Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

26.

Yuk, di-vote dulu, jangan lupa komen ya 🥰💚

"Sayang, udahan berendamnya. Tadi kamu sudah renang. Nanti kedinginan."

"Kak Rendra jangan sembarangan buka pintu kamar mandi!" pekik Naya sambil menyilangkan tangan di depan dada.

Rendra berdecak. "Kalau nggak gini, kamu nggak bakal keluar-keluar dari kamar mandi."

Pria itu melangkah masuk tanpa ragu. Ia meraih satu handuk dan berjalan ke pinggir bathtub.

"Aku sudah lihat badan kamu, nggak perlu ditutupin lagi," ucap Rendra. Ia melebarkan handuk di kedua tangan. "Ayo sini, keluar dari bathtub."

"Aku bisa sendiri, Kak," ucap Naya dengan wajah memerah menahan malu.

"Beneran?"

"Iya! Makanya Kak Rendra keluar dulu!"

Rendra tersenyum tipis. Ia meletakkan handuk di area wastafel, dekat dengan bathtub. Pria itu merunduk dan mengecup puncak kepala Naya.

"Aku tunggu di luar."

Rendra kembali menutup pintu kamar mandi. Naya akhirnya bisa bernapas lega. Wanita itu segera membersihkan diri dan mengeringkan tubuhnya dengan handuk.

Tak mau membuat Rendra menunggu lama, Naya segera mengenakan dress tanpa lengan selutut bermotif floral. Pakaian pantai banget. Tangan Naya bergerak mengambil hairdryer dan mulai mengeringkan rambutnya.

"Sudah?"

Naya berjengit kaget ketika pintu kamar mandi kembali bergeser. Desain sekarang tuh macam-macam. Sekat ruangan hanya kaca, bikin mirip showroom. Pintu pun tanpa kunci. Naya ingin mengutuk kemajuan teknologi yang ada, eh atau kemunduran trend, ya?

"Kak, jangan suka bikin kaget," omel Naya sambil memegangi dada.

Rendra tertawa kecil. Dia berjalan menghampiri Naya. Tangannya mengambil alih hairdryer dan mulai mengeringkan rambut Naya, hal yang dulu sering Rendra lakukan untuk sang istri. Naya membiarkan.

"Senang nggak di Manado?" tanya Rendra membuka percakapan. Ia bertukar tatap dengan Naya melalui cermin.

Naya mengangguk. Kali ini ia mulai mengaplikasikan produk skincare di wajah. "Kulit aku juga makin gosong, nih. Sudah jadi anak pantai banget."

"Tetap cantik, kok," puji Rendra. Pria itu merunduk dan mencium bahu Naya yang tidak tertutup kain. Naya tersentak.

"Kamu nggak pakai bra ya?" tanya Rendra curiga. Tangannya meletakkan hairdryer di atas meja wastafel.

"Pakai, tapi yang nggak ada talinya."

Rendra kembali menegakkan tubuhnya. Kali ini ia memeluk pinggang Naya dari belakang. Dagunya ia sandarkan di bahu Naya.

"Jangan pakai baju yang terbuka lagi, aku nggak suka. Tubuh kamu cuma milik aku."

"Kalau bagian dari tubuh aku?" tanya Naya. Mereka bertukar tatap melalui cermin.

"Juga punya aku."

"Janin aku?"

Rendra menegakkan punggung. Dengan perlahan ia memutar tubuh Naya hingga menghadap ke arahnya. Tatapan mata sang istri mulai berkaca-kaca. Pasti Naya teringat dengan kejadian itu, pikir Rendra.

"Janin kamu, tentu saja anak kita, Sayang," jawab Rendra sambil tersenyum menenangkan.

"Tapi Kak Rendra benci dia."

Rendra kaget. "Siapa yang benci?"

"Kak Rendra," jawab Naya. Bibirnya bergetar. "Kak Rendra nggak terima kehadiran dia. Kak Rendra benci anak kita. Bahkan waktu aku keguguran, Kak Rendra nggak merasa kehilangan."

"Aku nggak gitu, Sayang," ucap Rendra terluka. Sebelah tangannya mengusap pipi Naya. "Awal kehadiran dia, aku cuma bingung. Aku nggak benci anak kita. Waktu kamu keguguran, aku juga sedih, tapi aku harus kuat karena kamu butuh aku untuk bersandar."

Air mata Naya lolos. Wanita itu menunduk. Dia sudah bertekad untuk tidak menangis lagi, tapi usahanya gagal.

"Aku butuh waktu untuk menyusun ulang rencana. Benar apa yang kamu ucapkan. Kalau sudah ada, ya, harus diterima. Siap, nggak siap, harus bisa," ucap Rendra. "Aku juga melewati kesusahan aku sendiri. Aku butuh waktu berpikir. Maaf kalau jadinya aku malah terkesan jahat sama kamu dan anak kita."

Isakan kecil Naya berubah jadi tangisan. Ia teringat dengan masa-masa kelam itu.

Rendra memeluk tubuh sang istri. Ia mengelus kepala Naya pelan.

"Waktu kamu bilang, kamu mau jadi ibu, aku cukup kaget. Kamu juga terlihat senang dengan kehamilan itu. Aku selalu bilang, apa yang kamu suka, aku juga suka. Jadi aku putar otak, bagaimana caranya aku bisa berperan sebagai suami dan calon ayah yang baik. Aku sudah mikir. Uang untuk beli rumah bisa dialokasikan untuk beli peralatan anak. Karena kita bakal sama-sama sibuk, aku ada rencana untuk minta tolong Mama nemenin anak kita waktu dia sudah lahir nanti. Aku terlalu banyak mikir, malah jadinya nggak perhatian sama kamu. Maaf, Sayang."

"Kak Rendra jangan mikir semuanya sendiri. Ada aku, Kak," lirih Naya di sela isakannya.

Rendra mengangguk. Dia mencium kepala Naya lama. Hatinya teriris melihat Naya menangis. Satu butir air matanya turun, namun langsung Rendra hapus agar tidak mengundang barisan air mata lain.

"Iya, aku punya kamu. Bodoh banget aku mikir semuanya sendiri. Maaf. Cara aku jagain kamu salah."

Naya hanya bisa mengangguk. Tangannya melingkar di pinggang Rendra.

"Maaf ya, Sayang." Rendra memeluk tubuh Naya semakin erat.

"Kayaknya bener apa yang Loli bilang kemarin," ucap Naya dengan napas tersengal. Dia berusaha menghentikan tangisannya.

"Apa?"

"Komunikasi kita harus dibenerin dulu," lanjut Naya.

Rendra mengurai kedua lengannya. Ia menatap wajah Naya. Dengan ibu jari, pria itu menghapus jejak air mata di wajah Naya.

"Kayaknya aku yang harus dibenerin," ucap Rendra. "Aku kurang terbuka sama kamu. Aku terlalu terpaku pada rencana-rencana yang sudah aku buat sendiri, jadinya kaku. Aku egois."

Naya menggeleng. Ia tersenyum kecil. "Emosi aku juga masih meledak-ledak. Aku kayak anak kecil."

Rendra tersenyum. Ia menepuk puncak kepala Naya pelan.

"Kita jadi saling instrospeksi gini."

Ucapan Rendra membuat Naya tertawa. Rendra ikut tertawa.

"Kak Rendra, maaf ya, aku pergi nggak bilang-bilang. Aku juga menghilang nggak ada kabar hampir satu minggu lamanya."

"Aku mengerti, kamu butuh waktu sendiri," ucap Rendra.

Naya mengangkat wajah. Ia mendongak mengamati kedua mata jernih Rendra.

"Kak Rendra tahu nggak kenapa aku kayak gini?"

Rendra diam saja. Dia membiarkan Naya untuk lanjut bicara.

"Aku menjauh biar nggak kelepasan bicara sesuatu. Kemarin aku hampir aja mau minta...."

"Stop!" Naya terkejut mendengar suara keras Rendra. Tatapan pria itu tampak terluka. "Aku nggak mau dengar kelanjutannya. Aku sudah tahu dari teman-teman kamu."

"Jangan pergi, Sayang," pinta Rendra. Ia menggenggam kedua belah tangan Naya erat. "Jangan tinggalin aku sendiri."

Naya menggeleng. Ia melepaskan genggaman tangan Rendra. Sebagai gantinya, Naya berjinjit dan melingkarkan lengannya di leher Rendra.

"Aku mau habiskan sisa hidup aku bersama Kak Rendra."

Rendra merengkuh pinggang Naya dan memeluknya erat. Pria itu menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Naya.

"Makasih, Sayang. Makasih," ucap Rendra terenyuh. "Arti pernikahan selalu diperbaharui di setiap kondisi yang menerpa rumah tangga. Aku baru sadar itu. Nggak seharusnya aku mikir tentang give and take. Kalau sama pasangan hidup, lebih bijak kalau aku mikir apa yang terbaik yang bisa aku kasih."

"Tapi, Kak," Naya menjauhkan diri dari sang suami. "Kok Kak Rendra bisa tahu dari temen-temen aku?"

"Aku disidang sama mereka, via video call," jawab Rendra. Ia kemudian menggaruk telinganya gugup. "Habis balik dari sini aku pasti bakal dihajar sama Kak Mark."

"Kenapa?"

Rendra membalas tatapan mata Naya. "Aku sudah cerita ke Bunda dan Mama. Tentang kamu keguguran. Aku nggak bisa simpan memori kehadiran anak kita cuma untuk kita berdua aja."

Mata Naya melebar. Ia menutup mulutnya yang terbuka dengan kedua tangan. Naya tidak percaya. Suaminya itu membuka kartu padahal dia sendiri yang awalnya tidak mau keberadaan janin Naya diketahui anggota keluarga lain.

Rendra tersenyum. "Kamu nggak percaya? Coba sana telepon Bunda sama Mama."

"Bukan... maksudnya...," Naya terbata-bata. Ia menggeleng. "Aku nggak tahu harus bilang apa, Kak."

"Sayang," panggil Rendra. Istrinya itu menoleh. Tatapan mata Rendra melembut. "Aku akan berusaha wujudkan keinginan kamu satu persatu. Panggilan khusus, skinship di tempat umum... eh, tapi kalau situasi normal, kita gandengan tangan aja ya."

Naya tertawa kecil. Ia mengangguk. "Yang tadi sore itu, dianggap bonus."

Rendra tersenyum. Ia melanjutkan kalimatnya. "Kalau kamu mau bulan madu, aku siap."

"Nggak usah muluk-muluk. Jalan ke tempat yang deket berdua aja, tapi Kak Rendra jangan main hape," sambar Naya.

Rendra mengangguk. "Kalau kamu mau jadi ibu, aku juga siap."

Naya menunduk. Ia memainkan ujung kaos Rendra. "Aku mau berdua dulu aja sama Kak Rendra."

Rendra mengecup kepala Naya. "Anything for you."

"Kita perkuat dulu bonding kita. Habis itu kita baru program punya baby, gimana?"

Rendra mengangguk setuju. Ia tersenyum. "Okay. Begitu lebih baik."

"Nah, mumpung sudah ada di sini," ucap Naya. Ia sudah kembali tersenyum lebar. Wajahnya merona merah. "Kita bulan madu ya."

Rendra tertawa kecil. Ia menciumi wajah Naya dengan gemas. Wanitanya telah kembali.

"Kak Rendra, aku laper," keluh Naya. Ia bersikap manja. "Dari tadi kita masih di kamar mandi lho. Banyak tempat bagus untuk ngobrol, kenapa milihnya di sini?"

Rendra mengecup bibir Naya sekilas sebagai penutup. "Ya sudah, ayo kita makan di luar. Aku belum pernah ajak kamu keliling Manado, kan?"

"Memang Kak Rendra tahu daerah sini? Kak Rendra kan di Jogja terus."

"Ada Google maps, Sayang. Jangan kayak makhluk zaman batu gitu, dong."

---

SIDE STORY

Habis keluar makan, sudah pada ganti piyama, sudah di kasur siap tidur. Rendra lihatin Naya yang sibuk balas pesan singkat di ponselnya.

Naya: Kenapa lihatin aku kayak gitu?

Rendra: Nggak papa, sudah lama nggak lihat kamu.

Naya: *blushing* *taruh hape* *tatap Rendra balik*

Rendra: Ngapain?

Naya: Lomba main saling tatap

Rendra: *giggle* Aneh banget kamu

Naya: Telinganya merah nih. Ciee. Malu ya? *tarik-tarik dua telinga Rendra pelan*

Rendra: Nggak kok. *makin nervous*

Naya: *cubit-cubit pipi Rendra*

Rendra: *masih diam aja*

Naya: *acak-acak rambut Rendra*

Rendra: *tarik tangan Naya, peluk Naya* Bandel banget sih. *Gelitikin Naya*

Naya: Hahaha, ampun, Kak Rendra.

Akhirnya Naya dan Rendra guling-gulingan di atas kasur, dari satu ujung ke ujung lain. Kayak anak kecil.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro