Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6.

Yuk, di-vote dulu, jangan lupa komen ya 🥰💚

Rendra duduk berdampingan dengan Naya di ruang tengah. Sejak menyambut di depan pintu hingga sekarang, gadis itu tidak buka suara. Matanya sembab. Pasti Naya menangis semalaman.

Dari kemarin Rendra tidak konsentrasi belajar untuk maju ilmiah. Apalagi setelah tahu bahwa Naya sampai menginap di kosan Ghina, Rendra jadi makin merasa bersalah. Percayalah clique Naya itu menyeramkan. Kalau sudah sampai salah satu dari teman Naya yang bicara, berarti Rendra telah melakukan kesalahan besar.

"Mau makan malam dulu atau mau bicara dulu?" tanya Rendra. Tadi dia membawakan pizza sebagai sogokan.

"Makan dulu. Takut keburu nggak nafsu makan," jawab Naya.

Rendra turun duduk lesehan di lantai. Dia membuka kotak berisi pizza meat lovers kesukaan Naya. Rendra juga menyiapkan satu cup kecil garlic sauce.

"Ayo makan," ajak Rendra.

Naya turun dari sofa. Dia ikut melantai di samping Rendra. Gadis itu diam saja ketika Rendra sudah memakan satu suap.

"Kenapa? Kan aku nggak tuang saos," ucap Rendra heran.

"Suapin."

Kening Rendra berkerut. "Tangan kamu sakit?"

Naya melengos. "Ya sudah, aku mau tidur."

"Tunggu," cegah Rendra sambil menahan pergelangan tangan Naya. Ia menghela napas panjang. "Sini aku suapin."

Naya tersenyum lebar. Gadis itu duduk bersila menghadap Rendra. Matanya berbinar ketika cowok di depannya mengambil satu potong pizza dan mencelupkan di saos bawang putih.

Tanpa diminta Naya sudah membuka mulut. Rendra geleng-geleng. Ia menyuapi gadisnya dengan otak tak habis pikir. Naya manja banget.

"Makin enak karena Kak Rendra yang nyuapin."

"Itu mitos," jawab Rendra tak terpengaruh.

Naya merengut. Dia akhirnya makan dengan tenang. Naya menikmati tiap gigitan yang melumer di dalam mulutnya.

Dua potong pizza habis oleh Naya. Ketika Rendra akan menyuapi potongan ketiga, Naya menolak. Sudah kenyang, begitu katanya.

Rendra menghabiskan pizza bagiannya dengan cepat. Ia menyisakan dua potong terakhir untuk Mark. Setelah itu, Rendra berlalu ke dapur untuk cuci tangan. Dia kembali ke ruang tengah dengan dua gelas air putih di masing-masing tangannya.

"Makasih, Kak."

Rendra mengangguk. Dia membersihkan kerongkongannya dengan air minum.

"Gimana presentasinya hari ini?"

"Lumayan," jawab Rendra. "Kena omel konsulen, tapi juga dapat pujian."

"Karena aku ya?" Naya terlihat khawatir.

"Iya."

"Maaf," sesal Naya.

Rendra tersenyum. Ia menepuk puncak kepala Naya tiga kali. Tangannya kembali berada di pangkuan.

"Mau belajar sampai otak panas pun, bakal tetap kena semprot kok. Takdir residen. Tidak pernah seratus persen benar," jelas Rendra menenangkan.

"Justru, aku yang harusnya minta maaf," lanjut Rendra. "Sudah bikin kamu kesel. Sampai nangis kan pasti?"

Naya mengangguk. Gadis itu cemberut.

"Maaf ya, Naya. Aku jadi kurang perhatian. Aku malah melimpahkan semua tugas ini ke kamu. Capek ya?"

Naya mengangguk lagi. Dia hanya menunduk, tak berani melihat ke arah Rendra.

Rendra menghela napas panjang. "Pernikahannya jangan ditunda ya, Naya. Nggak cuma kamu aja yang nungguin momen ini. Aku juga. Sudah dari lama bahkan. Jadi, jangan ditunda ya, Sayang."

Naya mengangkat kepala. Kedua matanya melebar. Ia mengerjap tak percaya.

"Kak Rendra panggil aku pakai sebutan 'Sayang' nih?

"Iya. Kan memang aku sayang sama kamu," jawab Rendra. Nada bicaranya biasa saja. Tidak membuat hati bergetar bagi yang mendengar.

"Ulangi lagi," pinta Naya semangat.

Rendra membuang muka. Ia menutupi separuh wajahnya dengan tangan. Naya imut banget. Bisa bikin khilaf.

"Nggak ada siaran ulang," kata Rendra.

Naya merengut. "Jadi, sayang sama akunya cuma tadi tuh?"

"Naya, kalau bicara dijaga ya," nasehat Rendra pelan-pelan. "Jangan suka ambil kesimpulan sendiri. Bikin yang dengar kesal."

"Kak Rendra kesal sama aku?"

"Iya," jawab Rendra cepat.

Bukannya merasa tersinggung, Naya malah bertepuk tangan kegirangan. Kedua alis Rendra menyatu. Apakah calon istrinya itu salah makan sesuatu?

"Nah, sekarang, ayo ulangi lagi, Kak," pinta Naya. Ia memeluk lututnya di depan dada. Naya menunggu dengan antusias.

"Sayang," ucap Rendra cepat.

"Lagi."

Telinga Renjun sudah memerah. Ia masih tak berani menatap Naya.

"Sayang."

"Lagi."

"Kamu ngerjain aku, ya?"

Naya meringis. "Iya, Kak Rendra-ku Sayang."

Double kill. Rendra-ku dan sayang. Rendra langsung meraih gelas minumannya. Ia meredakan panas yang menjalar perlahan di wajah.

"Setelah satu tahun, akhirnya ada panggilan lain," kata Naya sambil tersenyum lebar. Matanya berbinar.

"Kamu senang banget," komentar Rendra. Ia memperhatikan wajah Naya yang masih menatapnya.

"Jelas senang dong, Kak," sambar Naya. "Jadi terasa lebih spesial. Kemarin-kemarin tuh, hubungan kita nggak ada bedanya dari awal ketemu. Orang yang lihat juga pastinya pada mengira kalau kita cuma temenan biasa."

"Nyatanya kan nggak begitu. Kita sudah dekat satu tahun, tunangan delapan bulan, mempersiapkan pernikahan enam bulan."

"Iya, dan rasanya tuh sama semua," kata Naya. Gadis itu berhenti sejenak. Telunjuknya mengetuk-ngetuk dagu. "Nggak deng, jantung aku berdebar nggak karuan waktu Kak Rendra ubah panggilan di antara kita jadi aku-kamu."

Rendra tersenyum. Dia senang kalau Naya merasa senang.

"Harusnya beda-beda ya rasanya di tiap tahapan?"

Mata Naya mengerjap. Dia memajukan duduknya. Rendra memundurkan kepala, perlahan, dia beringsut.

"Kak Rendra nggak merasa ada yang berubah?"

Rendra menggeleng. "Nggak tuh. Dari awal sampai tahap ini sama aja. Kan target aku memang menikah sama kamu."

Naya geregetan. "Nggak makin berdebar, atau makin gemes, atau apaaa gituu?"

"Makin sayang yang ada."

Naya tersipu. Dia menutupi wajah dengan bantal sofa. Meski begitu, Rendra masih dapat mendengar pekikan kecil Naya karena senang mendengar jawabannya.

"Jadi, harusnya ada yang berubah ya?" tanya Rendra mengembalikan topik pembicaraan.

Naya menurunkan bantal dari depan wajah. Gadis itu masih senyum-senyum sendiri. Dia mengangguk semangat.

"Kalau pasangan pada umumnya pasti punya panggilan khusus. Terus, ada skinship. Hm, apa lagi ya? Oh iya, saling kasih kabar atau basa-basi kirim pesan di sela-sela kesibukan."

Naya menatap Rendra. "Kita belum melakukan itu semua."

"Tunggu setelah nikah aja," ucap Rendra. Cowok itu sudah kembali dalam mode wajah datarnya.

Naya menghembuskan napas kesal. Dia mengubah posisi duduknya. Kini sudah tidak lagi menghadap Rendra. Naya menyandarkan punggungnya ke sofa di belakang. Kakinya sudah bersila.

Dibandingkan dengan orang lain seusianya yang Naya kenal, Rendra memang terlihat lebih dewasa. Pembawaan tenang. Bisa mengatur emosi. Jalan pikirannya maju jauh ke depan.

Cuma satu kurangnya. Kaku.

Teman-teman Naya sampai heran, kenapa Naya bisa bertahan dengan cowok model Rendra begini. Dibandingkan dengan semua cowok yang pernah dekat dengan Naya, Rendra itu yang paling beda.

Kalau dari cerita Naya, walaupun Jeno tidak banyak bicara, cowok itu senang mendengar Naya bercerita tentang apapun sambil memeluknya dari belakang. Jeno juga sering berkirim pesan atau telepon diam-diam meskipun mereka backstreet. Tak jarang cowok itu mengajak Naya pergi jalan-jalan menjelajahi destinasi wisata di kota Jogja. Masih ada romantisnya.

Julian beda lagi. He was on another level. Bertahan nunggu Naya selama dua tahun hingga akhirnya resmi pacaran. Rela kehujanan demi Naya. Nemenin Naya kalau lagi sakit perut haid. Bikin surprise kecil-kecilan di hari ulang tahun Naya atau hari jadi mereka.

Ghina, Gladis, dan Loli sudah setuju pakai banget kalau Julian yang bakal awet berdiri di samping Naya sampai ajal menjemput. Perfecto! Sosok suami idaman. Ketiga teman Naya saja sampai nggak berani bermimpi untuk bersanding dengan cowok model begitu, terlalu bersinar. Makanya mereka mau menggiling badan Naya pakai buldozer waktu tahu dia justru membuang Julian begitu saja.

Eh, Naya malah jatuh hati sama Rendra. Jadi bucin bodohnya cowok itu. Untung Rendra serius melamar Naya setelah dia melewati satu tahun masa studi residensi. Hingga dua bulan berikutnya, mereka mulai mempersiapkan pernikahan.

"Ya sudah. Ayo kita omongin masalah kemarin," ucap Rendra sambil meraih ponselnya.

"Masalah apa lagi?"

Rendra menoleh. Keningnya berkerut. "Ya, tentang persiapan pernikahan. Kamu tanya pendapat tentang katering kan?"

Naya pengin nguyel-nguyel itu wajah sekarang. Santai banget ngomongnya. Padahal Naya sudah berharap banyak setelah Rendra sempat memanggilnya dengan sebutan "Sayang".

"Tunggu sebentar," ucap Naya sambil berdiri. "Aku ambil planner dulu. Semuanya ada di sana."

Rendra mengangguk. Cowok itu membiarkan Naya pergi ke kamarnya di lantai dua. Rendra pindah duduk ke atas sofa. Ia menyandarkan punggung dan kepalanya. Matanya perlahan terpejam.

Naya kembali sepuluh menit kemudian. Dia mampir cuci muka sikat gigi dulu setelah makan malam. Saat sampai di ruang tengah, Naya mendapati Rendra sudah mendengkur halus. Terlihat jelas kalau cowok itu lelah.

Naya tersenyum. Dia berlalu ke kamar tamu dan mengambil selembar selimut dari lemari. Dengan hati-hati, Naya menyampirkannya di tubuh Rendra.

Gadis itu duduk di sofa, di sebelah Rendra. Dia membenahi letak kacamatanya yang turun hingga ujung hidung. Naya mulai fokus mengatur semua persiapan pernikahan yang tersisa.

---

Rendra waktu muncul di depan pintu, ngomong dalam hati:
"Waduh, habis nangis nih. Kucel banget."
"Pizza doang cukup nggak ya?"
"Ada Kak Mark nggak ya? Bakal dimarahin nih kalau tahu adeknya gue bikin sedih."

Meanwhile, Naya waktu lihat Rendra datang, ngomong dalam hati:
"Diam doang kok ganteng sih?"
"Lemah hati adek, Mas."
"Aku kan lagi ngambek. Kontrol diri, Naya, jangan mudah luluh sama ketampanan dan pizza."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro