Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

23.

Yuk, di-vote dulu, jangan lupa komen ya 🥰💚

Pagi-pagi Naya sudah semangat dengan kaos dan celana panjang serta rambut dikuncir ekor kuda. Amunisinya adalah alat pemotong rumput. Setelah selesai membuatkan sarapan untuk Rendra dan Mark, wanita itu berlalu ke halaman belakang. Naya dan suaminya saat ini sedang menginap di rumah utama.

Sepulang Naya dari rumah sakit, wanita itu kembali ke apartemen dengan ditemani Rendra. Ia tidak langsung istirahat, malah asyik menggambar komik. Saat semua cara sudah ia coba untuk memperbaiki suasana hati namun tidak ada yang berhasil, ia menghampiri Rendra yang terduduk di sofa ruang tengah dengan mata tertutup.

"Kak Rendra," panggil Naya. Ia duduk di sebelah sang suami.

"Iya, Naya. Ada apa?" tanya Rendra. Pria itu memaksakan seulas senyum, padahal wajah tampannya terlihat sangat lelah.

"Aku boleh pulang nggak?"

Kedua alis Rendra terangkat. Dia tidak mengerti. "Mau pulang kemana, Naya? Ini rumah kita."

"Aku mau ke rumah keluarga aku, di Palagan," jawab Naya. "Boleh? Aku nggak maksa kok, Kak."

Rendra tersenyum. Ini permintaan pertama Naya sejak keluar dari rumah sakit. Bahkan Naya terkesan segan untuk mengatakannya.

"Boleh, kok. Kita nginep di sana selama yang kamu mau," jawab Rendra. Tangannya bergerak mengelus wajah Naya.

"Makasih, Kak," ucap Naya. Dia kembali berdiri. Padahal Rendra baru saja mau memeluknya.

"Mau kemana?" tanya Rendra tak rela.

"Mau persiapan. Banyak barang yang mau aku bawa," jawab Naya. Masih tidak ada senyuman di wajahnya. "Kita langsung berangkat sekarang juga, kan?"

Rendra menghela napas. Dia hanya mengangguk pasrah.

"Nay," panggil Mark. Kakaknya itu datang dengan rambut berantakan. "Ngapain? Masih dingin gini."

"Rumputnya sudah tinggi, Kak," jawab Naya.

"Ini masih jam lima," ucap Mark. Dia memakai sandal dan menarik sang adik untuk masuk ke dalam rumah. "Kamu tuh kebiasaan banget, pulang ke rumah malah langsung beres-beres."

"Mumpung belum ada matahari, Kakak. Biar nggak panas," kilah Naya tak mau kalah.

"Nanti Kakak panggil tukang kebun aja. Dari kemarin belum sempat," ucap Mark sambil mendudukkan Naya di kursi meja makan. "Temenin Kakak sarapan."

"Heleh, biasanya juga makan sendiri," balas Naya.

"Kan ada kamu, masa makan sendiri. Kelihatan banget kalau jomblo."

"Jomblo bahagia mah nggak papa, Kak," ucap Naya sambil tersenyum iri.

Mark balas meledek. "Kamu sih sudah nggak kesepian karena ada temen makan tiap hari."

"Nggak juga tuh, Kak Rendra tetap sibuk," keluh Naya.

Mark meringis melihat wajah sendu Naya. Tangannya bergerak mengacak rambut sang adik.

"Ya sudah. Kan sekarang lagi di rumah. Tumben banget kalian tinggal di sini lama-lama. Alasannya cuma mau berlibur."

Naya meringis. Dia meminta Rendra untuk merahasiakan fakta bahwa kemarin dirinya sempat opname. Naya tidak mau membuat sang kakak khawatir.

"Sebelum aku kuliah lagi, Kak. Terus sekarang kan sudah nggak kerja. Mending isi waktu luang beresin rumah aja, kayak dulu," ucap Naya.

Mark tersenyum. "Kalau gitu makan," perintah Mark. Ia sendiri sudah menarik mangkuknya mendekat.

"Selamat pagi."

Mark mendongak. Berbeda dengan dirinya yang masih memakai baju santai, Rendra sudah rapi siap berangkat ke rumah sakit.

"Hai, Dra. Sini sarapan," panggil Mark. "Naya bikin bubur ayam lho. Repot kan bikin ini?"

"Bikinnya sudah dari semalam, tinggal dipanaskan aja, kok," ucap Naya merendah.

"Pagi, Sayang," Rendra merunduk mencium puncak kepala sang istri.

"Wow, sejak kapan lo panggil Naya pakai sebutan khusus?" pekik Mark antusias. Dia menoleh ke arah Naya. "Kok nggak cerita Nay, kalau Rendra jadi nggak kaku gini?"

"Baru mulai manggil Sayang sejak nginap di sini, Kak. Aku juga nggak tahu kenapa tiba-tiba gitu," jawab Naya sambil mengangkat kedua bahu.

Rendra tersenyum. Dia duduk di seberang sang istri. Tanpa diminta, Naya sudah bergerak menaruh berbagai topping di atas mangkuk buburnya.

"Mau lagi?" tanya Naya.

"Sudah cukup," jawab Rendra. "Makasih, Sayang."

Mark mengguncang lengan Naya heboh. "Kakak masih belum biasa nih, Nay. Gimana dong? Geli banget dengernya."

Naya tertawa. Dia melepas tangan Mark dan balik mengatai sang kakak.

Rendra yang melihat itu ikut terkekeh. Dia senang. Setidaknya, Naya sudah bisa berekspresi setelah mereka tinggal di sini, meskipun Naya masih belum bisa kembali terbuka dengannya.

"Lo katanya mau tugas ke luar kota ya, Dra?" tanya Mark. Pertengkaran kecil dengan Naya sudah berakhir.

Rendra mengangguk. "Hari Minggu ini gue ke rumah sakit di Wates."

"Kamu sendirian lagi dong, Nay?" Kali ini Mark menoleh pada Naya. Tangannya tak henti menyuap makanan ke dalam mulut.

"Kan ada Kakak," jawab Naya cuek.

"Kalian bakal tetap terus di sini?" tanya Mark tak percaya.

Naya mengangkat wajah. Ternyata Rendra juga sedang mengamatinya. Tatapan mata mereka bertemu.

"Sampai Kak Rendra balik, aku di sini dulu," ucap Naya mantap. Padahal dia belum mendiskusikan hal tersebut dengan sang suami.

"Serius? Wah, seneng banget. Kita main game lagi lah, Nay," seru Mark seperti anak kecil. "Habis Kakak balik dari kantor, siap-siap ya. Nggak bakal kalah kali ini."

Naya menoleh ke arah Mark. Dia tersenyum miring, meremehkan. "Lihat aja nanti."

---

"Halo, Kak?"

"Iya, Dra. Ada apa?" balas Mark di seberang. "Tumben banget lo telepon gue gini."

"Kak Mark ada dimana?" tanya Rendra terburu-buru.

"Ada di rumah lah, kenapa?"

"Dari semalam Naya aku kirimi WA nggak di-read. Aku telepon juga nggak diangkat. Dia nggak papa kan di rumah?" tanya Rendra dengan nada khawatir.

"Lah, Naya nggak pamit?" Mark malah balik tanya. "Naya pakai penerbangan kemarin malam ke Jakarta, Dra. Anaknya lagi manja ke Bunda paling."

"Ke Jakarta?!"

"Duh, iya. Jangan teriak-teriak," ucap Mark kesal. "Tapi serius, Naya nggak pamit? Kalian lagi ada masalah?"

Tanpa menjawab pertanyaan Mark, Rendra langsung memutus sambungan telepon. Pria itu sekali lagi melihat aplikasi WA. Tidak ada kabar dari sang istri.

Rendra menghela napas panjang. Sudah satu minggu ini Rendra berusaha menjadi sosok yang lebih perhatian untuk Naya. Ia memberanikan diri keluar dari zona nyaman. Rendra memanggil pakai kata "Sayang" walaupun masih terdengar kaku. Rendra juga berusaha meluangkan waktunya untuk mengirim pesan singkat pada Naya saat sedang bertugas. Rendra ingin Naya kembali seperti dulu, ceria dan manja padanya.

Pria itu mencari kontak Bunda di ponsel. Dengan ragu ia menekan tombol hijau dan menempelkan ponsel di sebelah telinga. Kali ini Rendra harus hati-hati agar tidak ketahuan seperti dengan Mark tadi.

Rendra menyapa dengan suara yang dibuat seceria mungkin. Bunda jadi tidak ragu sedikitpun. Rendra bertanya basa-basi, sengaja mencari tahu tanpa terlalu kentara keberadaan sang istri. Benar saja, Bunda bertanya mengapa dirinya tidak ikut ke Jakarta bersama Naya. Bahkan Naya malam ini sudah ada di bandara. Bilangnya ingin pergi bersenang-senang dengan salah satu temannya mumpung masih ada sisa waktu satu bulan sebelum kembali ke rutinitas. Rendra kembali bercakap-cakap dengan Bunda sebelum akhirnya panggilan telepon mereka terputus.

"Kenapa istri gue gini ya? Bisa menclok sana, menclok sini," keluh Rendra pada diri sendiri sambil memandangi layar ponsel. Ia masih mencoba menghubungi nomor Naya.

"Selingkuh maksudnya?"

Rendra mengangkat wajah. Ia berdecak ketika salah satu temannya malah menimpali dengan kalimat ngawur.

"Bukan, Sam. Tapi pergi nggak bilang-bilang. Malam kemarin ke Jakarta, terus katanya malam ini sudah di bandara mau ke Manado," jelas Rendra sekalian curhat.

"Kabur dari rumah namanya itu."

Rendra terhenyak. Dia tidak berpikir sampai sana. Naya kabur dari rumah? Naya berniat meninggalkannya?

"Naya selama ini selalu jadi istri yang penurut," sangkal Rendra.

Sam menurunkan pulpen di tangannya. Dia berhenti menulis template untuk follow up besok pagi.

"Dia jenuh sama hubungan kalian, mungkin. Terus sekarang sudah dalam taraf muak. Jalan ninja ya menghilang," ucap Sam enteng.

Kening Rendra berkerut. Dia berpikir keras. Sebelum bertugas ke Wates, Rendra dan Naya memang belum pernah membahas mengenai kecelakaan yang menimpa wanita itu. Rendra pikir Naya tidak ingin mengingat kejadian tersebut, lagipula sang istri tidak pernah menyinggung masalah itu lagi.

"Jangan mikir sendirian, Dra. Lo nggak bakal tahu isi otak istri lo kalau kalian nggak saling bicara. Hubungan kalian sudah nggak sehat kalau nggak ada komunikasi gini. Ambil libur gih, bicarakan berdua."

Rendra menghela napas panjang. Ucapan Sam membuatnya tersadar. Pernikahannya sebagai taruhan.

---

Misuh-misuh, semua orang di rumah sakit jadi korbannya karena un-mood tahu Naya kabur dari dirinya.

Rendra dalam hati: (insert text here, sumpah serapah dalam berbagai bahasa)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro