7.
Yuk, di-vote dulu, jangan lupa komen ya 🥰💚
"Loliii, ya ampun, kok makin hitam gini. Kalau video call pakai filter ya? Jadi nggak ketahuan?"
Loli menoyor kepala Naya yang sudah menjulurkan kedua lengannya ke depan. Namun sedetik kemudian dua sahabat itu berpelukan erat. Mereka duduk bergabung dengan Gladis yang sedari tadi hanya diam memperhatikan.
"Kirain bakal datang sama Ghina," komentar Gladis.
Naya menggeleng. "Tadi aku diantar Kak Rendra. Dia balik ke rumah sakit mau ambil sesuatu katanya."
"Aku mau pesan minum dulu. Ada yang mau nitip?" tanya Naya. Dia mengeluarkan dompet dari tasnya.
"Gue nitip air mineral satu deh. Sudah lama nggak minum espresso. Mumet gue, terlalu pekat," keluh Loli.
"Lah, terus kenapa minum?" tanya Naya.
"Biar nggak ngantuk. Semalam gue mabar sampai subuh."
"Okay, cuma air mineral ya," ucap Naya. "Aku beliin dulu."
Gladis dan Loli melanjutkan obrolan mereka yang sempat terjeda oleh kehadiran Naya. Kebanyakan tentang pengalaman selama internship. Maklum, dua-duanya baru selesai bertugas di daerah pedalaman. Naya dan Ghina sih nggak bakal ngerti rasanya ke rumah pasien harus naik perahu dulu untuk menyeberangi sungai.
"Hai, hai, aku telat nggak?" sapa Ghina. "Kurang Naya ya? Syukur deh, nggak paling bontot."
Gladis dan Loli mendongak. Tampilan Ghina terlihat biasa saja. Padahal di antara mereka berempat, biasanya yang paling stylish itu Ghina. Pasti Ghina nggak sempat dandan karena sudah terlambat jam pertemuan. Kenapa Ghina bela-belain datang tidak telat padahal ini bukan acara formal yang harus dihadiri tepat waktu? Jawabannya adalah karena mereka akan mengadakan acara sidang internal dengan bintang tamu Muhammad Rajendra.
"Naya sudah datang. Lagi pesan minum tuh," ucap Loli memberi tahu.
Ghina menoleh ke konter pemesanan. Ia kembali memandang Loli dan Gladis. "Kak Rendra mana?"
"Lagi ke rumah sakit dulu kata Naya," kata Gladis.
Ghina manggut-manggut. "Aku ke Naya dulu deh, sekalian beli minum."
Tak lama, Naya dan Ghina kembali dengan tangan penuh. Ghina membeli minum dan kue untuk dirinya sendiri. Sedangkan Naya membeli untuk dirinya, Rendra dan Loli.
"Tumben kamu beli cake," komentar Gladis pada Ghina.
"Belum sarapan. Bangun aja telat," ucap Ghina sambil menyendokkan kue ke dalam mulut.
"Pengangguran life ya, Ghin," kata Loli.
Ghina mencibir tanpa suara. Loli dan Gladis baru minggu lalu balik ke Jogja setelah menjalani internship. Kalau Naya jangan ditanya, dia repot selama enam bulan ini bolak-balik Jakarta-Jogja untuk mengurus pernikahan plus menjalankan tugas sebagai bucin Rendra.
"Aku ada kerjaan, kok. Nemenin bebeb kerja semalaman pakai video call," Ghina membela diri.
Loli bersiul kecil. "Masih awet ya, Jogja-Osaka."
"Jarak bukan masalah. Ada pasangan yang deket tapi nggak kayak pasangan," seloroh Ghina tak mau kalah.
Loli, Ghina, dan Gladis terdiam. Ketiganya kompak menoleh ke arah Naya. Teman mereka yang satu itu tampak sibuk sendiri dengan gawainya.
"Eh, ada apa?" tanya Naya bingung. Dia baru sadar bahwa obrolan teman-temannya terhenti. Kini dia sedang menjadi bahan tontonan mereka.
"Untung nggak denger," ucap Loli sambil melengos.
"Ganti topik," sambung Ghina.
"Gimana persiapannya, Naya? Ada yang perlu dibantu nggak? Satu bulan lagi, kan?" kali ini Gladis yang bersuara.
"Sudah sembilan puluh persen selesai, kok," jawab Naya. Ia meletakkan ponselnya di atas meja. "Tinggal sebar undangan."
"Eh, iya," ucap Ghina. Gadis itu cepat-cepat menggontor kerongkongan dengan air minum sebelum melanjutkan bicara. "Gimana? Jadi mau ngundang mantan?"
Naya mengangguk santai. "Kak Rendra nggak masalah, tuh. Jangan pakai kata mantan, pakai kata kenalan. Nanti dia protes, aku yang kena ceramah lagi."
"Cembukor itu," ucap Loli sambil memutar bola matanya. "Susah amat ngomong tanpa berbelit-belit."
Gladis tertawa. Loli itu pembenci Rendra nomor wahid. Ia tidak pernah tertarik sedikit pun dengan cowok tampan satu itu. Padahal Rendra termasuk asisten dosen anatomi terfavorit di angkatan mereka. Selain karena tampangnya yang bikin hati adem, cara mengajarnya juga oke banget. Cuma Loli yang tidak paham kalau diajar Rendra.
"Mau undang langsung atau kirim online invitation aja?" tanya Ghina. Ia kembali menyuap kue.
"Besok aku sama Kak Rendra mau balik Jakarta. Kita sudah janjian sama Kak Jeno. Bakal kasih langsung sih," jawab Naya.
"Kak Julian?" tanya Gladis.
"Nah itu dia," ucap Naya sambil merengut. "Aku coba chat, di-read doang. Padahal baru nyapa, belum tanya bisa ketemuan atau nggak. Setelah bertahun-tahun Kak Julian masih marah, gitu?"
"Ya, bayangin aja. Dia jadi pengagum rahasia dua tahun, pacaran dua tahun. Wajarlah kalau dia marahnya sampai dua tahun," jawab Ghina asal.
"Iya ya?" Naya malah menunjukkan wajah polosnya.
"Or even more," tambah Loli sambil menepuk bahu Naya yang duduk di sebelahnya. Gadis itu kemudian mengatupkan kedua tangan di depan dada. "Ya Tuhan, biarkan Kak Julian jadi jodoh hamba saja."
"Bekas Naya, dong?" Ghina menjauhkan piring kuenya yang telah kosong.
Loli menoleh ke arah Naya. "Lo belum sempat tidur sama Kak Julian, kan? Kalau belum, gua nggak masalah."
"Mulutnya di-filter atuh Neng," Ghina melempar gumpalan tisu bekas ke arah Loli. Mojang Bandung mulai bertingkah.
"Ssstt, balik lagi ke topik awal," ucap Gladis mengingatkan. Setelah tenang, ia melihat ke arah Naya. "Nggak papa, Naya. Jangan terus-terusan merasa bersalah. Ya, kamu memang salah sih, tapi life must go on. Kamu fokus aja sama Kak Rendra. Kak Julian masih butuh waktu lebih lama untuk menyembuhkan luka."
Naya mengangguk kecil. Dia tidak banyak bicara.
Ponsel di atas mejanya berdering. Naya mengangkatnya. Telepon masuk dari Rendra.
"Kakak masuk aja, lurus terus. Kita duduk di dekat taman belakang," ucap Naya memberi arahan.
Loli berdiri. Dia menyempil duduk di antara Ghina dan Gladis. Gadis itu memberikan bangkunya untuk Rendra yang sudah tiba di kafe.
"Lihat aku, nggak, Kak?" tanya Naya. Ia sudah melambaikan tangannya.
Rendra mengangguk. Ia memutus sambungan telepon dan memasukkan ponselnya ke saku celana. Gayanya hari ini cakep banget. Celana jeans hitam, kaos lorek hitam-putih berkerah lengan panjang.
"Hai," sapa Rendra singkat dengan senyum tipisnya.
Naya menggeser pantatnya ke samping. Dia memberi tempat duduk pada Rendra.
"Katanya habis dari rumah sakit. Baru tahu kalau sekarang dokter boleh pakai jeans ke Sardjito," komentar Loli pedas.
Rendra mengangkat wajahnya. "Boleh kok. Kan gue cuma ambil charger laptop, nggak bertugas sebagai dokter."
Naya berusaha menengahi. Ia menyorongkan vanilla latte pesanan Rendra. "Minum dulu, Kak."
Rendra menoleh. Ia tersenyum manis pada Naya. "Makasih."
"Kak Rendra lagi selow nih?" tanya Gladis.
Rendra mengangguk. "Baru turun jaga, habis itu jemput Naya untuk ke sini."
"Wow, mulai perhatian," goda Ghina sambil tersenyum penuh arti pada Naya.
"Gimana ya?" komentar Naya. Dia mesam-mesem sambil menyampirkan sejumput rambutnya ke belakang telinga. Tiga gadis yang duduk di hadapannya kompak melengos ke arah lain.
"Jadi, mau pada ngomongin apa?" tanya Rendra. Dia melihat ke arah empat orang itu bergantian tanpa curiga. "Nggak mungkin minta diajarin anatomi lagi, kan?"
"Nggak lucu," balas Loli. Gladis langsung membekap mulut temannya itu. Gladis mengangguk kecil minta maaf.
"Ngobrol-ngobrol biasa aja, Kak," balas Ghina. Ia menyeruput minumannya. "Sudah nggak bikin Naya nangis lagi, kan?"
Rendra menoleh ke arah Naya. Tangannya terulur menepuk puncak kepala gadisnya. "Gimana Naya? Aku bikin kamu nangis, nggak?"
Mata Naya mengerjap. Dia menggeleng. Senyumnya lebar banget.
"Nggak kok. Aku nggak nangis."
Rendra kembali melihat ke arah Ghina. Alisnya terangkat ke atas. "Sudah dengar jawabannya? Itu pertanyaan harusnya dikasih buat Naya, bukan gue."
Ghina melihat ke arah Naya yang masih memandangi Rendra dengan tatapan kagum. Ghina geleng-geleng.
"Naya, lo jadi kayak anjing deh. Pat pat gitu, langsung seneng," komentar Loli.
"Ya sudah, masuk ke topik utama," ucap Ghina tegas. Dia menegakkan punggungnya. "Kak Rendra."
"Iya?" jawab Rendra. Tangannya sudah berada di pangkuannya lagi.
"Kak Rendra bener bakal jagain Naya? Seumur hidup?"
Rendra mengangguk mantap. Dia tersenyum. "Pasti lah. Tugasnya suami."
"Lahir batin lho ini," ucap Ghina lagi.
"Iya. Lahir batin."
"Memang tahu apa kebutuhan batinnya Naya?" seloroh Loli pedas.
---
Rendra, sebelum ketemu teman-teman Naya:
"Sudah cakep belum ya?"
"Semoga nggak dipermalukan di depan umum."
"Eh, full team ya kata Naya? Waduh, makin deg-degan."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro