Tapi dengan satu seranganku tadi, tetap saja kan aku yang menang? Mendadak aku kehilangan tujuanku sebenarnya ketika membeli bulu pena.

"Sihirmu pake senjata?"

"Kamu gak punya mata, ya?"

Mukanya berpaling sebal, sedikit menunjukkan ketidaksukaannya terhadapku. Tapi aku lebih suka berbincang dengan si kepala batu ini daripada dua orang remeh kemarin malam.

"Ayo gabung. ASS. Asosiasi Sihir Senjata."

Tuh, kan. Ajakan lagi.

Apa aku emang sehebat itu?

"Siapa aja anggotanya?"

"Aku, sama dua orang lagi. Pedang dan assassin."

Wah, wah. Lihat apa yang aku temui ini. Asosiasi Sihir Senjata. Pengguna senjata semua. Dia sepertinya pistol, atau sniper.

"Prestasi kalian selama ini?"

Dia memandangku dengan mengernyit. Antara tidak ingin menyebutnya atau memang tidak mempunyainya. Tetapi sebelum aku mendapat jawaban yang kuharapkan, bunyi tembakan terdengar lagi. Kali ini terasa begitu nyaring karena berada begitu dekat dengan telingaku sampai membuat sekujur tubuhku bergetar karena gema yang ditimbulkannya. Dalam sekejap pula, rantai yang melilit tubuhnya seketika terlepas.

"Aku nggak mau tau siapa di antara kamu dan aku yang lebih jago." Nada suaranya tidak sedingin sebelumnya. "Gabung asosiasi dulu. Di sana bukan tentang siapa yang paling hebat. Tapi siapa yang paling banyak, sering, dan berjasa buat pelanggan."

Aku merasakan kepalaku yang pusing akibat bunyi nyaring tadi dari pistol yang digunakannya. Ini emang beneran sihir. Aku seolah terdampak efeknya karena itu bukan hanya sekadar senjata biasa.

Dengan penglihatan melalui satu mataku, kuperhatikan dia yang menaruh tatapnya padaku. "Mila Snipin. Gak usah tau ya senjataku apa."

Cewek ini.

"Omong-omong, maaf. Tadi aku gak manggil kamu 'Kak'. Padahal kamu keliatan lebih tua daripada aku."

Langkahnya yang mendahuluiku seakan menyuruhku untuk mengikutinya sampai ke tempat tujuan. Tempat tujuan yang kuperkirakan bakal lebih bagus daripada guild tanpa nama itu. Tapi belum sepenuhnya aku menginginkan ini. Aku hanya merasa, mengikuti jejak kakinya akan tampak lebih menarik dibanding melanjutkan latihan yang tak berkesudahan. Apakah ini saatnya waktu kesendirianku habis?

.

Jejak langkah kami terhenti di bibir gunung sebelah barat Crownclown. Area yang sebelumnya mungkin akan kujamah jika merealisasikan niat berkelanaku. Jaraknya terbilang begitu jauh sampai menghabiskan waktu berjam-jam dari semenjak aku meninggalkan kota tadi. Bintang-bintang kecil sudah terlihat dan semakin jelas aura kilaunya di langit besar yang membentang sepanjang atas gunung. Pemandangan yang cukup membuatku terkesima sepuluh detik untuk memandanginya.

Mila berjalan semakin ke atas di tengah udara dingin yang baru terasa. Aku menatap punggungnya yang masih kuat berjalan sampai berjauh-jauhnya begini. Bukan orang sembarangan ternyata.

"Kak Queen, aku bawa orangnya nih." Mila berujar sembari mendekati tenda, api unggun, dan batang kayu yang terduduk seorang perempuan lain di sana. Begitu sosoknya berbalik, aku terkejut melihat dirinya yang sepertinya lebih tua daripada aku. Pengguna sihir yang lebih senior. Mukanya menyaratkan cuek dan kedewasaan yang misterius.

Jalanku berhenti, tak sampai masuk ke area itu.

Saat Mila meluruskan kaki di dekat api unggun, perempuan yang dipanggilnya Kak Queen itu terus terlibat adu tatap denganku yang tak mampu bergerak karena merasa orang luar.

Baru ketika dia berbalik lagi, dia berkata, "Duduk. Banyak yang perlu kujelaskan padamu."

Banyak juga yang perlu kutahu tentang semua ini.

Aku dibiarkannya masuk ke habitat mereka yang disebutnya sebagai Asosiasi Sihir Senjata. Masih tegang, dingin, dan segan yang kurasakan menjalari hati, seperti menemukan sesosok yang sepantaran. Lagi-lagi salah perihal perasaan. Begitu aku menemukan seseorang yang bisa kujadikan lawan, ... tidak, dia bukan lawan. Mila memang lawanku. Tapi kalau dia ....

Kak Queen menjelaskan, ASS bukan guild. Hanya asosiasi yang mereka akui sendiri. Mempunyai kesamaan dalam hal sihir senjata, suatu benda yang tercipta dari sihir. Jadi jika aku memegang rantai sungguhan, aku tidak akan bisa mengendalikannya. Waw, aku baru tahu. Selama ini aku belum pernah mencobanya, atau kepikiran mencobanya.

Tugas asosiasi ini adalah melayani pelanggan. Pelanggan di sini berarti para pengguna sihir lain yang mengetahui keberadaan mereka. Bedanya dengan quest, biasanya yang mengajukan quest itu orang-orang tanpa sihir yang butuh jasa sihir. Samanya ya sama-sama dibayar dengan uang. Tapi jumlah pembayaran ke ASS selalu lebih banyak dibanding quest biasa. Bisa dibilang, ini adalah organisasi rahasia yang hanya kalangan pesihir saja yang tahu. Itu pun tak semua orang pemilik sihir tahu.

"Melayani tugas gimana?" tanyaku, sudah berpikir buruk duluan tentang ngeri-nya tugas itu.

Sambil mencabuti daun segar, Kak Queen menjawab, "Mengetahui perkembangan target. Seberapa besar kekuatannya bertambah. Mencari kelemahannya. Merencanakan taktik penyerangan. Dan hal lainnya yang mungkin kau bilang merepotkan."

"Kak Nisha ini kayaknya suka deh sama hal-hal merepotkan gitu, nggak perlu kita ajari lagi," Mila menimbrung seraya tertawa. Beneran tipe yang cocok dijadikan teman bertengkar.

Mereka selanjutnya bilang, sudah sedari lama mereka menemukan dan mengamati sosokku sebagai pengguna sihir lain yang menggunakan senjata, rantai. Jelas ini merupakan undangan untukku bergabung bersama mereka, Asosiasi Sihir Senjata.

Tapi aku ada satu pertanyaan besar. "Kenapa harus yang punya senjata buat ngelakuin tugas-tugas yang tadi Kakak bilang? Kenapa nggak pesihir umum aja?"

Kak Queen menghela napas seperti malas menjelaskan lebih banyak. "Tidak ada. Tidak ada alasan. Takdir hanya kebetulan mempertemukan pesihir-pesihir pengguna senjata untuk berkumpul dan melakukan misi lain di luar kebiasaan pesihir lain yang bergabung dengan guild. Ibaratnya, ini versi susahnya menjadi pesihir."

Aku mencoba mencerna tentang apa yang dikatakannya. Kak Queen, memang terlihat menyambut kedatangan anggota barunya ini. Tapi aku merasa dia, dan mungkin Mila, dan mungkin Mila pun tidak tahu, menyembunyikan satu dua hal penting yang hanya boleh dia saja yang tahu. Dari luar, perkumpulan ini terlihat begitu mistis, mencekam, dan ... takjub. Sebagai individu yang berambisi terhadap kehebatan, aku seperti telah menemukan jalanku tanpa perlu aku berusaha mencarinya.

"Satu rules utama yang menjadi dasar pekerjaan yang kita sebut sebagai melayani pelanggan," Kak Queen berucap datar. "Jangan kasih tahu, kepada siapa pun, tentang misi yang harus kau lakukan dari pelanggan. Apalagi anggota asosiasi lain. Rahasia. Semuanya bersifat rahasia."

Aku menelan ludah. Seketika itu juga, aku merasa kesombonganku belakangan ini sama sekali tidak berarti apa-apa. Tanpa aku harus tahu tentang kekuatan sihir Kak Queen, dari ucapannya, Asosiasi Sihir Senjata, aku masih tidak ada apa-apanya karena hanya bermodalkan rantai dan bukannya 'pengalaman'.

Berpuluh-puluh kilometer dari tempatku biasa berlatih, berdiri sebuah perkumpulan yang mampu menyelebungi aura-aura anggotanya dengan entitas yang gelap nan mistis.

Ini berbeda dari guild kegelapan.

Aku tak pernah menyangka bahwa takdirku akan menjadi bagian dari mereka. Senyum penuh artiku bangkit, berkembang dari senyum-senyum aroganku yang sebelumnya kutampilkan.

Malam itu juga, Kak Queen memberiku tugas pertama sebagai anggota baru Asosiasi Sihir Senjata yaitu pengguna rantai. Alur kerjanya, si pelanggan bicara dulu ke Kak Queen soal dia yang memerlukan jasa. Kemudian jika pelanggan itu ingin request pengguna senjata apa, Kak Queen akan bicara ke si pengguna itu dan menjadwalkan janji temu dengan pelanggannya. Begitu, agar rahasia tetap terjaga di antara penyewa dan pemberi jasa.

"Kebetulan ada satu pelanggan yang sudah menunggu lama sekali datangnya pengguna rantai."

Mataku melotot tak percaya, merasakan sensasi menggairahkan di sekujur pori-pori kulit.

"Besok. Pukul dua siang." Kak Queen menyebutkan tempat pertemuannya.

Kurasa malam ini aku tidak bisa tidur.

"Satu hal, Rantai."

Setengah fokus aku memperhatikan sisa perkataannya yang belum selesai.

"Jangan kecewakan pelanggan. Dan satu-satunya cara untuk tidak mengecewakan pelanggan, libatkan nyawamu."

Malam itu aku beneran tidak bisa tidur.

.

Si pelanggan yang katanya telah lama menunggu hadirnya sihir rantai ke dunia sihir-sihiran ini adalah seorang laki-laki tinggi kurus berwajah ramah yang sama sekali bukan tipe pembeli pasar gelap.

Dia memerhatikanku sejenak. "Gabung ke guild-ku."

Hah. "Kenapa harus pengguna rantai?"

"Aku pikir bakal bagus kekuatannya buat jadi tulang punggung kelompok. Apalagi buat ngehancurin Clofan Vertasy. Rantai pengikatmu pasti bakalan berguna."

Tahu guild yang dia maksud itu ternyata adalah guild tanpa nama yang berisi si earth magiya dan shapeshifter? Aku merasa seperti ditipu, balik lagi ke ajakan pertama yang sudah kutolak. Si Neechan menyambutku riang sedangkan adik laki-lakinya terang-terangan dongkol.

"Terus, misi apa yang harus aku lakuin?"

"Ya ngancurin Clofan Vertasy. Tapi syarat utamanya, kamu harus jadi anggota guild-ku dulu."

Astaga, takdir macam apa ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro