16. Haruskah Aku Menyerah?
Hari ini Adit memutuskan pulang lebih cepat, karena merasa bekerja pun percuma jika yang ada dalam pikirannya sekarang hanya Kayla dan sikapnya yang keterlaluan pada wanita itu. Adit ingin cepat-cepat bertemu sang istri dan meminta penjelasannya tentang Dimas. Agar dia tak dihantui pikiran buruk terus-menerus. Setelah berkendara cukup lama akhirnya Adit memasuki pekarangan rumah. Laki-laki itu bertanya-tanya dalam hati saat melihat mobil mini cooper Umi berada di halaman depan. 'Tumben Umi datang nggak ngabarin' Adit merasa sedikit khawatir kalau-kalau kedatangan Umi akan kembali membuat Kayla sakit hati.
"Assalamualaikum!"
Adit mengucap salam sambil melenggang masuk, begitu sampai di ruang tengah dia melihat Umi, Adiba dan Yani sedang bersama Jovan. Di mana istriku? Adit bertanya dalam hati ketika mengedarkan pandangan ke seluruh sudut rumah tapi tak menemukan keberadaan Kayla.
"Wassalamu'alaikum," jawab semua orang bersamaan.
"Kamu tumben, Dit. Sudah pulang jam segini?" Umi sedikit heran. Mengingat sejak kematian Nazwa putranya menjadi workaholic.
"Adit lagi nggak konsen bekerja. Jadi memutuskan pulang lebih cepat. Kayla mana, Mi?"
"Dia di kamar, baru pulang jalan-jalan dengan temannya." Umi menjawab dengan nada tak suka yang terlihat jelas.
Mendengar jawaban itu, Adit terdiam. Pikirannya mulai kemana-mana, mengingat Kayla juga bertemu Dimas tanpa izin.
"Tadi Ibu pergi sama kamu juga, Yan?" Alih-alih tersulut emosi, Adit lebih memilih memastikannya pada Yani. Dia tak ingin lagi gegabah mengambil keputusan dan berujung menyakiti Kayla.
Yani terdiam ketika Umi memberi kode padanya lewat tatapan mata, agar dia tak memberi tahukan yang sebenarnya. Namun, beby siter Jovan itu, ternyata tak ingin majikannya yang baik hati terkena masalah.
"Ya, Pak, saya juga ikut. Ibu Kayla tadi pergi sama Mbak Gea."
Adit hanya mengangguk paham mendengar penjelasan Yani, sementara Umi terlihat menahan kesal.
Ada rasa lega di hati Adit mendengar jawaban suster Jovan. Setidaknya Kayla tak bertemu Dimas lagi dan dia tak harus adu mulut dengan Kayla hanya karena kecemburuan.
"Umi ke belakang dulu ambil minum buat kamu, Dit."
Adit mengangguk ke arah Umi, lalu mengalihkan perhatian pada Adiba yang terlihat sedang menyuapi Jovan. Sejujurnya dia agak tak nyaman jika sering bertemu Adiba, laki-laki itu takut Kayla salah paham soal wanita ini.
"Kamu ke sini kapan, Di?" Adit mbuka percakapan
Mau tak mau wanita itu mengalihkan tatapannya ke arah Adit, lalu menyunggingkan senyum kecil sebelum menjawab.
"Mobil aku mogok di jalan, kebetulan Umi kamu lewat, dan akhirnya aku diajak mampir ke sini lebih dulu."
Adit kembali mengangguk sebagai jawaban. Lalu mendekati Jovan yang sedang asyik dengan mainan di tangannya.
"Hai jagoan Papa? Bagaimana jalan-jalannya sama, Bunda? Asyik nggak? Kok Papa ditinggal, sih," Adit berkata sambil meraih Jovan dalam gendongan. Sementara Adiba masih berusaha menyuapinya.
"Da Daa!" racu Jovan tak jelas, sambil mengangkat tangannya, dan menunjuk ke arah dapur.
Samar-samar Adit melihat punggung Kayla menjauh. Mangkinkah maksud Jovan adalah Bundanya. Batin laki-laki itu. Adit putuskan mengikuti Kayla ke dapur berniat meminta maaf. Buru-buru ia menyerahkan Jovan pada Yani.
"Aku ke belakang dulu sebentar," pamit Adit pada Adiba. Sementara wanita itu hanya mengangguk sebagai jawaban.
Di dapur, Adit mendengar istrinya dan Umi tengah bertengkar. Terlihat sekali Kayla berusaha menahan kesal. Laki-laki itu pun masih diam di tempatnya, tak berusaha melerai karena ingin melihat sejauh mana Kayla bisa bertahan dengan emosinya.
"Kamu sebenarnya dari mana seharian ini? Kamu seharusnya sadar, kamu itu sudah bersuami. Nggak baik kamu pergi tanpa izin dari Adit," ujar Umi dengan nada sinis.
Adit melihat Kayla memejamkan mata dan menghembuskan napas beberapa kali. Lalu istrinya menatap Umi sejenak, seolah tengah berusaha menahan emosi agar tak keluar dan berujung memaki-maki mertuanya.
Kayla hanya wanita biasa dan dia bukan jenis wanita yang terlalu bisa menahan emosi. Saat hatinya terluka dan benar-benar sakit, dia bisa mengeluarkan semua unek-uneknya tanpa jeda. Tak peduli meski itu akan membuat lawan bicaranya marah.
"Kayla hanya pergi dengan sahabat Kay, Umi." Kayla masih mencoba menjawab ucapan mertuanya dengan nada selembut mungkin.
Adit tersenyum tipis, menyadari istrinya masih tetap berusaha bersabar meski telah disakiti seperti itu.
"Tetap saja kamu salah, bukannya di rumah menunggu suami pulang, malah keluyuran! Ka-"
"Cukup! Kayla capek terus-terusan dipandang sebelah mata oleh Umi. Apa salah Kayla pada Umi? Hingga membuat Umi begitu membenci Kayla. Apa hanya karena Kay nggak berhijab seperti kalian, iya?"
Jujur, Adit tak suka melihat istrinya berbicara dengan nada tinggi seperti itu. Meski memang Umi sudah keterlaluan, tapi biar bagaimanapun Umi juga orang tuanya.
"Kamu ...." Umi menggantung kalimatnya karena tak bisa berkata-kata. Wanita dengan hidung mancung itu benar-benar tak percaya Kayla bisa berkata sinis seperti itu padanya.
Mengabaikan kekesalan mertuanya, Kayla lebih memilih pergi. Namun, langkahnya terhenti begitu melihat Adit berada di ambang pintu. Dia yakin suaminya pasti sudah menyaksikan perdebatan mereka dari tadi.
Hanya beberapa saat Kayla menatap wajah Adit sebelum laki-laki itu menyadari bahwa istrinya kini menangis. Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku telah menyakitinya separah ini. Batin Adit.
Tanpa sepatah kata pun, Kayla berlalu begitu saja. Tatapan dinginnya terasa menusuk hati Adit. Mungkinkan istrinya sudah benar-benar kehilangan kesabaran?.
"Kamu lihat kan, Dit? Istri kamu selalu saja bersikap seperti itu sama Umi. Nggak punya sopan santun," adu Umi kesal ketika Kayla sudah tak terlihat.
"Cukup, Mi? Umi juga keterlaluan. Selalu saja menyalahkan Kayla. Apa Umi nggak pernah berpikir kalau Kayla terlalu baik hingga dia mau menikah dengan Adit yang selalu menyakitinya. Dia dengan tulus menyayangi Jovan yang bahkan tak ada ikatan darah dengannya sama sekali,"
"harusnya Umi berterima kasih, karena berkat dia Adit dan Jovan bisa bahagia. Adit yang salah di sini, bukan Kayla. Jadi Adit mohon, Mi, jangan lagi menyakiti istri Adit dengan kata-kata tajam. Hargai Adit sebagai suaminya. Maaf jika kata-kata Adit menyakiti Umi." Setelah mengatakan itu, Adit pergi begitu saja untuk menyusul istrinya di kamar. Kata-kata tegas Adit membuat Umi kembali syok.
Begitu sampai di kamar, Kayla terdengar sedang mandi. Adit memutuskan berganti baju dan keluar lagi untuk makan sebelum nanti bicara pada Kayla dari hati ke hati. Dia ingin lekas menyelesaikan semua kesalahpahaman mereka.
"Dit, kamu bisa antar Adiba pulang?" seru Umi saat mereka berada di meja makan.
"Adit nggak bisa, Mi, ada pekerjaan yang harus diselesaikan hari ini." Adit berusaha mencari alasan agar Umi tak menyuruhnya mengantar Adiba. Jika terjadi masalah akan semakin rumit, karena Kayla akan semakin terluka.
"Nggak usah, Tante, biar Adiba pulang sendiri saja naik taxi." Adiba menjawab dengan nada kecewa yang di sembunyikannya sebisa mungkin.
"Nggak, Sayang, jarak dari sini ke jalan besar terlalu jauh, kasihan Kamu nanti," Umi berkata sambil menatap Adiba khawatir.
"Ayo lah, Dit. Antar Adiba sebentar apa salahnya, sih. Umi ada Arisan di sekitar sini, ini juga sudah telat."
Kata-kata Umi benar-benar membuat Adit bimbang. Entah lah, Umi selalu saja bersikap seolah-olah sengaja mendekatkan dirinya dengan Adiba. Dengan terpaksa laki-laki itu pun mengangguk walau setengah hati. Adiba tersenyum senang dalam hati.
Sementara di kamarnya, Kayla yang baru saja keluar dari kamar mandi mendudukkan dirinya di tepi ranjang. Wanita itu sama sekali tak memedulikan jika setelah ini Adit benar-benar membencinya, dan menganggap dia wanita jahat karena tadi bicara keras pada sang ibu.
Selama ini kesabarannya sudah lebih dari cukup. Wanita itu pikir percuma saja menjelaskan jika pada akhirnya ia lah yang salah. Semuanya terlalu berat untuk ditanggung sendiri. Rasanya lebih menyakitkan dari penolakan mereka tempo hari.
Selama ini Kayla berusaha tampil sekuat mungkin di depan Adit dan ibunya. Karena dia tak ingin memperlihatkan air mata di depan mereka. Tapi sekuat apa pun, dirinya hanya wanita Biasa. Jika berulang-ulang disakiti pasti akan tumbang juga.
Semua semakin terasa sulit ketika rasa cinta dalam hati Kayla tumbuh semakin cepat dari perkiraan. Sementara Adit tak pernah mencoba mengerti perasaannya.
Suara dering ponsel tiba-tiba berbunyi dan membuyarkan pikiran Kayla tentang pernikahannya yang rumit. Tertera nama Sinta, adik angkatnya, di layar ponsel.
"Assalamualaikum, ada apa, Ta?"
"Waalaikumsalam. Mbak, Bapak sakit."
Apa yang barusan Sinta kabarkan seolah membuat pikiran Kayla semakin bercabang dan ruwet. Kenapa harus di saat seperti ini ya Allah. Batin Kayla sambil memijit pelipisnya yang terasa berdenyut.
"Inalilahi, Bapak sakit apa?"
"Dokter bilang, penyakit ginjal Bapak kambuh. Bapak terus memanggil nama Mbak."
"Ya sudah, insya Allah besok mbak pulang, titip Bapak dulu, ya, Ta"
"Ya, Mbak. Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
Setelah sambungan terputus Kayla mengembuskan napas lelah. Sampai kapan aku sanggup melalui ini sendiri ya Raab? Rasanya lelah sekali.
"Na, bolehkah Mbak menyerah," Gumam Kayla sambil menengadahkan kepala. Mencoba mencari sisa-sisa ketegaran yang berserakan dalam puing-puing kesabaran.
Keputusannya sudah bulat, mau tak mau dia harus mencari jalan untuk menenangkan pikiran. Jika tidak Kayla benar-benar bisa gila. Wanita itu memutuskan bangkit, dan bertekad akan berusaha bertahan dengan sisa-sisa kebesaran hati yang dimiliki. Terlepas jika setelah ini hubungannya dan Adit tak bisa diselamatkan, itu adalah kehendak Allah. Asal dirinya sudah mencoba.
Namun, begitu dia keluar, Umi dan Adiba sudah tak ada, begitu pun Adit. Yani bilang laki-laki itu mengantarkan Adiba pulang. Sementara ibu mertuanya mengatakan akan ada arisan.
Kayla tersenyum miris. Dadanya terasa sesak sekali ketika membayangkan mereka berdua bersama. Bulir panas itu meleleh tanpa bisa dicegah. Rasa sakit, cemburu dan curiga bercampur memenuhi dadanya. Yani yang melihat ekspresi Kayla menatap iba pada nyonya mudanya. Tanpa perlu belajar jadi cenayang untuk tahu betapa menderitanya Kayla saat ini.
"Ibu yang sabar, saya yakin Pak Adit juga mencintai Ibu. Beliau hanya belum menyadari betapa baik dan tulusnya hati Ibu." Kata-kata Yani membuat Kayla tersenyum, lalu menyeka air matanya.
♡♡♡
Gimana menurut kalian part ini? Semakin greget kah? Atau justru membosankan? Kira-kira akan seperti apa hubungan mereka nanti? Benarkah Kayla akan menyerah? Jangan lupa tinggalkan jejak biar semangat lanjut.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro