18. Ketakutan Adit.
Penentu kesuksesan hidup seorang laki-laki, di lihat dari caranya memperlakukan istri.
♡♡♡♡♡
Adit dan beberapa karyawan baru saja selesai mengadakan rapat dengan investor asal Dubai. Perjuangannya selalu berangkat pagi dan pulang malam tak sia-sia, karena para investor itu, akhirnya menyetujui kontrak kerja sama yang perusahaannya tawarkan.
Perusahaan migas asal Dubai ini, bergerak dalam eksplorasi ladang minyak dan gas bumi, produksi, pengolahan, dan pengangkutan minyak, gas dan gas kondensat. pemasaran produk minyak bumi dan petrokimia di pasar domestik dan internasional.
Perusahaan ini juga memasok gas alam ke industri dan publik, serta beroperasi di beberapa negara strategis di wilayah Eropa, seperti Azerbaijan, Georgia, Turki, Rumania, Ukraina dan Malta yang juga bergerak di industri minyak dan gas bumi. Selain itu, mereka juga memiliki perusahaan perdagangan migas di Singapura, Swiss, Nigeria dan Timur Tengah. Tentu saja itu berarti sebuah keuntungan besar jika perusahaannya bisa menjalin kerja sama dengan mereka.
Rasa lelah terbayar sudah. Sekarang saatnya bagi Adit untuk menyelesaikan masalah pernikahan dengan Kayla. Laki-laki itu lebih menemui Abi di ruang kerja, dan beliau menyambut kedatangannya dengan senyum lebar.
"Selamat, Nak, kamu memang bisa di andalkan, tak salah Abi menyerahkan proyek ini padamu," kata Abi sambil memeluk Adit penuh rasa bangga.
"Terima kasih, Bi, semua juga berkat dukungan Abi."
"Ah, jangan lupakan juga, di balik suksesnya seorang laki-laki, pasti ada wanita hebat di belakangnya, yang dengan setia selalu mendukung dan mendoakan yang terbaik."
Adit terdiam mendengar ucapan Abi. Teringat kesalahannya semalam yang telah menuduh Kayla berselingkuh, padahal wanita itu belum menjelaskan apa-apa.
"Kamu tahu? Penentu kesuksesan hidupmu dilihat dari caramu memperlakukan istrimu. Pulang lah! Dan istirahat," Abi berkata sambil menepuk bahu Adit.
Laki-laki itu hanya mengangguk kecil mendengar nasehat Abi, lalu bergegas melangkah keluar. Abi benar, dia harus meluruskan masalahnya dengan Kayla.
Sebelum pulang ke rumah, Adit berencana ingin memberi kejutan untuk Kayla dengan membelikan istrinya bunga. Adit berjalan memasuki sebuah toko bunga yang ada di pinggir jalan. Lalu diambilnya bunga Lily berwarna putih kesukaan Kayla.
"Saya beli yang ini, Mbak."
"Tiga ratus ribu, Mas," kata si penjual bunga.
Adit merogoh saku, berniat memberikan uang untuk si penjual. Tapi suara familier di sebelahnya membuat Adit terpaksa menoleh.
"Mbak, ini berapa?" tanya laki-laki di sebelah.
"Dimas?" gumam Adit cukup keras, hingga membuat laki-laki itu memutar kepala ke arahnya.
Dimas hanya menatap Adit sekilas, lalu buru-buru pergi setelah lebih dulu membayar bunga. Sepertinya ini kebetulan yang diatur Allah, supaya aku mengingatkannya untuk tak lagi menemui Kayla. Pikir Adit. Buru-buru dia pun membayar bunga, dan mengejar langkah Dimas sebelum polisi muda itu masuk ke mobil.
"Bisa kita bicara sebentar?” seruan Adit membuat langkah Dimas terhenti. Lalu laki-laki dengan seragam itu memutar tubuh dan menatap Adit sambil mengernyitkan dahi.
"Ini soal Kayla," sambung Adit memperjelas karena Dimas hanya diam.
Dimas terlihat berpikir sebelum dia menganggukkan kepala tanda setuju. Keduanya pun memutuskan bicara di sebuah Caffe tak jauh dari toko bunga.
"Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Dimas memecah keheningan. Dia tak ingin berbasa-basi.
"Aku hanya ingin memperingatkanmu. Agar jangan lagi menemui Kayla secara diam-diam."
Mendengar peringatan Adit, Dimas terdiam dan berpikir. Laki-laki itu mendengus saat menyadari apa maksud Adit sebenarnya.
"Jangan bilang kalian sedang bertengkar gara-gara masalah aku?” Dimas seakan bisa menebak.
Melihat Adit hanya diam, Dimas berdecak. Ternyata benar dugaannya. "Ck! Benar-benar keterlaluan kamu ini. Jangan menyakiti Kayla! Atau aku benar-benar akan merebutnya darimu."
"Jaga bicaramu!" hardik Adit pada Dimas sambil menarik kerah kemeja laki-laki itu. Kegaduhan itu Berimbas pada beberapa pengunjung yang menatap mereka penasaran.
"Kamu akan menyesal jika tahu alasan yang membuat kami bertemu. Kayla nggak salah apa-apa. Tapi aku lah yang salah karena terus mengikutinya."
Mendengar penjelasan Dimas, Adit melepaskan jegalan tangannya, dan menatap tajam laki-laki itu.
"Astaghfirullah, nggak bisakah kamu bersikap santai sedikit. Hah!" Dimas terdengar kesal karena sedari tadi Adit terus bersikap memusuhi.
Adit pun kembali mengarahkan tatapan tajam.
"Baiklah-baiklah ... aku heran, kenapa Kayla bisa jatuh cinta pada laki-laki sekaku dirimu,” gumam Dimas, sebelum laki-laki itu menatap Adit sekilas dan membenarkan kerah bajunya yang di tarik laki-laki berjas di depannya.
“Dengarkan baik-baik, aku selalu mengikuti Kayla sejak kalian menikah. Selain karena ingin tahu alasannya meninggalkanku. Juga karena aku merindukan dia."
Mendengar jawaban jujur Dimas, emosi Adit terasa naik ke ubun-ubun. Beraninya laki-laki ini mengatakan hal tersebut di depanku. Harusnya dia sadar, apa status Kayla sekarang. Batin Adit menahan rasa geram.
"Kau!" Adit mengepalkan tangan berniat menonjok wajah Dimas. Namun, gerakan tangannya di tepis laki-laki itu dengan cepat.
"Bukan salahku, jika aku masih sering merindukan Kayla. Kamu pikir mudah menghapus bayang-bayangnya setelah kebersamaan kami. Kamu tahu? Dalam hidup ini, hanya Kayla yang aku miliki. Lalu tiba-tiba kamu datang dan merebutnya dariku. Hingga puncaknya saat aku tahu kalian berniat pulang menjenguk Ayah. Aku pikir ini kesempatanku menemui Kayla. Tapi lagi-lagi nggak ada penjelasan apa-apa," ada jeda sejenak, Dimas mengatur napasnya yang memburu karena rasa marah.
"kesempatan itu datang saat aku melihat Kayla pergi sendiri ke sebuah Mall. aku memutuskan mengikutinya. Jadi yah ... apa yang kamu pikir nggak sama dengan apa yang terjadi. Karena niatku bertemu hanya ingin tahu alasan Kayla menghianatiku. Agar aku nggak perlu membenci dia seumur hidupku. Sudah jelas?” Dimas mengakhiri ceritanya dengan nada sedikit mencemooh. Terlebih saat melihat ekspresi Adit.
Mendengar penjelasan Dimas, Adit merasa penyesalan menggelayuti hatinya, menyadari lagi-lagi dia telah melakukan kesalahan besar.
Dimas pun tersenyum mengejek.
“Jadi, silakan ratapi kesalahanmu, dan rasa cemburumu yang bodoh itu,” cibir Dimas lagi. Dia puas sekali rasanya karena membuat Adit terlihat bodoh.
Tiba-tiba, terdengar notifikasi pesan dari ponsel Adit yang ada di saku jasnya. Buru-buru dia meraih benda pipih itu. Namun, gambar yang terdapat dalam pesan itu membuat jantungnya serasa berpacu. Dalam pesan terlihat beberapa foto Kayla yang di ambil secara candid. Ada foto Kayla saat sedang berbelanja dengan Gea, saat dia sedang bersama Dimas. Bahkan foto mereka saat sedang berlibur di tempat Ayah, ketika Kayla dan Adit berbelanja ke pasar. Serta masih ada beberapa foto yang lain. Bukan foto-foto itu yang membuat Adit takut, Namun, tulisan yang terdapat di bawah foto-foto itu lah yang membuat Adit begitu khawatir.
Lihat lah, Istrimu semakin hari semakin cantik bukan? Membuatku tak bisa mengalihkan tatapanku darinya. Bersiap lah untuk kejutan yang akan kuberikan dalam hidup kalian.
"Brengsek!"
Umpatan Adit membuat Dimas menatapnya penasaran. Merasa ada yang tak beres dengan laki-laki di depannya, Dimas memilih membuka suara.
"Ada apa?"
"Bukan urusanmu."
Mendengar Adit mengatakan itu, Dimas hanya mengangkat bahu cuek. Dia berusaha tak ambil peduli.
"Ya sudah, padahal aku bisa dengan suka rela membantumu tanpa di bayar. Apa lagi jika menyangkut Kayla."
Mau tak mau Adit harus menyampingkan rasa cemburu dan egoisnya. Mengingat Dimas adalah seorang polisi mungkin saja dia bisa membantunya menemukan pengirim pesan itu.
"Ada seseorang yang mengirimkan ini padaku." Adit berkata sambil memperlihatkan foto-foto Kayla dan pesan bernada ancaman itu.
Sejenak Dimas pun membaca barusan pesan itu dengan seksama. "Ini seperti pesan ancaman. Hanya saja si pelaku berniat mempermainkan kalian lebih dulu. Sementara ini kalian berhati-hati lah. Jika ancaman itu sudah mulai keterlaluan jangan lupa hubungi aku. Ini nomor teleponku sebagai jaga-jaga," sambung Dimas sambil menyodorkan kartu nama.
Adit meraih kartu nama itu dengan terpaksa, sementara ini dia akan membuang jauh-jauh harga dirinya di depan mantan kekasih sang istri. Meski itu sangan memalukan. Pikir Adit.
"Mulai hari ini, berusaha lah selalu mengawasi Kayla. Dia selalu memiliki musuh karena sifatnya yang kelewat berani. Aku khawatir si pelaku ini salah seorang yang dendam dengan kalian. sementara ini biar aku lacak nomor telepon ini."
Dimas menyimpan nomor misterius itu, sementara Adit hanya mengangguk kecil sebagai jawaban. Setelah mengatakan itu, Dimas bangkit dan melangkah pergi. Meninggalkan Adit dengan berbagai macam perasaan yang berkecamuk. Antara khawatir, takut dan juga rasa bersalahnya.
Dihantui perasaan tak menentu dia langsung tancap gas untuk pulang. Beberapa saat berkendara, mobil yang Adit kemudikan sampai di depan rumah. Laki-laki itu memarkirkan tunggangan besinya begitu saja, karena ingin cepat-cepat menemui Kayla.
Begitu melangkah ke pintu depan, dia mengernyit bingung melihat keadaan rumah tampak lengang. Sementara semua pintu terkunci rapat. Jantungnya terasa berdetak lebih cepat karena dihantui pikiran buruk tentang keberadaan Kayla dan Jovan. Buru-buru Adit mengeluarkan kunci duplikat rumah yang dia bawa, lalu menerobos masuk dan mencoba mencari mereka di seluruh ruangan. Tapi hasilnya nihil, tak ada suara penghuni rumah sama sekali.
"Dimana Kayla ya Allah. Aku nggak akan memaafkan diriku sendiri jika sampai terjadi sesuatu padanya," gumam Adit sambil mengacak rambut frustasi.
"apa ini hukuman untukku karena sering menyakitinya ya Allah,” sambungnya, lalu terduduk lesu di sofa ruang keluarga.
Adit teringat Umi, mungkin saja Kayla sedang ada di sana bersama Jovan. Pikir Adit. Laki-laki itu memutuskan menghubungi Umi guna memastikan keberadaan Kayla. Beberapa saat kemudian, terdengar sambungan telepon diangkat. Terdengar suara Umi bicara.
"Assalamualaikum, ada apa, Dit?"
"Waalaikumsalam, apa Kayla di rumah Umi?"
"Kayla-" belum selesai Umi bicara. Tiba-tiba suara Abi yang terdengar.
“Ada apa, Dit?”
“Adit hanya ingin tanya, apa Kayla ada di rumah Abi?”
"Jovan di sini, tapi Kayla nggak ada. Tadi siang kata Umi, Kayla kesini hanya untuk menitipkan Jovan. Tapi sampai sekarang dia nggak ada kabar."
Penjelasan Abi di seberang sana membuat pikiran Adit semakin kalut. Dengan tangan bergetar, dia menutup sambungan telepon begitu saja. Apa sekarang dirinya benar-benar telah kehilangan wanita itu? Apa Kayla benar-benar menyerah dengannya?
Tanpa berpikir dua kali, Adit mencoba mencari Kayla ke semua tempat yang mungkin didatanginya. Meski Setahunya Kayla tak banyak memiliki teman di Jakarta. Akhirnya dia pun memutuskan mencari wanita itu ke tempat Gea. Sekarang di sinilah laki-laki itu berada. Di lobi apartemen mewah, dimana Gea tinggal.
"Selamat malam, Pak. Apa saya bisa bertemu dengan Ibu Geandra?" tanya Adit pada orang loby.
"Ah, kebetulan Ibu Geandra sedang nggak ada di tempat."
"Ah, begitu, ya. Terima kasih, Pak."
Adit hendak melangkah pergi, ketika tiba-tiba sebuah mobil sport warna merah berhenti di depannya. Lalu perempuan di dalam mobil itu keluar, dan menghampirinya. Adit mengamati bagian dalam mobil, berharap ada Kayla bersama perempuan itu. Tapi hasilnya nihil, tak ada Kayla di sana.
"Mas Adit? Sedang apa di sini?" tanya Gea heran. Wanita itu pun turun dari mobilnya agar bisa leluasa bicara dengan Adit.
"Ge, Apa Kayla bersamamu hari ini?"
Gelengan pelan wanita bergaya modis itu membuat Adit semakin takut.
"Kayla nggak menghubungi aku hari ini, Mas. Terakhir ketemu dua hari yang lalu. Memang dia nggak izin ingin ke mana sama, Mas?"
Adit hanya menggeleng lemah sebagai jawaban.
"Kenapa Mas nggak coba menghubungi orang di kampung? Mungkin saja Kayla sedang di tempat Ayah."
Mendengar kata-kata Gea, untuk sejenak Adit merasa lega. Setidaknya kemungkinan itu pasti ada. Kenapa dia tak berpikir sampai kesana? Batin Adit.
"Kamu benar. Kalau begitu saya pamit pulang. Maaf sudah mengganggu malam-malam begini."
"Its Okey."
Setelah itu Adit beranjak pergi.
Gea menatap punggung Adit yang menjauh.
“Dasar si Kayla, mengerjai suami sampai seperti itu,” guam Gea.
Adit berkeliling mencari Kayla sambil terus menghubungi nomornya. Berharap tiba-tiba akan ada suara di seberang yang menjawab. Tapi hasilnya nihil. Sama halnya nomor sang mertua, nomor Kayla pun tak bisa di hubungi.
***
Beberapa jam sebelum Adit pulang dari Kantor ...
Pagi hari saat Kayla bangun, Adit sudah lebih dulu pergi ke kantor. Padahal wanita itu berencana ingin meminta izin menjenguk ayahnya di kampung. Walau semalam keduanya bertengkar hebat, Kayla tetap harus meminta izin.
Jika seperti ini dia terpaksa harus ke kantor suaminya nanti. Setelah mengepak beberapa barang yang akan dibawa ke kampung, Kayla langsung bergegas menuju ke rumah Umi untuk menitipkan Jovan di sana sementara dia pergi.
Kayla tak tega jika harus meninggalkan Jovan hanya dengan Yani. Memang ada Adit, tapi laki-laki itu tak bisa diandalkan untuk mengurus anak. Dengan ragu, dia masuk ke dalam rumah mertuanya dan melihat beliau sedang menyiram tanaman di taman belakang. Umi terlihat kaget saat melihat Kayla datang setelah pertengkaran kemarin.
"Ada apa lagi kamu ke sini? Mau berkata kasar lagi sama Umi?" Umi terdengar ketus saat mengatakan kalimat itu. Dia masih merasa sangat marah pada Kayla jika ingat kejadian kemarin.
"Tidak, Umi, Kayla ke sini ingin meminta tolong." Kayla berusaha bersabar dalam menyikapi kekesalan Umi.
"Kamu enggak malu setelah apa yang kamu lakukan kemarin?" jawab Umi masih dengan nada judes.
"Ya ... Kay minta maaf, tapi Kay mohon bantuan Umi. Ayah Kayla sakit di kampung, dan Kayla ingin titip Jovan di sini beberapa hari. Karena Kay nggak tega kalau meninggalkan dia hanya dengan Yani."
Umi terdiam, wanita cantik dengan hijab syar'i itu menatap Kayla dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Tertegun dan tak menyangka menantu yang dibencinya sedemikian rupa benar-benar memikirkan Jovan.
Umi akhirnya mengembuskan napas setelah berpikir sejenak.
"Baiklah. Tapi ingat, kalau kamu pergi izin dulu ke Adit. Jangan main pergi begitu saja."
Kayla hanya mengangguk kecil sebagai jawaban, lalu bergegas pergi untuk ke kantor Adit. Setelah satu jam terjebak macet, akhirnya dia sampai di depan gedung perkantoran milik keluarga Kahfi. Kayla berjalan menghampiri bagian resepsionis. Beberapa karyawan yang sudah mengenalinya sebagai istri Adit menyapa dengan senyum sopan.
"Selamat siang, Bu? Ada yang bisa saya bantu?" Tanya Dea pada wanita itu.
"Saya ingin menemui Bapak Aditya. Apa beliau ada di ruangannya sekarang?"
"Sepertinya Pak Adit sedang ada rapat di luar kantor, Bu, baru saja beliau pergi dengan Bu Maya. Ibu menunggu saja di ruangan beliau." Dea menyarankan.
"Oh, tidak terima kasih. Tolong nanti sampaikan saja pada beliau kalau saya ke sini."
"Ya, Bu."
Setelah mengucapkan terima kasih pada Dea, wanita itu mencoba mengirim pesan pada Adit. Lalu bergegas menuju ke bandara. Tapi saat dia hendak melangkah keluar dari kantor, terdengar suara Abi memanggil. Mau tak mau langkah kayla terhenti. Wanita dengan dres bunga selutut itu menyunggingkan senyum ke arah mertuanya, dan menghampiri beliau. Mereka memutuskan untuk mengobrol sebentar di lobi kantor.
“Kamu ada apa datang ke mari? Apa ingin menemui Adit?”
“Ya, tadinya Kay ingin meminta izin pulang ke kampung, Ayah sakit, tapi Dea bilang Mas Adit sedang ada meeting di luar kantor.”
“Abi turut sedih mendengarnya. Maaf, Abi belum bisa ikut menjenguk.”
“Nggak apa-apa, Bi. Kay tahu Abi pasti sibuk.”
Abi menatap wajah menantunya yang terlihat lebih kurus. Hatinya ikut terenyuh melihat kesabaran Kayla menghadapi anaknya yang egois itu. Meski Adit tak pernah bercerita keadaan rumah tangganya. Namun, laki-laki itu tahu dengan jelas seperti apa sikap anaknya pada Kayla. Mengingat istrinya setiap hari terus-terusan bercerita tentang keadaan Adit dan Kayla. Dengan tatapan lembut, Abi berbicara.
“Abi minta Maaf untuk semua sikap Adit yang menyakitimu selama ini. Abi tahu, ini berat untuk kamu jalani sendiri. Entah lah, Anak itu akhir-akhir ini sering uring-uringan. Bahkan memarahi semua karyawan yang melakukan kesalahan sedikit saja. Apa kalian sedang bertengkar lagi?” tanya Abi dengan nada lembut.
Kayla amat bersyukur, di tengah-tengah rasa putus asanya akan pernikahan ini, ada Abi yang selalu menjadi penguat. Wanita itu tersenyum getir ke arah mertuanya.
“Kay juga nggak tahu, Bi. Semenjak kami pulang dari rumah Ayah, Mas Adit tiba-tiba jadi dingin. Kadang Kayla lelah terus seperti ini,” jawabnya dengan nada sedih.
Melihat kesedihan menantunya, Abi mengelus kepala wanita itu penuh sayang.
“Abi akan bantu kamu bicara dengan Adit, berlibur lah beberapa hari di rumah ayahmu. Bila perlu matikan saja semua sambungan ponselmu, agar nggak ada yang mengganggu. Jangan khawatir masalah Jovan karena ada Umi dan Abi."
"Mengenai Adit, sepertinya anak itu harus sedikit diberi pelajaran, padahal berkali-kali Abi sudah mengingatkannya agar tidak menyakitimu.”
Kayla menitikkan air matanya tanpa sadar, karena mendengar kata-kata Abi yang begitu peduli padanya. Lalu dia anggukkan kepala dengan penuh rasa syukur. Betapa baiknya Allah telah mengizinkannya menjadi menantu Abi.
***
Hay Hay... jumpa lagi setelah lama nggak up. Sorry baru sempet karena sakit dari kemarin. Bagaimana part ini menurut kalian? Feelnya dapet nggak? Atau Kurang greget kah. Selanjutnya bakal gimana ya Adit. Ckckck?
Klik bintangnya komen,dan follow, ya, reders yang baik hati. Biar aku semangat lanjut.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro