Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 1

Lee duduk di kursi kerjanya dengan wajah yang penuh kelelahan. Dia memandangi layar komputer yang menampilkan berita ekonomi global terkini. "Ekonomi dunia sedang kurang baik, banyak perusahaan tumbang dan tidak mampu bertahan," begitu yang tertulis di berita utama. Lee menghela napas panjang, merasakan penat yang semakin menghimpit pikirannya. Sambil memijat pelipisnya yang terasa pening, ia bergumam pelan, "Huh! Aku harus segera bertindak."

Perlahan, Lee bangkit dari tempat duduknya. Matanya menelusuri setiap sudut ruangan kantor yang sudah menjadi bagian dari hidupnya selama hampir delapan tahun. Pandangannya tertuju pada papan nama di atas mejanya yang bertuliskan "Manggala Sea Corlee". Lee meraih papan nama tersebut, mengangkatnya sejenak, lalu mengulum senyum tipis sebelum meletakkannya kembali. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" gumamnya lagi, kali ini dengan nada yang lebih lirih.

Pikirannya melayang pada berita yang baru saja ia baca. Keadaan ekonomi global yang sedang kacau tidak hanya mengguncang dunia luar, tapi juga mengguncang perusahaan yang didirikannya dengan susah payah. Nilai penjualan perusahaan terus merosot, sementara biaya produksi melonjak tak terkendali. Setiap hari, ia merasa seperti berjalan di atas garis tipis antara keberhasilan dan kebangkrutan. "Butuh suntikan dana, kerja sama dengan perusahaan lain, tapi siapa yang bisa diandalkan saat ini?" pikir Lee dengan penuh kekhawatiran. Teman-teman bisnisnya juga tengah menghadapi situasi yang sama. Situasi ini membuatnya semakin sulit untuk bergerak dan mencari solusi. "Huh!" desisnya lagi, frustasi.

Di tengah lamunannya, suara dering telepon memecah kesunyian. Lee meraih gagang telepon di mejanya, "Ya, halo?" suaranya terdengar datar.

Dari seberang sana, terdengar suara lembut sekretaris pribadinya, "Pak, ada tamu untuk Bapak. Tuan Besar ingin sekali bertemu dengan anda."

Lee terdiam sejenak sebelum menjawab, "Hemm, suruh dia masuk, Nat." Dia meletakkan kembali gagang telepon, mencoba mengendalikan emosinya yang campur aduk.

Tak lama kemudian, pintu ruangannya diketuk pelan, lalu terbuka. Lee menoleh dan melihat sosok sang ayah yang berjalan mendekat dengan wajah cemas. "Ada perlu apa Papa datang ke kantor?" Lee langsung bertanya tanpa basa-basi.

"Lee, Papa baru saja mendapat telepon dari Wanda. Mamamu dan Tessa sedang bertengkar hebat. Kali ini kamu harus pulang dan menyelesaikannya," kata sang ayahnya dengan nada serius.

Lee memijat pelipisnya lagi, kali ini karena masalah baru yang tiba-tiba muncul. "Astaga! Ada apa lagi, Pa? Maaf jika Lee tidak sempat mengaktifkan ponsel, tadi sedang sibuk," jawabnya dengan nada menyesal telah mengganggu jam kerja sang ayah dan menambah beban pikirannya.

"Papa gak tau, Nak. Its ok, sebaiknya ayo kita pulang dulu saja," desak ayahnya, nada suaranya penuh kekhawatiran.

Lee melirik jam di pergelangan tangannya. Waktu terus berjalan, tapi masalah terus datang tanpa henti. Tanpa banyak bicara lagi, dia meraih kunci mobil yang tergeletak di meja, lalu menatap ayahnya. "Ayo, Pa," ucapnya singkat, dan mereka berdua segera keluar dari ruangan, meninggalkan sejenak dunia bisnis yang penuh tekanan.

Lee dan Jaya, ayahnya berjalan tergesa keluar dari gedung menuju area parkir perusahaan. Begitu mereka masuk ke dalam mobil Lee mulai melajukan mobilnya menembus padatnya jalanan ibu kota.

***

Setelah makan siang yang cukup tenang, suasana rumah mulai memanas ketika Tessa dan ibu mertua, yang juga ibu dari Lee, mulai mendiskusikan topik yang sensitif. Mereka duduk di ruang tamu, dengan Tessa yang tampak gelisah di ujung sofa, sementara ibu mertua duduk tegap di seberangnya, dengan tatapan tegas.

"Apa kamu benar-benar tidak ingin memikirkan kembali soal anak, Tessa?" tanya ibu Lee dengan nada suara yang dipenuhi harap.

Tessa menghela napas panjang, menatap lurus ke depan. "Ma, Tessa sudah memutuskan. Aku tidak ingin punya anak, tidak sekarang ataupun nanti. Karirku sedang berada di puncaknya, dan aku tidak mau mengorbankan itu semua."

Ibu Lee menatap menantu perempuannya dengan rasa kecewa yang semakin dalam. "Tessa, Lee dan Mama sudah lama menunggu kabar baik itu. Tidak bisakah kamu mempertimbangkannya? Kamu sehat, kamu sempurna. Apa susahnya mengandung seorang anak?"

Dengan nada yang lebih tegas dan sedikit kesal, Tessa menjawab, "Gak bisa, Ma. Aku sudah bekerja keras membangun karirku dari nol. Aku tidak mau semuanya terganggu hanya karena kehamilan dan harus mengurus bayi. Aku gak mau kerepotan, Ma. Aku gak siap kalau waktuku habis untuk mengurus bayi."

"Jaga bicaramu, Tessa," tegur ibu Lee dengan suara yang menahan amarah. "Kamu ini wanita, bagaimana bisa kamu berkata seperti itu? Mama tidak minta kamu hamil sekarang juga, tapi mungkin nanti, setelah kontrak kerjamu habis. Mama janji, Mama yang akan mengurus bayi kalian tanpa membebanimu sedikitpun. Mama cuma minta waktumu sembilan bulan saja untuk hamil, dan Mama akan bayar setiap waktu yang kamu habiskan untuk mengandung cucu Mama. Setelah itu, terserah kamu mau apa. Apakah itu juga tidak bisa?"

Tessa menatap ibu mertuanya dengan tatapan yang tajam, lalu berkata dengan nada datar, "Maaf, Ma. Tessa tetap tidak bisa. Kalau Mama ingin punya cucu, Mama bisa mengadopsi anak dari panti atau mencarikan seorang wanita muda untuk Lee yang bersedia memberinya anak."

Wajah ibu Lee memucat, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Tessa! Apa kamu sudah tidak waras menyuruh Mama mencarikan madu untuk Lee? Ini bukan hanya tentang Lee atau Mama, ini tentang masa depan keluarga kita!"

Tessa berdiri dari tempat duduknya dengan cepat, wajahnya semakin tegang. "Lakukan saja, Ma. Toh Tessa juga tidak mungkin memberikan anak untuk Lee."

Ibu Lee terdiam, merasa terluka mendengar ucapan menantunya. "Tessa, Mama mohon pikirkan ini baik-baik. Ini bukan hanya tentang dirimu, tapi juga tentang Lee, tentang keluarga besar ini."

Namun, Tessa tampak tidak tergoyahkan. Dia melangkah keluar ruangan menuju kamarnya, meninggalkan ibu Lee yang masih duduk terpaku di ruang tamu. Tidak lama kemudian, Tessa keluar dari kamar dengan sebuah koper besar, menandakan bahwa ia akan pergi dalam waktu yang cukup lama.

"Tessa, tunggu!" seru ibu Lee, berusaha menahan langkah menantunya.

Namun, Tessa sudah tidak lagi ingin mendengar. "Maaf, Ma. Tessa permisi, kita bicarakan ini lain waktu. Tessa sedang buru-buru."

Dengan cepat, Tessa menyeret kopernya ke luar rumah, menuju mobil yang sudah menunggu di halaman. Tanpa banyak bicara lagi, ia memasukkan kopernya ke bagasi dan segera meminta sopir untuk melajukan mobil.

Sementara mobil Tessa melaju menjauh dari rumah, ibu Lee hanya bisa berdiri di ambang pintu dengan perasaan kecewa. Hatinya terasa sangat berat, tidak tahu harus bagaimana menghadapi situasi ini. Dibenaknya, pertanyaan tentang masa depan keluarga mereka terus bergema tanpa henti.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: