9.
Yuk, di-vote dulu, jangan lupa komen ya 🥰💚
"Datang ya, Kak."
Jeno melihat kertas undangan berwarna emas di depannya. Pandangannya terangkat. Lirikannya berjalan bergantian melihat Rendra dan Naya yang duduk di hadapannya.
"Akhirnya lo yang berhasil mendapatkan Naya, ya," ucap Jeno. Ia tersenyum miring.
"Jangan bicara seolah-olah Naya itu barang," Rendra menunjukkan raut wajah tidak sukanya.
Jeno menghela napas panjang. Tangannya terjulur meraih undangan dengan ukiran nama Naya dan Rendra di atasnya. Senyum mengejeknya berubah menjadi senyum sendu.
"Gue kira lo mau lanjut sekolah dulu baru nikah," ucap Jeno. Matanya masih terpaku pada nama di kertas undangan.
"Gue masih sekolah kok. Sudah tahun kedua spesialis anak."
Jeno mengangkat wajahnya. Ia memberikan tatapan kesal ke arah Rendra. Jelas sekali bukan itu jawaban yang ia ingin dengar.
Naya tertawa canggung untuk memecah ketegangan. "Kak Rendra, aku boleh minta tolong nggak?"
Rendra menoleh. "Minta tolong apa?"
"Kasih aku sama Kak Jeno waktu untuk bicara berdua," ucap Naya dengan nada manis.
Dahi Rendra berkerut. Dia jelas menunjukkan bahwa dirinya tidak suka dengan permintaan Naya. Rendra tidak ingin pergi meninggalkan mereka berdua. Terlebih, Rendra tahu kalau Jeno dan Naya punya cerita yang belum selesai.
"Percaya sama aku," ucap Naya terdengar meyakinkan. Ia menepuk lengan Rendra yang terbalut kain. "Nggak ada hal yang perlu Kak Rendra khawatirkan."
"Kamu yakin mau ditinggal berdua aja sama dia?" tanya Rendra sambil menunjuk Jeno tanpa rasa hormat.
Naya melirik ke arah Jeno. Rahang cowok itu sudah mengeras. "Yakin, Kak. Kalau Kak Rendra takut ada apa-apa, Kakak boleh duduk di kursi sebelah sana tuh," ucap Naya sambil menunjuk salah satu kursi kosong yang berjarak sekitar tiga meter dari tempat duduk mereka sekarang.
"Serius?"
"Iya, Kak Rendra."
Rendra menghela napas panjang. Tatapannya beralih pada Jeno yang pura-pura tidak mendengar percakapan dua sejoli itu. Rendra akhirnya berdiri sembari mengangkat gelas plastik berisi kopi miliknya. Sebelum pergi, Rendra menepuk puncak kepala Naya. Ia ingin mengingatkan pada Jeno bahwa kini Naya adalah miliknya.
Ekor mata Naya mengikuti punggung Rendra yang berjalan menjauh. Gadis itu memberikan senyum manis saat pandangannya bertemu dengan mata Rendra. Cowok itu mengangguk kecil ke arahnya.
"Lo belum komentar ucapan gue tadi."
Naya melihat ke arah Jeno. "Ucapan yang mana, Kak?"
"Tentang sekolah," jawab Jeno. "Gue kira lo mau lanjut sekolah dulu baru nikah. Dulu lo bilang gitu, kan?"
Naya mengangguk. "Rencana hidup bisa berubah kapan aja, Kak. Mengimbangi Kak Rendra yang sibuk jadi dokter residen anak, aku bakal ambil praktek dokter umum dulu di klinik. Biar nggak terlalu sibuk. Di tahun ketiga nanti Kak Rendra sudah agak selo, baru deh aku ambil program master."
Jeno menghela napas panjang. Dia menyandarkan punggungnya ke kursi. Tatapannya lurus ke dalam mata Naya.
"Kenapa memang, Kak?"
"Gue keduluan Rendra."
"Eh, maksudnya?" tanya Naya bingung.
Jeno meletakkan kertas undangan di atas meja. "Harusnya nama gue yang ada di situ, bukan Rendra."
Naya tertawa kikuk. Dia membuang muka ke arah lain. Suasana jadi awkward.
"Gue mau minta maaf. Dulu gue brengsek banget sama lo. Gue terlalu larut sama hati gue yang nggak jelas gini. Bahkan sampai sekarang, gue masih bisa ngerasain sakitnya lo tinggal pergi."
Naya kembali menoleh. Jeno masih menatapnya. Cowok itu dari dulu memang tidak pernah berpaling walaupun sudah ketahuan sedang memperhatikan orang.
"Itu sudah lama banget, Kak. Sudah aku maafin dari dulu. Aku jadikan pembelajaran untuk hidup aku ke depannya."
Jeno mendengus geli. "Kenapa dari sekian banyak orang, lo harus nikah sama Rendra? Kenapa nggak sama orang yang nggak gue kenal? Itu bakal lebih baik buat gue."
"Memang kenapa sama Kak Rendra?"
"Gue tertarik sama lo pada awalnya karena tahu bahwa Rendra suka sama lo, Naya."
Naya menelengkan kepala. "Sudah lama?"
Jeno mengangguk. "Dari awal lo masuk kuliah, Rendra itu udah suka sama lo. Gue nguping pembicaraan kalian tentang botol vitamin. Tengah malam."
Naya mengerutkan dahinya. Gadis itu masih ingat dulu Rendra dan Naya punya tempat penyimpanan tersendiri di dapur untuk meletakkan botol multivitamin milik bersama. Namun Naya tidak mengingat percakapan apa yang dimaksud Jeno.
"Dari situ, gue penasaran. Kenapa Rendra bisa suka sama lo? Padahal fokus tuh anak cuma belajar terus dari masa sekolah."
"Jadinya Kak Jeno memperhatikan aku, gitu?" tanya Naya mempersingkat cerita.
Jeno mengangguk. "Dan sampai sekarang cuma ada lo di hati gue, Naya."
"Terus kalau masih sayang kenapa nggak berusaha?" tanya Naya. Tidak ada nada menghakimi. Murni penasaran.
"Gue masih sibuk memantaskan diri. Rencananya gue bakal langsung lamar setelah lo selesai ambil program magister," jawab Jeno. Dia kemudian menutupi wajahnya dengan tangan. Jeno tertawa menyedihkan.
"Perasaan gue waktu kemarin dapat pesan dari lo mau ngajak ketemuan tuh seneng banget, Naya. Gue berharap banyak. Akhirnya lo mau ketemu gue, setelah malam itu diusir," lanjut Jeno.
Tangannya turun. Jeno menghela napas panjang. Ia menatap Naya dengan pandangan terluka.
"Ternyata lo datang sama Rendra," ucapnya. Tatapannya turun ke undangan pernikahan. "Dan kasih tahu kabar memuakkan ini."
"Maaf, Kak Jeno."
"Kalau lo beneran merasa bersalah, tinggalin Rendra dan balik ke gue," ucap Jeno menantang.
Naya menghela napas panjang. Jeno di depannya masih sama dengan Jeno yang dulu. Dominan dan egois. Naya tahu saat ini Jeno sedang menahan marah. Cowok itu terlihat dingin.
"Kak, aku mau nikah sama Kak Rendra atas keinginan aku sendiri. Aku nggak mau lepasin Kak Rendra cuma karena bayang-bayang masa lalu. Cerita kita sudah selesai, Kak Jeno," ucap Naya berusaha sabar.
"Kita bisa bikin cerita baru, Naya."
"Tapi aku nggak mau. Aku cuma mau Kak Rendra," tegas Naya. Jeno terdiam.
Keheningan menyelimuti keduanya. Jeno tampak kalut. Naya berusaha tegar.
"Kak Jeno harus memaafkan diri Kakak sendiri. Lanjutkan kehidupan. Cari perempuan yang lebih baik dari aku," ucap Naya lembut.
Jeno mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. Ia menghela napas kasar. Cowok itu terluka dan kecewa. Jeno diam selama beberapa saat untuk meredam emosinya.
"Maaf, gue malah jadi marah sama lo. Padahal ini ulah kebodohan gue sendiri," ucap Jeno tertawa kecil.
Naya tersenyum. "Semangat ya, Kak Jeno."
Jeno membalas tatapan Naya. Ia tersenyum tipis. "Makasih sudah jadi bagian dari hidup gue."
Jeno mendorong kartu undangan pernikahan ke arah Naya. "Maaf, gue nggak yakin bakal sanggup datang ke pernikahan kalian bulan depan. Gue kasih selamat sekarang aja ya."
Naya maklum. Dia tak ingin memaksa. "Makasih, Kak Jeno. Mau aku panggilin Kak Rendra? Ucapin langsung ke Kak Rendra."
Jeno menggeleng. Dia mencuri lihat ke arah meja Rendra. Benar saja, Rendra sedang menatap ke arah Naya dan Jeno dengan pandangan membara.
"Nggak deh. Gue cuma mau kasih ucapan selamat buat lo aja."
Naya tertawa lepas. Dia lega karena Jeno mengatakan hal tersebut dengan nada bercanda padanya. Naya dan Jeno telah berdamai.
Jeno tersenyum melihat tawa gadis cantik di depannya. "Kalau gitu gue pulang duluan ya."
Naya mengangguk. Dia berdiri ketika Jeno berdiri.
"Gue boleh peluk?"
Naya menggeleng. "Maaf, Kak," ucap Naya. Ada hati yang harus ia jaga. Sebagai gantinya, Naya mengulurkan tangan kanannya. "Kalau gini, boleh."
Jeno terkekeh. Ia menyambut uluran tangan Naya. Cowok itu terlihat enggan melepas.
"Selamat tinggal, Naya."
Naya balas tersenyum. "Selamat tinggal, Kak Jeno."
Naya terlebih dulu melepaskan untaian tangan mereka. Gadis itu melambaikan tangan ke arah Jeno. Mereka benar-benar berpisah, dalam konteks hubungan asmara.
"Naya," panggil Rendra. Dia sudah berdiri di balik punggung Naya. Tatapannya khawatir. "Kamu nggak papa?"
"Aku kenapa?"
Rendra memperhatikan wajah Naya lamat-lamat. Gadis itu malah tertawa.
"Pulang yuk, kita makan siang sama Bunda," ajak Naya.
"Itu?"
Naya menengok ke arah yang ditunjuk Rendra. Gadis itu mengangguk. Ia meraih kartu undangan pernikahan mereka dan memasukkannya ke dalam tas.
"Kamu beneran nggak papa?"
"Ya ampun, Kak Rendra, bikin gemes deh," ucap Naya. Gadis itu meraih ujung lengan sweater yang saat ini dikenakan Rendra dengan dua jarinya. "Ayo, pulang."
Rendra menghela napas. Dia penasaran dengan isi percakapan Naya dan Jeno. Namun, sepertinya Naya tidak ingin cerita sekarang.
--
SIDE STORY
Sebelum Naya tinggal di rumah Jogja, Rendra-Jeno pernah dekat kok, walaupun canggung. Secara, mereka berdua kayak kutub yang berlawanan. Rendra rajin kuliah, Jeno rajin bolos. Rendra nggak pernah pacaran, Jeno nggak pernah nggak pacaran.
Waktu itu nggak sengaja ketemu di bandara Jogja, ternyata mereka pakai penerbangan yang sama. Jeno lagi nggak balik bareng Jevin. Untuk menghemat uang taksi, ya sudah, mereka berdua ke rumah bareng.
Kira-kira gini percakapannya:
R: Eh, Jen.
J: Yo, Dra!
R: Jevin mana?
J: Balik besok.
R: Langsung ke rumah?
J: Iya. Mau bareng?
R: Boleh. Biar hemat.
J: Okay.
Setelah itu? Selama di perjalanan mereka berdua asyik sama hape masing-masing.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro