9 : Tinggal Bersama
Keduanya sampai di rumah sakit tempat ibunda Alea dirawat. Saat itu Ayah Lea terlihat buru-buru. Kecemasan pun bertambah meliputi Alea. Bukan hanya itu, dia juga panik seketika. Takut terjadi sesuatu dengan bundanya.
Tak lama kemudian, Kanaya dan Steve datang. Jeje sampai kaget, kenapa orang tua dia tiba-tiba ada di sana?
"Ayah! Bunda nggak apa-apa, kan?" tanya Alea cemas.
"Lea, kamu datang sama Jeje? Kok bisa?"
Jeje tidak menjawab, dia hanya diam sambil memperhatikan kedua orang tuanya yang terus menatapnya penuh curiga.
"Nggak sengaja ketemu, Yah. Tadi ketemu di cafe," jawab Alea. Jeje mengalihkan pandangan. Malas kalau teringat pertemuan mereka tadi, kalau saja Lea tidak menangis dan membuatnya berujung malu, mungkin dia tidak berada di sini sekarang. Ah, tapi ada yang masih berbekas, yaitu ciuman Alea di pipinya.
"Harry, apa istri kamu jadi dipindahkan ke Singapura?"
Ucapan Steve itu membuat Aleandra kaget. Singapura? Kenapa dia baru tau kalau bundanya akan dipindahkan ke sana?
"Apa? Bunda mau dipindahkan ke Si-singa- singa ..."
"Si-nga-pu-ra." Jeje mengejanya untuk Alea. Gadis itu langsung melotot ke arah Jeje. "Aku nggak tanya kamu Om!"
Jeje menggeleng malas, sudahlah terserah ucapnya membatin.
Alea menangis sambil memeluk Ayahnya. "Lea mau ikut, Lea mau nemenin bunda, Yah."
Jeje kembali menggeleng melihat sikap Alea, benar-benar seperti anak-anak. Seperti itu bilang bukan bocil. Sikapnya benar-benar seratus persen bocil.
"Lea, Ayah nggak mungkin izinin kamu ikut. Minggu depan kamu ujian dan sebentar lagi kamu kelulusan. Bulan depan kamu wisuda. Kamu nggak boleh pergi kemana-mana, Sayang."
Kanaya menghampiri Alea. "Kamu tinggal sama Tante ya, kasihan bunda kamu. Kata dokter, di Singapura lebih bagus, karena alatnya lebih canggih. Bunda Alea akan lebih cepet sembuh," tuturnya sembari mengelus rambut panjang gadis itu.
"Iya, kamu jangan cemas, Harry. Saya dan Naya akan menjaga Alea. Pikirkan saja keadaan Taniana." Steve menambahkan.
"Lagi pula ada Jeje, dia pasti bisa jaga Alea." Kanaya tersenyum ke arah anaknya. "Ya, kan, Je?"
Jeje membulatkan Matanya. "Kok, jadi aku?" Tunjuknya pada diri sendiri.
Harry tersenyum. "Terima kasih, maaf jadi merepotkan semuanya. Saya titip Aleandra ya. Maaf kalau sikap Alea masih kekanak-kanakan. Tapi, dia itu manis kok. Lea, kamu jangan nakal ya."
"Manis, ya," gumam Jeje pelan. "Manis apanya," tambahnya sambil mengurut kening.
Kanaya mengiyakan itu.
"Iya, Alea manis banget. Aku suka banget sama kepribadian Alea, lucu dan ceria. Kamu jangan sedih ya, Tante akan selalu jaga kamu. Kamu akan Tante anggap anak sendiri," ujarnya sambil mengusap puncak kepala Alea yang masih menangis karena tidak mau ditinggalkan orang tuanya. Tapi mau bagaimana lagi, ini keadaan yang sulit. Dia harus ujian, tidak mungkin ikut ayah dan bundanya.
Tidak ada pilihan lain, Alea hanya bisa menerima. Meski dia tak pernah membayangkan kalau dia akan tinggal di rumah Kanaya dan Steve. Begitu juga Jeje, Kanaya meminta agar Jeje tinggal di rumah mereka dan tidak ke apartemen dulu sementara waktu selama Alea ada di rumah. Alasan Kanaya adalah Jeje harus menjaga Alea, setidaknya mengantar Alea pulang pergi ke sekolah dan juga menemani Aleandra di rumah mereka.
Gue harus bareng terus sama itu om-om? Astaga kalau bukan demi bunda, gue nggak akan mau!
Jeje menolaknya, tapi melihat kondisi Tania, Jeje jadi merasa iba juga. Apalagi sejak melihat kondisi Tania, Alea mendadak jadi lebih pendiam dan murung. Gadis itu pasti sedih, padahal biasanya ia sangat berisik.
Mikir apa sih kamu, Je! Ingat ini hanya karena kemanusiaan!
***
"Lea, ini kamar kamu ya. Jangan sedih lagi. Tante yakin, setelah berobat nanti, bunda Lea akan sembuh seperti sedia kala."
"Iya, Tante. Makasih yah. Maaf, Lea jadi merepotkan Tante. Padahal Lea nggak apa-apa di rumah sendirian," ucapnya sambil mengusap air mata yang luruh dengan sendirinya. Rasa sedih membuatnya ingin menangis. Pertama kalinya Alea berada jauh dari kedua orang tuanya.
"Jangan dong, kalau sendiri di rumah. Nanti Tante cemas, kasihan kamu. Mendingan di sini. Ada Tante, ada Om, ada Jeje, kan?"
Mendengar Kanaya menyebut nama Jeje membuat Lea bertambah sedih. Apalagi bersama om-om itu, gue beneran merasa nggak nyaman.
"Iya, Tante," angguk Alea hanya tidak ingin membuat Kanaya kecewa.
"Anak manis, sekarang kamu istirahat yah. Kopernya taruh di dalam lemari aja ya, itu kamar mandinya, kamu bisa mandi dan langsung istirahat aja."
Alea mengangguk lagi. "Oke, Tante. Makasih yah."
Kanaya mengusap punggung tangan Alea. "Selamat istirahat, Lea."
"Iya, selamat istirahat, Tante."
Sambil menarik napas dalam-dalam. Aleandra mendudukkan badannya ke atas ranjang.
"Gue nerasa asing di sini, kenapa gue harus tinggal di sini sih? Bunda, Ayah, Lea kangen. Lea mau pulang aja ke rumah."
Ia menyentuh dadanya yang terasa sesak. Ia menangis seperti anak kecil sampai pintu kembali terbuka dan ia langsung menghentikan tangisnya.
"Kamu masih nangis? Kamu kayak anak kecil tahu."
Ternyata yang membuka pintu kamar Alea adalah Jeje.
"Om ngapain sih! Ganggu orang tahu!"
"Ganggu kamu nangis maksudnya?"
Lea menyebikkan bibirnya. "Aku tuh mau mandi, ngapain Om kesini!"
Jeje mengusap wajahnya, lalu masuk ke kamar Aleandra.
"Kamu lihat itu foto siapa?" Tunjuk Jeje pada sebuah frame foto. Itu adalah foto dirinya.
"Ini tuh kamar saya."
Lea membelalakkan mata dan tak menyangka. Dia juga tidak melihat ke arah sana, dia tidak sadar kalau itu foto Jeje. "Astaga, terus kenapa aku di suruh tidur di sini?"
Jeje menghela napas lagi. "Karena kamar lain belum di beresin. Saya cuma mau ambil benda milik saya, lihat di sana?" Tunjuk Jeje lagi pada tas yang berada di atas meja dekat ranjangnya.
Lea mengangguk. "Oke, yaudah ambil aja terus keluar. Aku kan mau mandi."
"Siapa juga yang mau berlama-lama sama kamu, jangan ge-er!"
"Iya, Om. Aku juga nggak ge-er. Aku juga nggak ngarep."
Tidak ada habisnya kekesalan Jeje jika terus beradu argumen dengan Lea.
"Dasar bocil ngeselin. Baru aja anteng sebentar, sekarang udah berkicau lagi kayak burung beo baru belajar ngomong."
Lea kesal karena disamakan seperti burung. Tapi, ia sedang tidak mood berdebat dengan Jeje sekarang.
"Terserah, Om cepetan keluar. Aku mau mandi,"
Jeje segera mengambil tasnya setelah itu langsung keluar dari kamar. Ditutupnya agak kencang pintu kamar tersebut sampai membuat Alea mengurut dada.
"Dasar Om ngeselin! Astaga, Lea kamu harus tahan diri kamu. Dan yang terpenting kamu jangan terlalu benci, biasanya kalau terlalu benci nanti bisa jadi cinta, aku nggak mau!"
Sikap Jeje yang selalu saja ingin membully-nya membuat dia semakin tidak ingin dijodohkan.
"Tapi kan lo yang maksa, lo memohon sama dia supaya nerima perjodohan ini, kan? Lo gila, Lea! Nggak ngerti gue asli, nggak ngerti sama diri gue sendiri!"
Daripada memikirkan Jeje, ia memilih untuk segera pergi mandi dan beristirahat.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro