Bab 1
Seorang laki-laki penjaga pintu berseragam hitam, bergegas membuka gerbang saat sebuah mobil putih mengkilat datang, dari arah jalanan. Lalu mengangguk hormat pada laki-laki berjas biru di belakang kemudi. Saat mobil berhenti sempurna, seorang perempuan muda berseragam merah jambu datang menyongsong.
"Selamat sore, Tuan," sapanya penuh hormat.
Laki-laki pertengahan tiga puluhan dengan rahang kokoh, mata tajam dan alis lebat yang seakan menyatu di tengah dahi, mengangguk kecil.
"Apa Nyonya sudah baikkan?" tanyanya sambil keluar dari pintu mobil.
"Sudah, Tuan. Sekarang sedang beristirahat di teras samping."
Laki-laki itu menyerahkan tas hitam yang dia ambil dari mobil kepada pelayan berseragam. Tangannya bergerak untuk mengendurkan dasi. Masuk ke rumah diiringi pelayan dan langsung menuju teras samping yang menghadap langsung ke kolam renang.
Untuk sejenak dia terpaku di dekat pot besar yang tertanam bunga palem. Menatap seorang perempuan amat cantik yang terbaring di kursi malas. Rambut sang perempuan tergerai indah menutupi pundak. Pancaran matahari senja terpantul ke wajah dan menyinarkan kehangatan.
Sementara di samping perempuan itu, ada seorang pelayan berseragam yang sibuk membantunya memotong kuku. Pelayan itu menyadari kehadiran laki-laki yang berdiri di dekat pot. Seketika dia menganggukkan kepala dan menyapa sopan.
"Selamat sore, Tuan Aaron."
Aaron mendekat, menatap sekilas pada pelayan yang ia kenali sebagai pelayan pribadi istrinya. Lalu mengecup dahi perempuan yang masih berbaring. "Apa kabarmu, Sayang? Sakit lagi hari ini?"
Perempuan itu tersenyum. "Hanya kecapean kayaknya. Kamu tumben pulang cepat?"
"Aku khawatir." Aaron meraih dan meremas pelan jemari istrinya.
"Aku baik-baik saja, ada Nara yang menjagaku." Sang istri menunjuk ke arah pelayan yang masih menggunting kuku kakinya.
Aaron mengangguk pada pelayan dengan rambut dikucir kuda. Dan beralih ke istrinya. "Perlu ke dokter?"
"Nggak usah. Aku ingin bicara sesuatu yang penting denganmu."
Alana memberi tanda pada sang pelayan yang bergegas pergi meninggalkan dia dan sang suami. Ia bangkit dari kursi, menghadap pada suaminya.
"Mama Denita datang barusan."
Keterkejutan mewarnai wajah Aaron. "Mamaku? Ada apa?"
Alana memejamkan mata. Lalu berucap pelan. "Menginginkan seorang pewaris bagi keluarga Bramasta."
"What? Kenapa selalu hal itu yang diungkitnya?" sergah Aaron panas.
"Please, jangan marah, Sayang. Aku cukup tahu diri tentang keadaanku. Kita menikah hampir lima tahun. Wajar kalau mereka menginginkan anak." Alana menatap suaminya dengan mimik sedih. Kemurungan yang meredupkan kecantikan di wajah. Ia meremas jari-jemarinya yang kurus. Mencoba meredakan kegalauan. Wajah pucat terbias matahari senja, seperti ada banyak hal membebani.
Aaron menarik napas panjang melihat kegelisahan istrinya. "Itukah, yang membuatmu drop?"
Alana menggeleng. "Bukan, aku memikirkan hal lain." Ia meraih tangan suaminya dan mengecupnya. "Ingatkah kamu usulku dulu?"
"Soal ibu pengganti?"
"Iya, Sayang. Demi keluarga kita."
"Nggak, aku nggak mau. Kamu pikir aku bisa meniduri perempuan lain hanya demi anak!" Serta-merta Aaron bangkit dari kursi yang semula ia duduki. Berdiri memandang matahari senja.
"Aku mengerti perasaanmu, tapi ini demi keluarga kita."
Perkataan istrinya membuat Aaron menoleh heran, "Kamu lebih mementingkan omongan keluargaku dari pada aku? Suamimu!" Detik berikutnya ia menyesal, sudah berkata terlampau keras. Saat melihat wajah istrinya menggelap.
"Kalau begitu, kamu harus ceraikan aku."
Ucapan Alana membuat Aaron ternganga, ia membalikkan tubuh dan duduk di samping istrinya. "Kenapa ada kata-kata seperti itu? Dari mana kamu dapat ide untuk bercerai? Aku bisa terima keadaanmu apa adanya."
"Tidak dengan keluarga kita, Sayang. Mereka menginginkan pewaris."
Alana memalingkan wajah. Mencoba menahan getar kesedihan di dada. Sungguh ia menyesali diri sebagai perempuan tak berdaya yang hanya bisa menyusahkan orang lain, terutama suaminya. Keadaan tubuhnya yang sakit-sakitan, tidak memungkinkan ia punya anak. Seperti itulah yang dikatakan dokter.
Aaron tertunduk. Ia memahami penderitaan istrinya, hanya saja ada banyak hal yang tak bisa dia lakukan. Hanya karena seorang anak. Dia sendiri, tidak terlalu memusingkan soal itu. Asalkan Alana sehat, itu sudah cukup. Rupanya, terlalu banyak orang yang ikut campur dalam urusan rumah tangganya.
Terdengar isak tangis lirih, Aron mendongak dan meraih istrinya dalam satu pelukan. "Jangan menangis, kita akan hadapi bersama."
Alana menggeleng. "Aku mohon, Sayang. Pikirkanlah masalah ini."
Pikiran mereka berbaur di udara senja yang makin tenggelam tertelan gelap. Beberapa pelayan, berdiri diam di belakang pintu. Tidak berani mengusik tuan dan nyonya mereka, termasuk gadis dengan rambut ekor kuda yang merupakan pelayan pribadi Alana. Mata gadis itu memancarkan kesenduan, melihat penderitaan majikannya.
***
Setelah pembicaraan mereka sore itu, kondisi Alana terus memburuk. Dia hanya berbaring dan seakan tanpa semangat melakukan aktivitas apa pun. Aaron khawatir dengan keadaannya, ia memaksa agar istrinya ke rumah sakit tapi ditolak. Alana bersikukuh untuk dirawat di rumah dengan dokter pribadi mereka. Sikap sang istri yang keras kepala menambah kekhawatirannya. Ia berkonsultasi dengan dokter pribadi mereka. Jawaban dokter membuatnya terhenyak.
"Sekarang, keinginan sehat hanya bisa dari Nyonya Alana. Obat-obatan seperti apa pun nggak akan masuk kalau Nyonya nggak ada gairah hidup."
Perkataan dokter membuat Aaron terpukul. Bahunya melemas dan kesenduan luruh seketika. Lima tahun pernikahan mereka, tak pernah sekali pun ia menuntut anak. Ia tahu bagaimana kondisi Alana dari awal mereka berpacaran sampai akhirnya menikah. Ia hanya ingin menghabiskan waktu untuk saling mencinta. Anak bukanlah prioritas. Siapa sangka, kini masalah anak justru menjadi batu sandungan dalam pernikahannya, semua terjadi karena campur tangan keluarga. Seorang pewaris bagi Aaron Bramasta.
Aaron terjebak pikirannya sendiri, bahkan saat bekerja ia tak berhenti berpikir. Tentang keinginan istrinya. Saat menyadari keadaan istrinya tak juga membaik, ia berinisiatif untuk mengobrol dengan Alana.
Malam itu, ia duduk di samping ranjang. Dengan tangan menggenggam tangan istrinya. Mereka bertatap dalam diam, sampai akhirnya Aaron buka suara.
"Kalau aku setuju, dengan idemu. Siapa yang harusnya jadi calonku."
Mata Alana melebar seketika.
"Kamu tahu, kan? Aku nggak banyak kenal perempuan setelah kita menikah."
Dengan susah payah, Alana bangkit dari atas ranjang. Dibantu oleh suaminya. Tangannya terulur untuk meraba pipi Aaron dan mengelus dengan sayang.
"Aku sudah mendapatkan perempuan yang cocok untukmu. Perempuan baik-baik yang akan menjadi ibu dari anak kita."
Aaron menghela napas, dadanya terasa sesak. Sedikit banyak merasa tusukan kekecewaan karena melihat wajah istrinya berbinar, justru saat bicara soal anak. Padahal selama ini, ia selalu berusaha membahagiakan Alana, bagaimanapun caranya.
"Siapa?" tanyanya pelan.
Alana tersenyum sambil menjawab, "Nara."
Untuk sesaat Aaron tidak mengenal sosok yang disebutkan istrinya. Sampai wajah seorang pelayan dengan rambut dikucir kuda, terlintas di benaknya.
"Nara? Pelayanmu?"
Alana mengangguk bersemangat. "Iya, dia. Nara adalah perempuan yang cocok untuk anak kita. Lemah lembut, baik hati dan tulus."
Aaron melengos, memandang kaca rias yang terbentang di samping ranjang. Terlihat bayangannya sendiri terpantul dari kaca.
"Dari mana kamu tahu dia tulus?"
Terdengar tawa lirih, Aaron keheranan menatap istrinya yang menutup mulut dengan malu-malu.
"Dia merawatku sudah hampir enam bulan ini. Nggak pernah membantah, melakukan pekerjaannya dengan rajin. Dan, dia tergolong perempuan yang pintar. Aku yakin, anak darinya akan menjadi anak yang pintar pula."
Aaron mendesah, "Oh, Alana Sayang. Dia terlalu muda."
"Dua puluh tiga tahun, sudah cukup umur untuk punya anak."
Mereka terdiam. Alana menatap suaminya yang menunduk. Ia tahu jika laki-laki yang dia cintai sedang bergelut dengan pikirannya sendiri. Ia paham sekali jika Aaron saat ini tercabik antara perasaan ingin setia atau menuruti keinginannya.
"Tolong, pertimbangkan permintaanku. Aku mohon."
Aaron memejamkan mata, memijat pelipis. Mendadak ia merasa kepalanya sakit. "Bagaimana jika gadis itu menolak?" Akhirnya, Aaron menjawab pertanyaan istrinya.
Alana mengelus bahu suaminya yang kokoh. "Dia pasti mau. Karena sebagai imbalan aku akan berjanji untuk menolong keluarganya."
"Kenapa dengan keluarganya?"
Wajah Alana berubah sendu. Matanya berkaca-kaca sebelum bercerita. "Dia dan ibunya diusir oleh sang ayah karena ada istri muda. Lalu, ibunya kini juga sakit-sakitan. Nara terpaksa meminjam uang sana sini untuk mengobati sang ibu. Kalau dia mau dan setuju dengan permintaanku, aku akan menjamin untuk melunasi hutang-hutangnya."
Aaron mendesah, dari dulu Alana terkenal baik hati dan mudah tersentuh oleh penderitaan orang lain. Hal itu yang membuatnya sering kali dimanfaatkan oleh orang-orang di sekitar mereka. Ia berharap, Nara bukan perempuan yang akan memanfaatkan kebaikan hati istrinya demi keuntungan perempuan itu sendiri. Bagaimanapun, selalu banyak kisah kesedihan karena hutang. Dan, tidak menutup kemungkinan jika kisah Nara itu sebuah kebohongan.
"Kamu yakin, dia tulus?"
Alana mengangguk tegas. "Iya, yakin."
Aaron terdiam cukup lama, sampai akhirnya satu desah napas keluar bersama perkataannya,"Baiklah, kita ikuti maumu. Hanya demi kamu."
Belum selesai Aaron bicara, Alana menubrukkan diri dan memeluk suaminya erat-erat. Ucapan terima kasih terus bergulir di mulutnya tiada henti. Kebahagiaan yang dirasakan istrinya membuat ia menutup mulut dan menyimpan sendiri, perasaannya.
**
Setelah pembicaraan malam itu mencapai kata sepakat. Aaron dan Alana mengajak Nara berbicara secara pribadi. Perempuan muda yang sehari-hari menjadi pelayan itu, awal mulanya terkejut. Dia bahkan sempat menyatakan penolakan karena menganggap dirinya tidak cukup layak menjadi ibu pengganti dan istri sang tuan. Namun, Alana tak patah semangat. Berusaha meyakinkannya.
"Demi aku, Nara. Aku mohon."
Nara tertunduk, tidak mampu membalas pandangan nyonya yang memohon dan tuannya yang menatap tajam. Ia bingung, merasa jika dirinya terlalu rendah untuk bersanding bersama mereka. Dia hanya seorang pelayan, dan berpikir jika Aaron harusnya mempersunting perempuan yang lebih kaya, cantik, dan sederajat.
"Saya bukan siapa-siapa, Nyonya. Ada banyak perempuan lain di luar yang lebih baik dari saya."
Alana yang semula duduk di samping suaminya, kini berdiri dan melangkah mendekati perempuan yang selama ini menjadi pelayannya. Tangannya terulur memegang dagu Nara dan memandang mata perempuan di depannya. "Apakah kamu nggak ingin membantuku?"
Nara menggeleng cepat. "Bukan begitu, Nyonya."
"Kalau begitu, apa yang membuatmu nggak yakin? Tidakkah keadaanku membuatmu tersentuh?"
Aaron menatap dua perempuan yang sekarang berdiri berdekatan di depannya. Matanya menyorot ke arah Nara dengan seragam pelayan merah muda dan sepatu tipis hitam. Seperti biasanya, rambut perempuan itu dikucir ekor kuda. Suatu perasaan mengusiknya, merasa jika perempuan itu terlalu muda untuk menjadi ibu dari anaknya kelak.
"Nyonya, bisakah kita saling memikirkan ini? Setidaknya, Nyonya dan Tuan ada waktu untuk mencari orang yang lebih baik," bisik Nara dengan suara tertahan. "Bayi tabung mungkin." Detik itu juga Nara mengatupkan mulut, menyadari dia telah kelepasan bicara saat melihat air muka majikannya berubah.
Alana menghela napas. "Jika bukan karena sakitku, tubuhku yang tidak bisa diajak kompromi. Aku akan program bayi tabung."
Ucapan Alana yang penuh kesedihan membuat rasa bersalah Nara mencuat. "Maaf, dan saya akan memikirkannya."
Alana setuju untuk memberikan waktu bagi Nara berpikir. Memerlukan waktu nyaris seminggu, dengan segala bujuk rayu dan permohonan tiada henti darinya. Akhirnya, pelayan itu menyatakan kesediaannya. Untuk menjadi ibu pengganti.
Persetujuan Nara disambut suka cita oleh istri Aaron. Sekali lagi, mereka mengadakan pembicaraan pribadi bertiga.
"Kalian harus menikah," ucap Alana pada Nara dan suaminya.
"Pasti akan menimbulkan skandal," jawab Aaron.
"Nggak akan, Sayang. Hanya pernikahan siri, bagaimana pun aku ingin punya anak dari hubungan yang halal. Bagaimana Nara?"
Nara mengangguk. "Terserah Nyonya, saya patuh."
Dari awal mula rencana pernikahan dibentuk, Nara sama sekali tidak ikut campur. Ia membiarkan majikannya mengurus semua hal dari gaun sampai lokasi di mana dia dan sang tuan akan menikah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro