Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 20. Akhirnya ...

Setelah menunggu sekian purnama, pada akhirnya Sriatun dinyatakan hamil oleh Wati. Sejak pagi buta Eumak bolak-balik mendatangi kediaman tetangganya itu, sekedar meminta tolong, dan tentunya sedikit paksaan.
Wati terlihat cemberut saat keluar dari kediaman Eumak, pagi-pagi buta di suruh membantu Sriatun memakai alat tes kehamilan atau test pack. Mungkin Wati tidak akan emosi jika orang-orang yang dia bantu sedikit pengertian. Namun, jauh panggang dari api. Kekuarga Eumak memang terkenal berbeda dengan tetangganya yang lain.
Selain ngeyel dan juga sok tahu, mereka sangat susah jika di beritahukan sesuatu hal yang baru, menurut mereka itu mustahil, sangat tidak mungkin, karena dahulu begini-begini dan begitu.

Pun saat mengajari Sriatun menggunakan alat test kehamilan tadi, Wati harus mengeluarkan stok kesabarannya hanya untuk menjaga kestabilan tensi darah dan juga kewarasan. Wati sangat takut jika selesai melakukan test maka dirinya bakal terkena hipertensi dan stres berat.
Usai melakukan test dan melihat hasilnya, Wati segera memberitahu Eumak dan Suparmin jika Sriatun benar-benar hamil dan harus segera di bawa ke bidan desa untuk periksa. Akan tetapi, reaksi Suparmin dan Eumak sangat bertolak belakang. Eumak terlihat bahagia, sedangkan Suparmin terlihat seperti orang linglung.

"Mak, aku pulang. Mau mandi, mau ke sekolah juga." Kata Wati sambil ngeloyor pergi. Rasanya sudah tidak sabar untuk segera keluar dari rumah itu.
"Iya, Wati, hatur nuhun pisan, ya, udah mau bantu Sri," ucap Eumak penuh smeangat. Wati mengangguk, lalu kembali melanjutkan langkah menuju pintu keluar.

"Jaman Eumak, kok, gak ada tusukan es krim buat ngetes orang hamil, ya?" Gumam Eumak sambil menatap tes pack di tangan menantunya.

"Ini teh test pack, Mak, bukan tusukan es krim," sela Sriatun meralat ucapan mertuanya.

"Lah, sama saja. Besok-besok Eumak mau beli juga, mau coba celupin di urin kayak kamu tadi, Sri," kata Eumak semakin bersemangat. Sriatun terperangah mendengar ucapan mertuanya barusan.

"Emang Eumak hamil? Sama siapa?" Tanyanya polos. Eumak terdiam beberapa saat seolah mencerna pertanyaan menantunya.

"Bu bukan buat Eumak, Sri," jawabnya gelagapan.

"Terus buat saha, Mak?" Sriatun menatap Eumak penuh curiga.

"Ya buat si Dona atuh, siapa tahu bisa di tes seperti itu juga,"

"Si Dona 'kan domba, Mak, bukan manusia," Eumak memutar bola mata malas. Kalau di tanggapi terus, obrolannya dengan Sriatun tidak akan ada habisnya. Akhirnya Eumak ngeloyor meninggalkan menantunya dan menghampiri Suparmin yang terduduk lesu.

"Kamu teh kunaon, Parmin? Dengar istri hamil bukannya senang, ini malah loyo macam tidak makan nasi seminggu," Eumak menatap putranya yang terlihat murung dan lesu.

Berkali-kali Suparmin mengembuskan napas panjang dan mengusap wajah kasar. Entah apa yang membuat dirinya terlihat begitu merana.

"Anu, Mak, aku teh bingung, kalau Sri hamil, otomatis harus puasa, dong, ya?" Ucap Suparmin sambil melirik Eumak sekilas, lalu beralih menatap istrinya yang masih memutar-mutar alat test kehamilan di tangannya.

"Puasa naon kamu teh te paruguh?" Kali ini Eumak menatap Suparmin dengan intens.

Lagi, Suparmin mengembuskan napas panjang. Tangannya menggaruk kepala yang terasa gatal di semua tempat. "Min! Ditanya 'tuh, ya." Sentak Eumak seraya melotot tajam.

"Kalau Sri hamil, nanti Parmin gak bisa gituan, dong, Mak," katanya dengan suara pelan. Eumak mendelik tajam mendengar pengakuan anaknya.

"Dasar. Apa dikepalamu isinya begituan semua, hah?" Teriak Eumak murka. Wajahnya terlihat memerah karena menahan emosi.

"Nggak atuh, Mak. Ada banyak hal di sini itu," elak Suparmin, jari telunjuknya mengetuk kepala sendiri.

"Dengar, ya, Min, buka 'tuh telinga lebar-lebar," Eumak menjeda ucapannya sejenak, sekedar mengisi udara ke dalam rongga paru. "Jangan cuma yang enak-enak saja kau pikir, udah tua pun. Sekarang pikirkan itu calon anak kalian, dan segera bawa istrimu ke rumah Bu bidan sana." Titah Eumak dengan napas memburu menahan kesal. Kesal karena dalam kepala anaknya hanya seputaran memadu kasih tanpa memikirkan hal lain.

"Mak," Eumak melirik Sriatun yang memanggilnya.

"Kenapa, Sri? Apa cucu Eumak mau minta makan enak?" Sriatun menggeleng lemah.

"Bukan itu, Mak, Sri cuma malu kalau di periksa Bu bidan nanti," lanjut Sriatun seraya menunduk.

"Malu kunaon?" Eumak merubah posisi duduk supaya bisa berhadapan langsung dengan Sriatun.

Tangan Sriatun membuka perlahan kancing piyama yang dikenakannya lalu membukanya sedikit. Eumak melongo melihat penampakan di hadapannya. Tidak tahu harus berbuat apa atau mengatakan apa, pada akhirnya wanita paruh baya itu memilih beranjak pergi meninggalkan anak dan menantunya.

"Kang, gimana ini? Sri malu kalau nanti disuruh buka baju sama Bu bidan," Sriatun terlihat gelisah.

"Ya mau gimana lagi, Sri," Sriatun mendengus mendengar jawaban suaminya yang terdengar pasrah.

"Atuh da Akang mah, kalau gituan jangan kelewat semangat, jadinya begini 'kan." Gerutu Sriatun sambil tangannya sibuk membenahi kancing pakaian.

"Kamu mah, Sri. Kalau Akang gak semangat, yang ada nanti gak jadi-jadinya. Tuh buktinya, kita bakalan punya bayi sekarang," Sriatun mengangguk pelan. Apa yang dikatakan suaminya mungkin ada benarnya, kalau mereka tidak semangat, mana mungkin bisa punya anak pikirnya.

"Iya juga, ya, Kang."

Keduanya kembali terdiam, larut dalam pikiran masing-masing. Sriatun mmebayangkan jika kelak sudah melahirkan, sedangkan Suparmin masih bergelut dengan pikirannya sendiri.

'Duh, semoga saja Bu bidan ngijinin nengok sarang belut. Kasihan dia kalau harus disuruh puasa sampai Sri lahiran' batin Suparmin sembari membuang napas kasar.

Sriatun menatap suaminya yang terlihat anteng melamun. 'Apa Kang Parmin mikirin lagi ngajak main anaknya, ya?' Batinnya. Sudut bibirnya terangkat, melukiskan sebuah senyuman tipis nan manis. Namun, senyuman manis itu seketika hilang saat teringat awal mula hubungannya dengan sang suami. Raut ceria seketika hilang, tergerus gelombang cemas yang tiba-tiba melanda.

Sepanjang hari pikiran Suparmin benar-benar terkuras hanya pada satu hal, bahkan berkali-kali dia mendapat komplen dari pelanggan karena salah orderan. Hingga sore menjelang, Suparmin pulang ke rumah. Rencananya dia akan mengantar sang istri untuk periksa ke bidan desa.

"Sri, kamu sudah siap?"

"Iya, Kang, Sri udah siap dari tadi siang," Suparmin menatap istrinya yang sudah berdandan sedemikian rupa. Dahi Suparmin nampak berkerut melihat raut wajah istrinya yang terlihat murung. "Apa ada masalah, Sri?"

Sriatun terperanjat mendengar pertanyaan yang terlontar dari bibir suaminya, menggeleng lemah seraya menampilkan senyuman palsu. Sekiranya untuk saat ini dia bisa mengelabui semua orang. Entah sampai kapan dia akan mampu menyimpannya.

"Sri, malah melamun." Tegur Suparmin ketika menyadari istrinya masih mematung.

"I-iya, Kang, ayo kita berangkat,"

"Jangan banyak pikiran, Sri, kata si Wati, bisa berpengaruh sama si Utun, kamu harus santai, seneng hati dan banyak makan makanan bergizi katanya," Suparmin menarik tangan istrinya dan mengajaknya untuk segera keluar rumah.

"Iya, Kang, tadi teh Sri juga dengar waktu Teh Wati bicara, tapi, apa Akang senang kalau kita bakalan punya anak?"

"Ari kamu, tentu saja Akang senang. Cuma, Akang teh lagi mikir, ini belut apa masih bisa nengok sarangnya selama kamu hamil? Nanti mau tanya ke Bu bidan, semoga bisa." Sriatun melongo. Jadi, yang menjadi beban pikiran suaminya adalah belut listriknya itu saja.

Setelah mendengar pengakuan suaminya, Sriatun ikut memikirkan hal yang sama. Selama ini hampir setiap malam mereka habiskan untuk lembur dikasur. Dan sekarang beban pikirannya bertambah membuat kepalanya mendadak pening.

Oalah, Sri, Sri 🤪
Kira-kira sama Bu bidan dibolehin gak, ya? Wkwkwkkk ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro