
10) abrallow, seseorang yang memerlukan seseorang lainnya
c h a p t e r 10
Lemon Abrallow
seseorang yang memerlukan seseorang lainnya
Raut wajahnya sama sekali tak mengindahkan kemunculan diriku ke dunia. Tapi matanya mengarah ke sini dan tak tampak silau meski cahaya bernuansa kuningku menyapu sebagian kecil pandangannya.
Dia kenapa?
Sebenarnya penjelasanku nanti bisa saja membuatnya tersenyum. Tapi aku merasa tak tega jika harus mencekcokinya dengan informasi-informasi yang mungkin baru baginya.
Dia duduk diam terus sendirian di pinggiran bangku itu, dua tangannya terlihat lunglai di sisi kiri kanan tubuhnya.
Aku membasahi bibir sebelum bicara untuk pertama kalinya setelah bangun. "Kamu baik-baik aja?"
Tak ada yang berubah dari wajah sendunya. Tak ada tanda-tanda akan bicara juga. Sepertinya aku akan diabaikan untuk beberapa saat. Apa aku harus duduk juga?
Dilihat dari luar, tubuhnya tak tampak mendapat luka. Walau jelas tenaganya seperti kehilangan daya, ah, iya, aku bisa membuatnya segar.
Kuulurkan dua tanganku dengan telapak tangan mengarah padanya. Memejamkan mata, mengucap mantra, dan berfokus. Ketika kupikir prosesnya selesai, kulihat dirinya yang sudah kelihatan lebih memiliki energi daripada tadi. Aku tersenyum.
"Kamu siapa?" Suaranya masih cenderung pelan tapi, walau bisa saja suaranya memang pelan.
Aku berdeham ringan. "Lemon Abrallow." Nanti saja deh menyebut info-info itunya, aku takut membuatnya harus berpikir keras.
Kembali mendapat reaksi nihil, kulanjutkan perkenalanku. "Lemon bakal jadi teman kamu. Tak penting Lemon siapa. Pokoknya Lemon punya kekuatan dan kelebihan. Dan Lemon bakalan nemenin kamu ke manapun kamu pergi."
"Gak mau."
Apa?
"Gak mau punya temen baru."
Kok. Aneh sekali. Energinya sudah kembali, tapi sesuatu dari dalam dirinya seolah belum hilang. "Lemon boleh duduk?" Bukannya aku merasa pegal sedari tadi berdiri, tapi kurasa pembicaraan akan terasa lebih dekat jika aku duduk di sampingnya.
Tak ada anggukan atau pun gelengan. Ya ampun, gadis ini kekurangan ekspresi.
"Kamu, punya luka yang bisa Lemon sembuhin?"
"Gimana caranya?" tanya dia.
Aku senyum. "Gampang. Lemon ahlinya dalam hal menyembuhkan."
"Ya udah, balikin Parrot, Rin, Mi, dan Yummy ke dunia ini."
....
Siapa mereka?
Gadis itu memalingkan tatapan, tahu mungkin dari gelagat terdiamku yang berarti aku tak bisa mewujudkan keinginannya itu. Balikin ke dunia? Maksudnya mereka sudah meninggal?
"Katanya mau nyembuhin. Ya itu satu-satunya cara," dia bergumam sambil masih menghadap ke sana. "Atau kalau mau bunuh Q juga boleh deh."
Tak ragu lagi aku mencengkeram kedua pundaknya. Menatap lekat dia dari dekat. "Kamu jangan gitu. Mati bukan solusi."
"Daripada sedih terus ya, kan?"
"Pasti ada cara. Lagian gak selamanya kesedihan bakal bersemayam di hati kita terus."
"Kapan?"
"Harus kita sendiri yang mau maju."
"Kalau gak mau?"
Aku memundurkan tubuh, tak habis pikir orang yang kutemui ini adalah seseorang yang kehilangan semangat hidupnya. Ah, tidak. 'Aku'-kan pendamping dan penyelamat. Memang ini tugas utama seorang dewi. Apalagi dengan dibekali kekuatan penyembuhku.
Pada akhirnya aku duduk di sebelahnya juga atas inisiatif sendiri. Kugenggam lembut tangan gadis itu guna memberinya dorongan. "Kalau mau cerita, Lemon dengerin."
"Lagi males ngomong."
"Oh. Terus apa yang bisa Lemon lakuin buat kamu?"
"Gak ada."
Sepertinya tugasku akan berat sekali.
Kuembuskan napas panjang seraya menyenderkan punggung ke bangku, melihat langit menuju sore membentang indah di hadapanku. Andai gadis ini mau melihat dan merasakan keindahannya juga. Setidaknya itu akan sedikit mengobati luka yang disebutnya yang aku masih tidak tahu itu apa. Aku hanya akan menemani.
Dunia manusia ternyata lumayan bikin nyaman. Walau tak sedamai semestaku, para dewi memang harus diturunkan ke sini untuk membantu beberapa manusia yang membutuhkan pertolongan secara tidak langsung. Alias, dia tidak berani menyuarakan permintaan tolongnya.
"Nama kamu siapa?"
"Sura."
"Lemon panggil Kak Sura, ya?"
Tidak ada tanggapan. Aku harus terus memancingnya.
"Parrot, Rin, Mi, sama Yummy ini siapanya Kak Sura?" aku bertanya.
"Temen."
"Mereka berharga banget buat Kak Sura, ya. Lemon ikut prihatin, Kak. Kalau ada yang bisa Lemon lakuin, bilang aja ya, Kak."
Akhirnya yang ditunggu-tunggu, Kak Sura menoleh ke sini. Aku menyambutnya dengan senyum. "Q harus gimana?"
Dahiku mengerut. "Gimana apanya, Kak?"
"Q gak mau punya temen lagi." Sedikit jawabannya yang terungkap perlahan menyatukan teka-teki mengenai dirinya dalam otakku. "Q takut, kalau punya temen lagi, mereka bakal meninggal di hadapan Q."
"Kok gitu, Kak? Kan belum pasti."
"Udah dua kali kejadian. Korbannya ada empat orang," suaranya melirih. "Itu gara-gara Q yang gak bisa nyelametin. Gara-gara temenan sama Q, mereka kena imbasnya. Padahal nama panjang Q ada yang artinya keberuntungan. Tapi nyatanya malah lebih banyak sialnya."
"Huss, gak boleh gitu, Kak." Kugenggam sebelah bahunya. "Kematian itu takdir. Mau mereka temenan sama Kakak atau pun enggak, kematian gak bisa dihindari. Dan mau seberapa kuatnya Kakak nyegah mereka agar gak mati, kadang ada sesuatu yang bakalan tetep terjadi meski segimana pun kita berjuang buat menghindarinya. Kalau pun ada yang emang mesti disalahkan, selain Kakak, pasti karena beberapa faktor lain juga. Gak sepenuhnya salah Kakak, dan Lemon rasa Kakak gak salah kalau Kakak emang sesayang itu sama mereka."
Semoga perasaan peduli ini sampai padanya.
"Tetep aja," responsnya, "meski bukan salah Q, itu gak bakal bikin mereka kembali."
"Kak!" tak sengaja aku menyentaknya. Tapi pikiran tidak terima Kak Sura memang harus disingkirkan. "Ini, cuma masalah waktu, Kak. Lemon yakin Kak Sura bisa lanjutin hidup sekaligus bikin mereka bahagia di surga sana. Mereka bakal bahagia lho Kak, kalau Kakak juga bahagia."
"Masa bahagia di atas kematian mereka?"
"Kematian orang terdekat bukan berarti matinya kebahagiaan juga. Dengan ketiadaan mereka di samping kita, secara gak langsung takdir seolah nyuruh kita buat bertahan tanpa mereka. Kalau takdir udah bilang gitu, mau gak mau kita harus jalanin. Intinya ada dua; dikendalikan hidup, atau mengendalikan hidup. Ya emang ada beberapa hal yang di luar kuasa kita seperti kematian misalnya. Tapi ada beberapa juga yang bisa kita kendaliin; yaitu perasaan. Apa kesedihan itu mau terus tertanam di hati kita, atau kita sendiri yang mengontrolnya segimana pun hidup membawa kita ke kenelangsaan. Emang gak mudah, tapi bukan berarti Kak Sura gak bisa melewatinya."
Bicaraku tidak berlebihan, kan? Semoga saja Kak Sura dapat menerima dan menyerap maksudnya.
Hasilnya adalah perempuan itu diam sembari menendang-nendang batu di bawah bangku. Ah, aku melupakan soal kontraknya.
"Kak." Kak Sura menoleh. "Lemon ini ...." Bagaimana bilangnya, ya?
"Oh ya, kenapa kamu bisa keluar dari sebuah batu?"
Diam-diam aku tersenyum. "Kalau gitu, Lemon jelaskan, ya. Ini kabar yang baik buat Kakak."
Sebuah batu; batu permata berwarna kuning. Tempat tinggalku yang sebelumnya, gerbang Dunia Dewi. Jika batu permata itu dipegang oleh seorang manusia, dewi yang berada di dalamnya akan keluar dan otomatis terikat kontrak dengannya. Kontrak apa? Kontrak hubungan pertemanan dan perlindungan seumur hidup.
Namanya boginya; dewi yang mengambil salah satu warna pelangi yang masing-masing mempunyai kekuatannya sendiri. Satu boginya akan menjalin kontrak dengan satu manusia lain di mana boginya tersebut akan membantu dan menemaninya selama kontrak terjalin (yang berarti seumur hidup jika tidak ada kematian dari salah satunya, hanya itu pemutus hubungan kontrak).
Aku boginya kuning dan kekuatanku healer alias penyembuh. Seperti menyembuhkan luka fisik dan tenaga yang terkuras seperti Kak Sura tadi. Tetapi ....
"Lemon punya kekuatan penyembuh? Kalau gitu, bisa nyembuhin trauma Q, kan? Kalau bisa, Q emang kepengen punya temen lagi, tapi tanpa ada rasa takut menyelubungi."
Di tengah diamnya aku, aku dan dia kemudian tahu, bahwa seorang healer pun tidak mampu menyembuhkan luka batin.
Payah.
Maafin Lemon, Kak Sura. Ternyata Lemon belum cukup berguna.
.
Malamnya aku ikut Kak Sura ke kamarnya di penginapan. Ruangan itu cukup luas meski nuansanya terkesan gelap biarpun lampunya sudah dinyalakan. Agak kuno juga, sih. Apa harga sewanya murah? Tapi untuk sekadar tidur dan berdiam diri sih lumayan.
Kak Sura langsung masuk ke tempat tidur dan berbaring di bawah selimut, memunggungiku seakan berniat akan tidur. Apa dia sudah makan? Sepanjang perjalanan sampai ke sini, dia tidak membeli atau mampir ke kedai. Mau membangunkan juga tak enak, takutnya dia memang kelelahan.
Aku duduk di pinggiran kasur, melihati seiri ruangan sekali lagi. Dan di saat itulah, seseorang mendorong pintu kamar yang sedikit terbuka. Hampir aku berjengit melihat seorang laki-laki dewasa masuk ke sini. Apa dia kakaknya?
Dia pun sama terkejutnya denganku. "Siapa kamu? Kok tampilannya rada beda."
Rada beda maksudnya ada seberkas sinar kuning yang menyelubungi sekujur tubuhku. Sangat menyaratkan sekali sebenarnya bahwa aku bukan manusia biasa. Aku tersenyum saja padanya sembari melambaikan tangan. "Aku Lemon Abrallow, Dewi Kuning alias boginya yang mulai sekarang punya kontrak sama Kak Sura."
Keningnya mengernyit sangat dalam. "Dewi? Boginya? Maksudnya apaan?"
Jadi di sini kami berada sekarang. Aku merekomendasikan tempat yang sepi karena dewi hanya bisa terlihat oleh orang yang mempunyai sihir. Kalau warga sekitar melihat dia bicara sendirian kan bisa gawat. Walau aku tahu sihir sedikit banyaknya selalu berkaitan dengan dianggap gila. Mending tidak usah diperbanyak riwayat anehnya.
"Kan bener. Sura tuh beruntung!" Akhirnya ada yang tampak senang juga melihat keberadaanku di sini. Aku jadi merasa dihargai (tapi wajar saja sih, Kak Sura kan lagi berada di fase sedih-sedihnya).
"Tapi Kak Sura nampaknya belum bener-bener nerima kehadiran Lemon. Kayaknya dia sulit keluar dari kungkungan rasa bersalah itu," aku berkata muram menghadap rerumputan liar di halaman belakang penginapan. Suasananya begitu hening dari sini. Tapi kau bisa mendengar suara alam yang sejuk dan berirama menenangkan.
"Tinggal masalah waktu aja. Dan soal itu," Kak Kree menjeda, "untung ada kamu, sih. Niatnya aku sama Reez emang mau berkelana ke kota-kota lain nemuin pesihir lain yang belum gabung dengan guild manapun. Alias, yah, ninggalin Sura di sini."
"Kenapa ditinggalin?" Agak membuatku kaget.
Sambil menopang kepala secara miring, dia menjelaskan bahwa guild yang sedang dibangunnya tengah kekurangan dana dan kehilangan setengah anggotanya. Pertama yang namanya Kak Yuma (bukan Yummy ternyata). Dia meninggal ditembak anggota guild lain di saat Kak Kree tidak sedang bersama mereka; itu menimbulkan perasaan bersalah juga di hatinya. Dan karena kematian Yuma yang mendadak dan di hadapan Kak Sura sendiri, perempuan itu jadi benar-benar merasa trauma setelah sebelumnya juga mengalami hal serupa.
Kedua, Kak Nisha; seseorang dari asosiasi sihir bersenjata. Kak Kree menyewa Kak Nisha membantunya menghancurkan guild Clofan Vertasy dan menyuruhnya bergabung dengan guild. Tetapi karena ada seseorang yang meneror, Kak Nisha jadi sering menghilang untuk mengurusinya. Setelah bertemu lagi, Kak Nisha tetiba meminta keluar dari guild tapi tetap akan menjalankan misi. Berhubung itu seperti tak ada gunanya, hanya membuang lebih banyak uang, Kak Kree sekalian memutus kontrak dengan Kak Nisha, jadi Kak Kree cuma bayar setengah harga.
Alhasil anggota guild Kak Kree tersisa tiga orang. Satu lagi bernama Reez, seorang laki-laki yang bisa mengubah identitasnya menjadi siapa saja.
"Sura yang pertama kali aku rekrut. Dia datang dari entah kota mana, dia sendiri nggak tahu. Pas itu baru berlangsung kejadian pertama penyebab traumanya; tiga temannya dibunuh oleh guild kegelapan di depan kedai. Sura ada di sana juga. Ngeliat dia kayak yang shock sampai gak berani datang ke makamnya mereka, aku langsung ngajak dia bikin guild, biar dia bisa dapet temen lagi. Dia kayak yang kehilangan arah, Mon."
Aku merenungi ucapannya tentang Kak Sura yang juga membuat hatiku terasa nyeri. Tak kusangka Kak Sura yang lemah lembut harus mengalami semua itu. Jelas sekali itu bukan kesalahannya. Tapi kenapa dia harus merasa bersalah? Kenapa harus menanggung sesuatu yang bukan tanggung jawabnya? Bukan dia kan yang membunuh teman-temannya itu? Jadi Kak Sura seharusnya tidak perlu merasa bersalah.
Kak Kree menoleh padaku dengan wajah mengerutnya. "Titip Sura ya, Mon. Jaga, temenin, dan lindungi dia. Untuk sementara aku dan Reez gak bisa ada di samping dia dulu. Mungkin Sura emang butuh waktu sampai dia mau buka hatinya lagi buat nerima orang baru. Aku harus lanjutin guild-ku sampai jadi resmi."
Anggukanku disertai senyum. Sangat pas sekali kalau dipikir kehadiranku ke dunia ini, saat seseorang membutuhkan seseorang lainnya untuk menemani kesedihannya yang tak terhindarkan. Aku harus membuat Kak Sura ceria kembali.
hai. mulai sekarang sepertinya chapter inassa akan sedikit lebih pendek dari sebelum-sebelumnya. biar tidak kebanyakan dan saya pun cepat menulisnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro