19. Rindu Yang Menyakitkan
Belajarlah mengerti arti keberadaan. Sebelum kamu tahu arti kehilangan.
**********
Sudah satu minggu semenjak Kayla pergi dari rumah. Setiap hari pula wanita itu selalu dihantui rasa gelisah. Pasalnya selama seminggu ini ia tak pernah menghubungi Adit. Belum lagi kepergiannya yang tanpa izin sang suami, semakin menambah rasa gelisah. Sekarang bagaimana keadaan Adit? Apa dia makan teratur? Apa masih suka begadang? Itu yang sering Kayla khawatirkan. Sebenarnya ia ingin sekali mengabari Adit. Jujur, jauh di dalam hati ia sangat merindukan suaminya. Tapi masalahnya, Abi tak mengizinkan Katla mengabarinya. Beliau bilang, agar Adit bisa belajar mengerti arti keberadaan sebelum rasa kehilangan itu benar-benar terjadi.
Abi juga ingin Adit tahu, dan menyadari sendiri perasaan apa yang dia miliki untuk Kayla. Agar laki-laki itu tak mengulangi kesalahan yang sama. Tapi tetap saja Kayla selalu memikirkan kondisi Adit dan Jovan.
Kayla terus mondar-mandir di depan tempat tidur sambil memainkan ponselnya, menimang-nimang untuk menghubungi Adit atau tidak. Tiba-tiba, terdengar suara sang ayah dari luar kamarnya.
"Kay, boleh Bapak masuk!"
"Iya, Pak, masuk saja! Pintu nggak di kunci kok."
Mendengar jawaban putrinya Adnan pun masuk, dan duduk di tepi ranjang menatap Kayla yang terlihat gelisah. Laki-laki paruh baya itu mengembuskan napas pelan.
"Kamu sudah menghubungi Adit? Bapak rasa ... sudah cukup kamu memberinya pelajaran, Kay. Biar bagaimanapun Adit suamimu. Dia berhak tahu kabarmu bagaimana. Bapak yakin sekarang dia sedang kebingungan mencari mu, jadi lebih baik kamu pulang besok. Bicarakan ini pada mertuamu."
"Iya, nanti Kay coba bicara pada Abi."
Adnan mengangguk kecil mendengar jawaban Kayla
"Sebab Bapak juga merasa ndak enak harus ikut-ikutan membohongi Adit. Sebaiknya kalau kamu ingin ke rumah Ibu Salamah, hari ini saja. Biar besok bisa pulang ke Jakarta," sambung Adnan.
Kayla hanya mengangguk kecil sebagai jawaban, lalu ayahnya melangkah pergi. Wanita itu memutuskan menelepon Abi untuk mengabari jika besok ia pulang.
"Assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam. Ada apa, Kay?"
"Emmm ... Kay hanya ingin tahu keadaan Mas Adit, Bi?"
Terdengar helaan napas Abi di seberang sana, lalu beliau membuka percakapan.
"Sebenarnya keadaan Adit nggak baik-baik saja, Kay. Semenjak kamu pergi, bekerja pun dia jadi banyak melamun. Setiap sore sampai malam dia akan berusaha mencari mu hingga keliling Jakarta. Beberapa hari ini kondisinya semakin parah. Dia bahkan terus mengurung diri di kamar. Umi pun sampai menyerah untuk membujuknya. Dia selalu menyalahkan dirinya karena menyebabkan kamu pergi. Adit berpikir kamu pergi karena kamu benar-benar sudah nggak tahan hidup dengannya.”
Hati Kayla teriris mendengar kabar ini dari Abi, separah itukah kondisi Adit? Ia benar-benar tak bisa terus di sini. Pikir Kayla.
"Abi pikir sekarang Adit sudah cukup mendapat pelajaran soal caranya memperlakukan istri dengan baik. Semoga setelah ini dia benar-benar bisa berubah dan nggak mengulangi kesalahan yang sama terhadapmu."
"Iya ... Amiin. Terima kasih Abi selalu ada untuk Kay. Kay pasti nggak akan bisa bertahan jika Abi nggak ada untuk Kayla."
"Ya, sama-sama. Abi tahu kamu perempuan yang baik. Abi menyayangimu, karena Kamu juga anak Abi."
"Iya, Bi, terima kasih. Kay tutup dulu teleponnya. Rencananya Kay ingin menjenguk orang tua Nazwa hari ini, supaya besok bisa pulang ke Jakarta."
“iya ... hati-hati, sampaikan juga salam Abi untuk mereka."
"Ya, Bi, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Setelah sambungan terputus Kayla bergegas menuju ke rumah Ibu Salamah. Jarak rumah Nazwa dan rumah Kayla lumayan jauh. Sekitar dua jam perjalanan. Jadi ia memutuskan mengajak Sandy, adik angkatnya, untuk menyetir mobil.
"Kamu kuliah tinggal berapa semester lagi, San?" tanya Kayla ketika mobil telah melaju.
"Aku tinggal menunggu sidang skripsi, Mbak."
"Bagus lah, rencananya ingin bekerja di mana?"
"Sandy sama Sinta sudah sepakat, ingin mengabdi di daerah sini saja, Mbak. Agar sekalian bisa mengurus Bapak. Kita nggak tega meninggalkan Bapak sendiri."
Mendengar kata-kata Sandy, Kayla merasa terharu. Dua Adik angkatnya itu memang sangat penurut dan juga menyayangi sang ayah dengan tulus. Sekarang Kayla merasa lega, setidaknya ada dua adiknya yang akan tetap menemani sang ayah. Beruntungnya ia memiliki saudara seperti mereka. Biar pun tak ada ikatan darah, mereka selalu berusaha jadi adik yang baik untuk Kayla. Dulu Kayla dan Adnan menemukan mereka sehabis berjalan-jalan di sebuah taman wisata. Saat itu, umur Keyla baru dua belas tahun.
Adan melihat dua orang bocah kembar berusia sekitar enam tahun sedang menangis di pinggir jalan. Sementara orang-orang di sekitar mereka sudah berkerumun berusaha mencari keberadaan orang tua dua anak itu. Adnan memutuskan mendekat, dan menanyai mereka.
"Orang tua kalian di mana?" tanya Adnan sambil berjongkok menyejajarkan tingginya dengan mereka.
"Mama tadi bilang ingin pergi sebentar untuk membeli roti, Om. Tapi sampai sekarang dia belum datang," kata seorang anak laki-laki dengan wajah sedih.
"Terus, rumah kalian di mana? Biar Om antarkan."
"Kami nggak punya rumah, Om. Kami diusir nenek dari rumah," jawab bocah perempuan di sebelahnya dengan wajah polos.
"Mama bilang, kami harus mandiri jika kami ingin tetap hidup.”
Seketika itu Adnan, dan semua orang yang ada di sana hanya bisa menatap dua bocah itu iba. Hingga terdengar helaan napas Adnan setelahnya.
"Kalian mau tinggal sama, Om? Ini sudah malam, lebih baik kalian ikut Om. Besok Om janji akan bantu cari mama kalian? Bagaimana?" tawar Adnan pada dua bocah itu, sementara mereka hanya saling menatap antara bingung dan juga takut jika harus percaya pada orang asing.
"Kalian jangan khawatir, Om bukan orang jahat, kok," kata Adnan sambil mengelus kepala mereka. Seolah dia tahu apa yang ada dalam pikiran si kembar. Dua bocah itu akhirnya mengangguk sebagai jawaban.
Beberapa hari berlalu. Adnan terus mencoba mencari ibu mereka, tapi tak pernah ada titik terang. Hingga laki-laki itu memutuskan mengangkat mereka menjadi anak. Kayla masih ingat betul apa yang ayahnya ucapkan waktu itu.
"Maafkan, Om, karena Om nggak bisa menemukan mama kalian."
Mendengar kata-kata Adnan, dua bocah itu langsung menangis.
"Terus, kita nggak punya Mama? Kita harus tinggal di mana, Om?" tanya Sandy dengan mata berkaca-kaca.
"Kalian nggk perlu takut. Om sekarang adalah ayah kalian. Dan ini, Kakak kalian." Tunjuk Adnan pada Kayla. Kayla kecil pun mengangguk dengan senyum lebar ke arah mereka.
"Karena sekarang kalian saudara, kalian harus saling menyayangi. Mulai hari ini dan seterusnya kalian panggil Om 'Ayah', Oke anak baik," sambung Adnan sambil mengelus kepala mereka.
Mendengar kata-kata itu, dua bocah kembar di depannya langsung berhambur memeluk Adnan. Sementara Kayla hanya tersenyum melihat mereka, Karena ia pun bahagia bisa memiliki saudara. Sebab itu berarti ia tak akan kesepian lagi.
"Terima kasih, ya, San. Kalian mau mengurus Bapak, sementara Mbak nggak ada."
"Nggak apa-apa Mbak. justru seharusnya kami yang mengucapkan terima kasih. Ini belum apa-apa jika dibandingkan kasih sayang tulus yang Bapak berikan pada kami."
Kaylamengangguk kecil ke arah Sandy. Tak terasa mobil yang mereka tumpangi akhirnya sampai di depan rumah sederhana bercat coklat. Keduanya memasuki rumah, dan mengucap salam. Lalu keluar lah ibu Salamah yang terlihat kaget mendapati Kayla berdiri di depan rumahnya.
"Ya ampun, Kay? Kamu kapan pulang?" kata Ibu Salamah dengan senyum lebar tersungging dari bibirnya. Lalu perempuan paruh baya itu memeluk Kayla sangat erat. Seakan menumpahkan kerinduan yang terpendam.
"Kayla pulang sudah seminggu. Tapi baru hari ini bisa datang, Bu."
"Ya, tak apa. Terus, Adit dan Jovan mana?” tanya ibu Salamah sambil menoleh ke kanan-kiri berusaha mencari keberadaan Jovan dan Adit.
"Ah ... maaf, Bu, mereka nggak bisa ikut. Mas Adit sibuk, sementara Jovan masih terlalu kecil. Aku janji besok akan mengajaknya ke sini." Kayla berkata dengan nada penuh sesal. Terlebih setelah melihat gurat kesedihan di wajah Bu Salamah.
"Ya sudah, yang penting kabar kalian baik."
Setelah itu obrolan mereka lanjutkan dengan beberapa topik. Kayla memutuskan berkunjung ke makam Nazwa yang terletak beberapa meter dari rumah ibu Salamah. Di sina lah ia sekarang berada, di pusara Nazwa. Dielusnya nisan bertuliskan nama Khumaira Nazwa itu, lalu ia memanjatkan doa berharap Allah menerima kehadirannya di tempat terbaik.
"Na, Kamu apa kabar? Apa kamu bahagia di sana? Mbak harap kamu sudah bahagia. Sama seperti Mbak. Walau jalan yang Mbak lalui untuk mendapat cinta Mas Adit sangat sulit, tapi Mbak bahagia telah di izinkan menjadi bagian dari hidupnya. Mbak Janji, Mbak akan menjaga Jovan seperti anak Mbak sendiri,"
"terima kasih, untuk hidupmu yang kau berikan pada Mbak." Kayla menyeka air matanya yang menetes. Lalu ia beranjak menghampiri Ibu Salamah yang menunggunya di jalan kecil dekat pemakaman. Setelah itu ia memutuskan pamit karena hari sudah cukup sore.
“Kalau begitu, saya pamit, Bu, saya harus cepat pulang karena Bapak masih sakit.”
“Ya, jaga diri kamu baik-baik dan sering-sering lah main ke sini jika ada waktu. Ibu selalu kesepian semenjak Nazwa pergi.” Ibu Salamah berkata sambil mengusap air matanya. Membuat Kayla ikut merasakan sedih. Wanita itu memeluk ibu Salamah sebelum ia beranjak pergi.
“Maafkan Kay karena nggak bisa sering ke sini. Kay janji jika besok pulang lagi, Kay akan ajak Jovan.” Ibu Salamah hanya mengangguk, lalu Kayla melepas pelukannya, dan melangkah pergi.
♡♡♡♡♡
Seperti rencana kemarin, pagi ini Kayla akan pulang ke Jakarta, diantarkan Sandy.
“Kayla pamit dulu, Bapak jangan lupa minum obat yang teratur supaya lekas sembuh.”
“Ya, kamu cerewet sekali seperti ibumu. Jangan terlalu khawatir, ada Sinta dan Sandy yang menjaga Bapak. Ada Bi Surti juga.”
Mendengar ucapan yahnya, Kayla mengerucutkan bibir. Lalu memeluk tubuh kurus Adnan. Wanita itu selalu tak bisa menahan rasa sedih saat ia akan pergi meninggalkan laki-laki yang membesarkannya sendirian. Dengan terpaksa, Wanita dengan terusan brokat krem itu melepaskan pelukan Adnan, dan mengusap air matanya.
“Jaga diri kamu baik-baik, Nak, semoga kamu selalu bahagia,” kata Adnan sambil mengelus kepala putrinya penuh sayang. Kayla hanya mengangguk kecil, lalu mencium tangan Adnan.
“Kay pergi.” – Kayla mengalihkan tatapan pada adik perempuannya – “Sinta, Mbak titip Bapak ya.”
Mendengar itu Sinta tersenyum. "Pasti, Mbak,” jawab Sinta mantap.
Lalu mobil yang di kendarai Sandy melaju menuju ke bandara untuk mengantarkan wanita itu. Rasanya Kayla benar-benar tak sabar ingin bertemu Adit dan Jovan. Ia benar-benar merindukan mereka.
Jadwal keberangkatan baru sekitar jam tujuh. masih ada waktu sekitar satu setengah jam untuk berbelanja oleh-oleh. Kayla memutuskan mampir sebentar ke sebuah toko yang berada di seberang jalan.
“Kamu tunggu sebentar di sini ya, San. Mbak mau beli oleh-oleh buat Umi dan orang di rumah.”
Sandy hanya mengangguk kecil sebagai jawaban.
Lalu wanita itu melangkahkan kaki bermaksud menyeberang jalan. Tiba-tiba dari arah berlawanan muncul sebuah sedan hitam yang melaju degan kencang. Keadaan yang masih terlalu pagi, membuat jalanan sedikit berkabut. Pikiran Kayla terasa kosong seketika. Beruntung sebuah tangan menariknya tepat waktu, membuat mereka terjatuh dan membentur trotoar jalan.
“Mbak nggak apa-apa, kan?” Sandy bertanya dengan nada khawatir sambil mengecek keadaan kakaknya.
“Ya, Mbak nggak apa-apa, hanya lecet sedikit,” jawab Kayla sambil memperlihatkan sikunya yang sedikit berdarah.
“Apa kita ke rumah sakit saja?”
“Nggak usah. Mbak harap kamu jangan beri tahukan hal ini pada Bapak. Mbak nggak ingin menambah beban pikiran beliau.”
“Ya, Mbak, tapi tadi itu siapa? Apa mungkin sengaja?" tanya Sandy curiga.
"Jangan su’uzon, mungkin saja si pengendara sedang tidak fokus. Kamu kan tahu ini masih pagi buta." Mendengar kata-kata sang Kakak, Sandy hanya mengangguk kecil. Setelah itu, mereka cepat-cepat melanjutkan perjalanan menuju ke bandara.
******
Hai hai... apa kalian penasaran? Aku harap iya? Hihi. Bagai mana kabar Adit ya? Masih hidup apa nggak ya dia? Hihi
Klik bintang di pojok kiri bawa ya, pliiis biar aku makin semangat lanjut.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro