2) georrac, pangeran tupai yang tidak percaya diri
c h a p t e r 2
Yuma Georrac
pangeran tupai yang tidak percaya diri
Yang aku ketahui di Crownclown (kota di mana sihir berasal), terdapat dua guild yang baru terbentuk. Yang satu terkenal banget, satunya lagi merupakan guild kegelapan. Tentunya semua anggota guild itu memiliki sihir, dan pastilah sebelumnya mereka sudah pernah mempunyai pearl yang banyak alias kalau tidak orang kaya, ya orang yang berusaha. Bisa juga uang hasil merampok, sih.
Intinya semua pengguna sihir ini pastilah orang yang hebat. Termasuk aku. Baru kukatakan setengah hebat sih karena aku belum bergabung dengan guild mana pun. Guild kegelapan jelas tidak mungkin karena aku orangnya baik hati. Kalau guild yang terkenal juga tidak mungkin karena aku tidak terkenal. Atau haruskah aku jadi terkenal dulu? Bikin sensasi?
Tidak, tidak. Aku bukan orang seperti itu.
Omong-omong, aku bisa jadi tupai. Jadi tupai itu menyenangkan karena aku bisa memperhatikan orang-orang tanpa diperhatikan balik (kecuali oleh pecinta tupai). Aku terus mencari anggota-anggota guild terkenal itu. Agak sulit sebenarnya. Rupa mereka hampir mirip dengan manusia normal. Paling hanya di saat mereka menggunakan sihirnya saja baru aku bisa tahu. Tapi sejauh ini, selama aku jadi tupai, aku belum pernah melihatnya.
Siang yang tidak terlalu panas itu, aku kembali menjadi tupai. Masih pantang menyerah mencari manusia pengguna sihir lain. Semenjak aku membeli bulu pena, aku selalu sendirian soalnya, agak kesepian juga. Aku cuma takut teman-temanku menganggapku beda hanya karena aku punya sihir. Jadi lebih baik aku langsung mengasingkan diri saja dan mencari pengguna sihir lain.
Eh, langsung ketemu.
Saat aku berjalan-jalan di suatu lahan kering tanpa bangunan apa pun di sekelilingnya, aku melihat dua orang mencolok tengah berjongkok di pinggiran lahan dengan salah satunya memegang bulu pena.
Ada pengguna bulu pena! Ada pengguna bulu pena!
Aku melompat-lompat di tanah sebagai tupai, merasa girang sendiri. Langsung saja aku berderap mendekat untuk mengamati. Tak ada tempat bersembunyi karena lahan ini benar-benar kosong hampir mirip padang tetapi tidak apa.
"Udah ada sekelebat mantra-mantra dalam kepalamu, kan?" tanya yang laki-laki, tubuhnya tinggi kurus dan berwajah baik hati seperti aku.
Si gadisnya mengangguk dengan ekspresi datar, tangannya sudah memegang bulu pena dalam posisi menulis. Ya, sama! Sama seperti kala aku menggunakan sihir untuk berubah wujud menjadi tupai.
Setelah gadis itu menulis sesuatu di tanah, terbentuklah sebuah batu berukuran kecil yang mengapung di depannya. Batu ini diam di udara sebelum akhirnya kembali terurai dan lenyap.
"Santai aja. Ini pertama kalinya kamu menggunakannya, kan? Gak usah buru-buru. Nanti juga bakal upgrade sendiri," kata si laki-laki. Aku mulai menebak hubungan di antara mereka berdua. Apa guru dan murid? Atau kakak dan adik? Kalau guru, berarti laki-laki itu pengguna sihir juga dong?
Ini membuatku semakin tertarik dan lompat-lompat tanpa sadar sebagai tupai. Ternyata lompatan aku menghasilkan bunyi yang lucu, menyebabkan kedua orang yang aku amati itu menoleh padaku.
Ah, gawat.
Aku terlalu bersemangat.
Di kala kening tupaiku berkeringat, si gadis yang juga menoleh padaku itu tiba-tiba mendekat. Langkahku mundur. Tetapi tangannya lalu menangkap tubuh tupaiku yang kecil ini. Ketika membuka mata, aku sudah menapakkan kaki di telapak tangannya dengan wajahnya yang ada di depanku.
"Lucu banget."
Bilangnya sih lucu, tapi mukanya tetap tak berekspresi. Tapi tetap saja ada kesenangan yang masuk ke hatiku karena disebut lucu. Ini pertama kalinya aku dipuji sebagai tupai.
Yang laki-laki ikut mendekat. Sambil berdiri, dia juga ikut mengamati wujud tupaiku yang katanya lucu ini. Ayo, bilang aku lucu juga!
"Manusia. Pengguna sihir."
Eh?
Kok bisa tahu?
Seolah ingin membuktikan terkaannya yang benar, aku meloncat dari tangan si gadis, dan mengubah diri menjadi wujudku yang sebenarnya. Manusia.
Gadis yang menyebutku lucu terkaget. Sementara laki-lakinya tersenyum bangga.
"Wah, wah. Kita baru saja bertemu pangeran tupai."
"Gimana Kakak bisa tahu?" tanyaku, mulai sadar niatku berubah wujud karena ingin menanyakan hal ini.
Yang ditanya tertawa. "Tahulah," jawabnya. "Tupai sungguhan selalu kelihatan alami. Sedangkan kamu ini bersih banget, kayak mandi sehari tiga kali."
Kok tahu!
Aku tak bisa berkata-kata, terlalu speechless dengan dua orang baru yang kutemui ini.
"Nama kamu siapa?"
"Yuma."
Tanpa kuminta mereka menyebutkan nama masing-masing, si laki-laki serba tahu itu dengan percaya dirinya menyebut namanya. "Kree." Lumayan keren juga. "Dan dia Sura."
Setelah itu kami mengobrol di tempat yang lebih teduh. Kak Kree kelihatan bahagia banget karena bertemu dengan pengguna sihir lain. Padahal aku lebih bahagia lagi!
"Kekuatanmu apa omong-omong?" tanya Kak Kree.
"Berubah menjadi apa saja."
"Tapi baru tupai aja yang Yuma bisa?"
Kok tahu!
Aku cengengesan. "Yaa yang lain belum nyoba, sih. Jadi tupai aja udah enak."
"Masa gitu," komentar Kak Kree. "Coba yang lain dong. Jadi naga misalnya."
Hampir saja aku mengumpat. Harus sopan terhadap orang baru dan yang lebih tua. "Kak Kree pasti tau sendiri kan setiap sihir gak langsung bakal jadi bagus gitu aja. Perlu banyak latihan dulu," belaku. "Berhubung saya suka tupai, jadi saya nyoba di tupai dulu. Lagian belum ada keinginan buat berubah jadi wujud lain."
Tapi aku sempat ada niatan berubah jadi donat. Tapi karena takut dimakan orang, enggak pernah terwujud deh.
"Eh, Kak Yum? Ke mana aja kamu belakangan ini."
Saat aku masih berbahagia dengan pertemuan antar sesama pengguna sihir ini, hal paling tak mengenakkan terjadi. Di situ aku baru sadar ternyata sudah agak lama semenjak aku tampil dalam wujud manusia di tengah orang lain. Aku biasa nyaman dalam wujud tupaiku.
Kupikir sudut lahan itu sudah terpencil. Tetapi tiga orang temanku dulu, tiba-tiba saja muncul seolah menangkap detik-detik ketika aku menjadi Yuma versi manusia. Sesuai perkiraanku, aku terdiam membeku.
Salah satunya mendekat. Menatap bergantian padaku dan dua pengguna sihir di depanku. "Sekarang kamu temenan sama cewek dan laki-laki tua?"
"Aku masih muda," Kak Kree membalas.
"Berapa usiamu?"
"27."
"Ya itu tua."
"Yum. Kok jarang main sama kita lagi." Dua orang sisanya menyusul mendekat. "Masa lebih milih main sama orang-orang asing itu."
Mereka bukan orang asing. Mereka pengguna sihir. Mereka orang sejenisku.
"Eh. Tadi aku lihat mereka berdua keluar dari toko sihir," salah satu dari mereka memandang Kak Kree dan Kak Sura. "Jangan-jangan ...." Beralih menatapku.
"Gak mungkin Kak Yuma pengguna sihir. Dari mana coba dia bisa dapet uangnya sedangkan selama ini dia selalu gaul sama kita."
"Tapi belakangan dia kan menghilang."
Ditatapnya aku penuh selidik oleh tiga teman bermainku itu. Membuat tanpa sadar, aku memundurkan langkah, kembali mendapati aku yang kehilangan kata-kata.
"Kak Yum. Jawab jujur."
Serangan itu terus berlanjut.
"Kamu gak beli bulu pena, kan?"
Jika sebelumnya aku langsung berubah menjadi manusia untuk membuktikan tebakan Kak Kree yang benar, kali ini meski tidak ingin, tubuhku tetiba saja berubah jadi tupai, wujud favoritku yang entah apa saat itu aku masih bisa menyebutnya favorit atau tidak.
Menangkap keterkejutannya itu selama dua detik, tak ayal aku langsung berbalik dan melompat-lompat sebagai tupai menjauhi kelima orang yang sama-sama terperangah itu. Pada saat itu, aku merasa tak punya harga diri lagi.
.
Dalam wujud tupaiku, aku tak bisa berhenti menangis. Sembari terduduk lemah di suatu sudut rumah penuh lalu-lalang manusia, tak akan ada yang memperhatikan makhluk kecil nan berdosa ini. Berdosa karena telah diam-diam mengumpulkan uang di saat dia tahu teman-temannya mungkin saja membenci para pengguna sihir.
Aku hanya menganggap pengguna sihir itu keren, imut, lucu, dan sebagainya. Kami hebat, kami berbeda. Tapi tak lantas perbedaan itu menjadi sesuatu yang pantas dicemoohkan. Kalau begitu, apa iya aku harus mengesampingkan impianku demi agar terus diterima oleh mereka?
Tetapi sayangnya, aku memilih jalanku sendiri.
Tetapi sayangnya, ternyata aku belum benar-benar siap.
"Ketemu!"
Mendongak, kukira aku akan terjatuh. Tetapi tangan itu kembali mengangkat tubuh tupaiku pelan seperti berhati-hati agar tidak menyakiti. Kak Sura disusul Kak Kree yang terengah-engah di belakangnya, menemukan si objek kecil jelek ini yang tak pernah mengundang perhatian siapa pun.
"Yuma kok lari. Mereka mengejek Yuma, ya?" Kak Sura berkata khawatir. "Tapi Yuma perasaan lucu. Kok diejek, sih."
"Biasa. Haters." Kak Kree menceletuk.
"Yuma jangan malu gitu dong sama kekuatan Yuma. Mereka cuma iri aja karena gak bisa kayak Yuma. Yuma harus percaya diri kayak Kak Kree."
Aku tidak tahu mengapa hatiku tersentuh mendengarnya. Walau dia sudah pernah bilang aku lucu, tetapi pernyataan dua kalinya itu seolah meyakinkanku untuk jangan melihat hanya pada kekuranganku saja. Siapa sangka, ternyata wujud tupai ini bisa dianggap lucu oleh seseorang.
"Yuma harus percaya diri, ya? Biar mereka ngerasa kalah."
"Betul, Yum. Yang pede aja. Itu bisa jadi kekuatan." Kak Kree ikut menyahuti.
Oleh tangan kecil tupaiku, aku menghapus air mata yang masih tergenang di mataku, membuat dua orang di depanku itu terkejut.
"Yuma nangis?"
Oh, iya. Dalam wujud hewan kecil ini, aku tak bisa bicara.
Aku lalu meloncat dari tangannya Kak Sura, melangkah ke bagian belakang rumah penduduk yang tak kelihatan. Aku kembali ke wujud manusiaku lalu menghampiri mereka. Kak Kree ketawa. "Merah banget itu mata."
"Ish." Kak Sura memukul bahu Kak Kree.
Dan saat itu juga, tiga temanku yang biadab muncul dari jalanan di depan sana, menoleh ke sini. Kepedean itu nyatanya belum menghampiri diriku. Aku kembali membatu menyaksikan mereka mendekat.
Sebelum mereka sampai, Kak Kree menyuruhku untuk bicara dengan mereka, menyelesaikan yang harus diselesaikan. Tak boleh ada yang mengganjal katanya, dan aku tidak boleh lari.
Maka di sinilah kami berempat sekarang. Di suatu lapangan tempat kami biasa bermain bola kasti. Cahaya matahari senja mulai nampak mengotori lapangan. Aku terkejut mendapati diriku yang rindu akan suasana ini.
"Kamu kenapa gak bilang mau beli bulu pena."
Tak ada tuduhan yang benar-benar menuduh dalam suaranya. Tampak seperti obrolan kami yang biasa sehabis bermain kasti.
"Kalian pernah bilang kan, gak suka para pengguna sihir. Atau sesuatu semacamnya." Aku menjawab mantap meski dalam hati sedikit takut juga.
Si penanya tadi menghela napas, mengalihkan pandangan. "Ya emang gak suka. Tapi belum berarti kalau Kak Yuma yang punya jadi langsung gak suka juga."
"Yah, cuma kecewa aja karena diam-diam ada yang mengumpulkan uang tanpa ajak-ajak."
"Iya, ya. Padahal aku pengen beli topi bisbol— Aw!" Orang di sebelahnya menaboknya.
"Kamu ingin jadi pengguna sihir?" tanya yang pertama bertanya tadi. "Kenapa?"
"Gak ada alasan khusus. Cuma ingin keren aja." Aku menjawab jujur.
Dia tersenyum sebelah. "Kamu kira jadi pemain kasti gak keren?"
"Ngehina, nih."
Salah ya punya keinginan pribadi? Apa sebelumnya aku bilang jadi pemain kasti itu gak keren?
"Udahlah, buang aja bulu pena itu. Kita main kasti lagi."
Dua yang lain mengangguk-angguk.
Tapi setahuku, bukankah yang namanya teman itu saling mendukung impiannya masing-masing? Aku tidak bilang kalau punya sihir itu sebenarnya adalah impianku. Aku masih ingin menjaga perasaan mereka. Tetapi tetap saja pernyataanku dibelokkan ke arah yang negatif.
Ini tidak akan berakhir baik.
Ketika aku berdiri, mereka langsung bersahut. "Mau ke mana kamu? Mau main pergi gitu aja?"
"Mau jadi tupai lagi paling."
Ketiganya tertawa.
Aku mengeluarkan bulu penaku. Sambil berdiri, aku menulis sesuatu di atas udara. Begitu titik terakhir tertulis, para pengejek itu seketika saja berhadapan dengan seekor singa yang menggeram ke arah mereka.
Jeritan kontan terdengar di sekitar situ tidak hanya dari mereka bertiga. Fisikku yang berubah besar membuat orang-orang yang melihatnya menyatakan suasana dalam kondisi bahaya. Melihat ketiga temanku yang ketakutan abis tapi tak kunjung bergerak pun, membuatku tiba-tiba ada keinginan untuk menerkam dan menyakiti mereka. Keuntunganku, aku tidak akan mendengar mulut-mulut itu mengeluarkan ejekan lagi.
Tapi seseorang tetiba memeluk badan besar singaku, sambil menangis. "Yuma, udah berhenti. Yuma gak ada niatan nyakitin mereka, kan?"
Mendadak aku kesulitan mengendalikan tubuh singaku. Ini pertama kalinya aku menjadi bentuk lain selain tupai. Langsung dalam wujud yang besar. Dan aku tak tahu bahwa memerlukan tenaga dan usaha yang besar juga untuk mengendalikannya.
Alhasil, malah Kak Sura yang kusakiti. Cakar tajamku menggores tangannya hingga berdarah. Kak Sura menahan sakit, sementara tiga yang ketakutan di depanku tadi sudah lari terbirit-birit.
Tubuh singaku berbalik, menyingkirkan Kak Sura dari sana. Lalu ketika mataku melihat tangisan dan darah yang disebabkan olehku itu, muncul suatu luka lain dalam hatiku.
Aku telah menyakiti Kak Sura?
"Yuma jangan sakitin mereka. Jangan buat bulu pena itu terkotori oleh nyawa manusia yang lenyap."
....
"Sura baik-baik aja?" Kak Kree mendekat dengan tampang khawatir menghadap Kak Sura. "Ayo, ke klinik."
Meninggalkanku sendirian dengan cipratan darah di cakar tubuh singaku, aku kembali merasa sendirian. Tiga temanku yang lari terbirit-birit tadi sudah tidak ada harapan untuk berteman lagi. Begitu pun dengan Kak Sura dan Kak Kree. Aku telah menyakiti kepercayaan mereka. Aku tak punya harga diri lagi.
.
"Kak Sura baik-baik aja, Kak?"
Setidaknya aku harus minta maaf.
Meski aku menunduk, aku tahu ekspresi Kak Kree sekarang sama sekali tak bisa dikatakan bersahabat. Padahal aku sudah bertemu dengan orang sejenisku, para pengguna sihir. Tetapi aku malah mengacaukannya.
"Udah berapa lama, kamu punya kekuatan itu." Kak Kree bertanya asing.
"Seminggu, Kak."
"Katanya baru tupai aja yang kamu bisa. Kenapa tiba-tiba berubah jadi singa?"
Aku ... kesulitan menjawabnya. Atau, aku tidak mau menjawabnya.
"Ngaku aja kalau kamu emosi diejek mereka."
"Maaf, Kak."
"Emosi itu manusiawi, meski lebih baik dipendem. Ngeluapin emosi itu lebih baik jangan, apalagi kalau ngeluapinnya pake sihir."
Tanganku terkepal.
Iya, tahu. Dan rasanya mengesalkan sekali saat kita melampaui batas ketidakbolehan itu.
"Mau jadi keren gapapa. Tapi menakuti orang lain itu sama sekali gak keren."
"Kak," aku menghentikannya. "Saya minta maaf. Saya tahu saya salah banget apalagi sama Kak Sura. Tolong izinkan saya ketemu Kak Sura nanti untuk terakhir kalinya dan meminta maaf. Saya mau pergi."
"Eh, mau ke mana kamu." Lenganku dicekalnya yang baru saja beranjak dari tempat duduk teras klinik. "Sini dulu, aku mau bicara."
"Dari tadi sudah bicara."
"Belum selesai. Jangan emosi makanya."
Kakaknya nyindir-nyindir terus, sih.
"Kak Kree mau ngata-ngatain saya lagi?" aku emang setengah emosi bilangnya.
Laki-laki tua itu menghela napas, lelah akan sikapku yang seperti ini barangkali. "Aku ngata-ngatain Yuma juga ada tujuannya kali. Biar Yuma gak kayak gitu lagi. Yuma kan mau aku rekrut ke guild baruku."
Aku terdiam mendengarnya. Guild baru?
"Aku juga baru ketemu Sura hari ini. Dia datang ke kota ini tadi pagi. Melarikan diri dari panti asuhan katanya. Dan baru aja ditinggal sama tiga teman barunya yang mati di hadapan dia sendiri."
Aku semakin terdiam mendengarnya.
"Dari dulu aku ada niatan buat bikin guild baru. Mau ngehancurin guild tersohor itu, Clofan Vertasy. Kebetulan hari ini ketemu Sura yang kayaknya dia gak punya siapa-siapa lagi di sini, perlu perlindungan. Dan kamu, Yum ...."
Aku tidak bisa berhenti terdiam.
"Masuk guild-ku, ya? Kita lindungin Sura bareng-bareng apalagi tadi kamu udah nyakitin dia. Dan ya, gak ada salahnya berkumpul sama orang sejenis. Yang punya sihir maksudnya."
"Emang gak apa-apa, Kak? Saya yang tadi ngeluapin emosi pake sihir ini gabung sama guild Kak Kree?"
Kak Kree senyum. "Ya gak apa-apalah. Kan aku yang ngajak. Guild juga kalau mau resmi kebentuk, minimal harus lima anggota. Dan soal kesalahanmu itu, makanya tadi aku kasih petuah biar gak kamu ulangin lagi. Jadiin pembelajaran aja."
Malam itu terasa hangat meski di luar klinik angin dingin terus berembus tiada henti. Kak Kree menyuruhku masuk ke dalam, ke tempat Kak Sura berada.
Begitu masuk ke biliknya, aku grogi. Gak tahu gimana caranya minta maaf. Takut bikin kesalahan lagi. Mana aku lihat lengan kanan Kak Sura diperban banyak-banyak seolah luka yang kutorehkan itu sangat dalam. Jadi semakin merasa menyesal.
Kak Sura lagi tidur. Berdasarkan cerita Kak Kree tentang Kak Sura yang baru tiba di kota ini tadi pagi, kayaknya baru sekarang Kak Sura ketemu sama kasur. Aku gak boleh ganggu. Jadi aku menunggu di kursi yang tersedia di sana sambil mengupas buah jeruk yang tergeletak di meja sebelah kasur.
Kak Sura kemudian bangun. Membalikkan pandangan langsung menangkap kehadiranku. "Yum. Kamu di sini."
Tangan kananku hampir menjatuhkan pisau, tiba-tiba merasa tak bisa bergerak lagi.
"Awas itu pisaunya kena ke kulit. Nanti berdarah."
Kak Sura sendiri udah berdarah gara-gara Yuma.
Kak Sura bangun menyandar pada senderan. "Dimakan jeruknya. Sengaja Q sisain buat Yuma."
"Saya minta maaf, Kak. Sudah membuat tangan Kak Sura terluka."
"Tapi gara-gara itu Q jadi ketemu kasur. Bisa kasih Yuma jeruk juga. Ada bagusnya, kan."
Aku nangis.
"Ih, jangan nangis. Yuma cengeng ternyata, ya."
"Saya gak akan jadi singa lagi pokoknya. Saya akan jadi tupai terus aja biar dibilang lucu sama Kakak."
Rasanya ada yang mesti diperbaiki.
"Saya boleh panggil Kakak 'Neechan'?"
Mata Kak Sura berbinar. "Boleh banget."
Semenjak saat itu, aku bersumpah akan menjadi tangan kanannya Kak Sura yang terluka gara-gara aku. Kak Kree bilang, untuk sementara waktu Kak Sura gak bisa pake bulu pena dulu karena tangan kanannya terluka. Dari awal sudah ditentukan soalnya saat kita mengambil bulu pena itu untuk kita miliki menggunakan tangan yang mana. Aku juga pakai tangan kanan, seperti Kak Sura.
Hari yang panjang itu, aku kehilangan tiga temanku tetapi mendapatkan dua teman yang sedari dulu aku cari-cari karena sama-sama pengguna sihir. Aku tidak akan menyia-nyiakan kebaikan Kak Kree yang merekrutku ke guild barunya dan Kak Sura yang seolah menjadi kakak perempuanku yang baik.
Mereka terus menyuruhku percaya diri untuk wujudku yang mana pun itu, mau manusia atau pun tupai, atau pun wujud lainnya nanti. Maka dari itu aku punya jargon sekarang.
"Saya Yuma. Dan saya imut."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro