11) cloudpaint, aku menunggumu di pertemuan kita selanjutnya
c h a p t e r 11
Chee Cloudpaint
aku menunggumu di pertemuan kita selanjutnya
"Nee, nee, mau bertarung denganku?"
Dua orang perempuan asing tiba-tiba saja sudah berada di gubuk kecil tempat tinggal Luck. Yang dapat kulihat hanya punggung mereka saja dan wajah ceria Luck yang mengajak mereka berduel—kebiasaannya.
Aku gelisah di tempatku mengintip, tak percaya gubuk rahasia kami ini berhasil ditemukan orang lain untuk pertama kalinya. Untuk apa kedua orang itu di sini? Lagaknya seperti bandit.
Salah satunya kemudian bersedekap dada. "Nantangin ya nih bocah."
"Kelihatannya sih lemah." Yang rambutnya lebih pendek berbisik.
Beberapa detik setelahnya, si rambut panjang mengeluarkan bulu pena. Aku tersekat.
Pe-pengguna sihir?
Aku bertambah terkejut dan panik saat sebuah rantai panjang melilit di sekujur kepalan tangannya. Aku langsung lari mendekati Luck. Mengabaikan rasa takutku.
"Chita-chan?"
Kuhalangi Luck dengan bentangan tangan gemetarku dan wajah berusaha melawanku ke arah mereka. Keduanya memang tak kukenali. Sepertinya anggota suatu perkumpulan yang kebetulan mampir kemari.
Perkumpulan orang jahat pastinya! Ditilik dari wajah-wajah arogan itu.
"Kirain yang datang siapa."
"Iya. Cuma orang lemah lainnya."
"Ka-kalian siapa!" Suaraku sangat terkesan dipaksakan untuk terdengar kuatnya.
Luck saja langsung menyadarinya. Dia menyimpan tangannya di bahuku. "Kalau kau takut, aku saja yang di depan."
"Tidak! Justru kau yang lemah!"
Alis Luck berkerut. Aku membuatnya tersinggung meski dia tahu ucapanku benar.
Aku lalu memberinya suatu tatapan yang bisa membuatnya mengerti.
"Dua-duanya habisin?"
"Nggak tahu, ah. Tiba-tiba males," kata si rambut panjang. "Lagian gubuk ini pun kekecilan."
"Heh." Aku tak terima dia menghina tempat tinggal Luck yang kuberi untuknya ini. "Kalau mau pergi ya pergi aja, nggak perlu sambil ngehina."
"Kamu pengguna sihir?"
Tiba-tiba aku ditanya oleh si rambut pendek, menyebabkanku kembali gelisah. Aku menelan ludah, bingung harus berbohong atau tidak.
"Chita-chan pengguna sihir. Sihirnya hebat tapi dia nggak bisa pake sihir itu lagi gara-gara ada aku."
"Luck!"
Kalau mau memuji tidak perlu di depan musuh juga!
"Sihirmu memang hebat, Chita-chan. Kau-nya saja yang tidak memaksimalkan potensi."
Itu karena aku tidak mau kehilanganmu.
"Jadi sihirnya apa!" Si rambut pendek berkata tidak sabar.
Ah, sudah kepalang basah. Tapi aku pun tidak boleh mengendurkan perlawanan.
"Bukan urusan kalian."
"Udahlah, Mil. Nggak bakal kita rekrut ke ASS juga."
ASS?
"Aku cuma penasaran!" dia berteriak kepada temannya. "Ayo sebutin sihirmu apaan?"
Otakku memikirkan berbagai kemungkinan jika aku memberitahu dan tidak memberitahu sihirku apa. Aku takut jika sihirku kebetulan menarik perhatian mereka, aku akan dibawa menuju markas mereka yang pasti menyeramkan! Kalau aku tetap bungkam, probabilitas aku dibunuh akan meningkat!
Dua-duanya tidak ada yang berakhir baik.
"Ak—"
Kejadiannya sangat cepat. Hampir tak tertangkap kedipan mata.
Luck yang berdiri di belakangku pun tak bergerak dan sekejap napasnya tak terdengar.
Aku ... aku belum pernah melihat kejadian pembunuhan dengan mataku sendiri. Aku tak akan sanggup sekadar melihat pisau, pistol, atau senjata lain yang bisa dijadikan alat menghilangkan nyawa. Apalagi dengan darah, kukira aku bakal mual mendadak.
Namun ini seratus kali lipat lebih buruk dari skenario terparah yang sempat kubayangkan.
Aku langsung mual.
Kubalikkan badan menghadap Luck menghindari objek cairan kental berwarna hitam pekat yang sangat menjijikkan itu. Tapi baunya tak dapat aku singkirkan.
Luck sigap. Dia menutup mataku dengan telapak tangannya, lalu membopongku keluar gubuk. Seketika udara segar namun sedikit gerah menghantam indra penciumanku.
Aku terbatuk sesaat, dan hampir saja terjatuh ke tanah sebelum Luck memerangkapku dalam pelukan.
Beberapa lama tak merasakan apa pun, kosong menyelimuti hati dan kepala, tangisanku pun keluar berupa rengekan asing di bahu kecilnya yang juga terlihat rapuh.
"Yosh, yosh." Punggungku dia usap-usap dengan kelembutan yang kuharapkan dari dirinya yang kuhadirkan ke dunia.
Aku kehilangan tenaga, dan hanya bisa menangis mengeluarkan ketakutanku atas kejadian barusan.
"Mereka, mereka kenapa, Luck?"
"Sudah. Jangan dipikirkan ya, Chita-chan?" Usapannya menuju rambutku. "Anggap saja mereka berhak menerima hukuman itu karena telah mengganggumu. Kau sedang dilindungi olehnya."
"Be-benarkah?" Sebetulnya aku benci bersikap kekanakan begini. Tapi bukankah dalam kondisi tak terduga begini kita tak bisa mengendalikan apa yang hendak kita keluarkan? Semuanya mengalir sesuai kebutuhanmu saat itu.
"Iya. Perkataanku tidak pernah salah." Luck tertawa-tawa.
Aku tersenyum diiringi perasaanku yang membaik. Tetapi kengerian itu masih tertanam dalam pikiranku. Apalagi baru kusadari kami masih berada di sekitar lokasi kejadian.
Kuedarkan pandang ke sekitaran situ, berharap sekaligus tak berharap menemukan apa pun yang bisa dijadikan petunjuk.
Sudah takut, tapi penasaran. Dasar diriku.
Selanjutnya Luck membawaku pergi dari sana. Dia tak mau ada hal mengerikan lain yang mungkin akan menimpaku di tempat itu.
Dia tak bisa melindungiku. Yang dia bisa hanya menyediakan bahu dan pelukan setiap aku membutuhkannya dari seseorang.
Dia menjalankan perannya dengan baik.
Aku tak mau kehilangan dia.
"Aw!"
"Hei, hati-hati dong!"
Aku memarahi pejalan kaki yang tak sengaja bertabrakan bahu dengan Luck di persimpangan menuju kota. Dia laki-laki yang tampak seumuran denganku. Masalahnya wajahnya itu terlihat tak bersalah!
"Oh. Maaf, ya. Maaf." Dia menundukkan kepalanya sedikit lalu kembali berjalan lurus bersama seorang laki-laki dewasa di sebelahnya.
"Maaf, maaf. Kalau Luck menghilang gimana!"
Aku benar-benar sensitif saat itu; setelah pelukan pertama Luck yang berhasil menenangkanku. Aku tak mau kehilangan sumber pelukan itu makanya aku memperlakukan Luck dengan sangat hati-hati.
Namun 'menghilang' adalah kata yang aneh untuk disematkan pada diri manusia normal. Apalagi di dunia sihir begini, siapa saja yang sedikit peka, dia akan langsung menemukan kejanggalannya.
Seperti si laki-laki dewasa itu.
Dia berbalik menghadap kami dengan kerutan di kening dan sinar matahari yang menyorot wajah kecokelatannya. "Menghilang?"
Sial!
Kata-kataku salah. Mereka pasti pengguna sihir!
Kenapa ada banyak sekali pengguna sihir yang bertemu denganku dalam satu hari ini.
Tanpa memikirkan apa pun lagi, kutarik tangan Luck untuk kubawa lari bersamaku menjauhi dua orang gila itu. Adanya pengguna sihir lain akan berisiko mengalami hal mengerikan lain!
Aku tak boleh kehilangan Luck!
"Kejar, Reez!"
Kudengar si laki-laki dewasa meneriakkan itu sebelum si yang lebih muda menyusul kami berlari. Sialnya aku jarang berolahraga sehingga tenagaku kurang bisa diandalkan.
Luck sendiri malah tertawa bahagia sambil mengejek-ejek dia yang berlari mengejar kami.
Meski diliputi gelisah (lagi), kurasakan sedikit percikan kebahagiaan dalam hatiku. Ternyata ini menyenangkan juga walau mengundang bahaya.
"Kena!"
Di lengan yang satunya, laki-laki asing itu berhasil menarik Luck, membuat dia tertarik-tarik di antara kami.
"Luck milik aku!"
"Diem dulu kamu!"
Luck yang hobi bermain tampak sangat menikmati ini. "Ayo, ayo, tarik aku lebih kencang lagi!"
Kemudian aksi kekanakan itu terhenti oleh kedatangan orang dewasa yang melerai kami.
Si laki-laki satunya lagi!
Sebelum Luck direbut mereka, akhirnya dia berhasil kuamankan dalam rangkulanku di bahunya. Dengan ini aku menang!
"Ha. Laki-laki kok lemah!" Aku tertular virus usil Luck.
Yang tersulut emosi adalah si dewasa. Tapi dia menahannya seolah jaim. "Coba ulangi tadi kamu ngomong apa," suruhnya. "Menghilang? Maksudnya teman cowokmu ini menghilang? Menghilang gimana maksudnya?"
Aku gelisah lagi. Dilihat dari tampangnya sih kedua laki-laki ini memang terlihat sangat baik hati. Tapi wajah bisa menipu, kan? Bisa saja salah satunya mempunyai sihir manipulasi ekspresi.
Aku tidak akan tertipu!
"Aku bisa saja menghilang kalau Chita-chan kehilangan sihirnya."
"Luck!"
Astaga, mulutnya tidak bisa dikontrol. Dasar manusia polos.
Sekejap mereka terkejut. Dan kemudian, keceriaan yang luar biasa mampir ke raut wajah si laki-laki dewasa.
"Kamu belum masuk ke guild mana pun, kan?"
Malah bertanya itu.
Tapi apa itu guild?
Perkumpulan aneh-aneh?
"Sepertinya belum, Kak. Dia tampak tak tahu apa itu guild."
"Nggak!" seruku. "Aku nggak bakal tertipu sama niat busuk kalian!"
"Tertipu apanya." Yang dewasa maju selangkah. "Kami ini orang baik-baik. Kalau sebelumnya kamu pernah ketemu sama pesihir jahat, kami beda lagi. Kami orang baik."
"Nggak. Nggak!" Aku semakin berteriak. "Nggak akan!"
Aku berlari lagi meninggalkan mereka. Meninggalkan apa pun yang mungkin akan menghilangkan Luck dari sisiku.
Aku tidak menginginkan itu....
.
Luck terus berkata padaku kalau mereka orang baik. Namanya Kree dan Reez. Dua pesihir yang berkelana dari kota seberang mencari pesihir lain yang mau bergabung dengan guild mereka. Guild itu perkumpulan pesihir yang menetap di suatu tempat dan melaksanakan misi bersama-sama.
Aku tak berniat bergabung dengan perkumpulan mana pun yang sebangsa denganku. Aku tidak butuh itu.
Yang kubutuhkan cuma Luck.
Cuma hadirnya yang sangat mengerti aku, menemani aku, bermain denganku, dan menghabiskan waktu dengan lebih banyak tersenyum dan tertawa alih-alih sepi.
Hanya Luck yang bisa mewujudkan itu untukku.
Siapa pun tidak bisa.
Termasuk mereka yang mengaku baik hati dan punya sihir.
"Kau harus berteman dengan manusia sungguhan, Chita-chan. Aku ini tidak nyata."
"Diam!"
Aku menjadi lebih pemarah hari ini. Atas dua orang perempuan asing berwajah arogan, pembunuhan mengerikan di depan mata, dua orang laki-laki asing yang mengaku baik, dan... dan... eksistensi Luck yang semakin membuatku nyaman di dekatnya.
Hanya Luck yang bisa melakukan itu. Hanya Luck yang bisa melakukan itu!
Kusadari dia ikut duduk berjongkok di sebelahku. "Kalau bersama denganku membuatmu tidak berkembang, untuk apa lagi kau mempertahankanku?"
"Untuk membuat diriku bahagia."
"Hidup ini tidak cuma soal bahagia saja, Chita-chan. Ada kalanya kita harus berkembang untuk bertahan di kehidupan yang penuh derita ini."
"Aku bisa bertahan jika kau terus berada di sisiku."
"Tidak bisa. Aku tidak bisa melindungimu."
"Kau bisa menemaniku."
"Kau tahu itu saja tidak cukup."
Tapi aku bersyukur akan hidupku yang sederhana ini. Cuma ada Luck di sisiku. Dan aku merasa cukup.
Lantas apa lagi yang kubutuhkan dalam hidup ini?
"Seperti tadi." Luck berkata-kata lagi. "Ketika ada di ambang bahaya, demi melindungiku yang lemah ini, kau sampai mengorbankan nyawamu sendiri. Demi seseorang yang wujudnya tidak seratus persen hadir di dunia, kau rela mengorbankan dirimu yang masih membutuhkan masa depan. Kau terlalu berharga untuk mati secepat itu, Chita-chan."
Mataku panas. Hatiku seolah tercabik-cabik mendengar penuturan tulus dari seseorang yang... kuciptakan dari sihirku sendiri.
Sihir menggambar.
Aku menggambar seorang laki-laki seumuranku bernama Luck untuk menemani hidupku yang sepi tanpa seorang pun yang mengarahkan tatapan lembut ke arahku.
Aku tak mendapatkannya dari siapa pun. Dari anak kecil yang berhati polos, remaja seumuran yang mudah berteman, maupun orang dewasa yang pandai mengayomi.
Jika kau tidak berguna dan tidak mereka kenal, untuk apa mereka repot-repot memberi pertolongan untuk dia yang sama sekali tidak meminta tolong?
Memangnya bagaimana caranya meminta tolong pada mereka? Sementara keinginanku jauh lebih rumit dari apa yang mereka bisa bayangkan dari gadis 18 tahun yang tak mendapat kasih sayang.
Kasih sayang itu tidak gratis. Dan semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing.
Tidak ada orang yang bisa kau andalkan selain dirimu sendiri.
"Tidak ada orang yang bisa kau andalkan selain dirimu sendiri."
Luck tiba-tiba mengucapkan isi pikiranku.
Bibirnya tersenyum seperti dia yang biasanya. "Kau tidak bisa mengandalkan aku, Chita-chan. Aku memang bisa menemanimu, tapi kau membutuhkan lebih dari itu. Kau mempunyai banyak potensi dengan sihir menggambarmu itu. Dan memiliki diriku saja jelas tidak cukup. Kau tidak boleh berhenti berjuang hanya karena kau telah mendapatkan apa yang kau mau."
"Jadi Luck tidak ingin aku bahagia?"
"Aku khawatir padamu, Chita-chan. Melihat kejadian tadi, aku benar-benar takut kehilanganmu."
"Tapi aku yang akan kehilanganmu!"
"Lebih baik aku yang menghilang kan, daripada Chita-chan yang menghilang?"
Senyum Luck kala itu berbeda. Tak ada lagi keceriaan yang biasanya.
Apa situasi di antara kami telah berubah?
Aku menenggelamkan sebagian wajah di lipatan tangan. "Kenapa cepat sekali kau percaya pada mereka? Bagaimana jika mereka orang jahat juga?"
"Luck tidak pernah salah."
"Memangnya kau tidak ingin lebih lama hidup bersamaku?"
"Inginlah. Aku kan mencintai Chita-chan."
Astaga, jantungku!
Sepenuhnya aku menenggelamkan wajah ke lipatan tangan, beringsut menjauh. Tapi dia malah mendekat sampai bahu kami bersentuhan!
Sudah pasti saat ini dia tengah menyengir lebar yang sampai saat ini selalu mampu membuatku gemas padanya.
"Aku menunggu pertemuan kita selanjutnya sampai kekuatanmu meningkat dan Chita-chan bisa menghidupkanku lagi."
Aku merasakan kecupannya di rambutku. Lalu ketika membuka mata, tak ada yang kutemukan di sana selain udara kosong.
Aku tak tahu kapan aku menangis, air mata di pipiku tahu-tahu telah mengering. Kupandangi tempatnya semula berada, menelusuri memori awal kebersamaanku dengannya.
Semuanya indah. Dirinya yang selalu tersenyum selalu berhasil menerbitkan senyum di bibirku yang akrab dengan garis lurus. Dirinya yang gemar mengajak berduel meski lemah selalu berhasil menerbitkan bahagia di hatiku yang ramai dengan kesepian.
Keinginanku tercapai kala sosoknya berhasil kugambar dari sihir bulu pena yang mati-matian kudapatkan demi berubahnya warna gelap hidupku.
Tapi Luck, kenapa cepat sekali kau meninggalkanku?
Apa keputusanmu sudah benar?
Tapi ini terlalu cepat....
Aku masih bertahan di sana, menutup dua mataku yang masih mengeluarkan tangisan. Tak lama kurasakan langkah dua pasang kaki mendekati titikku berada. Tidak perlu membuka mata untuk tahu mereka siapa.
Selanjutnya kurasakan bahuku diusap.
Bukan lagi oleh Luck.
"Maaf kalau ini mendadak, tapi dia sendiri yang ingin kau bergabung dengan kami." Dari suaranya, kuduga dia si laki-laki dewasa.
Aku menyembunyikan wajah, tak siap beradu tatap dengan siapa pun.
Tapi selanjutnya memang tak ada sahutan apa-apa lagi. Namun kuketahui mereka masih ada di sana, mengisi tempat Luck tadi di sebelahku.
Udara mendingin. Tapi belum ada keinginan untukku pergi dari tempat terakhir aku bersama Luck.
Kemudian bahuku ditepuk lagi. "Kalau kamu butuh kami, kami ada di Black Inn. Nggak usah khawatir, Reez nggak gigit kok."
"Heh."
Satu menit yang hening setelah kepergian mereka, aku mengangkat wajah. Sekujur badanku terasa pegal akibat kelamaan berjongkok di tanah berbatu di bawah langit malam berudara dingin.
Hilangnya sosok Luck seketika dapat aku rasakan dalam hatiku yang kembali menemukan hampa. Hadirnya terlalu memengaruhiku sampai kupikir rasanya mati jika dia tak ada di sampingku.
Aku mengembuskan napas panjang ke pemandangan belakang rumah-rumah penduduk kota yang gersang dan sedikit tandus. Tak kusangka hidupku berubah secepat ini hanya karena kehadiran dua perempuan asing di gubuk yang kubuat untuk Luck.
Kukeluarkan bulu pena yang sudah lama sekali tak eksis di depan mataku sebab aku tahu aku tidak bisa menggambar hal lain lagi karena sudah ada Luck yang menguras banyak kekuatan sihirku. Aku menari-narikan tanganku di atas tanah, menggambar apa saja yang terpikir di otakku saat itu.
Selang dua sekon, muncullah sebuah kalung berbandul daun semanggi kecil di dekat kakiku. Kubawa benda itu ke pangkuan, mengenang kembali perkataan Luck tentang semanggi yang merupakan simbol keberuntungan.
"Nanti kalau suatu saat aku harus pergi meninggalkanmu, jadikan daun semanggi berdaun empat sebagai penggantiku, ya? Konon itu simbol keburuntungan. Kau bisa memakainya sebagai kalung, anggap saja itu diriku. Jadi meski aku menghilang, aku akan tetap berada di dekat Chita-chan terus, kan?"
Sehabis kalung itu kukenakan, kutatap bandul daun semanggi yang tersimpan di leherku. Sekilas aku melihat senyuman lebar Luck di kilauan logam daun semanggi itu.
Aku tersenyum.
Dan yang tak kusadari, aku berhasil tersenyum tanpa Luck ada di dekatku.
Tidak, dia selalu ada di dekatku.
Dan hal lain yang kusadari adalah, sihirku kembali aktif. Aku bisa menggambar hal lain yang juga berarti jika kalung semanggi ini terus kupakai, aku tidak bisa lagi menggambar Luck.
.
"Luck ngomong apa aja sama kalian kemarin?"
Aku menemui Kree dan Reez besok paginya di penginapan yang mereka maksud. Wajahku masih diliputi kemurungan.
Kree menghela napas sebentar, menyimpan tangan di atas meja. "Intinya, nyuruh kami nemenin kamu. Kamu punya sihir yang bagus yang sayang kalau nggak dikembangin. Dan hadir dia di situ cuma ngehambat kamu aja."
Aku ingin menyanggah ucapannya soal Luck yang menghambatku. Tapi kuurungkan karena tahu tidak ada gunanya. "Emangnya aku udah pasti mau gabung sama kalian? Sama orang-orang yang nggak jelas ini?"
Kree nampaknya agak tersinggung. Kuduga dia memang mudah tersinggung. "Guild kami emang belum jelas. Tapi kami bakal berusaha buat mengubahnya jadi jelas."
"Oh," responsku.
Sebuah uluran tangan terentang ke depanku. "Kree. Pengguna sihir yang nggak jahat."
Kupandangi tangannya yang terbuka, memintaku menyambutnya. Tapi aku hanya menatap wajahnya saja. "Usia. Berapa?"
"Udah tua pokoknya," celetuk laki-laki muda di sebelahnya.
"Baru 27."
"Iya itu tua," kataku.
"Kenalan dululah!" Tangannya masih betah berada di sana.
Aku mengeluarkan napas. "Chee."
Hanya Luck yang boleh memanggilku Chita.
Kesal, Kak Kree menyimpan tangannya di bawah meja disusul Reez yang selanjutnya meminta berkenalan.
"Reez. Pengguna sihir pengubah identitas."
Aku mengucap wow dalam hati. "Chee." Kusambut tangannya penuh suka cita.
Kak Kree protes.
Kami tidak menghiraukannya, mengobrol sebagai sesama teman seumuran.
Katanya selain mereka berdua, guild yang masih belum ada namanya itu mempunyai satu anggota lain. Perempuan. Namanya Sura. Saat ini dia tengah berada di Crownclown, berduka atas kepergian anggota guild lain bernama Yuma.
Untunglah, ada perempuan lain di perkumpulan orang aneh ini.
Dan... semoga aku bisa meningkatkan kemampuan sihirku untuk berjumpa dengan Luck lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro