Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 2

Hal yang sama terjadi pada Aaron. Di sisi lain ia merasa senang melihat kebahagiaan istrinya, tapi hatinya tertekan mengingat akan menikahi perempuan yang sama sekali tidak ia inginkan. Ia lebih banyak terdiam, mendengarkan istrinya bicara pernikahan. Seakan-akan, Alana sendiri yang akan menikah.

"Minggu depan kita ke puncak. Aku akan mengatakan pada seluruh keluarga kalau butuh istirahat." Alana meraih tangan Nara yang berdiri di sampingnya. "Kamu bisa membayar orang untuk merawat dan menemani ibumu selama kita di sana. Satu bulan sekali kita akan datang untuk menjenguknya."

Nara mengangguk. "Baik, Nyonya."

"Biasakan untuk memanggilku kakak mulai sekarang, jangan Nyonya."

"Ta-tapi."

"Kita akan menjadi saudara, punya suami yang sama."

Sikap Alana yang baik dan perhatian membuat Nara serba salah. Merasa tidak enak hati. Sementara ia tahu jika sang tuan yang akan menjadi suaminya, sama sekali tidak menginginkan pernikahan ini. Dilihat dari sikap Aaron yang dingin, ia tahu kalau sebenarnya dia tidak diinginkan. Hanya saja, semua dilakukan demi permintaan sang nyonya.

Aku akan menikah dan akan punya anak dari laki-laki paling tampan dalam hidupku. Entah kenapa, rasanya tidak membuat bahagia.

Nara bergelut dengan pikirannya sendiri. Terbelah antara keinginan menyenangkan Alana atau menghindari sikap dingin Aaron.

**

Sesuai kesepakatan, Aaron membawa istrinya dan Nara ke vila mereka di puncak. Selama tinggal di sana, Alana menolak dilayani oleh Nara.

"Bersikaplah sebagai Nyonya rumah mulai sekarang. Besok adalah hari pernikahan kalian," ucap Alana tanpa beban. Seakan-akan, pernikahan suaminya dengan perempuan lain tidak mempengaruhi perasaannya.

"Tapi, Nyonya. Apa Anda yakin dengan semua ini?" tanya Nara sekali lagi.

"Iya, aku yakin."

Nara tinggal di vila yang lebih kecil. Disediakan sebuah kamar dengan tempat tidur besar. Ada jendela yang menampakkan pemandangan alam yang luar biasa. Vila itu dilengkapi dapur kecil dan ruang tamu. Sementara mereka tinggal bersama, Alana sering menyuruhnya dan Aaron menghabiskan waktu berdua.

"Sana, berjalan-jalanlah kalian. Jangan diam terus di rumah. Setidaknya, kalian harus saling memahami dan mengakrabkan diri."

Meski enggan, demi menghormati sang istri, Aaron mengajaknya berjalan-jalan mengelilingi kebun teh. Namun, sepanjang satu jam mereka bersama, tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulut laki-laki itu. Sikap diam sang tuan membuat Nara melangkah dengan menunduk, menjaga jarak satu langkah di belakang tuannya. Rencana pernikahan mereka tidak mempengaruhi strata sosial yang membentang di depan mata. Antara tuan dan pelayannya.

**

Upacara pernikahan dilakukan secara sederhana. Secara agama tanpa mendaftarkan ke catatan sipil. Dengan penjaga vila mereka menjadi saksi pernikahan. Saat ucapan 'sah' terdengar, bukan hanya Nara yang menangis, melainkan Alana juga.

Dalam balutan kebaya putih, Nara mendengarkan Aaron mengucapkan janji pernikahan. Setelahnya ia, mencium tangan laki-laki tampan yang kini menjadi suaminya.

Dibanding dirinya, Alana terlihat sangat bahagia.

"Terima kasih, Sayang." Nara melihat Alana memeluk Aaron dengan bahagia. Sementara sang tuan, hanya mengangguk tanpa kata.

Sedangkan dia, berdiri gugup dalam balutan kebaya. Masih tidak percaya kalau dia sudah menjadi istri muda dari Aaron Bramatara.

Malamnya, Nara berdiri di dekat meja rias. Dengan gaun tidur yang dibelikan Alana untuknya. Berbahan sutra hitam yang transparan di bagian depan. Menonjolkan dadanya yang padat dan bulat. Bagian bawah gaun sebatas dengkul. Dengan tali tipis di bahu. Wajahnya memerah saat melihat bayangannya di cermin. Gaun tidur melekat pas di tubuh dan menonjolkan tidak hanya dada tapi juga pinggulnya.

Matanya menerawang memandang malam. Hamparan daun teh di perkebunan seperti hanya berupa kehijauan yang tertutup gulita. Beberapa lampu yang dinyalakan di pinggir jalan, tidak mampu melawan gelap.

Ia mendesah, resah. Merenungi putaran nasib yang membawa begitu banyak perubahan dalam hidup. Dia yang hanya pelayan biasa, kini menjadi istri muda dari seorang jutawan nan tampan. Masih terngiang dalam ingatan, ketika ibunya memberi pesan saat berpamitan.

"Jaga baik-baik selama kamu kerja ikut Nyonya Alana. Jangan membantah dan bertindak gegabah." Rusmi, ibunya sangat menghormati sang nyonya. Begitu ia setuju melakukan pernikahan siri, perempuan itu membayar semua hutang-hutangnya. Bahkan memberi tabungan cukup untuk Rusmi. Agar tidak kekurangan selama Nara tidak di sisi. Bahkan berpamitan dengan sopan, akan membawa Nara pergi untuk waktu yang lama.

Tanpa terasa, sebutir air mata menetes di ujung pelupuk. Jantungnya bertalu-talu, saat jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh malam. Sebentar lagi, sang tuan akan mendatanginya.

Suara ketukan pintu membuatnya menoleh. Tak lama, sosok Aaron muncul. Keduanya berpandangan dengan Nara berusaha meredakan kegugupan. Tangannya bergerak untuk menutupi dadanya yang terbuka. Sementara Aaron yang terlihat tampan dengan kaos dan celana jin, hanya menatap tanpa kata.

"Se-selamat malam, Tuan," sapa Nara terbata.

Aaron tidak menjawab, dalam beberapa langkah kini berada di hadapan Nara yang sudah sah menjadi istrinya. Matanya menelusuri tubuh seksi berbalut gaun mini di depannya.

"Nara ...."

Nara mendongak, ia terlihat kaget karena ini pertama kali Aaron memanggil namanya.

"Ya, Tuan."

Kebimbangan bisa jadi keengganan, terlihat di wajah tampan yang terbias lampu temaram.

"Beri aku waktu, kita tidak akan melakukannya malam ini."

Nara mengangguk lalu tertunduk. Ia sudah tahu akan sikap tuannya.

"Iya, Tuan. Saya mengerti."

Aaron berdehem sebentar, kembali membalikkan tubuh. "Kalau begitu, aku pergi keluar dulu. Jangan bilang pada Alana soal ini."

Nara mengangguk, hatinya terasa sakit dan rasa rendah diri menguasai pikiran. Ia memejamkan mata dan menunggu suara pintu menutup. Hingga beberapa saat, tak terdengar suara apa pun. Bingung, Nara membuka mata dan melihat Aaron masih berdiri di tempatnya semula.

"Tuan, ada apa?"

"Aku serba salah. Alana memaksaku kemari dan dia akan sangat sedih kalau tahu aku mengabaikanmu."

"Kita bisa merahasiakan ini dari Nyonya. Tuan jangan khawatir."

Aaron tersenyum. "Menurutmu, Alana tidak bisa melihat? Dia perempuan pintar." Bayangan istrinya yang tersenyum saat melepasnya pergi, membuat ia tersadar. "Kita akan melakukannya pelan-pelan. Kamu boleh menolak jika belum siap."

Nara menggigit bibir, mengingat akan raut wajah Alana yang terlihat bahagia hari ini. Mengabaikan rasa takutnya, ia menggeleng.

"Saya bersedia, Tuan."

Aaron tidak menjawab, tangannya terulur untuk mengelus bahu Nara yang telanjang. Bisa dilihat jika perempuan itu berusaha menahan diri untuk tidak bergidik. Ia terus mendekat, menarik napas panjang lalu mengangkat dagu Nara. Mereka berpandangan sebelum bibirnya menyentuh pelan bibir perempuan yang hari ini menjadi istrinya.

Awalnya hanya coba-coba, ia bisa merasakan bibir Nara gemetar. Bisa jadi, perempuan bergaun hitam itu memang tidak berpengalaman. Saat bibirnya mengisap, erangan rendah keluar dari tenggorokan Nara. Dan, memicu gairah Aaron.

Hasratnya muncul tak terkendali, kini bukan hanya ia mengisap bibir tapi juga mengulum dan membelai bagian dalam mulut Nara dengan lidahnya. Tangannya bergerak bebas untuk membelai, menyentuh dan juga meremas pelan dada ranum milik istri barunya.

Desahan lembut terdengar dari mulut Nara saat tangan Aaron meraba pelan kewanitaannya yang tertutup celana. Mereka masih saling berdiri berhadapan di dekat meja.

Cumbuan sang tuan kini turun ke leher, lekukan bahu dan ke belahan dada. Nara hanya menjerit malu saat gaun terlepas dari tubuh. Menyisakan celana dalam mini. Serta merta ia menutup dadanya yang telanjang.

Aaron menatapnya tak berkedip. Mencoba meredakan gairah dan hasrat yang membumbung tinggi. Sudah hampir tiga tahun ini ia hidup selibat. Sama sekali tidak menyentuh tubuh perempuan. Dan kini, Nara membuatnya menginginkan lebih.

"Lepaskan tanganmu," ucapnya dengan suara serak.

Nara membasahi bibir. "Tu-tuan."

Mengabaikan protes Nara, Aaron setengah memaksa membuka tangan perempuan itu. Terlihat gundukan dada putih yang menyembul dengan puting yang menegang. Tidak tahan dengan dirinya sendiri, ia meraih tangan Nara dan membimbingnya menuju ranjang.

Ia membaringkan perempuan itu dan secara perlahan kembali membelai. Bibirnya bergerak untuk mengulum mesra puncak dada Nara, membuat istrinya mengerang. Lalu bergerak turun ke arah perut perempuan itu. Bibirnya mengecup perut dan bagian atas celana dalam.

Nara sempat menolak untuk membuka celana dalam tapi Aaron memaksanya dengan ciuman bertubi-tubi di paha bagian dalam.

Erangan panjang keluar dari mulut Nara saat tangan Aaron bermain-main di bagian intimnya. Ia menjerit, mendesah dan mendamba. Kehangatan demi kehangatan keluar membanjiri bagian intimnya. Ia yang sama sekali belum pernah bersentuhan dengan laki-laki mana pun, saat ini tanpa malu berteriak karena gairah.

"Tu-tuan."

Nara mendesah.

"Apakah sakit?" tanya Aaron dengan tangan bergerak intim di area kewanitaan Nara.

"Ti-tidak."

Setelah melihat Nara melenguh beberapa kali, Aaron bangkit dari ranjang. Secara perlahan melepas bajunya satu per satu di bawah tatapan perempuan yang terlihat malu-malu.

Wajah perempuan itu memerah dengan mata terbeliak saat melihat bukti gairahnya menegang. Tanpa sadar, Nara menelan air liur dan kembali mendesah saat Aaron menindihnya.

"Apa ini pertama kalinya kamu melihat laki-laki telanjang?" bisik Aaron di telinganya.

"Iya ...."

"Takut?"

Nara menggeleng. "Tidak."

"Apakah itu berarti kamu masih perawan?"

"Iya, Tuan."

Aaron menurunkan wajah dan mengulum bibir Nara. "Kalau begitu, aku minta maaf jika terasa sakit."

Nara tidak mengerti apa yang dikatakan Aaron karena laki-laki tampan yang kini menjadi suaminya, membelai dan menciumnya tanpa henti. Setiap sentuhan Aaron menimbulkan gelenyar yang membuatnya lupa diri.

Ia terdiam pasrah saat tangan Aaron membuka paha dan laki-laki itu memosisikan diri di tengahnya. Mereka masih tetap berciuman saat kelelakian Aaron mulai memasuki tubuhnya.

"Aah."

"Apakah sakit?"

"Sedikit."

"Mau berhenti?"

Nara menggeleng. Awalnya memang terasa nyeri, bisa dirasakan Aaron menegang. Lalu, lambat laun keduanya mulai bergerak dengan intens. Desahan bercampur dengan lenguhan terdengar di kamar mereka. Keringat membanjiri tubuh keduanya seiring dengan semakin cepatnya gerakan.

Aaron menutup mata, merasakan kenikmatan saat tubuhnya menyatu dalam kehangatan Nara. Sudah lama ia tidak bersentuhan dengan seks, dan perempuan yang saat ini berada di bawahnya terasa nikmat. Berbagai umpatan lirih keluar dari mulutnya saat gairahnya membumbung tinggi. Tanpa mampu membendung dan menahan diri, ia luruh pada hasrat yang membara. Sampai akhirnya, membuat keduanya tergeletak tak berdaya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro