Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7

Bab 7

Tiga hari sudah Ibra menginap kembali di rumah bersama Rahma. Mereka masih tidur terpisah, Rahma di kamar tamu, dan Ibra di kamar miliknya dan Marrisa.

Ibra sudah tidak merasa terganggu dengan kehadiran Rahma. Mereka sudah bisa duduk untuk sarapan bersama dan makan malam jika Ibra tidak pulang terlalu larut. Ibra bahkan sudah mulai menyukai masakan Rahma. Sudah tiga hari ini Rahma yang membuatkan makanan untuk Ibra.

Tidak munafik, Ibra merasa seperti mempunyai kehidupan baru. Ini baru namanya rumah tangga. Istri setia mengurus suami di rumah. Istri menyambut suami setelah lelah di luar. Rahma mulai melakoninya walaupun masih sebatas itu. Ibra benar-benar menghargainya. Ini yang dia mau saat berumah tangga.

Satu hal yang membuat Ibra semakin suka dengan Rahma. Istrinya itu selalu bertanya balik jika Ibra sedang bertanya. Tingkah yang terkadang membuat Ibra pusing justru membuat interaksi mereka tidak terputus. Seperti sekarang ini, saat Ibra sedang menikmati sarapan.

"Kenapa kamu sarapan roti? Sementara aku, kamu buatkan nasi goreng?"

"Memangnya ada larangan makan roti kalau kamu sarapan nasi goreng?" tanya Rahma sambil memasang wajah meledek. Anehnya, Ibra tidak merasa kesal. Rahma membangkitkan rasa gemas Ibra. Apalagi jika sedang menatap wajah manisnya. Benar kata Bi Mirna, wajah Rahma mampu membuat orang luluh. Jika tatapan Marrisa membuat Ibra tunduk, berbeda dengan Rahma. Ibra seperti terhanyut dengan wajah menggemaskannya.

"Kalau kamu membuat roti, aku akan memakannya juga."

"Ya sudah, besok aku buatkan kamu roti sementara aku nasi goreng," ledek Rahma. Ibra membalas tawa Rahma.

"Kamu cantik kalau tertawa," ucap Ibra jujur.

"Kalau kamu tidak cantik saat tertawa," balas Rahma lagi.

"Pastinya. Kamu tidak mau ke luar rumah?"

Rahma langsung menggeleng. "Malas."

Ibra kembali diam dan menikmati nasi goreng buatan Rahma.

"Ini enak, Amma." Ibra kembali membuka suara. Sejak kemarin Ibra memang ingin memuji Rahma akan rasa masakannya. Bisa dikatakan mirip dengan sang mama.

"Dulu mamaku selalu mengajarkan aku masak untuk suamiku kelak. Katanya biar betah di rumah," jujur Rahma tanpa sadar. Ibra memberikan senyum manis untuk Rahma. Membuat Rahma kikuk. Reaksi sejak kemarin jika Ibra tersenyum ternyata masih sama, selalu merona.

"Sekarang tercapai, kan?" Rahma seperti tak percaya mendengar ucapan Ibra. Matanya membulat sempurna. Cantik, batin Ibra.

"Tapi kamu bukan suamiku yang sesungguhnya," jujur Rahma dengan wajah lucu. Bibirnya cemberut lucu, batin Ibra tidak bisa berkilah.

"Tapi, status kita sekarang suami istri. Ayolah, nikmati saja untuk saat ini," ajak Ibra tanpa sadar. Dia merasa tidak ada alasan untuk menjauhi Rahma, keadaan mereka memang sudah seperti ini. Toh, atas izin Marrisa.

"Aku nggak bisa. Aku sudah berjanji tidak akan terbawa suasana."

"Maaf, kamu benar." Ibra kembali tersadar. "Yang jelas aku tidak membenci kamu, Rahma." Rahma mengangguk. Satu langkah lebih baik untuk hari ini.

"Omong-omong kamu tinggal di Bali, yah?" tanya Ibra.

Rahma mengangguk. "Iya, aku tinggal di sana." Rahma menjawab cepat tanpa perlu membalas pertanyaannya. Sekilas Ibra ingat penjelasan Marrisa tentang Rahma. Mungkin Rahma memang tidak mau melanjutkan cerita keluarganya.

"Apa kamu nyaman tinggal di sana?" Ibra masih penasaran. Ibra tahu Rahma yatim piatu. Apa masih ada keluarga di sana.

"Nyaman."

"Lalu dengan Marrisa, apa kamu dekat?"

Rahma menggeleng. "Aku juga baru ketemu Rissa saat dia ke Bali tiga bulan yang lalu. Dulu, waktu orangtuaku masih di Jakarta aku sempat dekat dengannya. Setidaknya masa kecilku sempat memiliki keluarga besar. Ya, walaupun tidak semua menerima. Bisa dibilang Marrisa cukup menerimaku untuk bermain bersama. Apalagi Papa sempat kerja jadi sopir di perusahaan keluarga Ramana." Rahma terlihat biasa saja saat mengucapkan itu.

"Sopir?" tanya Ibra.

Rahma mengangguk kembali. "Iya, terus setelah Papa resign dan memilih hidup di Bali, kami benar-benar lost contact. Dan waktu mempertemukan kami kembali tiga bulan yang lalu, hingga akhirnya dia ngajakin aku bisnis yang aku jalanin sekarang sama kamu." Rahma tertawa malu. Ibra hanya menyimak penuturan Rahma.

"Kalau bukan wajah kami mirip, dia pasti nggak akan maksa-maksa aku. Istri kamu aneh, masa nggak mau hamil sendiri."

Hei dia punya alasan kenapa tidak mau hamil, batin Ibra sedikit tersinggung.

"Kalau aku jadi dia, dengan status istri seorang pengusaha muda, bertanggung jawab, pandai, bersahaja, rajin menabung seperti kamu, aku mah, lebih memilih jadi ibu rumah tangga. Mengurus rumah, anak, dan yang nggak akan aku lewatkan, menghabiskan uang kamu," ledek Rahma, Ibra hanya mengangguk setuju dalam hati. Itu juga yang dia mau dari Marrisa, menjadi istri yang selalu setia mendampinginya. Ibra menawarkan kebahagian untuk Marrisa.

"Ngapain sibuk berkarier, kalau harus ninggalin suami? Nanti dipatok orang nyesel, deh. Kalau aku jadi Rissa sudah aku iket kamu nggak boleh keluyuran."

Ibra mendengus jengkel. Pembicaraan Rahma semakin membuat Ibra merindukan Marrisa.

"Marrisa benar-benar aneh." Rahma masih berbicara rupanya.

"Jangan bicara begitu, dia sepupumu," tegur Ibra.

"Yang bilang dia sepupu kamu siapa?" Ibra melirik Rahma, mulai lagi bertanya balik. Seolah paham, Rahma hanya mengangguk seolah mengerti akan teguran Ibra.

"Ya sudah, hati-hati di rumah!" Ibra sudah berdiri dan Rahma mengekorinya dari belakang.

"Jalan di sebelah aku," ucap Ibra. Sejak tadi pagi, panggilan Ibra memang mulai berubah. Dia sudah tidak menggunakan kata 'saya' untuk dirinya. Ibra memang mulai nyaman dengan Rahma.

"Memangnya boleh?" tanya Rahma. Ibra menarik lengan Rahma agar sejajar dengannya. "Masa tidak boleh? Kita bisa jadi teman, Rahma."

"Kamu mau jadi teman aku?" Rahma bertanya balik. Ibra melirik wajah Rahma. Selalu bertanya balik.

"Memangnya tidak boleh berteman dengan orang yang akan memberikan aku anak?" Rahma spontan menunduk, Ibra terlalu terus terang. Membuat Rahma kembali tersadar akan suatu kenyataan.

"Iya, pasti karena itu," ucap Rahma pelan.

"Emang kamu mau alasan seperti apa?" Kali ini Rahma tidak bertanya balik, tidak juga menjawab. Dia hanya menggeleng.

"Baiklah, aku berangkat dulu." Rahma mengangguk sambil melambaikan tangan. Ibra mundur kembali sebelum masuk ke dalam mobil. Mendekatkan wajahnya. "Aku harap kamu nggak lupa nanti malam jadwal kita," bisik Ibra lalu pergi sambil tertawa.

Sementara Rahma, membeku di tempatnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro