27. Titik Terang
Sepanjang jalan Adit terus menghubungi Om Jatmiko. Laki-laki itu mengirim beberapa data tentang orang yang menyebarkan berita bohong mengenai dirinya dan perusahaan.
Mahesa Adiwarna
Tiga puluh dua tahun, bekerja di sebuah perusahaan media masa terkenal di Jakarta, dan bertindak sebagai tim editor. Sedang membutuhkan biaya banyak untuk pengobatan anaknya yang menderita gagal jantung.
Adit tersenyum sinis membaca biodata laki-laki itu. Setelah beberapa jam berkendara, akhirnya ia tiba di kawasan Jakarta Timur. Mobil melaju memasuki sebuah perumahan. Rumah yang ia cari ternyata terletak agak jauh dari rumah-rumah yang lain. Dilihatnya Om Jatmiko dan beberapa anak buahnya sudah menunggu di depan pintu. Laki-laki paruh baya itu membungkuk hormat menyambut kedatangan Adit.
“Di mana orang itu?” tanya Adit pada Om Jatmiko.
“Ada di dalam, ayo!” setelah itu, Om Jatmiko mengajaknya masuk.
Adit melihat seorang laki-laki yang sumuran dengannya tengah duduk di sofa ruang tengah, sementara di sampingnya ada wanita dan bocah laki-laki berusia sekitar empat tahun. yang kemungkinan anak dan istrinya. Anak laki-laki itu terlihat takut saat melihat kedatangan Adit. Ia putuskan duduk di depan mereka dan menatap laki-laki itu mengintimidasi.
“Jadi, Apa Anda bisa katakan pada Saya, siapa yang menyuruh Anda menyebarkan berita bohong itu?” laki-laki di depan Adit masih diam dan hanya menatapnya sekilas.
“Apa untungnya untuk saya, jika saya mengatakan pada Anda?” jawab laki-laki di depan Adit dengan nada sinis.
Adit menyunggingkan senyum sinis, merasa laki-laki di depannya terlalu arogan. Laki-laki itu tak tahu dia sedang bicara dengan siapa.
“Tentu saja aku akan menjamin hidupmu dan juga anak istrimu. Sebenarnya saya malas sekali harus menyuap mu hanya demi kejujuran yang harusnya kau ungkapkan. Tapi tak masalah, jika kau tak mau bicara. Toh anakmu bisa kapan saja meninggal, kan? Jika tak secepatnya mendapat pertolongan.” Mendengar kata-kata sarat ancaman dari Adit, laki-laki itu terlihat menegang.
Sekakmat! Adit menyunggingkan senyum sinis ke arah laki-laki itu. Senyum arogan yang tadi ia tunjukkan pada Adit, berganti menjadi senyum lemah. Jika dia pikir dia pintar, maka Adit jauh lebih pintar. Sebenarnya Adit pun tak tega saat menatap sorot mata bocah laki-laki di sampingnya. Tapi hanya dengan cara ini ia bisa menekan ayahnya untuk bicara jujur.
“Da-dari mana Anda tahu tentang hal itu?”
“Anda tidak berpikir aku bodoh, kan? Tentu saja itu mudah bagiku. Jadi-“
“Aku di suruh seorang laki-laki bernama Benjamin. Dia adalah sahabat masa kuliah ayahku, dulu sebelum orang tuaku tiada, keluargaku berhutang budi padanya. Dia tahu tentang kesulitan yang tengah ku alami. Suatu hari laki-laki itu datang, dan berjanji akan membantu biaya pengobatan anakku. Asal aku bisa membantunya menjatuhkan sebuah perusahaan,"
"Awalnya aku menolak, tapi dia mengancam akan mencelakakan anak dan istriku jika aku tak menuruti kemauannya.
Adit mengatupkan rahangnya, mengetahui ternyata benar Si Keparat itu yang melakukan semua ini. Perlu kalian tahu, Benjamin adalah nama depan Om Danu. Tapi bagaimana dia bisa memiliki koneksi orang-orang dalam perusahaan ku. Tanya Adit dalam hati
“Baiklah. Sesuai janjiku, aku akan membantu pengobatan anakmu, tapi kau harus menjadi saksi dalam kasus ini.” laki-laki itu terdiam, dan menatap istrinya meminta pendapat. Istri laki-laki itu mengangguk meyakinkan, diikuti olehnya yang mengangguk ke arah Adit.
“Tapi bagaimana dengan nasib kami? Saya yakin laki-laki itu akan mencelakakan keluarga saya.”
“Kau tenang saja. Untuk sementara ini kalian pindah ke apartemen yang akan kami siapkan. Orang-orang ku akan memberimu perlindungan hingga laki-laki itu mendapat ganjarannya.”
“Baiklah, terima kasih.” Adit hanya mengangguk kecil sebagai jawaban. Lalu ia bergegas bangkit.
“Om urus kepindahan mereka, dan beri mereka perlindungan! Sementara ini aku akan mengadakan rapat dengan pemegang saham,” kata Adit saat mereka sudah berada di luar rumah.
“Baik, Pak.” Setelah mengatakan itu, Adit menancap gas menuju ke arah kantor.
Jam masih menunjukkan pukul enam pagi, jalanan yang Adit lewat masih terlihat sepi. Ia melihat ada sebuah mobil yang mengikutinya dari belakang. Merasa curiga, Adit memacu mobil Ferrari lebih cepat. Hingga tiba-tiba terdengar suara ponsel bergetar menandakan ada pesan masuk, lalu ia meraih benda pipih itu.
Jangan senang dulu! Aku tak akan membiarkanmu menang.
Adit mengumpat membaca pesan bernada ancaman itu, lalu tiba-tiba terdengar bagian belakang mobilnya ditabrak berkali-kali, hingga membuat ia terkesiap kaget. Adit menancap gasnya lagi, menghindari mobil hitam di belakangnya. Namun, mobil itu juga berusaha mengejar, hingga sampai di sebuah pertigaan Adit terpaksa membanting setir ketika dari arah berlawanan terlihat sebuah mobil melaju kearahnya. Terdengar decitan ban yang beradu dengan aspal menggema, lalu ia melihat mobil hitam yang tadi mengejar langsung tancap gas.
“Astaghfrallah, untung Allah masih melindungi ku.” Adit mengucapkan banyak rasa syukur karena Allah masih melindunginya hari ini.
“Ternyata laki-laki itu benar-benar serius dengan ancamannya,” gumam Adit. Lalu ia mengembuskan napas lega, dan kembali tancap gas menuju ke kantor.
Sekitar dua jam lebih perjalanan, Mobil yang dikendarai Adit memasuki gedung kantor. Laki-laki itu menyerahkan kunci mobil pada satpam dan menyuruhnya membawa mobil itu ke bengkel. Adit melihat Abi berdiri menanti kedatangannya di lobi, ayahnya itu mendekat dan menatap khawatir pada Adit ketika melihat kondisi mobilnya rusak parah.
“Apa yang terjadi?” tanya Abi dengan nada khawatir. Lalu mereka berdua berjalan masuk menuju lantai atas.
“Ada orang yang mencoba menabrak mobil Adit, Bi.”
“Orang itu benar-benar keterlaluan. Lalu bagaimana tadi? Apa Jatmiko sudah tahu dalang di balik kasus pencemaran nama baik itu?” tanya Abi ketika mereka sampai di dalam lift.
“Abi pasti tak akan percaya. Jika kubilang yang mencoba menghancurkan kita adalah OM Danu. Mantan suami Bude Mira.” Kata-kata Adit membuat Abi memijit pelipisnya.
“Astaghfrallah, laki-laki itu... Sudah Abi duga.” gumaman Abi membuat Adit mengernyitkan dahi bingung.
“Maksud, Abi?”
“Laki-laki itu pernah datang ke rumah beberapa bulan lalu.”
“Kenapa Abi tak mengatakannya padaku, lantas dia bicara Apa?”
“Dia hanya bilang sedang ada kerajaan di Jakarta makannya dia mampir sekedar untuk menjenguk kita. Abi sebenarnya agak curiga dengan kemunculannya yang tiba-tiba. dia bilang sedang merintis usaha di Surabaya, Abi pikir dia sudah berubah.”
“Apa Abi tahu tempat tinggalnya?”
“Dia hanya bilang tinggal di daerah Jakarta, dekat perumahan mu.”
“Bagaimana dia bisa mengetahui alamat rumah Adit, Bi? Sementara kami tak pernah bertemu.”
“Astaghfrallah. Kenapa Abi bisa tak berpikir sampai kesana.”
“Itu berarti dia sudah lama mengintai ku.”
Abi mengangguk – “Ya sudah, kita bicara lagi nanti. Semua anggota dewan dan pemegang saham sudah menunggumu.” Adit mengangguk, lalu melangkah ke tempat meeting.
Di dalam ruangan semua orang sudah menunggu. seluruh perhatian ter-alihkan ketika Adit dan Abi masuk, keadaan yang tadinya ramai berubah hening. Adit menatap seluruh anggota dewan yang hadir. Lalu ia lafalkan bismillah sebelum acara rapat ia mulai.
“Assalamualaikum, dan selamat pagi semua, tujuan Saya mengumpulkan kalian di sini guna membahas berita yang mungkin sudah kalian baca di sebuah surat kabar.”
“Ya! Kami ingin tahu perkembangan kasus itu, karena masalah ini menyangkut keberlangsungan perusahaan,” kata salah satu pemegang saham.
“Ya betul! Kami hanya tak ingin gara-gara kasus kelalaian itu berakibat pada perijinan dengan pemerintah,” sambung suara Dirut Megantara Group. Lalu terdengar suara riuh para dewan direksi yang saling bersahutan.
“Saya harap Anda semua tenang dulu! Saya sudah menemukan titik terang yang akan membuktikan bahwa perusahaan kita tak melakukan kelalaian.”
“Lalu bagaimana dengan kasus sengketa lahan dengan para warga? Apa Anda juga sudah menemukan titik terang? Tentu saja kami tak ingin menanggung risiko.”
“Ya ... itu sudah saya pikirkan, insya Allah besok saya berencana akan melakukan kunjungan ke-“ kata-kata Adit terhenti saat ponsel di saku jasnya berbunyi. Meminta waktu sejenak, ia buru-buru mengangkat panggilan itu. Tertera nama Dimas di layar ponsel, membuat laki-laki itu berdecak. Tidak tahu waktu sekali dia ini! Sungut Adit dalam hati.
“Aku sedang ada rapat, nan-“
“Kayla kecelakaan! Cepat ke rumah sakit Medika Husada! Da-“ potong suara di seberang. Nyawa Adit serasa di cabut paksa mendengar kabar itu, hingga ia tak sadar ponsel yang dipegangnya terlepas dan jatuh ke lantai. Membuat semua orang menatapnya penuh tanda tanya.
Selanjutnya tanpa mendengarkan persetujuan mereka, laki-laki itu langsung pergi dari ruang rapat. Kumohon ya Allah, jangan biarkan ini terjadi lagi. Aku tak akan siap menerima berita buruk tentang Kayla. Batin Adit sambil berjalan dengan langkah tergesa.
********
Hay hay... Balik lagi dengan kisah Kayla. Gimana part ini? Semakin greget kah? Atau membosankan?
Kira-kira Kayla gimana ya? Tunggu jawabannya di capter depan. Pantengin terus.
Dan ngomong-ngomong aku sudah menyiapkan cerita baru yang insya allah lebih greget.
Jangan lupa tinggalkan jejak.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro