Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

I'd go a million times around the world just to say he had been mine for a day

🎧 song recommendation for this chapter :
Bread - Aubrey

[ Mingi X Yunho ]

Mingi baru saja berulang tahun ke 25, tapi ia sudah mati sejak dua tahun lalu.

Sebongkah kue tart Black Forest dihadapannya tidak berarti apa-apa, tapi ia tetap tersenyum kala kedua orang tuanya bertepuk tangan sambil bernyanyi mengharapkan ia panjang umur. Sudah dua tahun Mingi hanya sekedar hidup, bekerja bagai autopilot dan beraktivitas tanpa gairah. Ia bahkan terkejut bahwa umurnya bertambah hingga mencapai angka 25, padahal ia sudah menganggap dirinya telah lama mati. Ketika jantung Yunho berdetak untuk yang terakhir kali, hari itu Mingi ikut mati. Ia menganggap semuanya berakhir. Dunia tak lagi berputar dan berubah menjadi hitam putih. Setidaknya itu yang Mingi percaya setelah kepergian sang kekasih.

Keduanya berpacaran sejak SMA dan berlanjut sampai kuliah, selama bertahun-tahun mereka bersama Yunho tidak pernah cerita kalau ia mengidap penyakit mematikan. Mingi mengetahuinya di detik-detik terakhir saat Yunho muntah darah dan dilarikan ke rumah sakit. Mingi ingat dia marah sekali pada Yunho kala itu, sangat marah sampai ia tak melepas genggaman Yunho sedikit pun.

"Sayang." Lirih Yunho.

Mingi mengangguk, mengecup punggung tangan Yunho yang basah oleh air matanya.

"Maaf tidak pernah memberitahumu sebelumnya. Aku pikir, yang terpenting saat kita bersama-sama adalah kebahagiaan. Dan aku sangat bahagia bersamamu."

Yunho pucat sekali malam itu, tapi tetap terlihat indah meski napas beratnya menahan ia untuk tak banyak berkata-kata. Mingi memegangi tangannya sepanjang malam, mengusap hangat jemari panjang Yunho yang suka sekali ia genggam. Yunho kelewat haus malam itu, setiap beberapa menit sekali ia akan meminta Mingi untuk memberinya air mineral. Mingi melakukannya tanpa mengeluh. Kemudian sebuah cincin perak Mingi keluarkan dari dalam tas, ia sematkan cincin itu di jari manis sang kekasih.

"Menikah denganku, ya?"

Yunho mengiyakan tanpa ragu. Ia bertanya-tanya dari mana cincin itu dan Mingi berkata kalau ia selalu membawanya ke mana-mana. Jaga-jaga jika ia ingin melamar Yunho di suatu tempat yang romantis ketika saatnya tiba. Dan Mingi melakukannya di atas ranjang rumah sakit tempat kekasihnya sekarat. Ada dua cincin dan Yunho kegirangan ingin memakaikan yang satu lagi di jari Mingi, maka ia melakukannya. Mereka saling menatap dengan tangan bertaut dibalut cincin, lalu Mingi mencium Yunho tepat di bibir.

"Aku mencintaimu, Mingi."

"Aku mencintaimu, Yunho."

Pagi harinya, Yunho meninggal.

Mingi tidak tidur semalaman jadi ia sangat tahu ketika genggaman tangan mereka melonggar dan napas berat Yunho sepenuhnya berhenti, ia menatap lamat-lamat kekasihnya yang meninggal dalam tidur, ia menatap setiap detail kepergian Yunho dalam diam. Detik itu, Mingi ikut mati. Seluruh jiwanya turut dibawa oleh Yunho. Namun, ia masih sanggup untuk berdiri lalu memencet tombol di dinding, seorang perawat datang dan Mingi tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya melangkah mundur saat perawat mulai mengecek kondisi Yunho. Mingi tidak bersuara meski ruangan itu telah dipenuhi perawat dan dokter yang mengatakan turut berduka cita, mereka bertanya banyak tapi tak satu pun Mingi jawab.

Lalu ada pemakaman. Mingi tidak meninggalkan Yunho sedetik pun. Ia berdiri di samping peti Yunho, menatap lamat-lamat kekasihnya. Mingi suka membayangkan betapa tampannya Yunho berjalan ke altar dan Mingi akan menyambutnya dengan senyum lebar ketika mereka menikah nanti. Siapa sangka Mingi malah melihat Yunho memakai jas di dalam peti. Mingi tidak beranjak bahkan sampai peti ditutup, membuat ia tak punya kesempatan untuk melihat Yunho lagi. Lalu ada upacara, Mingi menatap setiap detiknya ketika peti putih itu terkubur di dalam tanah. Ada isak tangis di sekitarnya, yang paling kencang dari adik laki-laki Yunho. Mingi kira dunia sudah berhenti ketika Yunho meninggal di rumah sakit tapi rasa sakit yang hebat menghantam dadanya saat satu per satu orang meninggalkan pusara Yunho dan hanya tersisa Mingi seorang diri. Ia baru merasakan kehilangan yang menyiksa, mengacaukan dirinya. Mingi berlutut sambil meraung-raung. Tangannya terkatup, memohon kepada Tuhan mana saja yang mendengar doanya agar Yunho hidup kembali. Mingi tahu itu tidak mungkin, tapi tak bolehkah ia berharap?

*****

Waktu berlalu dan Mingi mendeklarkan dirinya sudah mati sejak saat itu. Tapi satu tahun terlewat, lalu dua tahun, dan Mingi telah menginjak usia baru. Orang tuanya datang ke apartemen membawa kue dan kado, Ibu mencium pipi Mingi lama sekali, Ayah memeluk Mingi terlalu erat. Mingi tidak bisa membalas senyum mereka tetapi ia berusaha.

"Kalian tidak perlu repot-repot begini." Gumam Mingi. Ia menyendok kue Black Forest itu ke dalam mulut menggunakan garpu.

"Repot? Tidak sama sekali, Sayang. Kau anak kami. Hidupmu akan selalu kami rayakan."

Ibu berkata sambil tersenyum, meski ia tahu Mingi sudah mati bertahun-tahun lalu.

"Kau mau buka kadonya sekarang?"

Mingi mendongak, tak sadar sejak tadi ia mengaduk-aduk krim di atas kue. "Aku ingin beristirahat."

Ayah dan Ibu tampaknya mengerti, hidup tak pernah menjadi lebih mudah sejak Yunho pergi. Mingi masih bertahan sejauh ini saja mereka sudah bersyukur sekali. Ada perbincangan sebentar sampai akhirnya Ayah dan Ibu pamit, mereka memeluk Mingi sekali lagi. Berharap yang terbaik untuk anak laki-laki yang mereka cintai.

Apartemennya berubah senyap seketika. Mingi masih duduk di kursi meja makan sambil menyuap kue perlahan-lahan. Ada sesuatu yang membuatnya terpaku dengan makanan itu, mungkin selai bluberi di antara rasa coklat yang mendominasi, atau karena Mingi sudah lama tidak menyantap makanan manis. Lilin berbentuk angka 25 Mingi pindahkan dari atas kue ke atas piring sebagai pengingat bahwa perayaan  telah usai. Setidaknya itu yang orang tuanya pikir, merayakan ulang tahun Mingi yang tiap tahun hanya diliputi duka. Mingi beranjak untuk memasukkan sisa kue ke dalam kulkas. Ia pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi, bersiap untuk tidur. Kemudian Mingi berbaring menyamping di atas kasur, menunggu kantuk datang.

Namun, yang ia rasakan adalah kedua pipinya yang basah. Awalnya hanya isak pelan tapi tak lama berubah menjadi sedu sedan. Mingi menutupi wajahnya dengan kedua tangan, meredam suara tangisnya sendiri.

"Yunho, aku merindukanmu."

Terakhir kali Mingi menangis adalah ketika Yunho dimakamkan. Selanjutnya ia mati rasa terhadap apa pun di sekitarnya. Ia bahkan tidak menganggap dunia berputar lagi. Selama ini, Mingi menahan kesedihannya. Ia menganggap dirinya sudah mati padahal ia hanya tidak tahu bagaimana cara menghadapi dunia tanpa sang kekasih. Dengan kata lain, Mingi hilang arah. Mingi tidak pernah mengizinkan dirinya menangis, bahkan ketika Yunho meninggal ia hanya diam sampai perawat datang. Mingi hanya diam ketika Yunho berada di dalam peti. Dan Mingi baru menangis ketika Yunho sudah tertanam di tanah. Duka, penyesalan, dan penderitaan bercampur menjadi satu. Mingi tak pernah mengizinkan dirinya menangis, karena ia tak berhak. Ia baru boleh menangis kalau Yunho hidup kembali, kalau Mingi bisa menyelamatkannya malam itu. Tapi yang ia lakukan hanya diam, memandangi kekasihnya meninggal dalam tidur.

"Yunho.. aku tidak bisa.. tolong.."

Mingi terisak-isak, rasa bersalah bergelayut di dalam dirinya, menyakiti rongga dada. Air matanya tak dapat berhenti mengalir dan telah membasahi bantal. Napas Mingi putus-putus karena terlalu keras menangis.

"Yunho.. kembalilah, kumohon."

Ia berharap pada sesuatu yang tidak mungkin.

"Kembalilah padaku."

Tapi ia hanya ingin Yunho ada di sisinya.

"Mingi."

Suara itu. Jantung Mingi serasa merosot ke dasar perut, perlahan-lahan ia menurunkan tangan dari wajah sambil menghapus air mata. Sejenak, pandangan Mingi kabur tapi kemudian ia bisa melihat dengan jelas Yunho berbaring menyamping menatapnya. Ada senyum di wajah tampannya dan Mingi tahu ia sudah gila.

"Aku kembali." Ucap Yunho.

Mingi mengulurkan tangan, hendak menjangkau Yunho, ia akan mendekapnya sampai kapan pun. Tapi Yunho terasa jauh. Terlalu jauh. Mingi menangis lagi.

"Kau tidak nyata, kau tidak ada di sini." Isak Mingi.

Tangan Yunho terulur, ibu jarinya mengusap air mata pada pipi Mingi. Rasanya hangat, membuat Mingi terbuai.

"Aku di sini." Yunho masih tersenyum. Ia mengusapi air mata Mingi pelan-pelan. "Selamat ulang tahun."

Mingi mengusap hidungnya kemudian menggeleng. "Tidak ada ulang tahun. Aku tidak pernah hidup sejak kau pergi, kau membawa seluruh jiwaku bersamamu."

Senyum lembut Yunho masih merekah di bibirnya, kini ia berganti mengusap pelipis Mingi. "Pasti berat sekali ya?"

Anggukan pelan Mingi berikan sebagai jawaban. "Terlalu berat untuk sekedar bernapas."

"Tidurlah." Ucap Yunho, ibu jarinya masih mengusapi pelipis Mingi. "Tidurlah jika sudah terlalu berat."

"Tapi jika aku tidur, kau akan hilang."

"Aku di sini." Balas Yunho, ia melirik jari manis Mingi. "Kau masih memakai cincinnya."

"Kau juga."

Yunho tersenyum. "Tidak pernah sedikit pun terpikir untuk melepasnya. Ini menandakan bahwa aku sudah dilamar."

Mingi terkekeh, air matanya jatuh lagi. "Kau pasti bahagia karena sudah tidak sakit lagi."

"Ya, dan kau juga harus bahagia, Mingi."

"Kebahagiaannmu adalah bersamamu, Yunho."

Ingin sekali Mingi mendekap sosok kekasihnya itu, tapi tubuhnya menahan. Rasanya seperti berjarak ribuan kilometer jauhnya dari Yunho. Tapi Yunho dengan mudahnya menyentuh Mingi, mengusapi wajahnya, atau tingkat halusinasi Mingi memang sudah sangat parah.

"Kau sudah makan kuenya?"

Mingi mengangguk. "Hanya sedikit, aku tidak sanggup menghabiskannya sendiri. Jika bersamamu, pasti sudah habis dalam hitungan detik."

"Kau masih hapal kalau aku sangat suka makanan manis."

"Aku tidak pernah lupa."

Usapan ibu jari Yunho di pelipisnya begitu nyaman. Rasanya seperti Mingi kembali pulang ke rumah setelah tersesat terlalu lama. Seolah-olah keabadian menunggu dirinya.

"Tidurlah."

Kelopak mata Mingi terasa berat, "Jangan pergi."

"Tidak akan."

Dan malam itu, Mingi tertidur nyenyak, terlalu nyenyak sampai ia tak pernah bangun lagi.

*****

Mingi ditemukan meninggal di kamarnya, di atas kasur dengan posisi berbaring menyamping. Tidak ada luka atau tanda-tanda Mingi mengakhiri hidupnya sendiri yang berarti ia meninggal dalam tidur. Wajahnya damai, juga senyum lembut pada bibirnya. Itu pertama kalinya dalam dua tahun Mingi terlihat benar-benar hidup dan sangat bahagia.

Ibu dan Ayah mengantar kepergian putranya dengan senyum. Dunia memang terlalu berat untuk anak laki-lakinya hadapi sendirian, jadi mereka mengikhlaskan Mingi mengejar Yunho.

Kue ulang tahun dengan lilin berbentuk angka 25 masih teronggok di dalam kulkas, Mingi tidak punya kesempatan untuk menghabiskannya, tapi setidaknya ia sempat menikmatinya walau sesaat. Kado ulang tahunnya belum sempat dibuka, Mingi tidak akan pernah tahu apa isinya. Tidak ada surat yang ditinggalkan, menandakan Mingi pergi tanpa berpesan apa-apa, atau mungkin ia sudah berpesan, mengatakan pada Ayah dan Ibu bahwa ia ingin beristirahat, walau itu hanya sekedar pesan tersirat. Ulang tahun yang tak pernah ia harapkan untuk datang, tetapi Mingi bisa melewatinya.

Ketika jasadnya ditemukan, terdapat sebuah cincin perak di atas kasur di samping Mingi berbaring. Cincin yang sama seperti yang Mingi kenakan di jari manis. Cincin yang sama seperti yang Yunho pakai hingga tanah menguburnya. Andai Mingi tahu bahwa ia tidak berhalusinasi dan andai Mingi tahu bahwa tidak apa-apa baginya untuk menangis tanpa perlu memendam terlalu lama sampai kesedihan perlahan-lahan merenggut hidupnya.

Mingi sudah benar-benar mati secara harfiah dan bukan sekedar anggapan lagi. Kini, ia bisa menjangkau Yunho dan mendekapnya sampai kapan pun. Mingi telah menemukan tempatnya berpulang.

*****

A/N : Selamat ulang tahun Song Mingi 🫶🏻

Btw iya Yunho tuh beneran dateng nyamperin Mingi, buktinya dari cincin yang dia tinggalin di atas kasur, sementara cincin punya Mingi sendiri kan masih dia pake dan akhirnya cincin Yunho itu ikut dimakamkan sama jasad Mingi ☹️

Sebenernya ide ini udah lama banget ada di otak aku tapi ga pernah kesampean buat ditulis karena aku udah sedih duluan mikirinnya, terbukti selama nulis ini aku nangis berkali-kali 😞 tapiii semoga kalian suka sama ceritanya ya ❤️

Terima kasih buat yang sudah baca dan meninggalkan jejak 🩷 jangan lupa mampir ke twitter aku xixixi 😘

- yeosha

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro