17. Pengakuan dan Pertengkaran
Adit mengendarai mobil dalam diam. Tak ada satu pun dari mereka yang mencoba membuka suara, hingga Adiba yang sebelahnya memilih memecah keheningan.
"Kamu ... mencintai Kayla?" tanya Adiba tanpa menatap Adit. Wanita itu bahkan terus asyik dengan jalanan di luar sana.
Mendengar pertanyaan Adiba, Adit terdiam.
"Entah lah, awalnya aku sempat marah pada diriku sendiri karena kematian Nazwa. Beberapa bulan kami menikah, aku selalu menyakitinya. Bahkan sampai sekarang pun aku selalu menyakitinya."
Jawaban lirih Adit, membuat Adib mengalihkan tatapan ke arah laki-laki itu. Dengan sabar, Adiba menanti kelanjutan kata-kata Adit.
"Tapi setelah aku mencoba menerima kehadirannya, ada perasaan yang membuatku merasa tenang. Kayla mampu membuat hidupku jauh lebih berwarna. Bahkan beberapa hari terakhir perasaan takutku akan kehilangan dia semakin menjadi."
Mendengar kata-kata Adit yang penuh keyakinan, Adiba tersenyum kecut. Wanita itu terus memainkan jari-jari tangan di pangkuannya. Lalu mengalihkan tatapan ke arah depan dengan pandangan kosong lalu berbicara.
"Dulu, aku selalu bermimpi bisa menjadi satu-satunya wanita yang akan memberimu kebahagiaan. Tapi semuanya pupus, ketika kamu tiba-tiba mengatakan ingin menikah. Aku mencoba melupakanmu sekuat tenaga tapi nggak bisa. Lalu kudengar Nazwa meninggal, aku pikir Allah sedang memberiku kesempatan bisa menggantikan Nazwa di sisimu, tapi lagi-lagi aku terlambat. Apa aku salah jika berpikir sejahat itu?"
Perkataan wanita berhijab itu membuat Adit terdiam karena tak bisa berkata-kata. Dia tak menyangka Adiba bisa berpikir sepicik itu.
"Aku kira dulu perasaanku padamu hanya sekedar perasaan seorang adik yang menyayangi kakaknya. Tapi ternyata lebih dari itu, aku mencintaimu, baik dulu atau sekarang. Aku harus bagaimana? Sementara melupakanmu aku nggak bisa. Sedangkan sekarang kamu memiliki Kayla."
Adiba berkata dengan nada lirih tanpa menatap Adit. Sementara air matanya menetes tanpa ia minta.
Adit terpaku, lidahnya kalu tanpa mampu mengucapkan penghiburan apa pun. Pengakuan tiba-tiba Adiba membuatnya bingung. Selama ini dia pikir Adiba telah melupakan perasaannya di masa lalu.
"Aku harus apa, Dit? Aku harus apa agar aku nggak lagi mendoakan hal buruk untuk pernikahanmu? Aku lelah harus mencintaimu seperti ini," sambung Adiba penuh luka.
Adit tertegun saat melihat Adiba tiba-tiba menangis terisak. Kenapa lagi-lagi dia harus menyakiti wanita yang ada dalam hidupnya. Jika boleh memilih, Adit tak ingin menyakiti siapa pun. Namun, nyatanya dia telah gagal menjadi suami yang baik.
Adit memutuskan menepikan mobil dan membiarkan Adiba menangis. Laki-laki itu menepuk-nepuk punggung Adiba agar wanita cantik dengan kulit seputih susu itu merasa tenang. Sama seperti yang dulu selalu dia lakukan saat melihat wanita di sampingnya ini menangis. Sebab Adit tak bisa berbuat apa-apa selain ini. Setelah tangis Adiba agak reda, wanita itu mengangkat kepalanya yang tadi tertunduk agar bisa menatap Adit.
"Terima kasih, aku sudah lebih baik sekarang. Maaf untuk kata-kata aku tadi. Nggak seharusnya aku bicara seperti itu. Aku hanya merasa nggak bisa lagi menahan perasaanku. Setiap kali melihat tatapanmu pada Kayla, aku merasa iri. Andaikan dulu aku nggak memilih pergi, mungkin sekarang aku yang ada di posisi Kayla," sambung Adiba penuh penyesalan.
"Sudah lah, itu berarti Allah nggak menakdirkan kita berjodoh. Aku yakin, di luar sana ada laki-laki yang jauh lebih baik untukmu."
Mendengar kata-kata itu, Adiba menyunggingkan senyum kecil ke arah Adit lalu mengaminkan doa itu. "Ya, amin."
Setelah tangis Adiba reda, mereka memutuskan melanjutkan perjalanan.
♡♡♡
Kayla sedang menyisir rambut ketika Adit keluar dari kamar mandi dengan piama tidurnya. Laki-laki itu baru pulang saat menjelang salat isya. Kayla mengabaikan kehadiran Adit, dan memilih menaiki tempat tidur. Ia merasakan ranjang di sampingnya bergerak, lalu tiba-tiba laki-laki itu bersuara, hingga membuatnya bangun dan menatap sang suami.
"Nggak seharusnya kamu berkata kasar pada Umi."
Kayla tersenyum getir menatap Adit. 'Selalu aku yang salah'. Setelah menatap Adit cukup lam wanita itu berdecap kesal.
"Ck! Mas dan Umi memang sama, selalu saja memojokkan Kayla. Kalian seakan menghakimi Kay. Apa kalian pikir kelakuan kalian lebih baik, hah? Kalian memang sama-sama sok suci," sinis Kayla.
Adit paham sekali kalau istrinya pasti merasa terpojok. Tapi dia merasa harus menegur Kayla mengenai sopan santun. Namun, kata-kata yang dilontarkan istrinya barusan justru membuat Adit terpancing emosi.
"Jaga bicara kamu, Kayla!" Bentak Adit tanpa sadar hingga membuat wanita di depannya terlihat kaget.
Kayla masih berusaha mempertahankan ketenangan, meski batinnya terasa perih mendengar bentakan Adit. Seumur hidup Kayla, ayahnya bahkan tak pernah berbicara dengan nada tinggi pada wanita itu.
"Lalu aku harus berbicara seperti apa? Apa aku perlu mengingatkan, Mas. Jika seorang laki-laki tidak akan disebut beriman bila dia nggak pernah memperlakukan istrinya dengan baik. Harusnya, Mas, tahu hal itu."
Kata-kata Kayla begitu lembut, namun terasa menusuk perasaan Adit. Jika saja laki-laki itu bisa sedikit membuang egonya, mungkin Kayla tak perlu terluka lagi. Namun, Adit sudah terlanjur marah mendengar kata-kata wanita itu.
"Cih! Tahu apa kamu tentang keimanan. Kamu sendiri bahkan nggak pernah menunjukkan bahwa dirimu adalah wanita muslimah yang baik. Lihat caramu berpakaian? Apa ini pantas dipakai perempuan yang sudah menikah? rambut kamu biarkan terbuka, dan lihat?" Laki-laki itu menatap Kayla dengan pandangan mencemooh, dari ujung kepala ke ujung kaki sebelum dia melanjutkan ucapan.
"kamu bahkan bisa dengan leluasa memamerkan lekuk tubuhmu di depan laki-laki lain. Apa kamu nggak sadar ... aurat mu, adalah jalan yang akan menyeretku ke neraka!" Adit berkata dengan nada kembali meninggi.
Kayla memang harus sadar akan statusnya yang sekarang seorang istri karena Adit tak mungkin membiarkannya terus mengabaikan hal itu.
Mendengar kata-kata itu meluncur dari mulut suaminya, Kayla hanya tersenyum kecut. Dengan tenang wanita itu membalas ucapan Adit seakan ucapan suaminya tak berpengaruh apa-apa. Meski di dalam benaknya dia membenarkan ucapan Adit. Tapi tak bisakah dia memberi tahuku dengan cara yang lebih lembut. Batin Kayla.
"Ya ... serendah itu aku di mata kamu, Mas. Aku tahu, aku nggak akan mungkin jadi seperti Adiba atau Nazwa. Mas seharusnya berpikir, yang aku butuhkan hanya bimbingan dan dorongan. Bukan penghakiman," lirih Kayla dengan nada terluka.
Bulir panas di pelupuk matanya terus mendesak untuk keluar. Tapi sekuat hati Kayla tetap bertahan. 'Jangan menangis di depannya Kay! kamu harus kuat. Atau laki-laki ini akan melihat kelemahanmu' Batin Kayla.
"Lalu aku harus menyebutmu apa?" Adit menjawab tak kalah frustrasi, seolah dia membalikkan ucapan istrinya. Demi Allah bukan itu maksudnya. Dia tak ada niat membandingkan Kayla dengan siapa pun, sekalipun itu Nazwa.
"saat aku sedang bekerja, kamu malah asyik bertemu dengan mantan pacarmu. Apa itu pantas dilakukan wanita yang sudah menikah, hah?"
Perkataan suaminya tak ayal membuat Kayla terdiam. 'Apa dia tahu tentang pertemuanku dengan Dimas, tapi kenapa bisa?
"Ma-maksud Mas a-apa?" Kayla tergagap, jantungnya mula berdegup kencang.
"Ya ... aku tahu semuanya, aku melihat semuanya. Ketika kamu dan Dimas sedang asyik berduaan di belakangku. Itu apa namanya kalau bukan selingkuh?"
Kayla hanya diam sambil menatap laki-laki di depannya dengan pandangan terluka. Lagi, Adit tanpa sadar menyakiti Kayla dengan kata-katanya.
Adit memilih mengalihkan tatapan ke arah lain, karena tak ingin menatap mata terluka istrinya.
"Jadi ini alasan Mas bersikap dingin sama aku? Tuduhan mas terlalu nggak berdasar. Apa hak Mas menghakimi aku? Sementara Mas bahkan berbohong padaku soal Adiba. Mas pikir itu nggak menyakitkan pula untukku? Jujur aku lelah kalau terus seperti ini. Aku lelah menghadapi sikap Mas yang berubah-ubah setiap waktu. Mas nggak pernah mau tahu bagaimana perasaanku saat Mas dengan seenaknya menghakimiku seperti ini. Mungkin dari awal pernikahan ini hanya sebuah kesalahan." Setelah mengatakan itu, Kayla menarik selimut dan tidur memunggungi Adit. Dia tak ingin lagi memperpanjang perdebatan.
Sementara Adit hanya bisa terdiam mendengar ucapan Kayla. Sambil menatap punggung istrinya, dia memaki kebodohan sendiri karena terbawa emosi.
Yang tak Adit tahu, di balik punggungnya, Kayla terus menggigit bibir kuat-kuat, berusaha meredam agar tangisnya tak terdengar oleh laki-laki itu. Rasanya sakit sekali mendengar tuduhan Adit yang sekejam ini. Padahal Kayla sudah berusaha menjadi istri yang baik.
****
Si Adit cemburu aja pake ngambek. Gengsinya setinggi langit. Kudu di apakan ya? Ngeselin ckckck
Jangan lupa tinggalkan jejak ya. Dengan follow dan vote, itu berarti kalian sudah mendukung aku agar tetap semangat nulis. Btw maaf bgt baru bisa updet, seminggu lebih aku sakit bahkan sampai di rawat, mohon doanya ya semua.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro