14) alchesaw, terima kasih sudah wujudkan ingin shia
c h a p t e r 14
Shia Alchesaw
terima kasih sudah wujudkan ingin shia
Four Finalion.
Dengan jumlah anggota guild sebanyak empat dan harus empat termasuk pemimpinnya sendiri, Kak Fuyu percaya bahwa guild kami setara dengan empat petarung sihir terbaik yang biasa hadir di babak final.
Lion. Singa. Raja hutan. Semakin tertegaskanlah embel-embel 'penguasa' pada nama guild kegelapan tersebut.
Guild kegelapan.
Kak Fuyu sendiri yang menyebarluaskan sematan kelabu pada perkumpulan pesihir yang berjumlah empat orang ini. Entah, mengapa seolah dia memamerkannya alih-alih disembunyikan.
Mengapa orang-orang harus sadar dan percaya bahwa Four Finalion adalah sebuah guild kegelapan yang memiliki markas seluas, sebesar, semegah, dan semewah istana kerajaan di buku-buku dongeng?
Mengapa?
Apa hanya untuk menakuti?
Aku tidak benar-benar tahu seberapa tangguh kekuatan sihir yang dimiliki Kak Fuyu. Tampak dari luar, wanita itu tidak terlihat seperti pesihir yang gemar bertarung atau menghabiskan mangsa sekecil musang hutan sekali pun.
Tapi kuakui dia memang mempunyai aura dingin yang mampu membuat orang di dekatnya saat itu merasa ciut dalam sekejap. Seperti namanya yang berarti musim dingin, Kak Fuyu seakan tak membiarkan siapa pun menerobos tembok dingin yang dipasangnya.
Kehangatan yang mampu mencairkan air es itu masih kami cari.
Di kala diriku tengah berkutat dengan rumus-rumus dan senyawa untuk membuat ramuan baru, Elin membuka pintu kamarku yang letaknya agak berjauhan dengan meja baca tempat aku duduk.
"Jangan lupa hadir di perjamuan malam nanti ya, Kak Shia. Kata Neesama bakalan ada anggota baru."
Anggota baru?
Maksudnya, salah satu di antara kami bertiga akan digantikan oleh orang baru? Atau bertambah menjadi lima?
Sebelum aku bertanya lebih lanjut ke Elin, gadis tersebut keburu menutup pintunya, mengirimkan tanda tanya besar ke kepalaku.
Ah, aku jadi tidak bisa fokus dengan pekerjaanku saat ini.
Namun aku pun tetap mendekam diri di situ seharian hingga perjamuan malam tiba; tiba-tiba merasa nyawa akan terancam jika berkeliaran keluar kamar.
Tanpa bertemu dengan Rim atau Kak Catris, aku tiba duluan di meja makan besar yang jumlah kursinya terlalu banyak. Aku duduk di bagian kiri dari kursi tunggal di ujung meja makan, tempat Kak Fuyu biasa duduk.
Masakan-masakan lezat telah tersaji di meja makan tersebut. Lobster bakar dengan selada dan tomat, kalkun panggang mentega, sate udang barbeque, puding vanila saus caramel, serta berbagai makanan pembuka dan penutup lainnya yang malam itu tak terlalu menggugah napsu makanku.
Isi kepalaku terus memikirkan kemungkinan-kemungkinan dari pernyataan Elin tentang anggota baru.
"Oh, ternyata bukan Shia." Kak Catris datang dengan langsung mengambil duduk di kursi sebelahku. Dia memandangi sajian makan malam tersebut sesaat, lalu kembali memusatkan perhatian padaku. "Aku tadi mikir siapa dari kita yang bakal diganti sama anggota baru itu."
"Jangan-jangan Rim...."
Kak Catris tertawa. "Mana mungkinlah," sahutnya. "Dia baru aja menang tarung sama si Aldo. Malah kukira Rim yang paling kuat di antara kita."
"Iya, kuat. Tapi percuma kalau sekarang nggak ada di sini."
Sebuah suara renyah dari seorang laki-laki tak asing membawa serta dirinya ke kursi seberang kami.
Aku dan Kak Catris sontak melotot ke arahnya yang terlihat malas-malasan berada di situ. Tangan kirinya menopang samping kepalanya sambil melihati satu-satu menu makan malam mewah yang tak membuatnya berselera itu.
"Kak Fuyu-nya mana?"
"Ini." Dijawab langsung oleh si empunya nama yang baru saja hadir. Dia menggeser kursi kebanggaannya lalu duduk. "Santai aja, aku nggak pernah nggak tepat waktu."
Ucapannya yang bernada lurus entah mengapa mengesalkanku.
"Ayo, dimakan," kata Kak Fuyu di saat dia sudah menyentuh sendok dan garpunya. "Kasihan koki-kokinya udah masak capek-capek masa nggak dimakan."
Aku dan Kak Catris saling melirik sebentar, merasakan situasi yang canggung sekaligus tegang. Sementara si orang yang baru 'masuk' itu malah memulai makannya seolah dia adalah tamu penting di sini.
Tidak. Aku berusaha yakin Kak Aldo tidak ada hubungannya dengan semua ini.
"Ayo, Kak. Makan." Tahu-tahu Elin sudah berdiri di samping Kak Fuyu, bersikap bak sekretaris atau bodyguard. Yang mana itu artinya di sampingku juga.
Oh, segalanya yang berbau formal di sini sungguh sangat menyebalkan.
Kenapa tidak langsung bicara saja?
"Nggak akan enak ngobrolnya kalau perutnya kosong." Kak Fuyu tahu apa yang kupikirkan. Kulihat porsi makannya terbilang sedikit. "Makan dulu aja, Shi, Cha. Waktunya masih banyak kok."
Aku memerhatikan lagi satu-satunya cowok yang berada di meja makan ini. Raut wajahnya masih sedatar Kak Fuyu.
Aku berdecak di dalam hati.
Dengan napsu makan setengah-setengah, kusantap juga salah satu makanan yang ada di dekatku. Memotongnya seperempat, menaruhnya di piring kosongku, kemudian memasukkan sebagian potongannya ke mulut. Kunyahanku bahkan kubuat sangat lambat.
Tetapi bukan Kak Fuyu namanya jika tidak membuat kejutan. "Sekarang Aldo resmi masuk Four Finalion abis menang ngalahin Rim."
Bukannya katanya kita harus menyantap makanan-makanan ini dulu? Aku sampai hampir tersedak mendengar kalimat yang bunyi dan waktu penyampaiannya tak terduga itu.
Kak Catris batuk-batuk.
"Ngalahin Rim? Bukannya Rim yang menang?" Aku melirik sekejap ke Aldo. Satu detik saja karena tidak sudi.
Kak Fuyu tidak langsung menjawab. "Do, sana kamu yang jelasin."
"Mereka harus tahu, nih?"
"Terserah."
Niat nggak sih jadi ketua guild? Kuduga kepribadiannya plegmatis akut.
"Kasih tahu aja. Biar nggak resek."
Mengatai-ngatai di depan muka kami sendiri? Baiknya aku membencinya saja alih-alih segan.
Aldo pun, dengan malas dan menghela napas, setelah memajukan piringnya yang belum bersih dari makanan, dia menjelaskan, "Simple-nya, Rim aku santet."
Rasanya seolah meja makan besar ini bergetar. Udara di sekitar kami pun menguarkan aroma busuk. Maksudku hanya aku dan Kak Catris saja yang bisa menghirupnya.
"S-santet?" Kak Catris menyuarakan keterkejutanku. Dia berbalik menatap orang di ujung meja. "Maksudnya apa, Kak?"
"Udah Aldo jelasin, kan." Wajah lempengnya benar-benar perlu dihajar. "Santet."
"Kenapa Kakak kayak yang nggak peduli gitu?" Terdapat rasa sedih dan getir dalam suara yang dikeluarkan Kak Catris.
Aku ingin ikut menyerang ketua guild kami itu, tapi rasa amarah tertahanku menyuruhku untuk diam dulu.
Kak Fuyu mengembuskan napas lelah. Sepertinya dia pun sudah tak berselera menghabiskan makan. "Anggota guild masih bisa dicari. Kalau Rim mati dengan cara paling mengenaskan pun, apa aku harus dirundung duka setidaknya minimal selama setahun? Di mana otak kalian."
"Kakak yang nggak punya hati!"
"Emang nggak," jawabnya, sangat enteng. "Kalau pun ada yang jual gratis dan dapet bonus buku hardcover, aku nggak tertarik beli."
Kayaknya aku salah masuk guild. Atau ada yang salah dengan diriku? Jika tahu guild ini adalah guild kegelapan, kenapa aku memutuskan untuk bergabung?
Kenapa aku memutuskan untuk bergabung?
Ada apa dengan diriku di waktu itu?
Kenapa aku meninggalkan mereka berdua?
Kak Catris tidak tahan lagi berada di situ lama-lama. Dia membanting garpu ke meja, membuat Elin bergidik, kemudian pergi meninggalkanku sendirian sebagai pihak kontra.
Aku benar-benar sendirian dan terpojokkan. Dadaku terasa sesak.
Tapi aku harus meluruskan sesuatu yang kurasa masih mengganjal.
"Kak Fuyu yakin nerima Kak Aldo gitu aja tanpa ngelihat latar belakangnya dulu?" tanyaku, tanpa nada dan tatapan yang lurus padanya.
"Perlu, Shi?"
"Kalau dia nusuk Kakak dari belakang gimana?"
"Hajar balik."
"Jadi Kakak nggak peduli sama kita, ya?"
"Peduliin diri kamu sendiri, Shi. Jangan ngarepin orang lain repot-repot ngelakuinnya buat kamu."
Kakak satu ini harus pintar-pintar mengolah kata-katanya agar tidak menusuk hati mereka yang gampang sensitif. Namun aku pun harus pintar-pintar mengatur hatiku agar tak terpengaruh oleh kata-kata menusuk mana pun.
Aku tak bisa mengendalikannya. Jadi yang harus kukendalikan adalah diriku sendiri.
Kuputuskan untuk menenangkan hatiku dengan menyepi ke kamarku. Ah, sepertinya itu akan menjadi perjamuan terakhirku di meja makan mewah tersebut.
Selamat tinggal, Kak Fuyu.
Izinkan aku menginap di kediamanmu satu hari saja untuk malam ini.
Besok pagi sebelum ayam kebun berkokok, kupastikan kamar ini kosong tanpa seorang pun bernama Shia Alchesaw menempatinya.
Aku harap Kakak menemukan seseorang yang bisa lebih mengerti sifat Kakak daripada aku. Karena aku sudah tidak tahan lagi dengan segala kemisteriusan yang Kakak beri untuk kami.
Aku ingin hidup untuk diriku sendiri saja.
.
Aku mengingat-ingat alasanku bergabung dengan Four Finalion dan meninggalkan kedua sahabat dekatku. Apa kala itu aku tengah diliputi keputusasaan makanya berpikir bergabung dengan sebuah guild terkuat adalah jalannya?
Atau dulunya aku memang mempunyai hati yang buruk rupa?
Kenapa aku seolah kehilangan ingatan tentang identitasku sendiri?
Siapa aku ini sebenarnya?
Sudah dua kilometer aku berjalan tanpa arah dari istana tempat wanita itu tinggal; aku tidak akan pergi ke sana lagi, tidak sudi. Semuanya serba memburuk dalam satu hari yang sama.
Meninggalnya Rim, masuknya Kak Aldo (musuh bebuyutan guild), Kak Fuyu yang semakin menunjukkan kedinginannya, sedari awal pun sebenarnya aku tidak begitu merasakan hawa kekeluargaan dalam guild tersebut. Dan seharusnya aku tidak perlu kecewa mengingat statusnya yang memang sebuah guild kegelapan.
Aku berhenti, lalu tertawa. Tertawa, kemudian tertawa lagi. Terus-terusan tertawa sampai orang yang tak sengaja lewat merasa risih.
Dapat kurasakan kaki telanjangku menempel kuat ke permukaan tanah yang kasar, udara lembap pagi hari yang menerjang kulit, aku tak membawa apa-apa selain harga diri yang tersisa.
Oh, benar. Misi P*********** S****.
Namun mengapa aku menyetujuinya?
Shia satu tahun lalu, apa yang kamu pikirkan, sih?
Kusebut dua nama sahabatku lirih, berharap mereka menemukanku di sini saat ini. Tidakkah kalian terlalu lama mencariku? Kenapa aku tidak juga kalian temukan? Kalian masih sahabatku, kan?
Hey, ayo temukan aku....
Aku tak tahu lagi harus melangkah ke mana....
Satu titik basah jatuh menyentuh rambutku. Kemudian gerombolannya yang lain datang, menyebabkan yang tak mau berlindung itu kebasahan.
Jarang sekali hujan turun di hari sepagi ini. Aku benar-benar sial.
Aku kembali pada kebiasaanku; berjongkok, mengeluarkan bulu pena, mengubahnya menjadi tongkat tak berguna, lalu menggambar-gambar sesuatu di atas tanah basah. Kita lihat, apa yang bisa otak tanpa berpikirku hasilkan.
Namun sebelum lingkarannya sempurna terbuat, sebuah telapak sepatu hitam menghapus guratan-guratan yang kugores tersebut dan menghilangkannya dalam sekejap.
Kudongakkan kepala bukan untuk memarahinya karena telah merusak hasil gambaranku.
Aku langsung mengenalinya dalam satu kedipan mata.
"Aku udah nggak latihan lagi, Mommy. Jangan hapus gambar aku seenaknya."
Dia melipat lengan di dada, kebiasaannya pada saat melatihku. "Mommy nggak pernah ngajarin kamu main pas lagi hujan." Sebentar lagi dia akan menceramahiku. "Kalau kamu demam, yang repot Mommy juga."
"Dan aku nggak pernah ngajarin Mommy ngerawat aku pas demam."
"Masuk."
"Ke mana?"
Ke mana?
Aku harap dia membawakanku rumah untuk pulang.
Dia menggenggam tanganku yang basah oleh telapak tangannya yang terbungkus sarung tangan hitam. Aku menurutinya, menyerahkan hidupku sepenuhnya untuk beberapa menit ke depan padanya.
Kami menepi ke sebuah teras kedai yang belum buka. Sebenarnya hujannya cuma berwujud gerimis meski langitnya cukup mendung. Aku tidak akan terlalu kebasahan dan kedinginan. Apalagi terserang demam. Aku tidak peduli jika sebentar lagi aku meninggal.
"Pakai."
Sebuah jubah panjang hitam kebanggaannya dia sodorkan ke arahku. "Kalau aku nolak, Mommy tetep bakal maksa, kan?"
"Nggak juga." Dia kembali mengenakan pakaian hangat tersebut.
Aku tidak peduli.
Setelah beberapa lama diisi kebisuan, pihak sana yang pertama bertanya. Dia menghela napas terlebih dahulu. "Biar Mommy tebak, kamu baru aja keluar dari guild kegelapan itu?"
Aku melebarkan senyum. "Mommy bukan Mommy-ku kalau sampai salah nebak."
Mommy Resti. Pelatih sihirku. Sekaligus orang terdekatku setelah kedua orang sahabatku.
Pada masa-masa awal aku membeli bulu pena bersama mereka berdua, aku bertemu Mommy Resti secara tak sengaja. Dia sedang berlatih sendirian dan aku langsung terpesona oleh gaya bertarungnya yang kalem namun tajam.
Maksudku, Mommy Resti menggenggam senjatanya dengan kuat, pandangan mata lurus ke target, irama pernapasan teratur, jarang sekali aku melihatnya berkeringat atau kecapaian menghadapi kekuatan lawan. Dia seakan menyebarkan peringatan dilarang mendekat bagi siapa saja yang sekadar mengintipnya dari balik semak.
Aku selalu diam-diam menyaksikannya berlatih dan selalu tertangkap basah walau hanya dengan lirikan mata bengis; dia tak pernah benar-benar menangkapku, dia membiarkanku melihatnya sepanjang berlatih.
Lalu sehabis itu berlangsung cukup lama, untuk pertama kalinya Mommy Resti menghampiriku hanya untuk berkata, "Besok jangan hanya melihat saja. Bulu penamu jadi menganggur."
Aku tahu itu berarti dia mengizinkanku berlatih bersamanya. Berlatih bersamanya. Sebelum akhirnya dia melatihku dan mengajariku.
"Nama asli Kakak siapa, sih?" Aku bertanya padanya pada suatu sore yang menyengat selepas latihan panjang.
"Resti."
Kupikir dia tidak akan pernah memberitahuku. "Boleh aku panggil Mommy?"
"Terserah."
Kemudian aku berpisah dengan kedua sahabatku. Yang artinya aku berpisah juga dengan Mommy Resti.
....
Kutatap butiran-butiran air yang berjatuhan dari atap teras kedai. "Mommy inget nggak, perkataan terakhir Shia ke Mommy sebelum pisah?"
Mommy Resti berdiam sebentar. "Kamu pengen gabung guild."
"Kenapa guild kegelapan, Mom?"
"Karena katamu guild kegelapan orangnya kuat-kuat."
"Bukannya Mommy Resti lebih kuat?"
Dia menunduk memandang sepatu basahnya.
"Jangan bohong, Mom. Bilang aja yang sejujurnya." Bukan itu yang tertinggal dalam ingatan payahku. "Kenapa aku pengen gabung guild kegelapan?"
"Karena Shia pengen ngalahin Mommy."
"Tapi masih nggak bisa ya karena Shia masih aja sembunyi?"
"Shia nggak perlu ngalahin Mommy."
"Kalau gitu Shia nggak akan pernah bisa sekuat Mommy."
"Iya."
Aku sangat tahu Mommy Resti selalu jujur dalam berkata-kata selain saat tadi. Tetapi satu kata itu benar-benar menyentak hatiku sampai ke bagian paling dalam.
Aku mengepalkan tangan kuat-kuat.
Mommy Resti tahu aku tidak akan pernah bisa setara dengannya.
"Melihat perubahanmu yang sekarang, Mommy pikir perlu sepuluh tahun lagi untukmu bisa membuat Mommy kelelahan karena bertarung denganmu. Dan sepuluh tahun lagi untukmu bisa menautkan luka fisik di tubuh Mommy."
"Kalau gitu aku tinggal racunin Mommy aja."
"Mommy bisa menciumnya dari radius sepuluh kilometer."
"Nyuruh orang lain bunuh Mommy."
"Orang itu udah Mommy bunuh duluan."
Kesal itu lebih dalam dari ketika aku berhadapan dengan mantan ketua guild-ku. Kutahan tangisan frustrasi itu agar tidak jatuh. "Bukan ini pertemuan yang aku harapkan, Mom."
"Mommy juga."
"Shia kangen Mommy."
"Mommy juga."
Ada jeda di antara pengungkapan kasih sayang itu. Jaraknya dan aku hanya dipisahkan satu langkah kaki.
Kemudian, ketika kupikir aku tidak akan pernah melihat Mommy Resti tersenyum untuk murid sihirnya ini, aku mendapatkannya beserta sebuah pelukan hangat.
Untuk beberapa menit yang aku serahkan pada pelatih sihirku itu, aku merasakan suatu sensasi bernama pulang ke rumah.
Aku menangis di pelukan Mommy-ku. "Kak Fuyu jahat, Mom."
"Jahat kenapa?"
"Rim meninggal, tapi dia biasa aja."
"Kamu nggak bisa maksain apa yang kamu rasakan harus orang lain rasakan juga." Rambutku diusap-usapnya. "Dan nggak semua orang harus kamu pahami."
Aku mendengus. "Aku udah keluar kok. Aku nggak mau lagi ketemu sama orang-orang nggak berperasaan itu."
"Shia."
"Mm?"
"Ada sesuatu yang lagi Shia pengenin?"
Aku berpikir beberapa saat. "Ketemu mereka." Mommy Resti tahu siapa yang aku maksud.
"Selain itu ada nggak?"
"Nggak."
Pelukan dilepas secara perlahan. Aku mengamati ekspresi Mommy Resti yang masih tenang; emosinya tidak terguncang oleh momen pertemuan ini.
"Kenapa, Mom?"
Sebuah pil Mommy tunjukkan padaku.
"Itu apa, Mom?"
"Pil tidur."
"Buat siapa?"
"Kamu."
"Hah?"
Apa Mommy benar-benar tidak bisa berbohong selain untuk urusan kasih sayang? Tapi apa ini?
Dia lalu memasukkan pil itu ke saku jubahnya lagi. Tatapannya tertancap lurus ke wajahku. "Ada yang Mommy pengenin juga ke Shia."
"Apa?"
"Ngebunuh Shia."
Berbulan-bulan kebersamaanku dengannya menghilang begitu saja oleh satu kalimat tersebut.
Aku tertawa sekenanya. "Maksudnya apa, Mom?"
"Shia inget nggak dalam hidup Shia, Shia udah ngebunuh siapa aja?"
Keningku otomatis berkerut, sama sekali tak bisa memikirkan hal lain selain satu kalimat tadi.
"Nath."
"Oke...."
"Anggota ASS."
"Iya...."
"Saya ketuanya."
Mommy Resti telah menghilangkan perannya sebagai pelatih sihirku.
"Saya akan membunuh siapa saja yang telah membunuh anggota-anggota saya."
"Bagus."
"Saya bukan Resti yang kamu kenal."
"Iya, Kak Queen."
Tapi omong-omong, Mommy Resti pun telah mewujudkan keinginanku tanpa disadarinya. Dia tetap seorang Mommy.
Tadi aku sempat berkata ingin mati, ya?
Sebelum semuanya benar-benar diserang gelap, entah dia yang mana yang membisikkan ini, "Mommy sayang Shia."
Oh, Mommy-ku!
Terima kasih telah membunuh Shia.
Shia memang ingin pulang ke rumah.
sudah jelaskan four finalion itu artinya apa? empat orang yang tahun kemarin masuk semi final tournament blurb. jika shia keluar, maka penggantinya siapa?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro