Episode 1 [Asal Muasal]
Dikisahkan pada suatu tahun lahirlah seorang putri cantik dari keluarga sederhana di perkampungan yang orang sebut dengan kampung Raya. Perkampungan bernuansa melayu yang letaknya tidak jauh dari kota. Ya, hanya sebatas parit 10 meter. Bayi itu diberikan sebuah nama yakni Shinta Naomi Saharaz Eliaz Putri Edi Tikno. Dan tertulis di akta "Shinta Saharaz E.P. Edi Tikno".
Kumpulan nama itu adalah nama-nama yang sulit dieliminasi oleh sang Ayah. Begitu pula dengan ibunya yang tak mau kalah. Awalnya, mereka berniat mencarikan nama yang unik dan pastinya cantik. Tapi lagi-lagi, ini hanya masalah sepele yang sangat menyulitkan sang anak. Padahal, nama anak pertama mereka tidaklah serumit itu. Baik ayah maupun ibunya dengan singkat memanggil "Shinta".
"Cobelah, macam mane aku ndak kesal? Ujian Nasional tadik, 25 menit habis buat name, jak." (Cobalah macam mana aku gak kesal? Ujian Nasional tadi, 25 menit habis untuk nama aja.) Ujar Shinta dengan logat melayunya.
Umumnya, masyarakat di Pontianak menggunakan dialek melayu Indonesia. Kata-katanya tidak jauh berbeda dengan bahasa Indonesia.
Hanya saja untuk kata yang berakhiran -a dan -i dibaca e dengan lidah di langit-langit. Saat ini Shinta tengah menghadapi UN dan pagi tadi sesi pertama baginya.
Fitri hanya tersenyum simpul menikmati rindangnya pohon dan langit yang memerah tidak peduli dengan celoteh sorenya. Angin sepoi-sepoi membuat mereka tahan duduk di ranting pohon Ketapang yang tingginya mencapai 5 meter.
Bertengger di pohon setiap sore adalah rutinitas yang kalau orang bilang "dilakukan salah, tak dilakukan dosa". Anggap saja ini hobi.
"Dah biase dah." (Sudah biasa). Ya, paling tidak Fitri dapat mengusap dada karena kebaikan kedua orangtuanya. Ia hanya punya nama "Fitri" titik tidak pakai putri-putrian.
Fitri tersenyum manis yang dibuat-buat, menaruh tangannya di pundak Shinta.
"Mungkin dulu orangtuamu susah dapatin kau. Jadilah nama sepanjang itu. Ingat, nama adalah doa." Nasihat Fitri kali ini dengan gaya bahasa Indonesia sehari-hari. Ya, mereka tidak selalu berdialek melayu.
"Oh, berarti namamu gak ada artinya lah ya. Hahaha...." Celetuknya mengolok. Seketika senyum rona kebahagiaan itu menjadi dingin. Tak bertahan lama, tawa penuh kepuasan Shinta berangsur sunyi.
hahaha... haha... ha
Kemudian, gelagat Fitri seperti sedang mengobservasi keadaan. Belum sempat menunaikan amarah segera Shinta berteriak, "Kabur...." Ia melompat menuruni pohon itu tanpa kendala.
Percayalah tubuh licin tak bersisiknya selalu lolos dari apapun. Namun sayang, ia tidak memperhatikan sebuah ranting kering merobek kaus merah marunnya. Ia meringis kesal. Posisi kali ini 1:1.
Giliran Fitri yang menertawakannya, "Azab sahabat tak tahu diri." Timpalnya.
Sebenarnya, Fitri adalah sahabat yang baik. Selama ini Fitri banyak berjasa untuknya. Pendengar yang baik, penasehat terhormat, dan masih banyak gelar yang pantas untuk menggambarkan seorang Fitri. Ada hal unik yang dimiliki Fitri dan hanya ia yang mengetahuinya.
Satu-satunya manusia yang tidak akan pernah punya haters adalah Fitri. Kok bisa? Dahulu kala, kelahiran Fitri kecil sangat dinanti-nantikan oleh sang kakek. Karena saat itu kakeknya merasa umurnya tidak akan lama lagi. Namun, takdir Tuhan berkata lain. Kakeknya terlebih dahulu meninggal dan beliau menitipkan pesan bahwa ia akan selalu menjaga cucunya selamanya.
Lalu hubungannya apa? Setiap ada orang yang mengganggu Fitri atau membuatnya kesal akan mendapat langsung ganjarannya dalam 1×24 jam.
Dan hal itu bermula ketika Fitri kecil masuk sekolah. Setiap anak yang mengganggunya akan sakit. Sakitnya berbeda-beda bisa demam, muntaber, pusing, dan lain-lain. Akibatnya, sekolah itu diliburkan untuk di-fogging.
Kepala sekolah mengira sedang musim DBD padahal karena si Fitri. Kalau yang demam segelintir anak tidak masalah, ini hampir satu sekolah. Mungkin, satu sekolah bully dia. Wajar saja, meski sering berburu sinar UV bersama Shinta, kulitnya nyaris transparan *putih cemerlang. Fitri memiliki kecantikan khas wanita borneo.
Awalnya Shinta merasa persahabatan ini tidak akan bertahan lama mengingat kejahilannya yang melampaui antariksa. Hampir setiap hari ia harus menyantap karma-karma buruknya. Berjalannya waktu ia benar-benar terbiasa seperti saat ini.
Sepanjang jalan pulang dibiarkannya rambut pirang matahari itu terurai. Sedikit menghindar dari penglihatan tetangga. Tapi pastilah ia kelihatan, lagipula anak mana yang maghrib begini masih berkeliaran.
Cukup mudah mengenali Shinta. Bukan karena kecantikannya, jelas ia kalah telak dari Fitri. Melainkan karena warna kulit eksotisnya, coklat mengkilap sangat indah. Tidak ada anak seantero kampung Raya ini yang punya kulit secantik itu. *Karena hanya dialah yang tahan panas-panasan membakar diri di bawah matahari.
Maka, Bu Nur yang biasanya mencuci piring di pinggir sungai menggodanya.
"Ryan udah jadi Rena, ye?" Jelas ibu itu sedang bercanda pikir Shinta tak ingin berburuk sangka.
"Ndak, Bu, masih Handoko." Sahutnya tak bersemangat meninggalkan tawa kecil mereka merambat sepanjang sungai. Kampung Raya bisa dibilang tidak terlalu jadul tidak juga modern.
Letak kampung yang tepat di tepi sungai membuat sebagian besar aktivitas dilakukan di sungai. Mulai dari mencuci piring, mencuci pakaian, mandi, dan masih banyak lagi. Tapi Shinta tinggal sekitar 500 meter dari sini. Jadi, ia tidak perlu repot-repot mandi ke sungai karena sudah air PDAM.
Seperti biasa Yanti, ibunya Ryan duduk dengan beberapa pakaian serta benang berserakan di kanan dan kirinya. Tak lupa siaran FTV kesayangannya. Kali ini berjudul "Ibuku anak dari ayah tiri paman dari sepupuku dan mantan ayahku". *Makin kesini silsilah keluarga makin gak jelas.
Ibu tidak menyadari tingkah anehnya. Baguslah, lebih baik sekarang ia mandi, pikirnya dalam hati. Percaya atau tidak, orang tua Shinta amatlah dramatis. Tak jarang cara mereka menirukan dialog pemain FTV menimbulkan keganjalan baginya. Lihat saja nanti.
Lepas berpakaian, Shinta merasakan perih di punggungnya. Ternyata ranting sore tadi meninggalkan sayatan kecil.
"Aduh kan dosanya cuman satu kenapa karmanya double. Fitri curang ni. Sekarang gimana, mana perih lagi. Minta tolong ibu ajalah." Entah akan diapakan ibu sayatan itu. Dibumbui garam atau ditaburi bunga kubur.
Rumah yang ditempati Shinta dan keluarga tidak besar tidak pula terlalu kecil. Dengan tiga kamar dan satu WC yang terletak di dekat dapur. Gubuk itu layak untuk berteduh.
Shinta berdiri di ambang pintu kamarnya, diliriknya kamar kakaknya yang tertutup. Itu berarti kakaknya sedang pergi. Kakaknya memang tengah sibuk mencari pekerjaan. Sudah setahun ia menganggur setelah sempat bekerja di sebuah perusahaan di Pontianak. Ia mengundurkan diri karena alasan adanya permainan orang dalam.
"Kakak gak di rumah, Ayah udah tidur duluan. Kenapa aku gak punya pilihan lain selain Ibu?" Beberapa saat ia bertengkar dengan batin sendiri lantas menyerah.
"Ibu...." Sengaja dilembut-lembutkan seperti hendak mati. Sedang ibu masih sibuk dengan pakaiannya yang sedari sore belum rampung juga. Kegiatan menjahit pakaian memang baru bisa ibunya lakukan menjelang malam karena dari pagi hingga sore mereka sibuk menoreh (menyadap karet).
"Iya, Shin, kenapa ngomongnya pelan betul. Sakit parah, udah waktunya kali tuh." Mata dan tangannya masih fokus dengan pakaian. Shinta mengambil posisi di samping ibunya dengan perasaan campur aduk mendapat sambutan tak menyenangkan. Ragu-ragu ia pun bersuara.
"Bu, baju Shinta robek lagi."
"Apa?" Ibu terkejut bukan kepalang sampai-sampai baju yang disusunya itu tumbang tak bersuara.
Dibiarkannya pakaian itu, "Astaga, Shinta. Kamu lihat ini tumpukan baju, baju kamu semua! Seharian ibu ngejahitnya pakek mata empat. Lalu ada koyak lagi?" Cerca ibu tanpa ampun. Shinta kelabakan kala ibunya mencengkram kuat pernapasan.
"Ibu jangan gitu dong. Shinta ndak sengaja."
"Jatuh dari pohon setinggi 5 meter memang gak disengaja. Tapi di-setting kan?" *Tahu dari mana istilah setingan.
"Ya bukan gitu, tapi-"
"Sana ibu udah capek." Tentu saja mata ibunya sudah tak mampu kalau harus menjahit lagi *padahalkan bajunya udah masuk keranjang.
"Ibu...." Persis tokoh anak yang ditinggal ibunya, ini hanya kebetulan pemirsa.
"Jadi sekarang kamu mau apa?" Ibu menelungkupkan tangan di kening.
"Bu, punggung Shinta luka." Kembali ke maksud awal.
"Ha luka?" Suara ibu berganti khawatir.
"Ih, Ibu lebay deh."
Insting keibuannya direndahkan, ibu pun mengancam, "Mau malam ini kamu ibu kawinkan?"
"Hah, Ibu becandanya estetik benar. Ha ha...."
"Nggak, Ibu serius!"
"Is, Ibu ni. Ujian aja baru tadi pagi. Ijazah sarjana belum keluar, SMA belum kelar."
"Makanya kamu jangan buat ibu marah. Kamu itu sudah dewasa, sudah 17 tahun. Jangan lagilah rusak pakaianmu apalagi tubuhmu sama hal-hal gak guna begitu. Udah gak pantes." Shinta malah merasa omelan ibunya berlebihan membahas-bahas masalah nikah. Out of topic. Ngeh-kan sama gaya bahasa ibunya Shinta beda dari tetangga.
"Ya udah sini, Ibu lihat. Mana yang luka." Ibu mengalah.
"Ini." Kemudian ibu mengoleskan obat merah.
"Shin, nanti kamu mau kuliah kemana?" Tanya ibu setelah sejenak sunyi. Suaranya kembai normal. Barangkali, lengang tadi dipakai ibu berselancar ria dalam pikirannya.
Kebetulan sekali ibu bertanya. "Shinta mau ke Jogja boleh, Bu?"
"Tanya sama Ayah dulu, semua keputusan di tangan Ayah." Jawaban ibu antara ia dan tidak yang tak jelas. Seolah sudah tahu ia akan pergi jauh namun enggan melepas.
"Ok. Oh iya Bu. Kata Fitri, kakaknya baru pulang dari Jogja." Coba perhatikan, dalam banyak suku melayu kakak laki-laki biasanya disebut 'Abang'. Lain halnya dengan keluarga ini, jelas ini ulah ayahnya. Ketika orang sudah menjadi suami istri maka lama kelamaan keduanya akan menyatu dalam server.
"Oh iya, kapan?"
"Tadi pagi. Fitri bilang di tempat kakaknya lagi nyari pekerja yang lulusannya sama kayak kak Danu."
"Jadi kalian mau pergi berdua. Meninggalkan ayah sama ibu. Fine. Gak masalah." Sindir ibu penuh kendali. Shinta membalikkan badan, menilik ibu yang ternyata sudah menunduk.
"Bu, ini semua untuk kebaikkan kita juga." Ucapnya lantas memeluk ibu.
"Ibu juga tahu. Emang siapa yang gak tahu?" *Waduh ibu ngegas banget, dasar ibu-ibu matic. Tak lama terdengarlah pintu diketuk. Dari balik pintu buntalan sosok Danu muncul. Cepat-cepat mereka mengusap air mata.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro