Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 3

Kamar dengan penerangan remang-remang dipenuhi aroma tembakau. Sinar matahari menyelusup masuk di antara celah gorden yang sedikit tersingkap. Pada jendela yang sengaja dibuka untuk mengeluarkan asap rokok, seorang laki-laki bersandar pada jendela yang tertutup. Memandang sendu pada tubuh yang tergolek di atas ranjang. Pikirannya berkecamuk tentang banyak hal. Terutama tentang perempuan yang kini sedang tertidur pulas.

"Aku sudah mendapatkan istri untukmu, Sayang. Seorang ibu yang akan mengandung anak kita." Suatu hari, istrinya mengatakan dengan menggebu-gebu perihal perempuan pilihannya. "Nara perempuan yang baik, aku yakin itu."

Hari itu, dia menolak keinginan istrinya. Namun, bujukan, rayuan dan permohonan Alana meluruhkannya. Dengan berat hati ia menikahi seorang gadis yang masih teramat muda. Terpaut usia 12 tahun dengannya.

Pernikahan siri dilakukan hanya demi mendapatkan buah hati. Tadinya, ia berencana bahwa percintaan dengan gadis itu hanya sentuhan fisik semata. Ternyata, tatapan mata gadis itu membuatnya lupa diri. Tidak hanya sekali, ia mencumbui Nara berkali-kali, seakan tak pernah puas merasakannya.

Aaron berbalik menghadap kebun, tangannya menyingkap gorden lebih lebar. Ia mengisap rokok kuat-kuat, untuk membantunya tetap berpikir tenang. Sebenarnya ia bukan orang yang gemar merokok, tapi pikirannya yang kalut seakan menuntut pelampiasan. Ia mengutuk dirinya sendiri, yang pasrah pada nafsu. Harusnya, demi Alana ia bisa menahan diri. Toh selama ini ia bisa hidup tanpa sentuhan perempuan. Entah kenapa hati kecilnya berbisik yang sebaliknya saat tadi malam ia bersama Nara. Mereka bercinta dan bercumbu beberapa kali tadi malam, tubuhnya serasa tak pernah puas menyentuh tubuh perempuan itu.

Aku melakukan semua hal gila, termasuk menikahi perempuan yang berumur jauh di bawahku demi kebahagiaan istri. Dia menginginkan anak dan aku sedang berusaha memberikannya.

Sekejap, pikiran itu terlintas, ia merasa sebagai laki-laki dan suami tak tahu diri. Terlalu menggampangkan apa itu rasa cinta. Ditambah dengan dirinya yang tak pernah tidur dengan perempuan selama hampir tiga tahun lamanya, tidak juga dengan Alana karena kondisi istrinya itu. Bersentuhan dengan kulit lembut Nara, membuatnya mabuk kepayang dan lupa diri.

Terlalu tenggelam dalam lamunan, ia tidak menyadari gerakan dari atas ranjang. Sebuah teguran mengagetkannya.

"Tuan, sudah pagi rupanya. Maaf, saya kesiangan." Perempuan yang berada di ranjang, berucap malu-malu. Rambut tergerai di pundak dan mata menatap sayu.

Aaron menoleh, masih dengan rokok di tangan. Menatap dalam diam.

"Apa perlu saya memasak sarapan?" Suara perempuan itu terdengar serak.

Aaron menggeleng, mengamati perempuan yang terlihat malu menutupi tubuh dengan selimut. Gundukan dada yang menyembul dengan belahannya yang menggoda, membuatnya tertegun. Kulit putih dengan wajah merona membuat gairahnya kembali bangkit. Mendesah resah, ia mematikan rokok dan melangkah mendekati ranjang. Melepas pakaian yang ia kenakan dan meraih dagu Nara. Lalu berucap pelan. "Aku masih membutuhkanmu."

Untuk sesaat, Nara menegang sampai akhirnya selimut terlepas dari tubuh dan membiarkan sang tuan menindihnya dengan posesif.

Sekali lagi, hasrat tak terbendung tercipta di antara keremangan pagi. Aaron kembali membelai dan mencumbu tubuh muda yang kini menjadi istrinya. Mengesampingkan pikiran bersalah, ia mengisi tubuhnya dengan gairah dan kehangatan Nara.

***

"Selamat siang, Nyonya."

Alana yang sedang asyik makan buah di ruang tengah, tidak menyadari suara langkah kaki mendekat. Ia menoleh dan melihat Nara berdiri canggung di dekat pintu. Ia tersenyum, diam-diam mengamati penampilan perempuan 23 tahun itu. Dengan gaun terusan sederhana warna cokelat, rambut basah yang terurai ke bahu, dan sepasang sandal jepit di kaki. Nara terlihat lebih muda dari umurnya.

"Sini, Sayang. Ayo, makan buah." Alana melambai sambil tersenyum saat Nara mendekatinya.

"Kamu mau buah apa? Ayo, ini apel bagus untuk kesehatanmu." Alana mengambil beberapa irisan buah apel, dan menyodorkannya ke perempuan yang duduk malu-malu di sampingnya.

"Maaf, saya kesiangan," ucap Nara pelan.

Alana mengibaskan tangannya. "Wajar itu, namanya juga pengantin baru." Tak lama ia terkikik saat melihat wajah Nara yang memerah karena malu.

"Sudah minum obat, Nyonya?"

"Sudah."

"Antibiotik dan vitamin? Minum air madu juga?"

Lagi-lagi Alana mengibaskan tangan, dan menyilangkan kaki. "Sudah semua. Aku tidak akan membiarkan diriku jatuh sakit." Ia mengerling ke arah Nara yang terlihat khawatir. "Sepertinya kamu lupa sesuatu, Nara."

Tegurannya membuat Nara terkesiap. "Ma-maf."

"Hei, ini bukan soal pekerjaan. Ini soal kita. Bukankah sudah kubilang untuk memanggilku kakak?"

Nara yang semula ternganga, kini mengatupkan mulut menahan malu. Ia menunduk, menatap irisan buah di atas piring kecil di tangannya. Ingatannya tertuju pada permintaan Alana dan mendadak terpikir juga soal Aaron. Tanpa ia sadari, pipinya bersemu merah karena mengingat apa yang dia lakukan bersama tuan yang sekaligus suaminya tadi malam. Jika dilihat sekarang, sepertinya sang tuan sudah pergi ke kota.

"Nara? Apa buahnya nggak enak?"

Ia menggeleng. Menggigit apel dan tersenyum menatap Alana. Perempuan yang selama ini terlihat pucat, hari ini berbeda. Wajahnya merona dan sepertinya sedang bahagia.

"Nyonya ...."

"Kakak, panggil aku kakak."

"Ta-tapi."

"Aku nggak akan menjawab pertanyaanmu kalau kamu masih memanggilku, Nyonya."

Nara menelan ludah, mendesah lalu berucap. "Kak ...."

"Nah iya," sahut Alana sambil mengacungkan jempol. "Kamu mau tanya apa?"

Untuk sesaat Nara tidak berkata, mengecap rasa apel yang terasa manis dan sedikit asam di lidah. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tengah yang dikelilingi kaca. Pemandangan yang terlihat sama seperti di kamarnya, hamparan daun teh nan hijau. Sungguh menyegarkan mata.

"Kak, apa nggak merasa cemburu sama kami?"

Ruang tengah hening, Alana yang semula sibuk mengupas apel, menghentikan gerakannya. Perempuan itu menoleh, menatap Nara yang tertunduk. Ia menimbang-nimbang jawaban atau mungkin isi hati, sebelum diungkapkan.

"Apa kamu tahu filosofi buah apel, Nara?"

Nara menggeleng lemah.

"Buah apel itu melambangkan akan ekstasi, kesuburan, dan kelimpahan akan cinta. Banyak orang mengatakan, makan satu apel sehari, menjauhkan penyakit dari tubuh kita."

Nara terdiam, mendengarkan dengan tekun setiap perkataan Alana.

"Itulah kenapa, aku memakan buah apel. Berharap, buah ini dapat membantuku mengusir penyakit yang bersarang di tubuh. Namun, nyatanya sia-sia. Karena makin hari aku makin lemah." Terdengar helaan napas panjang, dari bibir perempuan cantik yang terlihat sendu. "Meski begitu, aku tetap ingin menjadi apel yang penuh akan cinta. Untuk keluargaku, untuk suamiku."

Alana mengulurkan tangan, mengelus bahu Nara yang sedari tadi terdiam. "Saat Aaron menikahiku, aku berjanji akan selalu membuatnya bahagia. Ia sanggup menentang seluruh keluarganya demi aku. Keluarga besar Bramasta tidak ingin putra mereka menikahi perempuan pesakitan, tapi Aaron mengabaikannya. Bisa kamu lihat sendiri kan? Lebih banyak dia yang mengurusku dari pada aku sebagai istri." Alana memejamkan mata, meraba dada yang tiba-tiba sesak. Air mata menggenang dan jatuh di pipinya.

"Kak, ada apa? Jangan menangis," ucap Nara penuh kekhawatiran. Ia bergerak sigap, menarik dua lembar tisu di atas meja dan menyerahkan pada Alana.

"Terima kasih, aku baik-baik saja," ucap Alana sambil mengusap air mata di pelupuk. "aku merasa sedih untuk suamiku, Nara. Dia laki-laki baik, aku tahu bahkan tanpa anak pun ia akan tetap menyayangiku. Tapi, tidak begitu dengan keluarganya. Apa kamu tahu kalau papanya mengancam akan mengambil beberapa perusahaan yang dikelola Aaron jika tidak mempunyai keturunan?"

Cerita Alana membuat Nara ternganga. Tidak habis pikir kenapa ada orang tua yang begitu kejam. Cepat-cepat ia tersadar jika dunia mereka jauh dari jangkauannya.

"Kamu tentu mengira, mereka kejam. Tapi, sebetulnya sedang memberikan hukuman pada Aaron karena menikahiku." Alana mendesah, meraih tangan Nara dan menggenggamnya. "Apakah aku cemburu pada kalian? Tentu saja, aku perempuan normal. Aku cemburu karena kamu bisa memberikan kehangatan pada suamiku sementara aku tidak. Sayangnya, aku sangat mencintai suamiku melebihi rasa cemburuku."

Alana bergerak mendekat, menyandarkan kepalanya ke bahu Nara. "Berbahagialah demi aku, Nara. Lepaskan bebanmu dan berikan aku anak-anak lucu untuk kita sayangi bersama. Jika kamu masih bertanya-tanya kenapa bukan perempuan lain? Itu karena aku percaya dan tulus menyayangimu."

Tanpa disadari, Nara terisak pelan. Permohonan dan harapan Alana membuat tenggorokannya tercekat. Ia merasa sedih untuk perempuan yang teramat sangat mencintai suaminya, hingga rela mengorbankan kebahagiaannya sendiri. Seandainya posisi dibalik, ia menjadi Alana, belum tentu ia akan mampu melakukannya.

***

Meski sudah menikah dengan Nara, tapi Aaron tetap bekerja di Jakarta. Ia pulang ke vila hanya saat akhir pekan. Selama seminggu cuti bulan madu-itu adalah istilah Alana-waktunya lebih banyak dihabiskan untuk menemani istrinya saat siang. Dan, menghangatkan ranjang Nara kala malam. Jujur diakuinya, ia merasa tersiksa. Merasa sebagai laki-laki paling brengsek di dunia. Tapi, tak kuasa menolak permohonan istrinya.

"Sudah malam, Sayang. Sudah waktunya pergi tidur. Aku Lelah." Itu adalah kata-kata yang diucapkan Alana, tiap kali ia berniat tidur di samping istrinya.

Lagi-lagi, ia tak mampu membendung hasrat pada pesona tubuh Nara. Bagaimana tatapan mata perempuan itu meluruhkan hatinya. Bagaimana sikapnya yang penuh penerimaan membuatnya tak berdaya. Aaron mengutuk diri sendiri, terhimpit di antara dua perempuan.

Satu orang adalah istriku dan satu lagi adalah pelampiasan syahwatku. Rasanya sebagai manusia aku begitu brengsek dan hina.

Meski begitu, ia tak menolak saat Nara melayaninya seperti Alana. Menyiapkan sarapan, menyiapkan baju ganti, dan hal-hal lainnya. Meski ia dan Alana menyuruh Nara memanggil kakak, tetap saja perempuan itu memanggilnya, Tuan. Ia sendiri mencoba menjadi suami yang sesungguhnya, memberi perhatian meski tidak banyak. Mencoba mengajak bicara dari hati ke hati, untuk saling mengakrabkan diri. Meski pada akhirnya, istri keduanya lebih banyak terdiam karena malu.

Satu hal lagi, ia mencoba bersikap adil dalam pemberian hadiah. Jika pulang dari Jakarta ia akan membawa dua barang sama persis untuk Alana dan Nara. Baik berupa perhiasan mau pun hal lain. Ia tak pernah memberikan uang pada istri muda, karena tahu itu adalah wewenang istri pertamanya.

Jika semua orang tahu kalau Alana adalah istrinya, berbeda dengan Nara. Mereka menyimpan rapat-rapat rahasia pernikahan kedua yang ia jalani. Tidak ada seorang pun yang tahu bahkan keluarganya sendiri. Aaron berpikir, suatu saat semua orang akan mengetahui hubungannya dengan Nara. Tapi, untuk saat ini, biarkan tetap menjadi rahasia.

***

Nara bersikap tenang selama tinggal di Vila sebagai istri Aaron. Ia tak pernah lupa akan siapa dia sebenarnya. Ia tetap membereskan kamarnya sendiri dan tetap melayani kebutuhan Alana sehari-hari.

Sering kali, Alana menolak untuk dilayani dan ia bergeming.

"Kamu bukan lagi pelayanku, biarkan soal obat dan sebagainya diurus orang lain."

"Kamu kakakku, biarkan aku mengurusmu," jawab Nara sambil tertawa. Dalam hatinya benar-benar merasa sayang pada Alana.

Perihal sang tuan atau bisa disebut suaminya, ia tak tahu perasaan apa yang ia punya untuk laki-laki itu. Antara mendamba tapi juga segan. Ia hanya berani mendekat saat mereka sedang berduaan di dalam kamar. Selebihnya, ia akan menjaga jarak.

Pernah suatu malam, setelah sesi bercinta yang panas, Aaron menanyakan apa dia ingin hadiah tertentu. Dengan polos ia menjawab tidak ingin apa-apa.

"Bagaimana kalau pakaian?"

"Tidak, terima kasih Tuan. Pakaian saya sudah banyak dari Kakak."

"Bagaimana dengan barang lain? Apa kamu ingin punya mobil?" tanya Aaron dengan tangan bermain-main di perut Nara yang terlanjang.

Nara melotot sambil menahan geli saat mendengar tawaran Aaron. "Hah, buat apa saya punya mobil. Nyetir aja nggak bisa?"

"Buat pamer ke tetangga barangkali."

Tawa Nara pecah, ia merasa suaminya amat lucu. Satu ciuman panjang membungkam mulutnya, dan keduanya kembali terjebak dalam hasrat tak berkesudahan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro