Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10 : Om-Om Ngeselin!

Saat Alea berusaha memejamkan matanya, mendadak telinganya terusik dengan suara alunan musik yang terdengar jelas. Ini pukul sembilan malam, dan siapa yang masih terjaga untuk memainkan musik pada jam segini?
Mau tidur pun susah, sehingga ia memutuskan mencari tahu darimana sumber suara itu berasal.

"Ini kayak suara ..." Lea mendadak merinding. Bagaimana bisa ada suara musik jam segini, jangan-janga rumah ini berhantu, batinnya. Kemudian Lea yang bergidik memilih untuk kembali ke kamar.

"Tapi kalau didenger ini suara musiknya kayak profesional deh yang lagi mainin? Siapa, ya? Bagus banget permainan piano nya."

Namun seseorang tiba-tiba saja berada di belakangnya hingga kedua mata Lea membulat saking takutnya tidak berani berbalik. Dia membeku ditempat.

"Ini Om-om ngeselin, kan?" kata Lea kali ini berharap itu Jeje bukan hantu, pikirnya. "Iya, kan, jawab!" 

"Hem, memangnya om ngeselin, ya?"

"Eh, kok suaranya mirip?"

Lea berbalik ternyata itu bukan Jeje, melainkan Steve.

"Om Steve. Ya ampun, maafin Lea Om. Bukan Om kok, maksud Lea ..." Sontak Lea menutup mulut nya.

"Pasti Jeje, kan? Kamu jangan masukin ke hati yah, Jeje aslinya baik kok." Steve mengusap-usap puncak kepala Aleandra dengan begitu lembut sambil tersenyum. "Maaf kalau Om bikin kaget kamu."

Hampir saja Aleandra menjerit sekerasnya saking mengira itu adalah hantu. Untung saja bukan, jadi suara itu berasal dari mana? Suara piano itu?

"I-iya Om, maaf ya. Tadi, Lea cuma cari dari mana asal suara piano itu, kayaknya Om-om, eh, maksud Lea, kayaknya Mas Jeje deh yang main piano," ujarnya yang merasa kaku, saat memanggil Jeje dengan sebutan Mas.

Steve terkekeh pelan. Benar kata istrinya, Lea adalah gadis yang sangat lucu dan menggemaskan.

"Iya, biasanya Jeje begitu kalau dia nggak bisa tidur. Dia suka main piano dari kecil. Kamu terganggu, ya? Nanti Om bilangin sama Jeje supaya berhenti mainnya ya."

Lea langsung menggeleng. "Jangan, Om. Biarin aja dia main sesuka hati. Lagi pula bagus kok permainannya. Lea cuman belum terbiasa aja malam-malam dengerin suara piano. Jadi agak terkesan... Horor?"

"Aduh, Lea..." Steve tertawa geli. "Maksud kamu, hantu?"

Lea menyengir malu.

"Di sini nggak ada hantu, Lea. Tapi, kalau kamu takut, sekarang Om minta Jeje berhenti mainnya ya."

"Nggak Om! Jangan please..." mohon Lea.

Tentu saja, Lea hanya tidak mau besok Jeje menyangka dirinya tukang ngadu, lalu pria itu lebih leluasa membully-nya lagi.

"Hm, kenapa? Kamu takut sama Jeje? Apa dia galak?"

Lea menggeleng lagi. "Engga kok."

"Terus? Kenapa kamu sama dia kayak nggak akur gitu sih? Om jadi kepo maksimal deh."

"Ih, Om Steve gaul juga, dong... Keren! Nggak kayak om-om ngeselin... Eh, anu, bukan maksud Lea bukan gitu..."

"Hah? Maksud kamu Jeje, kan?" Steve tertawa lagi.

"Eh, salah. Maaf Om, aduh, Lea tuh jadi
ngomongin dia deh Om, mending Lea tidur, takut salah ngomong."

Steve tak bisa berhenti tertawa mendengar ucapan Alea barusan. "Ya ampun, Aleandra. Kamu tuh lucu banget sih."

"Maafin Lea ya Om, malam-malam malah bikin om ketawa gini, kayak orang gila." Lea sendiri lebih suka pribadi seperti Steve yang lebih santai tidak kaku seperti Jeje.

Steve malah semakin tertawa geli. Sudah lama dia tidak tertawa selepas ini, pekerjaan dan rutinitasnya membuat syarafnya seringkali tegang. "Om malah merasa terhibur, Lea. Kamu sekarang istirahat aja ya. Besok, kan, harus ke sekolah. Ada ujian kan? Sebentar lagi kamu kelulusan loh."

"Iya, Om. Kalau gitu Lea tidur dulu ya. Selamat malam, Om."

"Malam, Alea."

***

Keesokan harinya.

"Hari ini ujian matematika. Ada baiknya juga sih om-om mau ngajarin gue semalam. Oke lo harus optimis! Lo pasti bisa, Lea. Lo harus lulus dengan nilai bagus, supaya bisa masuk universitas impian. Siapa tahu bisa ketemu sama kak Keano, iya nggak?" ucapnya sambil merapikan rambutnya. "Matematika sih agak mencemaskan ya. Tapi, bisa lah, cincai."

Tak lama kemudian Kanaya masuk ke kamar Alea. "Wah, Lea udah siap aja nih. Kamu rajin banget, Sayang."

"Eh, Tante. Iya nih. Lea udah siap, kalau mau ujian harus datang lebih pagi, Tante."

"Oh, iya dong. Kamu benar Lea. Tante kalau lihat kamu tuh jadi ingat waktu Tante masih muda dulu, seusia kamu."

Alea berbalik menatap kedua mata Kanaya. "Tante, pasti udah cinta sama om Steve dari dulu ya?"

Kanaya membulatkan matanya. "Kok, kamu tahu?"

"Eh, memangnya Lea benar ya? Aku cuma asal tebak, loh. Tante. Soalnya keliatan Om dan Tante itu pasangan yang romantis, harmonis."

Kanaya mengangguk. "Tante jatuh cinta sama Om Steve sejak kecil. Jadi kamu benar banget, Aleandra. Kamu kayak peramal deh."

Oh cinta masa kecil rupanya? Duh, indah banget. Lea juga ingin punya cinta masa kecil dan bisa terwujud hingga berakhir bahagia. Tapi, itu lebih mirip cerita wattpad dibandingkan cerita hidupnya.

Alea tertawa mendengar perkataan Kanaya itu. "Mana ada, Tan. Aku cuma asal tebak, tapi enak dong Tante. Karena Tante mencintai pasangan Tante, jadi kalian menikah karena sama-sama suka."

"Hm, Lea nggak mau ya kalau dijodohin dengan Jeje? Apa Lea beneran nggak suka sama Jeje?"

Kenapa tiba-tiba malah jadi membicarakan perjodohan itu lagi. Alea bingung, harus menjawab apa.

"Enggak kok, bukan gitu maksud Alea. Hem, maaf Tante, Lea nggak mau bahas itu dulu. Semuanya udah Alea serahkan ke bunda dan ayah. Alea ikut aja apa kata mereka, dan sebaiknya Tante tanya juga sama Om Jeje apa dia mau dijodohkan?"

"Om Jeje?"

Kanaya mengerutkan kening. "Ya ampun, Alea. Kamu manis banget, panggil Jeje dengan sebutan Om, kok kayak panggil ke Om Steve sih," ucapnya sambil terkekeh.

"Duh, keceplosan Tante. Maksudnya Mas Jeje. Aku belum terbiasa nyebut gitu, Tan, " jawab Lea tak enak.

"Kalau begitu Lea mau langsung berangkat yah."

Daripada semakin di interogasi, batin Lea.

"Sarapan dulu ya, Tante udah siapin loh."

"Hm, oke deh, Tante."

Mereka pun pergi ke meja makan, di sana sudah ada Jeje dan Steve yang sedang menikmati sarapan.

"Selamat pagi, Alea." Steve menyapa dengan senyuman ramahnya.

"Pagi, Om Steve."

Alea duduk di sebelah Jeje, tapi sikap Jeje masih terlihat cuek dan tak peduli dengan kedatangan Alea.

"Pagi, Om-om."

Jeje menarik napasnya dalam-dalam lalu menajamkan matanya. "Ini masih pagi, bocil. Jangan ngajakin ribut. Saya bukan om-om, apalagi om kamu."

"Siapa yang ngajak ribut, aku kan cuma mau nyapa Om aja."

"Om? Astaga, terserah kamu lah, Cil."

Kanaya dan Steve tertawa lagi. "Ya Tuhan. Lea kamu tuh bikin pagi kita jadi lebih ceria tahu nggak sih."

"Iya, Mom. Lea lucu banget, Daddy juga setuju," timpal Steve.

"Lucu apanya sih, Daddy dan Mommy nggak lihat, dia ini cuman berlindung dari wajah polosnya. Aslinya tukang bully."

"Apa sih, Om? Masa bocil ngebully. Aku kan masih kecil," sahut Alea sambil meminum susu buatan Kanaya.

"Habisin Sayang susunya."

"Iya, Tante. Susunya enak." Alea meminum susu tersebut tanpa mempedulikan Jeje yang terus merutuki panggilan Alea padanya.

"Om, kenapa malah melototin aku sih. Itu kopinya enggak diminum?" 

Steve menutup mulutnya, tidak mau kalau sampai Jeje melihat dia tertawa lagi, sama halnya dengan Kanaya.

"Cepetan minum susunya, nanti kita terlambat," omel Jeje mengingatkan Alea. Hari ini dia lagi-lagi dipaksa oleh Kanaya untuk berangkat bersama dengan Aleandra.

"Aku mau naik bis aja deh, dari pada sama Om, nanti aku dibully."

"Heh, yang suka bully itu bukannya kamu?"

"Apa? Om yang suka bully aku, kenapa jadi aku yang disalahin?"

Keduanya malah berdebat, Kanaya dan Steve pun melerai perdebatan itu.

"Lea, berangkat sama Jeje ya. Kalian kan memiliki tujuan yang sama," ucap Kanaya.

"Iya, bareng aja ya. Kalian berangkat dan pulang harus bareng," tambah Steve.

"Hm, iya Om Steve." Lea hanya bisa mengangguk.

"Dasar sok manis," cibir Jeje pelan.

"Om-om ngeselin. Aku tuh aslinya males tahu nggak," gumam Lea tentu saja dengan sangat pelan takut Jeje mendengarnya.

"Kamu pikir kamu nggak nyebelin, bocil."

"Astaga, dia dengar aja sih."

Jeje menyelesaikan sarapannya lebih dulu, lalu berpamitan pada Kanaya dan Steve.

"Jangan pake lama, saya nggak suka nunggu."

Alea pun langsung menelan habis roti di mulutnya. Lalu menghabisi susu di gelasnya. "Om, Tante. Alea berangkat ya."

"Iya, Sayang. Hati-hati ya. Sukses buat ujiannya."

"Makasih, Tante, Om."

Alea berlari menyusul Jeje yang sudah berada di dalam mobil. Ia pun segera masuk ke dalam mobil Jeje.

"Pake sabuk pengaman. Atau perlu saya pakein lagi?"

Lea menggeleng. "Gak perlu, aku udah bisa pake sendiri," tolaknya.

"Yaudah, bagus deh." Jeje segera melajukan mobilnya. "Dasar bocil!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro