
Bab 7. Calon Suaminya Wati?
Sebelum subuh Suparmin sudah bangun dan menyiapkan segala keperluan untuk berjualan pagi nanti. Semua dia siapkan sendiri karena tidak ingin merepotkan eumak.
Selesai menyiapkan barang bawaan dan juga beberapa bumbu yang stoknya sudah menipis di warung, Suparmin merebus air untuk menyeduh kopi.
Suparmin menikmati kopi panas sambil bersender di dekat pintu dapur. Menikmati semilir angin subuh yang masih segar dan dingin.
Tap.
Sebuah tepukan mengenai bahunya. Suparmin menoleh dan memperhatikan siapa yang sudah berani mengagetkan dirinya.
"Aaakhh!" Suparmin berteriak kencang seraya menyemburkan kopi panas dari mulutnya.
"Parmin. Kau itu kenapa pagi-pagi buta sudah ribut?"
Suparmin kembali berteriak kencang begitu melihat penampilan eumak yang masih mengenakan mukena.
"Bocah edan!" Teriak eumak sambil mengangkat panci bekas merebus air.
"Eumak. Bikin kaget saja." Suparmin mengusap wajah yang di penuhi peluh. "Kenapa pagi-pagi pakai beginian sih, Mak?" Suparmin menunjuk mukena yang eumak pakai.
"Makanya kalau subuh itu sholat dulu. Ini malah ngopi sambil melamun depan lawang." Omel eumak.
"Kenapa tadi kau berteriak kayak kesetanan?"
Suparmin menatap kearah belakang tubuh eumaknya. "Di dia ... datang tiba-tiba dengan rambut awut-awutan gitu, Mak," jawabnya sambil membuang muka. Malu dan kesal.
Kenapa Sriatun masih ada di kediamannya sampai pagi begini? Apa eumak akan menyuruhnya tinggal? Suparmin hanya bisa menebak-nebak tanpa berani bertanya.
Eumak berbalik dan menatap sosok Sriatun yang masih mematung. "Astagfirullah!" Teriak eumak setelah melihat penampilan Sriatun.
"Ya Allah, Sri. Bikin Eumak jantungan saja. Rambutnya diikat, Nak, jangan awut-awut kayak sarang ayam begitu."
Sriatun mengusap-usap rambut panjangnya yang masih berantakan tanpa merasa bersalah sedikitpun. Sedangkan Suparmin masih menatapnya horor.
Suparmin heran, kenapa eumaknya mengizinkan gadis itu menginap di rumah mereka. Padahal mereka tidak memiliki hubungan persaudaraan atau pun hubungan spesial.
Mentari bersinar cerah menerangi langit Desa Legok Hangser. Suparmin membawa barang-barang yang akan dia bawa ke dekat motor di bantu oleh Sriatun. Sudut matanya tanpa sengaja melihat seorang lelaki muda tengah duduk manis sambil menikmati secangkir kopi dan beberapa kudapan.
Suparmin mendengus sebal, apalagi saat melihat tampang lelaki muda itu. Itu pasti calonnya si Wati, janda ganjen itu dapat dukun pelet dari mana sampai calon suaminya ganteng begitu? Sambil sibuk menyusun barang, tidak henti-hentinya pikiran menerka siapa dan dari mana calon suami tetangganya.
Jujur Suparmin kesal dan iri pada Wati yang dia anggap masih ingusan tapi sudah mau nikah dua kali. Sedangkan dirinya yang sudah bangkotan belum sekali pun merasakan yang namanya menikah.
"Wah, Kang Parmin punya asisten sekarang mah ya." Teriak Wati sambil berkacak pinggang dari halaman rumah sebelah.
Suparmin mendelik. Dia mengisyaratkan supaya Sriatun diam dan tidak mengucapkan apa-apa. Bisa bahaya pikirnya.
"Memangnya kamu, jadi pegawai negeri tapi apa-apa ngerjain sendiri," jawab Suparmin sinis.
"Woiya jelas dong. Jadi perempuan itu harus mandiri. Masa iya apa-apa harus ngandelin orang lain," suara Wati terdengar meninggi.
Mendengar apa yang Wati ucapkan Sriatun tertunduk, merasa dirinya tidak bisa melakukan apa-apa. Yang dia tahu hanya urusan rumah saja. Itu pun sebatas memasak ala kadarnya dan beberes.
"Sombong amat! Ingat, Wati, kamu itu perempuan, tidak akan bisa melampaui laki-laki." Kata Suparmin berapi-api.
Hatinya terasa panas membara jika mendengar Wati selalu bisa menjawab omongannya. Membuat dirinya kehilangan muka bahkan harga dirinya menggelinding entah ke mana.
"Ye, siapa juga yang mau melampaui laki-laki? Mandiri bukan berarti melupakan jati diri dan melebihi kodrat atuh, Kang. Dasar sontoloyo!" Balas Wati tidak mau kalah.
"Halah, dasar kamunya aja pinter balik ngomong."
Sriatun memberanikan diri melirik Wati. Wanita yang dia perkirakan lebih dewasa darinya itu terlihat cukup manis dan juga terlihat pintar. Ada perasaan kagum yang berbaur dengan perasaan rendah diri.
Pikirnya, pastilah Wati wanita pintar dan serba bisa. Berbanding dengan dirinya yang tidak mengerti apa-apa. Bahkan, sekolah saja hanya sampai SMP saja.
"Teh Wati itu manis ya orangnya? Dia juga terlihat pintar." Tukas Sriatun.
Mendengar komentar Sriatun yang dianggapnya besebrangan dengan dirinya, Suparmin langsung mendelik tidak terima.
"Jangan dekat-dekat sama calon mantan janda itu. Nanti pikiranmu ikut oleng seperti dia." Kata Suparmin tegas. Dia tidak ingin Sriatun menjadi seperti Wati yang selalu bisa membalikan omongan dirinya.
Wajah Sriatun tiba-tiba merah merona. Tanpa sadàr dia mengangguk.
Apa mungkin pelet Mbah Kohar sudah bereaksi, sampai-sampai Kang Parmin perhatian begini? Batin Sriatun.
Suparmin memperhatikan Sriatun yang mesam-mesem sendiri. Dia bergidik ngeri membayangkan jika gadis di hadapannya mendadak kesambet.
"Yur, sayur! Sayur lodeh, sayur asem, genjer, kangkungna, Akang, Eteh!" Teriak seorang penjual sayur yang berhenti tepat di depan rumah eumak.
"Telat, Mang. Tadi Eumak udah belanja sayur ka pasar!" Sahut Wati dari teras rumahnya.
"Kalau sudah beli sayurnya, Mamang bawa jengkol sama ikan asin, siapa tahu mau nyambel," jawab si Mamang sayur.
Wati tidak menghiraukannya. Dia lebih penasaran dengan gadis muda yang ada di rumah eumak dan sekarang tengah membantu Suparmin.
"Kang, eta teh saha? Kayaknya aku baru lihat," Suparmin kembali menoleh pada Wati.
"Eh ... dia ...,"
"Saya Sriatun, calon istrinya Kang Parmin, Teh," belum selesai Suparmin berbicara, Sriatum langsung memotong dan menjawab pertanyaan Wati.
Suparmin melotot.
Sedangkan Wati dan lelaki di sampingnya terdiam seribu bahasa begitu mendengar Sriatun berbicara. Tidak jauh berbeda dengan Mamang penjual sayur yang sedari tadi berteriak mendadak diam.
Waktu seakan terhenti di detik itu. Suparmin panik. Wati dan orang-orang yang kebetulan mendengar ucapan Sriatun mematung.
"Sri. Kenapa kamu bicara?" Setelah mengatakan hal itu Suparmin menarik tangan Sriatun dan membawanya masuk rumah.
Suparmin melirik Wati sekilas lalu menoleh pada penjual sayur. Alamat jadi bahan ghibah warga se-Desa Legok Hangser. Mana ibu-ibu kalau mendengar berita sepotong-sepotong dan akhirnya di tambahi sesuka hati. Mengingat hal itu membuat Suparmin sakit kepala mendadak.
"Eh Kang! Kang Parmin! Loh, kok malah pergi?" Wati garuk-garuk tidak gatal melihat Suparmin menyeret Sriatun masuk rumah. Rasa penasarannya semakin menjadi-jadi, tapi tidak bisa berbuat apa-apa selain diam.
"Siapa ya gadis itu?" Wati berbalik dan kembali duduk bersebelahan dengan lelaki muda yang sedari tadi duduk santai.
"Silakan dicicipi kuenya, A, ini si Mamah yang buat." Wati membuka stoples berisi kue nastar.
"Kirain kamu yang buat." Wati tersenyum tipis mendengarnya.
"Saya mah cuma bisa bantuin, A, gak pinter buat sendiri," lelaki di hadapannya tersenyum.
"Pelan-pelan saja belajar. 'Kan Aa juga pengen atuh, ngerasain kue buatan kamu."
Wati mengangguk antusias. Dadanya terasa membuncah bahagia mendengar perkataan sang pujaan hati.
Keduanya larut dalam obrolan santai sambil menikmati camilan. Tanpa Wati sadari sepasang mata menatapnya dari kejauhan. Memperhatikan setiap gerak gerik dirinya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro