Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

one last time

nb : 3k++ words, alpha Mingi, omega Seonghwa, dan beta Wooyoung. Btw itu lagu di mulmed liriknya relate banget sama kisah oneshot ini 😔

🎧 song recommendation for this chapter :
Ariana Grande - One Last Time

[ Mingi X Seonghwa ]

Seumur hidupnya, Seonghwa tidak pernah terbayang bahwa ia akan mempunyai pack sendiri. Suaminya, Song Mingi sang Alpha, mempunyai gagasan bahwa ia akan membangun packnya sendiri bersama Seonghwa sang Luna. Mereka berdiskusi panjang tentang hal ini dan Seonghwa tidak ada pilihan lain selain mengiyakan. Hal itu membuat Mingi tersenyum, berkata bahwa ia mempunyai kenalan semasa kecil bernama Jung Wooyoung yang merupakan seorang beta. Mingi bercita-cita untuk membawa Wooyoung ke dalam packnya, tinggal bersama dirinya dan Seonghwa. Namun jauh di dalam hati, Seonghwa menentang hal ini. Karena ia tidak rela berbagi Mingi dengan orang lain, Seonghwa sangsi bahwa ia akan menyukai Wooyoung, melihatnya saja tidak pernah.

"Aku akan tetap mencintaimu, kau belahan jiwaku, Seonghwa. My Luna." Bisik Mingi ketika sang Alpha tahu kegundahan hati Seonghwa di malam hari.

Seonghwa tidak menjawab, ia terpejam. Pura-pura terlelap.

Seminggu kemudian, Wooyoung datang. Ia memeluk Mingi dengan erat dan sang Alpha menciumi pipinya gemas. Pandangan Wooyoung beralih pada Seonghwa, ada getar asing yang tidak menyenangkan di mata keduanya tapi Wooyoung menunduk dan tersenyum.

"Senang bertemu denganmu, Seonghwa."

"Panggil aku Luna."

Mingi terkejut mendengarnya, begitu juga dengan Wooyoung sementara Sang Omega menatapnya pongah. Namun hal itu tidak berlangsung lama karena pada malam harinya Seonghwa terbaring sendirian di atas ranjang dengan desah Wooyoung mengaung di seluruh penjuru rumah saat Mingi menggagahinya, menyatakan bahwa sang Beta merupakan bagian dari mereka.

Seonghwa berusaha untuk menutup mata lalu terlelap, tapi yang ia dapati bukanlah rasa kantuk melainkan kedua pipinya yang basah. Setelah menahan sendirian untuk waktu yang lama, Seonghwa menangis.

*****

Wooyoung hamil.

Seonghwa menggenggam garpunya erat-erat ketika sang Beta meloncat kegirangan sambil memegang testpack. Mingi menyambutnya dengan senyum mengembang dan mau tidak mau Seonghwa melakukan hal yang sama meski pikirannya berkecamuk. Bagaimana bisa Wooyoung hamil? Ia bahkan baru tinggal dua bulan di sini? Bahkan Seonghwa belum bisa memberi keturunan untuk Mingi.

"Kau tidak apa-apa?" Mingi mengusap pipi Seonghwa yang sedang mengunyah sarapan. Di seberangnya, Wooyoung ikut menatap Seonghwa khawatir.

"Aku tidak enak badan."

Wooyoung beranjak untuk menghampiri Seonghwa, "Kau perlu sesuatu, Hyung?"

Seonghwa menggeleng, "Aku mau tidur saja."

Mingi lekas memegangi tubuh Seonghwa namun sang Omega menghindar, menatap keduanya dengan mata nyaris basah.

"Aku baik-baik saja."

Lalu Seonghwa menghilang di balik pintu kamar, tubuhnya merosot ke lantai dengan gigi menggigit punggung tangan, berusaha menahan isak tangis yang keluar dari mulutnya.

*****

"Kau terlihat tidak sehat." Mingi menggumam sedih sambil menciumi punggung Seonghwa, "Ada yang ingin kau sampaikan, Hwa?"

"Aku baik-baik saja." Seonghwa mendesah frustasi, "Bisakah kau tidak menanyakan hal itu berulang kali?"

"Dan kau juga menjawab dengan jawaban yang aku sudah muak mendengarnya! I'm your Alpha, Seonghwa!"

"So what? Kau bahkan tidak tahu apa-apa tentang aku!" Seonghwa beranjak dari tempat tidur meski tubuhnya belum mengenakan sehelai benang pun.

"Itu karena kau tidak mengatakan yang sejujurnya! Kau selalu menghindar dan menyendiri. Aku hanya berusaha untuk membantu--"

"BANTUANMU SUNGGUH TIDAK BERARTI, MINGI!"

Serigala dalam tubuh Mingi nyaris mengambil alih dan bersiap menghukum Seonghwa karena sikap kurang ajarnya, tapi melihat omeganya itu mengacak rambut dan menangis membuat Mingi tak tega. Ia turut beranjak dari kasur, merengkuh tubuh Seonghwa yang bergetar dan kedinginan.

"Aku sakit, Mingi. Aku sakit."

"Apa maksudmu, Sayang?"

"Beberapa hari yang lalu ketika kau berburu dan Wooyoung masih tidur, aku mendatangi seorang tabib. Aku bertanya kenapa aku tidak kunjung hamil dan ia mengatakan bahwa aku sakit. Entahlah mungkin aku dikutuk tapi yang jelas aku tidak normal. Aku tidak bisa memberimu keturunan."

Mingi tidak tahu tentang hal ini dan meskipun ia tahu, ia tidak bisa memberikan reaksi karena terlalu terkejut. Omega yang tidak bisa hamil merupakan suatu hal yang fatal tapi saat ini Mingi mencoba denial.

"Mungkin... mungkin memang belum waktunya. Tidak semua orang bisa hamil dengan cepat kan?"

Seonghwa menggeleng, "Aku sudah gagal sejak awal."

"Hwa, jangan katakan itu." Mingi menciumi rambut Seonghwa, "Aku yakin itu hanya kemungkinan, kita hanya harus bersabar sedikit lebih lama."

Namun kemudian satu tahun telah berlalu. Wooyoung melahirkan bayi laki-laki yang tampan dengan wajah yang sungguh mirip dengan Mingi dan yang dapat Seonghwa lakukan hanya terpaku menatapnya, sembari memegangi perutnya yang datar dan akan selamanya begitu.

*****

"Hyung, kau belum tidur?"

Seonghwa mendongak, mendapati Wooyoung tengah mengucek matanya lalu menguap. Ia pasti baru selesai menidurkan Keeho yang terbangun di tengah malam, memang sulit untuk menjadi orangtua baru dan Wooyoung tengah mengalami hal itu.

"Belum." Jawab Seonghwa, menggerakkan jemarinya dengan pola abstrak di atas kaleng soda yang habis diteguknya.

Hening sejenak sebelum Wooyoung mendudukkan dirinya di hadapan Seonghwa, ia menggenggam kedua tangan sang Omega dan mengecupnya beberapa kali.

"Aku minta maaf, Hyung. Aku sungguh minta maaf."

Seonghwa keheranan, ia menarik tangannya dan menatap Wooyoung seksama. "Apa maksudmu?"

"Aku rasa... aku penyebab kau dan Mingi selalu bertengkar, apalagi ditambah dengan kelahiran Keeho yang membuat Mingi jadi lebih memperhatikan aku ketimbang kau. Namun aku tidak bermaksud begitu, Hyung. Seandainya waktu itu aku menolak ajakan Mingi untuk tinggal di sini dan menjadi bagian dari kalian, aku tidak tahu jika kedatanganku akan merusak hubungan kau dan Mingi. Aku sungguh minta maaf, Hyung."

Seonghwa terpaku, tak pernah terbesit di benaknya bahwa Wooyoung sungguh merasa bersalah. Yang Seonghwa sadari selama ini adalah keduanya dipenuhi intrik karena Seonghwa begitu membencinya, ingin melenyapkannya karena Wooyoung bisa memberi apa yang Mingi inginkan. Keturunan. Namun saat ini Seonghwa sadar bahwa ia hanya diliputi rasa iri, karena ia tidak bisa melakukan hal yang sama seperti Wooyoung. Meski dengan pengobatan dan segala upaya yang telah dilakukan, itu semua berakhir sia-sia.

"Kau orang baik, Wooyoung." Seonghwa memeluk Beta itu sedikit canggung, "Bukan salahmu tentang retaknya hubunganku dengan Mingi, itu karena aku yang tidak pantas menjadi seorang Luna. Aku cacat dan mungkin dikutuk, tapi kau tidak. Kau memberi apa yang Mingi inginkan dan memang sepantasnya begitu. Akulah yang harusnya meminta maaf karena begitu membencimu selama ini, kau tidak pantas diperlakukan seperti itu."

Seonghwa berjanji untuk tidak menangis, tapi Wooyoung kebalikannya. Ia merengkuh Seonghwa erat-erat, memberi kenyamanan pada sang Luna yang sedang gundah gulana. Wooyoung ingin mengatakan bahwa ia sangat menyayangi Seonghwa, tapi yang ia lakukan hanya mampu memejamkan mata sambil terisak.

*****

Wooyoung kembali ke kamarnya, begitu juga dengan Seonghwa. Ia menatap Mingi yang terlelap di atas ranjang dan Seonghwa bersandar di pintu. Kedua tangannya mengepal, Seonghwa melirik obat-obatannya yang tergeletak di atas meja rias. Sudah berapa banyak yang ia telan dan tidak membuahkan hasil apa-apa? Tubuhnya hanya semakin sakit dan lemah, stres melandanya.

"Hwa, apa yang kau lakukan disitu?" Mingi mengerjap dan lekas menghampiri Seonghwa tapi sang Omega melangkah mundur. Itu membuat Mingi heran, "Kau baik-baik saja?"

Seonghwa menggeleng.

"Hwa."

"Biarkan aku pergi."

Butuh waktu bagi Mingi untuk mengerti maksudnya, "Apa?"

"Biarkan aku pergi dan kau bisa tinggal di sini dengan Wooyoung."

"Kau gila? Bagaimana bisa aku membiarkanmu pergi begitu saja? Seonghwa, dengar, aku tahu kau stres belakangan ini tetapi--"

"Kau tidak tahu apa-apa, Mingi. Kau tidak tahu bagaimana rasanya aku harus berbagi dirimu dengan orang lain, kau tidak tahu rasanya bahwa orang lain itu bisa memberimu anak, kau tidak tahu rasanya bahwa aku harus menelan pil pahit itu setiap malamnya, kau tidak tahu rasanya bahwa aku hidup dengan rasa bersalah yang terus menghantui bahwa aku tidak bisa memberimu keturunan!"

Mingi mengusap wajahnya frustasi, "Kita sudah membicarakan hal ini sebelumnya dan aku SUNGGUH tidak masalah bahwa kau tidak bisa hamil. Aku tidak menuntutmu untuk punya anak hanya untuk membuatku puas, Seonghwa. Aku mencintaimu dan selamanya akan begitu, tidakkah itu cukup bagimu?"

Seonghwa menggeleng, ia mengambil beberapa barang miliknya serta jaket lalu menatap Mingi, "Jika kau mencintaiku, biarkan aku pergi."

Malam itu, Mingi berdiri di pintu depan untuk menatap kepergian belahan jiwanya yang perlahan menghilang ditelan gelapnya malam.

*****

"Seonghwa, hati-hati!"

Mingi berusaha menarik tangan Seonghwa namun hanya berakhir sia-sia. Omeganya itu malah terkekeh dan menjulurkan lidah tanda mengejek.

"Jangan sampai jatuh!"

"Tidak akan jatuh kok." Kini Seonghwa mencelupkan kedua kakinya ke dalam air sungai yang dingin, ia melambaikan tangan dengan maksud mengajak Mingi untuk bergabung dengannya.

Mingi mengalah, ia turut mendudukkan dirinya di sebelah Seonghwa, di atas batu sungai yang besar dan mencelupkan kakinya.

"Aku selalu ingin punya rumah di dekat sungai, tapi orangtuaku mengatakan bahwa hal itu berbahaya. Sebagai gantinya, mereka mengajakku untuk berkemah dan membangun tenda di dekat sungai setiap akhir pekan."

Seonghwa meletakkan kepalanya di pundak Mingi, ia tersenyum lebar sambil menikmati deru sungai yang menenangkan. Mingi melakukan hal yang sama, ikut terpejam dan mengusak rambut Omeganya singkat.

Itu terjadi enam tahun yang lalu ketika Mingi dan Seonghwa hidup bersama untuk pertama kalinya. Kenangan yang tak bisa Mingi lupakan begitu saja, ia masih kerap mengingatnya sambil berlinang air mata, seperti saat ini. Sudah enam tahun lamanya Seonghwa pergi dan Mingi masih berada di bawah bayang-bayangnya. Meski Wooyoung selalu di sisinya bersama anak laki-laki mereka, Song Keeho, Mingi tetap tidak bisa melepas Seonghwa. Ia merindukan Omeganya, rindu sekali sampai ingin mati rasanya.

Wooyoung menghela napas, ia paham dengan situasi yang Mingi alami. Ia juga paham dengan fakta bahwa dirinya tak pernah menjadi yang pertama dan tak akan pernah. Namun Wooyoung sadar itu tidak penting lagi, karena dirinya juga tak bahagia melihat Sang Alpha bersedih sepanjang hari.

"Pergilah."

Mingi menoleh, mendapati Wooyoung tersenyum di ambang pintu kamar.

"Pergilah, aku tidak akan melarangmu."

"Tidak, bagaimana dengan kau dan Keeho? Aku akan tetap di sini--"

"Tetap di sini dan menangis seperti itu, kau tidak ingin Keeho bertanya kenapa ayahnya selalu bersedih kan?"

Mingi menunduk dan Wooyoung menangkup wajahnya, mencium pipinya lembut sebelum berbisik. "Keeho sudah besar dan kami akan baik-baik saja. Pergilah, cari Seonghwa hyung lalu bawa ia pulang."

Dengan itu, Mingi mengepak barang-barangnya secepat mungkin. Ia bahkan tidak sempat berpikir dan hanya tertuju pada hatinya untuk menemukan Seonghwa. Lalu Mingi menghampiri Keeho yang sudah terlelap, memandangnya sejenak sebelum mengecup dahinya.

"Kunci pintu, jangan biarkan siapapun memasuki teritori kita. Segera berlindung ke ruang bawah tanah jika--"

Wooyoung membungkam perkataan Sang Alpha dengan mempertemukan bibir keduanya, Mingi tahu bahwa Wooyoung mengkhawatirkan dirinya sekarang, maka dari itu ia bertekad untuk pulang dalam keadaan selamat, bersama Seonghwa. Mingi tidak akan mengecewakan orang-orang yang berarti dalam hidupnya.

Malam itu, Mingi bergegas pergi dengan Wooyoung yang mengantarnya di depan pintu sambil melambaikan tangan. Ia akan baik-baik saja, begitu juga dengan Mingi. Wooyoung yakin dengan hal itu.

*****

Musim gugur lebih merepotkan ketimbang musim salju, menurut Seonghwa begitu. Lebih mudah membersihkan salju daripada dedaunan yang berserakan, apalagi daun kering yang menumpuk di jendela. Hari sudah sore saat Seonghwa baru selesai membersihkan pekarangan dari daun kering dengan sapu, ia menumpuk dedaunan itu di sudut halaman dan berniat membakarnya besok, tapi Seonghwa terusik ketika sesuatu yang ganjil terjadi.

Seseorang memasuki teritorinya.

Sialnya lagi, senapan Seonghwa berada di dalam rumah. Tak ada waktu untuk berlari ke dalam dan mengambilnya, maka Seonghwa memberanikan diri untuk menghadapi dengan tangan kosong. Semakin Seonghwa melangkah, maka tercium semakin pekat pula baunya. Hal itu membuat Seonghwa berhenti di tempat. Mematung karena ia mengenali aroma itu. Teh hijau. Aroma yang tak pernah Seonghwa suka tapi lama kelamaan menjadi candu karena ia harus berhadapan dengannya seumur hidup, atau mungkin itu yang Seonghwa pikirkan ketika ia menjadi pasangan Mingi.

"Seonghwa."

Mingi berdiri di sana, di hadapan Seonghwa. Lehernya terluka dan hanya dibebat dengan perban sederhana. Seonghwa ingin bertanya apa sebabnya tapi itu bukan urusannya, mereka tak punya hubungan lagi sekarang. Sudah enam tahun lamanya Seonghwa pergi, bagaimana bisa mereka bertemu kembali?

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Itu bukanlah ucapan yang Mingi harap akan ia dengar dari mulut Seonghwa.

"Aku datang untuk--"

"Berhenti, kau memasuki wilayahku."

Mingi mengangguk paham, "Aku datang untuk menemuimu. Aku sudah mencari dirimu selama kurang lebih satu minggu dan akhirnya... akhirnya aku berada di sini."

"Kau tahu kan artinya 'pergi'? Itu artinya aku tidak ingin dicari atau ditemukan lagi." Seonghwa menghela napas lalu membuang muka, enggan menatap Mingi karena ia tahu dirinya akan menangis, "Ini sudah hampir malam, pergilah. Berbahaya jika kau terus berkeliaran di alam bebas."

Lalu Seonghwa berbalik, meninggalkan Mingi yang termangu di tempatnya dan menutup pintu rumah begitu saja. Namun di dalam sana, di balik pintu rumahnya, Seonghwa merosot di lantai, terisak.

*****

Enam tahun. Butuh waktu enam tahun bagi Seonghwa untuk pergi, mengembara, menjernihkan pikiran, dan ia pikir ia telah sembuh, tapi kini Mingi menemukannya dan pertahanan diri Seonghwa runtuh begitu saja. Ia bahkan tak tega untuk membiarkan Mingi berada di luar pada malam hari seperti sekarang ini. Seonghwa menatap api unggun yang berkobar di tengah gelapnya hutan dengan Mingi yang duduk di sampingnya, omega itu menghela napas lalu berjalan menghampirinya.

"Seonghwa?"

"Ya, ini aku." Seonghwa berusaha menahan suaranya agar tak terdengar antusias, "Udara akan berhembus semakin kencang dan api unggunmu akan padam. Lehermu juga perlu diobati. Ikut aku."

Mingi tersenyum, ia mengikuti langkah Sang Omega dari belakang. Ia tahu Seonghwa tidak sejahat itu untuk meninggalkannya sendirian. Ketika kedua kaki Mingi melangkah masuk ke dalam rumah Seonghwa, ia bisa menghembuskan napas lega. Rumah itu didominasi oleh nuansa kayu, udaranya hangat, terdapat perapian yang menyala dengan balok-balok kayu di sekitarnya. Apakah Seonghwa membangun rumah ini sendirian?

"Duduklah, aku akan mengobatimu."

Mingi menurut, ia mendudukkan diri di atas sofa di depan perapian. Menoleh ke samping agar memberi akses lebih untuk Seonghwa mengobati lukanya sementara omega itu berdiri di hadapan Mingi. Menit-menit berlalu dilewati dengan keheningan, sesekali Mingi meringis ketika Seonghwa tak sengaja menekan lukanya.

"Kenapa bisa terluka?"

"Bertarung dengan alpha lain ketika aku tak sengaja memasuki teritorinya."

Seonghwa mendecih, "Bagaimana kau bisa menemukanku?"

"Kau bilang selalu ingin tinggal di dekat sungai. Jadi aku menghampiri setiap sungai yang tertera di peta untuk mencarimu dan ternyata usahaku tidak mengkhianati hasil."

Jemari Seonghwa berhenti bergerak, begitu juga dengan kepala Mingi yang menoleh ke samping untuk menatapnya, kemudian mengusak hidung keduanya namun Seonghwa menjauh.

"Jangan lakukan ini."

"Hwa."

"Jangan panggil aku dengan nama itu."

Mingi menarik Seonghwa agar kembali mendekat, alhasil omega itu terduduk di pangkuan Mingi. Seonghwa tak dapat bergerak, terlebih karena tangan Mingi yang merengkuh pinggangnya dengan erat.

"Hentikan, Mingi."

"Tidak."

"Kau akan terus begini?"

"Ya, karena aku jauh-jauh datang kemari bukan untuk pulang dengan tangan kosong."

Seonghwa menunduk, menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca. "Aku tidak tahu apakah aku sudah sembuh atau belum."

"Aku tidak peduli."

"Itu artinya aku belum bisa memberimu keturunan."

"Aku tidak peduli."

"Jika aku pulang, tidak akan ada yang berubah."

"Aku tidak peduli."

Kepala Seonghwa jatuh di pundak Mingi, terisak. Mingi membiarkannya sejenak sebelum menyentuh dagu sang Omega sehingga keduanya bertemu pandang.

"Aku mencintaimu, hanya itu yang aku pedulikan." Ibu jari Mingi mengusapi air mata Seonghwa yang berjatuhan, "Pulang, ya?"

Seonghwa mengangguk, tersenyum ketika Mingi mendekatkan wajahnya. Mereka berciuman, setelah enam tahun lamanya. Ciuman itu menggebu, terburu-buru, dan karenanya pipi Seonghwa bersemu. Ia terkejut ketika Mingi mengangkat tubuhnya ke dalam kamar tanpa melepaskan ciuman mereka. Ini akan menjadi malam yang panjang.

*****

Mingi terbangun sendirian di atas kasur dan ternyata sudah pukul sepuluh pagi. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Seonghwa, hanya pakaiannya yang masih berserakan di lantai. Mingi tersenyum, menutup mata sejenak ketika mengingat apa yang terjadi semalam. Mereka bercinta, Mingi tahu bahwa seharusnya sebuah persoalan tidak dibereskan di atas ranjang, tapi rindu mengambil alih dan membuat keduanya memilih untuk saling berbagi napas dan kehangatan setelah enam tahun lamanya. Mereka baru terlelap di pertengahan subuh karena Seonghwa yang sudah kepalang lelah, akhirnya Mingi mendekap sang Omega dan keduanya pergi ke alam mimpi.

Rasanya malas sekali untuk beranjak dari kasur, terutama karena Mingi belum mendapatkan waktu tidur yang berkualitas semenjak ia pergi untuk mencari Seonghwa. Kini, ia harus mencari Omeganya lagi yang menghilang entah kemana. Setelah memakai celana, Mingi beranjak dan memanggil-manggil nama Seonghwa. Tak ada jawaban, itu berarti Seonghwa berada di luar rumah. Benar saja, Omega itu tengah berdiri di tepi sungai dengan seember ikan di sisinya.

"Hwa."

Seonghwa terlonjak, "Mingi, kau mengagetkanku!"

"Maaf." Mingi terkekeh, "Kau memancing?"

"Hmm, hanya untuk lauk hari ini karena kita akan segera pulang."

"Kenapa? Aku tidak keberatan untuk tinggal di sini lebih lama."

"Bagaimana dengan Wooyoung dan Keeho?"

"Mereka akan baik-baik saja."

Seonghwa menggelengkan kepala, "Tidak, Mingi. Kau sudah pergi sangat lama dan aku tahu bagaimana rasanya tinggal sendirian. Sepi dan tidak menyenangkan, pasti itu yang mereka rasakan."

"Lalu bagaimana dengan tempat ini? Kau akan meninggalkan rumah impianmu?"

"Keluarga lebih penting."

Bahkan setelah berpisah sangat lama dengan Wooyoung dan Keeho, Seonghwa masih memikirkan mereka. Mingi berandai-andai betapa kesepiannya Seonghwa selama ini, pikiran itu membuat Mingi merengkuh sang omega dan menciumi puncak kepalanya.

"Baiklah, kita pulang besok pagi."

*****

"Papa, aku baru saja dari luar dan ada seseorang yang memasuki wilayah kita."

Wooyoung menatap Keeho yang ketakutan, "Mungkin itu Ayah.''

"Itu bukan Ayah, baunya berbeda."

Meski Keeho masih terlalu kecil untuk mengerti apa itu senjata api, namun Wooyoung tak segan untuk membawanya di saku. Itu perintah Mingi, jika mereka berada di dalam bahaya, Wooyoung tak perlu ragu untuk menembak orang asing yang memasuki teritori mereka.

"Baunya seperti apa?"

Keeho berpikir sejenak, "Buah ceri."

Jantung Wooyoung merosot ke dasar perut dan senjata api itu tergeletak di lantai seketika, membuat bunyi dentum yang mengejutkan Keeho. Wajah Wooyoung berseri-seri, ia lekas menggandeng lengan Keeho dan membawanya keluar.

"Papa, kita dalam bahaya!"

Wooyoung menggeleng, "Seonghwa sudah pulang."

Keeho berhenti di teras, menatap Wooyoung yang kini berlari di pekarangan mereka dan menyambut dua sosok yang baru datang. Sosok tinggi dan tegap itu Keeho kenal sebagai ayahnya, namun lelaki di sebelahnya tampak asing. Meski begitu ia terlihat indah, tubuhnya ramping dan senyumnya manis. Ia memeluk Wooyoung yang kini terisak, menepuk punggung sang Beta perlahan sebelum bertemu pandang dengan Keeho. Ia melepaskan pelukannya dengan Wooyoung lalu berjalan menghampiri Keeho, membuat aroma ceri yang menguar dari tubuhnya tercium semakin jelas. Mereka berhadapan untuk beberapa menit dan ia mengusap pipi Keeho dengan intensitas lembut.

"Halo, Keeho. Senang bertemu denganmu lagi."

Dan Keeho dibuat kebingungan karenanya.

*****

Kira-kira dua minggu lamanya waktu yang diperlukan Keeho untuk mengerti silsilah Seonghwa dihidupnya, tapi untungnya bocah lelaki itu tidak melayangkan protes, malah lebih banyak bertanya dan berkata ingin mengenal Seonghwa lebih jauh. Hal itu membuat Seonghwa terharu, Keeho bahkan memanggil dirinya 'Mama'.

"Mama."

Seonghwa menoleh, menatap Keeho yang menarik-narik ujung kaosnya, "Ya?"

"Bolehkah aku makan es krim semangka yang ada di freezer?"

"Kenapa tidak?"

Keeho merengut lucu, "Karena Papa bilang nanti aku bisa sakit kalau terlalu banyak makan es krim."

Seonghwa tersenyum, membuka pintu freezer dan mengambil es krim yang Keeho maksud untuk diberikan pada bocah itu, "Kalau begitu, Papa tidak perlu tahu."

Keeho memekik bahagia dan berakhir mereka makan es krim bersama-sama di dapur.

Namun sampai keesokan paginya, Seonghwa masih terbayang-bayang dengan es krim semangka itu. Bahkan ketika Mingi masih terlelap dengan lengan melingkari pinggang Seonghwa, sang Omega harus melepasnya dengan perlahan dan berniat pergi ke dapur untuk menikmati es krimnya, tapi rencana itu batal ketika rasa mual menghantam perut Seonghwa. Ia lekas berlari ke kamar mandi lalu berjongkok di depan kloset yang terbuka, memuntahkan isi perutnya.

"Hwa? Kau tidak apa-apa?" Mingi berdiri di ambang pintu, menatap Omeganya khawatir. "Perlu kupanggilkan Wooyoung?"

Seonghwa mengangguk, kembali mengeluarkan isi perutnya lalu terduduk dengan lemas di lantai kamar mandi.

"Hyung, apakah kau makan sesuatu yang aneh kemarin?" Wooyoung datang setelah Mingi memanggilnya, ia bahkan menyuruh Mingi untuk keluar agar tidak menganggu mereka.

"Tidak, aku hanya makan es krim bersama Keeho." Seonghwa buru-buru mengoreksi, "Maaf, kami melakukannya diam-diam."

Wooyoung terkekeh, "Itu tidak penting, Hyung. Tapi aku ingin kau mencoba ini." Jemari Wooyoung terulur untuk menyerahkan testpack berwarna putih tulang.

"Woo, aku tidak yakin. Bagaimana jika hasilnya negatif lagi?"

"Kau tidak akan tahu sampai kau mencobanya."

Seonghwa menghela napas, kemudian mengangguk. Melakukan sesuai apa yang Wooyoung katakan sementara Beta itu pamit keluar dari kamar mandi, memberi Seonghwa waktu sendiri. Menit-menit berlalu dan Seonghwa tidak berani untuk melihat testpack-nya, jadi ia membuka pintu dan langsung berhadapan dengan sang Alpha.

"Hwa?"

Seonghwa menaruh testpack itu di telapak tangan Mingi. Sang Alpha diam sejenak, mencerna situasi saat ini.

"Maaf jika hasilnya--"

Ucapan Seonghwa terputus ketika Mingi memeluknya. Ia bisa merasakan bahunya basah dan punggung Mingi bergerak naik turun, sang Alpha menangis. Apakah Seonghwa mengecewakannya lagi?

"Thank you, my love. You did it."

Mingi melepas pelukannya, menyerahkan alat tes kehamilan itu agar Seonghwa dapat mengetahui hasilnya sendiri. Setelah penantian panjang dan membutuhkan banyak pengorbanan, testpack itu menampakkan dua garis merah muda.

----

A/N :

Tidak menyangka oneshot MinHwa yang satu ini bakal nyampe 3k++ words, tapi aku suka banget banget bangetttttttt #MinHwaSupremacy

Btw aku dah lama ya gak update hihihi. Terima kasih sudah mau baca dan tetap nungguin buku ini 💘

-yeosha

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro