Bab 4
Kabar gembira datang menghampiri mereka, satu bulan setelah pernikahan Aaron dan Nara. Suatu hari, Nara yang biasanya bangun lebih pagi untuk menemani Alana jalan-jalan, tergeletak tak berdaya di atas ranjang. Ia merasa tubuhnya lemah dan terur menerus mual.
Pelayan yang melihatnya kesakitan, bergegas memanggil Alana.
"Kamu kenapa, Nara?" tanya Alana dengan tangan mengelap wajah Nara yang berkeringat.
Nara menggeleng. "Sepertinya sedang masuk angin. Semalam saya tidur, lupa pakai selimut."
"Aduh, sudah tahu kalau udara pegunungan itu dingin. Masih saja nekat," omel Alana, sementara tangannya sibuk mengelap keringat Nara yang bercucuran. "Biar aku panggil dokter."
"Nggak usah, Kak. Minum obat nanti juga sembuh."
"Hush, jangan membantah. Aku nggak suka lihat kamu sakit."
Satu jam kemudian, dokter langganan mereka yang biasa dipanggil ke vila, datang. Seorang perempuan berumur empat puluhan yang masih terlihat enerjik di usianya. Ia memeriksa Nara dengan teliti, di bawah tatapan Alana yang khawatir. Tak lama senyum merekah di bibir sang dokter.
"Selamat, ya? Ibu positif hamil."
Bukan hanya Nara yang kaget melainkan Alana juga. Matanya membulat kaget dan senyum terkembang di bibir perempuan itu. Secara ia reflek memeluk Nara yang terbaring di atas ranjang. Dengan bibir gemetar menahan tangis.
"Kita berhasil, Nara. Kita akan punya anak," bisiknya dengan penuh keharuan.
Nara sendiri hanya tertegun, ia membiarkan Alana menumpahkan tangis kebahagiaan di bahunya. Ia sendiri tak mampu menahan haru. Akhirnya, berhasil memenuhi apa keinginan dari orang yang telah begitu baik padanya. Rasanya bagai setengah bebannya terangkat.
"Aku akan menjagamu, kita akan menjaga bayi kita," janji Alana dengan wajah merona bahagia.
Kebahagian Alana menular ke seisi rumah. Perempuan itu memerintahkan pada para pelayan untuk membuatkan hidangan yang enak bagi ibu hamil. Namun, sayangnya, Nara nyaris memuntahkan setiap makanan yang masuk ke mulutnya. Hal itu membuat ia khawatir tapi sang dokter menegaskan, itu biasa untuk tri semester pertama kehamilan. Alana tak putus asa, ia rajin mencari informasi bagaimana merawat ibu hamil muda. Sering kali ia berucap dengan suara keras, akan membuat tubuh Nara sehat dan kuat, untuk mengandung dan melahirkan anak mereka.
Aaron yang datang beberapa hari kemudian, berdiri termangu saat istrinya setengah berlari menyongsong kedatangannya. Alana bahkan mengalungkan tangan di leher dan mendaratkan kecupan bertubi-tubi di wajah. Sesuatu yang sudah lama tak pernah dia lakukan. Di tengah kebingungan yang melanda, ia mendengar sang istri berteriak.
"Terima kasih, Sayang. Muah ... muah."
"Ada apa ini?" tanya Aaron keheranan. Tidak biasanya melihat istrinya sehisteris ini.
Alana menjauhkan tubuh dari suaminya dan mengelus sayang pipi orang yang ia cintai. "Terima kasih, Sayang. Sudah memberiku, anak."
"Apa?" tanya Aaron tak mengerti.
"Nara hamil. Kita akan punya anak!"
Ucapan Alana membuatnya tertegun tak percaya. Ia mengedip-ngedipkan mata dan menghela napas. Mencoba mencerna perkataan istrinya.
"Kamu yakin?"
Alana mengangguk kuat. "Iya, sudah diperiksa dokter tadi pagi. Aku sengaja tidak menelepon untuk memberitahumu. Biar menjadi kejutan!"
Aaron meraih puncak kepala istrinya dan berucap pelan. "Alhamdulillah, bukan?" Mendadak dadanya membuncah bahagia.
"Iyaa, Sayang. Ini sebuah anugerah. Bagi kita semua. Kamu senang?"
"Sangat senang. Rumah kita nggak akan sepi lagi. Akan ada suara tawa anak kecil berkeliling rumah. Bukankah ini yang kamu impikan?"
Alana memang dagu suaminya, mengedipkan sebelah mata. "Iya, Tuhan sudah mengabulkan doa-doaku."
Dengan tidak sabar, Alana menyeret lengan suaminya menuju vila Nara yang terletak di samping vila utama. Sepanjang jalan, mulut Alana tak berhenti berceloteh gembira. Hilang sudah bayangan tubuh ringkih dan sakit dari dalam dirinya. Hari ini, dia terlihat bercahaya dan sehat.
"Pelan-pelan jalannya," tegur Aaron karena melihat istrinya berjalan terlalu cepat. "awas nanti dada kamu sesak."
Alana tertawa. "Nggak akan, aku sedang bahagia. Rasa sakit menghilang dari tubuhku."
Tiba di depan pintu kamar Nara, langkah keduanya terhenti. Alana mengetuk pintu dengan pelan. Saat tidak ada jawaban, ia berinisiatif membuka sendiri.
Aaron terdiam, saat melihat pemandangan yang terhampar di hadapannya. Nara, dalam balutan gaun tidur semata kaki, terlihat pucat dan lemah berbaring di atas ranjang. Rambutnya yang biasa dikucir, hari ini terurai menutupi pundak. Perempuan itu tertidur, tidak menyadari kehadirannya dan Alana. Dalam diam, ia memperhatikan jika istri keduanya terlihat pucat. Bisa jadi karena wajahnya yang bersih tanpa riasan, atau mungkin balutan gaun tidur putih yang memantulkan cahaya. Hanya saja ia berpikir, perempuan yang sedang berbaring itu, terlihat muda belia dan rapuh.
"Dia sepertinya kelelahan karena terus menerus muntah," bisik Alana.
"Apakah itu normal?"
"Iya, dokter hanya mengatakan dia harus banyak istirahat dan makan-makanan yang bergizi."
Alana melangkah ke arah jendela yang terbuka. Menarik gorden untuk menangkal sinar matahari sore yang menerangi kamar. Ia mengedarkan pandangan seluruh penjuru ruangan. Menatap meja rias sederhana dengan kursi kayu. Lemari pakaian yang tidak terlalu besar. Berjanji dalam hati akan menambah bunga-bunga segar untuk mempercantik ruangan. Wangi bunga harusnya bagus untuk ibu hamil.
Matanya menatap sang suami yang masih tertegun di sisi ranjang. Pandangan Aaron tertuju ke arah Nara. Ia menduga, suaminya menyimpan kebahagiaan dan rasa tak percaya karena akan memiliki anak. Diam-diam ia meninggalkan suaminya di dalam kamar bersama Nara. Untuk memberikan kesempatan pada laki-laki itu, menikmati kebahagiaannya. Bersama istri muda.
***
Kehamilan Nara berjalan sulit. Perempuan itu menolak segala makanan yang masuk ke mulut. Sikapnya juga berubah murung karena kelelahan.
Alana tak habis akal, dia meminta pada Aaron untuk mengambil cuti. Agar lebih banyak waktu menemani Nara.
"Cutilah dua minggu, tinggal bersama kami. Rawatlah Nara, Sayang."
Aaron yang mendengar permintaan istrinya hanya mengangguk tanpa kata. Tangannya bergerak sigap menelepon asisten dan sekretarisnya, memberitahu mereka perihal cuti. Dia menginginkan semua pekerjaan dikirim ke surel dan kalau ada dokumen penting, harus dikirim ke vila.
Meski demikian, Nara menolak usul Alana. Dia bersikeras mengatakan kalau kondisinya baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Namun, Aaron membantahnya.
"Aku sudah cuti, untuk menemani kalian."
Jawaban Aaron membungkam penyangkalan sang istri muda.
Permasalahan Aaron tidak hanya soal pekerjaan tapi juga keluarganya. Papa dan mamanya menelepon ingin tahu keadaan Alana. Mereka berniat datang ke vila tapi dihalangi olehnya. Timbul kecurigaan pada dua keluarga baik keluarga Alana maupun keluarganya, perihal kepindahan mereka di vila. Orang-orang itu sempat berasumsi kalau keadaan Alana memburuk, tapi ia berhasil meyakinkan jika istrinya sehat. Hanya butuh udara segar.
"Makanya, mama dari dulu nggak setuju kamu menikahi perempuan pesakitan itu. Kamu masih muda, kaya-raya, apalagi yang kamu harapkan dari dia? Jangankan punya anak, menjaga dirinya sendiri saja tak mampu!"
Lagi-lagi, omelan sang mama hanya didengar tanpa ditanggapi. Ada banyak masalah yang lebih penting dari pada sekadar berbantah dengan orang tua. Ia menghormati orang tuanya dan tidak ingin memperpanjang masalah dengan mereka. Apalagi menyangkut kondisi sang istri. Pernikahannya yang ditentang hingga sampai sekarang, cukup membuatnya tahu diri. Apalagi kalau sampai keluarganya tahu ia menikah lagi demi anak, akan semakin runyam urusan.
Selama masa kehamilan, Nara sedikit kesusahan untuk tidur. Selain muntah juga berkali-kali ingin buang air kecil. Aaron yang melihatnya merasa khawatir. Ia dengan setia menjaga sang istri setiap malam.
"Kita akan panggil dokter besok," ucap Aaron saat mengambil dua buah tisu dan memberikan pada Nara, yang baru saja muntah.
"Untuk apa?" Nara bertanya bingung.
"Meminta obat-obatan atau konsultasi untuk menghilangkan mual."
Saat Nara menegakkan tubuh, Aaron menatapnya dengan kritis. Terlihat tubuh perempuan itu yang makin kurus. Bulir-bulir keringat membasahi dahinya. Dengan sabar, dia mengulurkan tangan untuk membasuh keringat. Bisa dilihat, Nara seperti ingin menolak tapi perempuan itu diam saja. Membiarkan dirinya diurus.
"Hanya muntah, Tuan."
"Tetap saja, banyak cairan keluar. Ayo, kembali ke ranjang." Aaron meraih lengannya dan membaringkannya ke atas ranjang.
"Tuan, sudah saatnya kembali ke kamar Kakak." Nara berucap pelan dari atas ranjang. Waktu menunjukkan pukul empat pagi. Dan, ia tahu karena menjaganya Aaron sama sekali tidak terlelap.
"Alana mengirim pesan barusan, bertanya keadaanmu. Aku sudah memberitahu dia kalau kamu muntah lagi."
"Pasti dia khawatir."
"Sangat, makanya dia menyuruhku tetap di sini. Mau minum?" Aaron bertanya lembut.
Nara mengangguk. Menatap penuh haru tapi juga merasa kikuk, saat melihat sang tuan yang juga suaminya, melangkah untuk membantunya mengambil air. Biasanya, ia yang melayani bukan seperti sekarang, dilayani. Tubuhnya yang lemah, membuatnya kesulitan bergerak.
"Ini, minumlah." Aaron menyerahkan gelas kristal berisi air. Mengamati istri mudanya yang minum dengan pelan dan setelah selesai Nara mengembalikan gelas padanya.
"Sudah? Berbaring saja sekarang."
Nara mencoba membaringkan tubuh, Aaron kembali menyelimutinya. Ia menatap dengan mata berkaca-kaca.
"Kenapa? Ada yang sakit?"
Ia menggeleng. "Tuan, saya kangen ibu."
Aaron terkesiap saat mendengarnya. Ia duduk di samping ranjang dan mengelus lengan Nara. "Aku akan membawamu menengoknya kalau keadaanmu sudah stabil."
"Apa beliau nggak kaget lihat perutku membesar?"
"Ah, ya. Kita pakai video call besok. Sekarang, tidur dan istirahatlah." Jemarinya bergerak untuk menggenggam tangan Nara, dan melihat bagaimana perempuan itu pelan-pelan menutup mata lalu tertidur.
Entah berapa lama mereka saling menggenggam. Setelah yakin Nara tidak akan terbangun, Aaron bangkit dari sisi ranjang. Menarik gorden hingga benar-benar rapat lalu melangkah ke arah pintu. Sesaat ia terkaget karena begitu pintu kamar terbuka, di ruang tamu sudah ada Alana berdiri tak jauh dari kamar. Bersandar pada tiang ruang tamu. Terlihat pucat dalam balutan gaun tidur.
Keadaan Nara mulai membaik setelah masa kehamilan melewati tiga bulan. Nafsu makannya meningkat tajam dan tidak lagi muntah-muntah. Di antara semua orang yang antusias dengan kehamilannya adalah Alana. Perempuan itu yang memilih menu makanan untuknya. Membeli bahan-bahan terbaik untuk dimasak. Kesibukannya merawat Nara seperti obat untuknya. Jika dilihat, akhir-akhir ini ia kembali sehat dan tidak terlihat sakit sama sekali.
Masa ngidam Nara pun bisa dibilang mudah. Dia tidak ingin hal aneh-aneh. Hanya ingin makan rujak dan entah kenapa suka sekali memakai kemeja Aaron. Awalnya ia malu-malu bilang pada suaminya, tapi karena ngidam, dengan terpaksa ia meminta.
Ngidamnya yang aneh membuat Alana tertawa. "Bisa jadi anak kita nanti laki-laki dan mirip papanya. Makanya kamu pingin pakai baju suamimu terus."
Nara berpikir, ucapan Alana ada benarnya. Seringkali, ia tak bisa memendam hasrat saat melihat sosok suaminya. Ia berpikir, bisa jadi karena ini bawaan bayi. Tidak biasanya ia begitu memuja Aaron, bukan sekadar ingin memakai kemeja saja.
Saat melihat laki-laki itu datang, adalah kebahagiaan tersendiri untuknya. Apalagi, jika sang tuan menemaninya di kamar sambil mengelus perutnya.
"Apa dia di dalam sana nakal?" tanya Aaron sambil mengawasi perut Nara yang membulat.
"Iya, sesekali menendang."
"Apa kamu kesakitan?"
Nara menggeleng. "Tidak Tuan, senang malah."
"Bayi pintar, dan kamu ibu yang hebat," puji Aaron sambil mengecup pipi istrinya.
Nara tersenyum malu, merebahkan kepalanya pada bahu sang tuan. Dalam hati mendesah, jika aroma tubuh suaminya sangat enak untuk dihirup. Rasanya, ia ingin terus berada di sisi Aaron.
"Tuan, bagaimana kalau anak ini berkelamin perempuan?"
Terdengar desah napas dari Aaron sebelum laki-laki itu berucap. "Alana berani bertaruh jika bayi kita adalah anak laki-laki yang sehat."
Dugaan Alana tidak salah. Usia enam bulan kehamilannya, ternyata hasil USG menyatakan anak yang dikandung Nara berkelamin laki-laki. Setelahnya, mereka sibuk mencari nama untuk bayi yang bahkan belum lahir.
"Kita akan mengasuhnya bergantian. Kamu bisa menyusui dan aku yang mengajak bermain," tutur Alana berapi-api.
Nara yang sedang duduk di sofa mengangguk pelan. Melirik ke arah suaminya yang sedang menatap layar ponsel.
"Nama apa yang bagus, ya?" tanya Alana. Kali ini pada suaminya.
"Kita akan cari bersama," jawab Aaron sambil meletakkan ponsel ke atas meja. Matanya menatap Nara yang duduk di seberangnya.
"Nara? Ada usul nama anak?"
Nara menggeleng, menyerahkan sepenuhnya urusan nama pada mereka berdua. Ia hanya mendengarkan dalam diam saat melihat keduanya berbicara soal nama. Dengan lembut, ia mengelus perutnya yang mulai membulat. Merasakan satu kehidupan tumbuh di sana. Rasanya masih tak percaya ia akan punya anak. Dari laki-laki paling tampan dalam hidupnya. Tanpa sadar matanya melirik ke arah Aaron yang kini duduk berdampingan dengan Alana. Mereka berdua terlihat serasi, sama-sama berwajah rupawan dan kaya-raya. Tidak bisa dibandingkan dengannya yang hanya pelayan. Jika bukan karena anak, dia tidak akan pernah merasakan menjadi istri muda dari jutawan. Menjadi bagian dari keluarga Aaron Bramasta.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro