13) enatuvo, gantikan posisinya di four finalion
c h a p t e r 13
Rim Enatuvo
gantikan posisinya di four finalion
Namanya saja guild kegelapan, tapi markasnya mirip istana es.
Aku tak pernah terbiasa tinggal di bangunan megah begini. Sesuai kekuatan elemenku, aku merasa lebih nyaman berada dekat dengan alam. Sesederhana rumah pohon saja atau membangun tenda perkemahan, energi sihirku akan lebih cepat terisi dan berkembang.
Tapi aku tak pernah berani bicara dengan Neesama. Dia, terlalu susah didekati.
Kak Shia dan Kak Catris pun setuju. Kami sebagai teman guild-nya merasa dijadikan tamu alih-alih teman.
Kami dijamu layaknya bangsawan di 'rumah'-nya ini. Diberikan kamar superluas, makanan lezat tiga kali sehari, dan pelatih-pelatih sihir yang sangat mumpuni.
Bertemu saja jarang. Bagaimana bisa diajak bicara? Dan memang siapa yang berani mengajaknya bicara?
Cuma dua orang.
Salah satunya laki-laki berambut biru gelap yang selalu bermain bola di lapangan sebelah timur istana es.
"Ayolah Isagi, tanyakan kabar terbaru soal misi itu." Misi P*********** S****. Salah satu alasan mengapa aku tertarik bergabung ke Four Finalion.
Isagi membasuh keringat di wajahnya dengan guyuran air dari botol. Dia baru selesai bermain bola.
"Aku kan sudah pernah bilang," sahutnya ketus. "Jangan libatkan aku.'
"Tapi cuma kamu yang bisa ngobrol sama Neesama."
Dia menolehku singkat, tatapannya tajam.
Laki-laki itu tahu tapi ragu tentang Neesama yang suka padanya. Aku saja ragu. Aku cuma pernah sekali melihat Neesama tersenyum lebar saat ada Isagi di dekatnya.
Kesimpulan yang bodoh.
"Mana mungkin aku mau membicarakan hal yang tak kumengerti itu dengannya." Isagi menutup botol. "Itu urusan kalian."
"Nanti aku kasih bunga paling indah sebagai hadiahmu untuknya."
"Alah, bisa kupetik sendiri."
"Oh jadi kamu ada niatan ngasih Neesama bunga?"
Alisnya mengerut dalam menghadap wajahku. "Norak banget."
Kemudian pergi.
Cih.
Hari ini sepertinya dia kalah bermain dengan laki-laki berambut putih dari desa seberang.
Di siang yang terik itu, aku mencari keberadaan Kak Shia atau Kak Catris ke penjuru istana es. Halaman istana ini cukup luas membuat penghuninya bisa berkeliaran ke mana saja dan susah dicari.
Susah dicari.
Kuhirup napas dalam-dalam, menimbun kekesalan yang sudah lama tertanam dalam hati. Iya, tinggal di area superluas dan dingin ini begitu menguji kesabaran.
Kesabaran untuk bertahan memperkuat diri tanpa tahu apa yang seharusnya dilakukan.
Neesama terlalu bermain rahasia.
Kami hanya dijadikan pion.
Cih.
Kak Shia akhirnya kutemukan sedang mencoret-coret tanah dengan sebatang kayu di pelataran luar gerbang. Akhir-akhir ini dia lebih sering melakukannya daripada berkutat lama-lama di laboratorium.
Kulihat dari dekat, ternyata itu gambar seorang gadis yang tak kukenali. Posisinya tengah membidik seseorang atau sesuatu dari kejauhan.
Aku tidak berani bertanya itu siapa. Wajah murung Kak Shia seolah menyuruhku untuk tak menanyakan apa pun.
"Sia-sia ingatannya aku hapus."
"Kak Shia?" Kupanggil namanya pelan.
"Oh, Rim." Kak Shia menghapus hasil gambarannya. "Ada apa?"
Aku jadi ragu bertanya mengenai kelanjutan misi guild yang masih abu-abu. Aku mengambil waktu yang salah.
"Nggak apa-apa. Ini lagi nyari Kak Cat."
"Santai aja. Cepetan bilang ada apa."
Dia tahu aku ada urusan dengannya. Urusan tentang Neesama yang harus kubicarakan dengannya.
Aku berjongkok di samping Kak Shia. "Soal misi itu, Kak. Mau sampai kapan kita nggak tahu apa-apa terus?"
"Kenapa nggak nanya langsung ke Kak Fuyu aja?"
"Kita tahu sendiri Neesama itu orangnya gimana."
"Gimana emangnya?"
Aku tersekat. Sama seperti Isagi yang sedang sensitif, Kak Shia pun tampaknya sedang tak bisa diajak bicara.
Ini akan percuma.
"Kak Fuyu itu orangnya gimana, Rim?" Kak Shia menyerangku dengan pertanyaan yang belum terjawab itu.
Kutelan ludah susah-susah. "Ya..." pikiranku kosong, "susah dideketin aja, Kak. Kayak mau berhadapan sama dia aja, aku udah takut duluan."
"Kenapa takut? Emang Kak Fuyu nyeremin?"
"Emang menurut Kakak nggak?"
"Nggak terlalu," jawabnya singkat.
Aku kehilangan kata-kata untuk meneruskan percakapan.
"Mungkin itu cuma pemikiran kamu aja, Rim. Kali aja aslinya Kak Fuyu itu orangnya baik."
Ya... memang. Tapi sekali lagi, aku sudah takut duluan. Seperti pikiran-pikiran paling buruk mendadak menghantam kepalaku kala aku tengah berhadapan dengannya.
Aku menghela napas.
Kak Shia sedang tidak bisa diandalkan.
Kak Catris sepertinya juga tidak.
Betapa individualistisnya perkumpulan ini.
Aku memutuskan berjalan sendirian menjauhi istana es. Cuacanya lumayan panas dan gerah untuk berkeliaran di luar ruangan. Tetapi aku sudah muak berdiam saja tanpa tahu jelas apa yang seharusnya kulakukan. Hanya melayani si pengganggu itu saja mungkin.
Terakhir kami bertemu sudah cukup lama. Ketika aku tak sengaja membunuh tiga gadis tak bersalah yang baru keluar kedai. Kehadirannya memang selalu diiringi kematian.
Apa kabar dia, ya? Tiba-tiba aku kangen padanya.
Aku ingin mengasah kemampuan sihirku lagi.
Tapi tahu aku bertemunya malah dengan siapa?
Tidak, bukan Neesama; aku bersyukur dalam hati.
Ini Elin. Boginya-nya Neesama.
Sekilas yang kudengar dari Kak Shia dan Kak Catris, Elin berkepribadian lebih terbuka walau sableng. Entah kekuatannya apa, yang jelas dia merupakan boginya biru. Aku juga tidak terlalu mengerti boginya itu apa dan ada berapa banyak.
Elin tengah berbicara dengan seorang laki-laki berambut putih berkulit pucat yang juga sedang membawa bola seperti Isagi. Ah, laki-laki dari desa seberang yang barusan mengalahkan Isagi dalam sepak bola. Kalau tidak salah namanya Nagi.
Aku bersembunyi di semak-semak, menguping pembicaraan mereka yang kelihatannya serius.
"Aku tidak mau repot-repot melakukan itu bahkan untuk anggota keluargaku sendiri." Nagi menempelkan dagunya malas di lutut yang ditekuknya, dia tak tampak berkeringat seperti pemain bola satunya.
"Saia juga rada bingung sebenernya. Neesama kayak punya banyak topeng. Dan saia sebagai boginya-nya aja nggak tahu mana yang asli dan palsu."
"Memang kalian biasanya bercengkerama mengenai apa?"
"Banyak," jawab Elin. "Kalau nggak tentang orang itu, isinya kebanyakan nggak penting sih, kayak obrolan manusia biasa."
"Obrolan sesama perempuan?"
Elin mengangguk. "Neesama sering diam-diam nonton pertandingan bola kalian loh, di kamarnya. Kan kelihatan tuh lapangannya."
Nagi menoleh menatap Elin. "Benarkah? Siapa yang biasanya dia dukung?"
"Dua-duanya pernah."
"He, nggak seru, ah."
"Oh, oh. Kamu bisa ngobrol sama orang biasa juga ya, Elin."
Kupikir jantungku berhenti berdetak. Tapakan kakiku ke tanah pun terasa semakin dalam.
Dia... benar-benar datang sesuai harapku.
Elin panik, dia berdiri dengan langsung melakukan pertahanan sementara di sampingnya Nagi kelihatan tidak tahu apa-apa. Aldo tersenyum, nampaknya akan melakukan sesuatu pada mereka.
"Nagi, pergi," pinta Elin.
"Lapor Fuyu?" Laki-laki itu masih dalam posisinya bersandar ke batang pohon.
Elin menggeleng-geleng. "Pergi saia bilang."
"Merepotkan saja."
Nagi akhirnya beranjak dari duduk, berjalan menjauhi Elin dan Aldo. Kupandangi mereka berdua beberapa saat, merasa sangat bersemangat namun berusaha menahan diri.
"Kenapa sedari tadi kau hanya menguping?"
Kuputar kepala untuk melihat Nagi yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangku.
Kok bisa?
Ah, tapi dia tidak mungkin memiliki bulu pena. Orang pemalas dan gila bola sepertinya tidak mungkin mau menghabiskan banyak uang demi sesuatu yang nantinya akan membuatnya lebih kerepotan.
Benar. Kadang sihir sangat membuat repot.
"Ngapain kau di sini?" Aku bertanya padanya sambil menyembunyikan kegelisahan.
"Iseng menangkap si penguping."
Sialan, aku merasa disindir.
"Kenapa kau menguping pembicaraan temanmu sendiri? Tidak akur, ya?"
Wajahnya yang tak berekspresi itu sambil terus menyerangku sangat-sangat mengesalkan hati. Dua pemain bola itu sama-sama berotak miring.
"Bukan urusanmu." Aku ingin pergi dari situ tapi pertemuan Aldo dan Elin masih berlangsung; Aldo masih bersikap mengancam sedangkan Elin pun kesulitan melarikan diri.
Nagi mengikuti pandanganku ke depan sana. "Tidak kau bantu?"
"Sekali lagi ini bukan urusanmu!"
Kenapa dia mau repot-repot memikirkan perkara sesuatu yang tidak mungkin dimengertinya?
"Kau ingin aku menyampaikan salam untuk Fuyu?" Nagi berkata lagi.
Aku sedikit terkejut mendengarnya. Manusia albino satu ini ternyata dekat dengan Neesama juga, ya?
Nagi diam menungguku memberi jawaban.
Aduh, aku sedang tidak bisa fokus memikirkan dua hal. Ada Aldo dan Elin di sana yang harus segera kuamati baik-baik perkembangannya.
"Iya! Beri salam saja padanya!" Akhirnya itu yang kuucapkan. "Bilang, jangan galak-galak sama Rim Enatuvo kalau Rim mau bicara sama Neesama."
"Setahuku Fuyu tidak galak. Atau mungkin dia cuma galak terhadapmu."
Meninggalkan kalimat terakhir yang berpotensi menaikkan tensi darahku, Nagi pergi menghilangkan dirinya dari hadapanku.
Aku memakinya dalam hati, bersumpah tidak akan berurusan lagi dengannya maupun si rambut biru.
Baiklah, saatnya fokus menghadapi si menyebalkan lainnya bernama Aldo Necroweil.
Mereka masih di sana. Namun Elin sekarang terduduk di bawah Aldo yang bergelagat sedang menunggu seseorang. Berkali-kali dia mengangkat lengannya seolah di situ ada benda pengingat waktu.
"Mana si Enatuvo itu."
Aku tak perlu tersekat sebab aku pun sempat memikirkan kemungkinan memang dirikulah yang sedang ditunggunya. Dia kadang susah dan gampang ditebak.
Aku mendekat ke mereka dengan ketakutan nol persen dan keberanian seratus persen.
Di saat matanya menangkap mataku, dia menunjuk Elin menggunakan kepalanya. "Ada yang mau ngomong, tuh."
Kulirik Elin yang terkejut melihatku. Kami memang belum pernah mengobrol meski sesekali bertemu. Tapi ketakutan di wajahnya itu terlalu berlebihan untuk diberikan pada teman se-guild.
Aku mengerutkan kening, merasa ada yang janggal.
"Shia sama Cat ke mana?"
Ada apa dia tiba-tiba menanyakan mereka berdua? Aku tidak bisa tidak menaruh curiga.
"Santai, nggak akan aku sakitin kok. Cuma bakal kujadikan wadah aja."
"Hah?"
"Ayolah, panggil dulu mereka ke sini."
Dia pikir aku akan menurutinya? Sangat tidak waras sekali.
Tapi Aldo terus meminta. Dia sampai menaikkan jari telunjuk dan tengahnya sebagai tanda perdamaian. "Bentaran doang, janji."
"Males." Aku mendelik.
"Atau Elin-nya aku...."
Inilah, kerugian mempunyai seseorang yang mesti kau lindungi.
Aku tidak benar-benar menyukai atau menyayangi anggota-anggota Four Finalion (Elin termasuk di dalamnya). Sudah kubilang kan kami tuh individualistis? Jika Kak Shia atau Kak Catris tiada pun, aku yakin guild ini masih tetap berdiri dengan lambang kegelapannya yang kerap kali menakuti sebagian pesihir.
"Males Do, serius." Aku sedang dalam kondisi tak bisa diajak bercanda. "Emang wadah buat apa sih, hah?"
Aldo mendecakkan lidah. "Gini deh," katanya, memejamkan mata. "Aku bakal kasih tahu apa kelemahanku kalau kamu suruh mereka ke sini."
Lumayan menarik.
Maka tanpa pertimbangan apa pun lagi, aku kembali ke titik tadi aku menemukan Kak Shia tengah asyik mencoret-coret tanah. Dia masih di situ, dan untungnya Kak Shia mau-mau saja aku ajak ke tempat-di-mana-kau-bisa-melatih-sihirmu-di-sana.
Kak Shia bilang, dia melihat Kak Catris sedang mengetes suaranya di air mancur istana es. Kuhampiri 'teman' guild-ku itu dan dengan mudahnya langsung mendapat persetujuan.
Tak kusangka mereka berdua ternyata mudah dikibuli.
Sampai di tempat Aldo dan Elin berada, hanya satu detik saja kusaksikan keterkejutan di raut Kak Shia dan Kak Catris sebelum mereka berdua tiba-tiba terlihat linglung.
Aldo melakukan sihir apa?
Sama seperti Elin, ketika melihatku ada di situ, Kak Shia dan Kak Catris pun menunjukkan ketakutan yang berlebihan.
Ada apa, sih?
Kak Shia dan Kak Catris memisahkan diri masing-masing dari satu sama lain; jarak mereka bertiga (dan Elin) agak berjauhan.
Aldo tersenyum, yang pasti kau sendiri pun tahu itu jenis senyuman apa.
"Oke, sudah dimulai." Laki-laki itu menepuk tangannya sekali. "Ada yang mau kalian omongin ke Rim, kan? Manusia yang sudah membunuh kalian."
???
"Jangan takut. Dia tidak akan membunuh kalian lagi, dan asal kalian tahu saja, waktu kalian untuk menyampaikan isi hati tidak banyak."
Siapa yang sudah kubunuh?
Sumpah, ini ada apa, sih.
"Oh. Kalian bertiga adalah Parrot, Mi, dan Rin. Tiga orang tak bersalah yang baru keluar dari kedai dan mati di tangan pesihir payah bernama Rim Enatuvo."
Aku tak suka menampakkan emosi-emosi negatif di depan dia. Dia akan semakin puas dan yakin bisa menyakiti diriku.
Tapi kenyataan yang kulihat itu, atas ulahnya yang sama sekali tidak manusiawi, dua bola mata membesarku kontan melayangkan tertawaan Aldo ke sepenjuru hutan dekat istana es.
Aku... tak bisa berkata-kata.
"Kenapa kau membunuh kami?"
Dari sudut mataku, kulihat Elin bicara. Atau seseorang dari Parrot, Mi, dan Rin yang berada dalam tubuhnya.
"Kami baru saja bertemu, berkenalan, makan bersama, tertawa, menjalin pertemanan, tapi tak kau biarkan kami menikmatinya barang satu jam saja. Kenapa?"
Aku belum pernah melihat Elin menangis. Dan jiwanya yang membuat Elin menangis anehnya memunculkan keibaan dalam hatiku.
"Salah kami apa? Atau pada dasarnya kau memang seorang iblis yang kebetulan mempunyai sihir dan menggunakannya untuk hal-hal jahat? Begitu?"
Mulutku masih tak bisa bergerak.
"Parrot?" Kak Shia memanggil Elin. "Kau Parrot?"
Elin hanya melirik sekilas. Walau wajahnya diwarnai tangisan, rautnya menunjukkan amarah pada siapa saja yang berada di situ.
"Ini Rin?" Kak Catris menghampiri Kak Shia, memegang-megang tubuhnya. "Rin, beneran Rin?"
"Mi?"
Saling melihati sejenak, mereka berdua pun menangis lalu berpelukan seolah mereka kembali mendapatkan nyawa untuk melanjutkan hidup. Padahal itu tubuh milik orang lain.
"Rin... ini ada apa?" Mi dalam raga Kak Catris melepas pelukan, suaranya bercampur isak. "Kenapa kita berada dalam tubuh orang lain? Bukankah kita sudah mati?"
Rin dalam raga Kak Shia mengedarkan pandang ke Elin, Aldo, dan berhenti padaku. Agak lama dia menatapku yang diam sedari tadi.
"Kau, yang membunuh kami, ya?"
Aku tidak merespons.
Rin atau Kak Shia mendekatiku. Tak ada lagi ketakutan apa-apa di seluruh bagian wajahnya.
"Boleh beri tahu, rasanya mempunyai umur yang panjang?"
Aku tidak merespons.
"Boleh beri tahu, rasanya mempunyai masa depan yang bisa digapai?"
"Rin...." Mi atau Kak Catris menggumam.
"Boleh beri tahu," Rin menunduk, "rasanya menikmati kebahagiaan yang baru saja didapat?"
Parrot atau Elin berdiri. "Kak Sura kabarnya gimana? Dia baik-baik aja, kan?"
Siapa Sura....
"Sura. Iya Sura." Mi seperti teringat sesuatu. "Dia bagaimana kabarnya? Udah dapet temen dan tempat tinggal, kan?"
Rin membalik pandangannya mengarah ke mereka bergantian. "Iya Kak Sura. Astaga. Aku ingin bertemu dengannya."
"Tidak, cukup sampai di situ." Aldo bersuara lagi setelah membiarkan tiga jiwa itu hidup dan bicara. "Aku hanya ingin mempertemukan kalian dengan si pembunuh. Maaf kalau kalian mempunyai luka atau apa. Tapi aku mengizinkan kalian menyampaikan apa pun dalam hati dan pikiran kalian kepadanya. Dan sekali lagi, waktu kalian tidak banyak."
Parrot, Mi, dan Rin menatap Aldo berbarengan. Berpikir, melihati satu sama lain, kemudian memalingkan muka.
"Dia belum jawab apa-apa," kata Rin, tak perlu tahu siapa 'dia' yang dimaksudnya. "Aku ingin mendengar isi hati busuknya setelah tak menyesal sama sekali telah menghilangkan tiga nyawa tak berdosa."
"Iya, aku tak menyesal." Kendali diriku telah kembali. "Aku tak menyesal telah membunuh kalian bertiga. Tak sengaja telah membunuh kalian bertiga. Karena harusnya yang kuhabisi itu dia."
Aku menatap Aldo yang pura-pura terkejut mendengar penuturanku.
"Saat itu dia juga berada di kedai. Aku mengintainya dari luar dan memutuskan akan langsung menyerangnya saat pintu itu dibuka. Akar-akarku menunjukkan itu suara langkah kaki Aldo."
"Itu artinya sihirmu keliru. Dan jelas kau masih payah."
"Diam!"
Kukendalikan rangkaian daun-daun di sekitar situ untuk menangkap kedua tangan dan kakinya. Aldo membiarkan dirinya terperangkap oleh sihirku yang objeknya mengeras akibat kemarahan dalam diri.
Aku tahu dia bisa terbebas darinya, dan kontan hal itu membikinku tambah frustasi.
Aldo menatap Parrot, Mi, dan Rin dari atas sana dengan raut bosan. "Cepat selesaikan. Dia tak sabar lagi ingin bertarung denganku."
Terjadi keheningan beberapa lama.
"Pokoknya," Rin yang mewakili bicara, aku ditatapnya tajam, "jangan apa-apain Kak Sura. Kau mungkin boleh membunuh kami tanpa sengaja dan tanpa rasa sesal. Tapi ke depannya, kau akan tahu sendiri bagaimana rasanya kehilangan hal yang paling berharga dalam hidupmu. Bisa jadi itu nyawamu, atau orang yang paling kau sayangi."
Kau tahu, aku bahkan ragu apa aku menyayangi nyawaku atau tidak.
Bergabung dengan Four Finalion, guild kegelapan, hatiku seolah ikut menggelap seperti langit mendung yang merindukan matahari dan hujan.
Apa aku merindukan kebaikan yang pernah kulakukan untuk orang-orang sebelum diriku terenggut oleh sihir?
Sudah kubilang kan, sihir itu sangat membuat repot.
Setelah keadaan menjadi hanya ada aku dan Aldo di sana, dia mengatakan sesuatu yang baru kuketahui tentang Four Finalion.
"Aku tadi bertanya ke Elin. Four Finalion. Empat anggota. Apa jika salah satu anggotanya mati, Kak Fuyu bakal merekrut pesihir lain?"
Aku diam memandangi dirinya yang telah terbebas dari jeratan sihirku.
Aldo mengangkat pandangan, senyuman miringnya selalu berhasil membuatku kepanasan. "Iya katanya. Kalau Shia, Cat, atau kamu mati, dia bakal turun tangan langsung buat merekrut pesihir lain masuk guild-nya. Termasuk, orang yang membunuh anggotanya itu."
"Ngapain kau masuk Four Finalion segala? Guild itu nggak jelas," kataku, mengeluarkan unek-unek. "Dan bukannya tingkahmu selama ini mengacu pada keinginanmu untuk meruntuhkan FF? Atau kau ingin menghancurkannya dari dalam? Boleh juga."
Aku mengangguk-angguk memikirkan sebuah ide cemerlang.
"Duel denganku sini. Kalau kau menang, kau boleh menggantikan posisiku sebagai salah satu dari empat anggota FF."
Raut muka cerah Aldo menunjukkan persetujuannya atas ideku tersebut.
Mau menang atau kalah, aku tidak akan mempermasalahkannya.
Ah, tapi lebih baik kalah, sih.
Aku tidak mau melanjutkan hidup di istana es dan di bawah kekejaman ketua guild misterius yang terlalu menyembunyikan diri.
Mungkin hidupku akan lebih baik di luaran sana.
Tapi sialnya, pertandingan itu malah dimenangkan olehku.
Sudah kuduga Aldo tidak sekuat itu. Dia hanya pintar memprovokasi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro