1.
Yuk, di-vote dulu, jangan lupa komen ya 🥰💚
"Kak, yang ini gimana?"
Rendra mengangkat wajahnya dari layar ponsel. Dia melihat Naya yang sedang berdiri dengan balutan gaun putih di tubuhnya. Gaun pengantin model off shoulder itu tampak cantik dipakai oleh Naya.
"Bagus," jawab Rendra.
Naya menghela napas panjang. Sudah ada tiga gaun yang dia coba, tapi jawaban Rendra sama semua. Cuma satu kata, bagus. Naya mengajak calon suaminya itu untuk meminta pendapat, bukan malah menambah dirinya bingung.
"Jawabnya yang bener dong, Kak."
Rendra mengangkat alis. "Memang bagus. Semua yang kamu pakai jadi bagus."
Okay, andaikan saja Rendra sedikit tersenyum saat mengatakan kalimat tadi, perasaan Naya pasti sudah dibawa terbang ke awan. Eits, jangan mimpi di siang bolong. Rendra bilang begitu dengan raut wajah datar seperti biasa. Bikin Naya yang dengar malah jadi keki.
"Kasih review yang jelas. Jangan cuma bilang bagus," Naya mulai hilang kesabaran.
"Kamu sukanya yang mana?"
"Suka semua," jawab Naya. Dia menunduk memperhatikan gaun yang sedang ia pakai.
"Nah kan, kamu juga nggak jelas suka yang mana."
Naya mengangkat wajahnya. Dia terkejut dengan ucapan Rendra. Bikin darah tinggi.
Rendra tersenyum. Ia berdiri dan berjalan menghampiri Naya. Tangannya menepuk puncak kepala gadis yang saat ini tampak lebih tinggi darinya karena sedang berdiri di sebuah panggung kecil.
Nah, kalau begini, Naya jadi tidak bisa marah. Adem banget kalau Rendra sudah puk-puk kepalanya seperti sekarang.
"Kamu siap dengerin opini aku?"
"Hah?" mulut Naya sukses terbuka.
"Nanti ujung-ujungnya kamu ngeluh karena merasa dikasih kuliah. Kamu mau dengar nggak?" tanya Rendra lagi.
Naya dengan ragu mengangguk. "Boleh, deh. Biar cepet milihnya."
Rendra menegakkan punggung. Raut wajahnya berubah serius. Tangan kanan terlipat di depan dada, tangan kiri mengusap dagu. Bahasa tubuh yang ia gunakan jika sedang berpikir.
"Gaun yang pertama," Rendra menyentuh benda yang ia maksud dari gantungan baju. "Garis pinggangnya tinggi, ada di bawah dada. Kamu bakal keliatan lebih jenjang kalau pakai ini. Apalagi kamu kan pendek."
Bibir Naya maju karena dikatai pendek. Kan bisa dipoles dikit jadi kata mungil. Dasar, Rendra!
"Gaun yang kedua." Rendra beralih ke sebelah. "Kalau aku cari di internet, ini sih namanya model A-line dress. Dari pinggang ke bawah melebar. Bagian atas tubuh kamu jadi poin utamanya. Menurut aku cocok, soalnya badan kamu kan bagus, sudah yoga dari dulu, kan?"
"Kak Rendra," lirih Naya dengan pipi memanas.
Gadis itu melirik ke arah stylist yang sedang menahan cekikikan. Kalau orang lain dengar kan bisa salah sangka. Dikiranya Rendra sudah lihat badan Naya full naked, atau parahnya, dikira mereka sudah "main" sebelum menikah.
"Nah, yang ketiga." Bagai tidak mendengar panggilan Naya, Rendra menunjuk gaun yang sedang dikenakan Naya. "Modelnya simpel. Bagian roknya juga nggak aneh-aneh. Cuma ya, lekuk badan kamu jadi lebih kelihatan karena potongannya yang sempit, bahu kamu juga terbuka."
"Jadi?" tanya Naya dengan wajah semerah kepiting rebus. Saat ini Rendra masih menatap tubuhnya dengan intens.
"Kamu nyaman pakai yang mana?"
"Aku oke semua, kok," jawab Naya salah tingkah. "Kak Rendra jangan liatin aku kayak gitu," protes Naya pada akhirnya.
Rendra berpaling. "Maaf."
"Kak Rendra suka yang mana?" tanya Naya.
"Aku menghargai apa yang kamu suka."
"Ih, muter-muter lagi kan nih," omel Naya.
Rendra menoleh. "Kamu mau aku jawab jujur?"
Naya memutar bola matanya. Dari tadi tinggal pilih salah satu apa susahnya sih? Batin Naya dalam hati.
"Iya, Kak Rendra," Naya geregetan. "Ayo ah, pilih. Kelamaan."
"Aku suka yang kedua," jawab Rendra cepat. "Gaun pertama terlalu old-fashioned. Gaun ketiga terlalu seksi. Pas banget yang kedua, kamu kelihatan manis."
Naya tersenyum. Dia puas dengan jawaban Rendra.
"Kalau gitu aku cobain lagi ya. Biar bisa difoto terus aku kasih lihat Bunda sama Mama."
"Nggak perlu," ucap Rendra. Dia mengeluarkan ponsel dari sakunya. "Sudah aku foto tadi."
Naya tersenyum lebar. Dia tampak bangga. "Wow, gercep banget calon suami aku."
Rendra menahan malu. Dia kembali menyimpan ponselnya. "Sudah, buruan ganti baju. Kita makan siang."
---
Naya meraih satu bungkus keripik tempe yang digadang-gadang menjadi camilan bagus untuk diet. Telepon genggamnya menempel di telinga. Gadis itu duduk di sofa ruang tengah sambil mendengarkan seseorang bicara di seberang sana.
"Seriusan? Dia milih gaun pengantin aja kayak gitu?"
"Kayak nggak kenal Kak Rendra aja," ucap Naya. "Eh Ghin, kamu masih di Jogja, kan?"
Ghina, sahabat Naya sejak kuliah, menjawab. "Masih, kok. Aku juga masih ngurus berkas-berkas pendaftaran jadi residen. Ada apa?"
"Mau ketemuan. Kita ngobrol secara langsung. Sudah lama nggak ketemu kan?"
"Boleh, boleh. Sekalian bawa bahan baju untuk bridesmaids ya," ucap Ghina.
"Punya Loli sama Gladis aku titip di kamu, gimana?" tanya Naya sambil menyebut dua teman di lingkaran clique-nya.
"Okay, nanti aku suruh mereka ambil ke kosan," jawab Ghina. "By the way, kalau jadi bridesmaid, dapat bonus Kakak kamu nggak?"
"No way," tolak Naya cepat. "Percayalah, Kakak itu sangat menyebalkan. Masih belum bisa move on juga. Jangan mau sama dia."
Terdengar suara tawa Ghina dari seberang. Naya hanya mendengarkan. Tangannya sibuk memasukkan keripik tempe ke dalam mulut.
"Kamu mau ngundang mantan, Naya?" tanya Ghina.
"Si-ha-pa?" Naya bicara dengan mulut penuh.
"Kak Julian lah, siapa lagi?" seru Ghina. "Eh, Kak Jeno masuk dalam hitungan nggak ya?"
Gerakan mengunyah Naya berhenti. Gadis itu berpikir sejenak. Ia kemudian menelan isi mulutnya.
"Aku tanya Kak Rendra dulu, deh. Soalnya dia kan nggak punya mantan. Agak gimana gitu kalau aku minta undang mereka."
"Kak Rendra selow sih kayaknya," komentar Ghina. "Tapi bener, mending tanya dulu."
Naya manggut-manggut. Dia kembali menyuap keripik kentang.
"Kamu nggak bakal terus di Jakarta?" tanya Ghina. "Kak Rendra kan sibuk belajar. Kalau bukan kamu yang persiapkan semuanya di sana, siapa lagi?"
"Aku ke Jogja cuma sebentar kok, habis itu balik lagi ke Jakarta," jawab Naya. Dia menggontor kerongkongannya dengan air. Naya kemudian terkekeh. "Sebenarnya, aku balik karena mau ikutan Kak Rendra pulang Jogja dulu, hehe."
"Ya ampun, Naya!" Ghina terdengar gemas. "Bucin! Bucin! Sama aja kayak Kak Mark."
"Beda ya, aku kan bucin sama calon suami sendiri. Kalau dulu Kak Mark sama pacarnya," kata Naya membela diri.
"Sama aja. Bucin tanpa pandang bulu."
"Aku masih penasaran sama Kak Rendra soalnya," ucap Naya jujur. "Kan lumayan tuh naik kereta delapan jam bisa makin kenal. Sekalian ngobrol tentang persiapan pernikahan juga."
Ghina terdiam beberapa saat. "Iya ya. Walaupun kalian sudah kenal sejak dia masih tinggal di rumah kamu, Kak Rendra tetap terlihat misterius."
"Nah kan, kamu aja merasa gitu," ucap Naya semangat. Dia jadi berapi-api. "Aku berasa bucin secara sepihak ini. Untung sayang."
"Memang siapa sih di antara kalian yang suka duluan?" tanya Ghina.
Naya mematung. Dia tidak berpikir sampai sana. Sudut-sudut bibirnya tertarik ke bawah. Semangatnya hilang.
"Aku kayaknya."
---
Rendra waktu lihat raut wajah kesal Naya
Di dalam hati: "saatnya beraksi"
Kelakuan: *tepuk-tepuk puncak kepala Naya* *senyum manis*
Naya: *blushing* *nggak jadi marah*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro