6
Bab 6
"Kenapa menutup mata?" tanya Ibra sambil terkikik. Rahma yang menutupi kegugupan dengan memejamkan mata merasa malu karena merasa dipermainkan. Dia merasa besar kepala, menduga Ibra akan menciumnya.
"Minggir!" Rahma mendorong dada Ibra. Pria itu semakin tertawa. Ini memalukan.
"Tenang, Rahma, kamu seperti tidak pernah bermesraan saja," ucap Ibra masih meledek. Sementara Rahma diam, merasa tersindir. Ironis, dia memang belum pernah bermesraan. Punya kekasih saja tidak pernah. Lagi pula siapa yang akan mendekati wanita seperti dia? Hanya penjaga minimarket biasa. Tidak ada yang menarik, dia bukan model.
Merasa tidak didengarkan, Ibra menatap Rahma lagi. Tanpa takut, Ibra menarik kembali telinga Rahma.
"Haduh," ringis Rahma. Kenapa pria ini hobi menarik telinga seenaknya?
"Jangan melamun terus!"
Rahma mengusap telinganya. Malas membalas ucapan Ibra.
"Saya mau kita berbicara serius. Dengarkan jangan dipotong!"
Rahma mengangguk. Dia menunduk, sadar sepertinya tatapan Ibra membuat konsentrasinya terganggu.
"Kamu tahu pasti kan, tujuan kita menikah?"
Rahma mengangguk. Iya tahu, supaya aku hamil dan anaknya untuk kalian.
"Dan supaya kamu hamil, kamu pasti juga tahu kan, caranya seperti apa dan bagaimana?"
Rahma mengangguk lagi. Dasar menyebalkan, ini memalukan. Bodoh!
"Tapi di antara kita tidak boleh ada yang terbawa perasaan."
Rahma mengangguk kembali. Rasa buah kali. Mudah-mudahan kuat menahan rasa ini. Tahan Rahma!
Ibra terus menatap gerakan Rahma. Istrinya itu sejak tadi hanya mengangguk dan malas menatapnya. "Anggap saja ini kebutuhan sesama orang dewasa, oke?"
Rahma mengangguk pelan. Ini memalukan. Dewasa apa? Marrisa, suami kamu aneh. Eh, suami aku juga, sih. Fokus Rahma.
"Setelah hamil, kamu tidak boleh pergi ke mana-mana."
Rahma mengangguk. Siapa juga yang mau jalan, di Jakarta nggak punya teman. Kasihan sekali kamu Rahma.
"Segala sesuatu untuk kamu sekarang menjadi tanggung jawab saya."
Kali ini Rahma mengangguk cepat. Ya iyalah, kamu kan, suami aku. Suami? Eh, lagi-lagi kamu besar kepala. Dengarkan dia lagi, Rahma! Lagian dia mau bicara apa lagi, sih? Nggak kelar-kelar.
Ibra semakin penasaran, Rahma masih bertahan tidak mau menatap wajahnya. "Selama kamu belum hamil, kamu harus kerja sama denganku. Mengerti, kan?"
Ngangguk nggak? Ah, menyebalkan kamu, Ibra. Lagi-lagi aku mengangguk. Marrisa, suami kamu benar-benar menyebalkan.
"Kamu boleh minta apa saja sama saya selama kamu ngidam. Kalau saya tidak ada, Bi Mirna standby bersama kamu."
Kenapa aku gugup mendengar kata 'ngidam'? Haduh jadi gugup. Fokus Rahma!
Rahma semakin menggeleng gugup. Ibra terus memperhatikan. "Jangan panik, ini sudah kamu pikirkan, kan? Jangan seperti orang awam yang tidak mengerti." Rahma tidak memedulikan. Sepertinya Rahma mulai mengenal Ibra, pria itu selalu seenaknya berbicara.
"Kamu dengar tidak?"
Rahma mengangguk lagi.
"Nggak perlu ngangguk-ngangguk terus, saya pusing," ketus Ibra. "Kamu mengerti, kan?" Ibra bertanya sambil menarik kembali telinga Rahma. Sepertinya akan menjadi hobi baru Ibra, entah kenapa, dia tidak merasa bersalah.
"Sakit." Dan benar saja, Rahma langsung mengangkat wajahnya tanpa takut. Ibra terkikik menatap wajah lucu Rahma. Ketus dan tak bersahabat, tetapi terasa menggemaskan bagi Ibra.
"Maaf."
"Enak banget langsung minta maaf," sinis Rahma, tetapi balasan Ibra di luar dugaan. Ibra tersenyum manis menatapnya. Senyuman yang sangat manis.
Catat! Sangat manis. Membuat Rahma fokus menatap wajah yang sepertinya mampu menyihirnya. Senyuman itu baru pernah dia terima dari Ibra.
"Kenalkan, saya Abraham Sarha, panggil saya Ibra." Ibra masih tersenyum, lalu mengangkat dagu Rahma. Saling menatap dalam diam. Mencari rasa aman di dalam mata masing-masing.
Rahma mencoba menyelami. Wajah Ibra membuatnya terpesona. Senyumannya tulus, Rahma bisa merasakannya. Rahma bahkan merutuki kebodohan Marrisa karena telah meninggalkan suami seperti Ibra. Mendengar penjelasan Bi Mirna sebelumnya, sepertinya Ibra pria yang baik hati. Tapi dia ketus sama kamu Rahma. Ayo, jangan terpancing.
Rahma segera sadar. Segera menjauhkan wajahnya. "Aku Rahma Raihana," ucap Rahma menahan rasa gugup yang tak kunjung pergi, bahkan semakin kuat saat mata Ibra benar-benar tak melepas tatapannya.
Ibra juga tersadar, sepertinya terlalu lama menatap Rahma. Ada yang aneh dari mata Rahma, seolah menjelaskan kesepian di sana. "Baiklah, sebaiknya kita bicarakan surat perjanjian itu."
Ibra beranjak pergi ke bawah. Rahma mengatur napasnya. Kenapa rasanya aneh berhadapan dengan Ibra. Sebisa mungkin Rahma mensugesti dirinya, ini yang kamu mau dan sudah sewajarnya Ibra akan berdekatan denganmu.
"Ini." Ibra kembali duduk di samping Rahma. Menyerahkan beberapa map. Rahma mengambil salah satunya, membaca isi berkas itu dengan teliti. Semua tertulis di sana, perjanjian dan peraturan yang harus dijalankan Rahma. Rahma semakin dibuat tak percaya saat membaca peraturan tidak boleh berhubungan fisik saat sudah dinyatakan mengandung. Wajah Rahma memerah membacanya. Suami istri gila, dan aku termasuk dalam kegilaan mereka.
"Ada yang mau kamu tanyakan?" Ibra menunggu di samping Rahma.
Rahma sedikit kikuk saat ingin bertanya. "Bolehkah sisa duitnya segera dicairkan?" Rahma menunduk kembali. Ibra pasti menilai dirinya wanita materialistis.
"Kamu butuh?" Ada nada mengejek di sana. Rahma berusaha tak terpengaruh dengan penilaian Ibra sekarang. Dia mengangguk.
"Oke, secepatnya akan saya cairkan."
Rahma tahu Ibra terdengar ragu.
"Kamu jangan khawatir, aku tidak akan lari sampai perjanjian ini selesai."
Ibra menghela napas. "Baiklah, secepatnya akan saya cairkan." Ibra juga tidak mau terlalu dalam mengetahui akan digunakan untuk apa uang itu. Bukan urusannya.
"Terima kasih." Rahma benar-benar merasa murah sekarang. Murahan, tapi memang ini yang dia mau. Menjual harga dirinya.
Suasana sempat hening, sebelum Ibra kembali bersuara. Dia ingat pertanyaan
Marrisa sebelumnya. "Apa kamu sudah cek kesuburan? Kapan masa subur kamu?" Rahma tak menyangka Ibra bisa kembali berbicara frontal tanpa basa-basi. Dia saja masih mengatur rasa malu yang belum pudar.
"Marrisa sudah kasih rujukan dokter sebelum nikah, kan?" yakin Ibra lagi.
Rahma mengangguk. "Iya sudah, sejak aku di Jakarta aku sudah ke dokter. Kemungkinan tiga hari lagi masa subur aku." Penjelasan memalukan bagi Rahma. Sudah telanjur gila, Rahma pasrah saja.
"Baik, tiga hari lagi kita berhubungan." Rahma memejamkan mata. Sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Andai pria di hadapannya ini benar-benar suami sungguhan dari hatinya, mungkin Rahma akan menerkam dan mencakarnya. Mengajak istri bercinta dengan ajakan kaku.
"Hei, wajahmu jangan seperti itu. Kamu sendiri yang mau, kan?" teguran yang membuat Rahma sadar. Ini memang keputusannya berada di antara mereka.
"Iya, maaf. Aku hanya belum terbiasa. Boleh aku tanya satu hal?" Kali ini Rahma berusaha berani kembali. Mata mereka bertemu. "Apa kamu benci sama aku?"
Ibra tertawa ringan, Rahma sepertinya unik. Ada kepolosan di sana, batin Ibra mulai menilai. "Apa kamu juga benci dengan saya?"
Mendengar jawaban Ibra, Rahma tanpa sadar mengerutkan keningnya.
"Dengar, Amma, boleh saya panggil kamu Amma?" Ibra mengambil tangan Rahma. Menggengam dengan sopan. Rahma tidak menolak, ini pasti akan terjadi. Selain itu, Rahma sedang terlena karena Ibra memanggilnya dengan sebutan baru, 'Amma'.
"Mungkin perkenalan kita karena perjanjian ini membuat kita benci satu sama lain, tapi pada dasarnya saya bukan orang yang senang mencari musuh. Apalagi kamu masih bersaudara dengan Marrisa, orang yang saya cintai." Rahma kembali sadar akan status dirinya.
"Walaupun kamu istri keduaku yang kunikahi dengan tujuan tertentu, tapi aku pun akan menafkahi kamu juga." Rahma terus mendengarkan ucapan Ibra. Hatinya berteriak meremehkan kebodohan Marrisa. Bodoh karena menelantarkan pria seperti Ibra. Rahma bisa melihat di mata Ibra, pria itu tulus menuruti kemauan Marrisa. Jika dipikir, bukan dirinya saja yang menderita. Ibra juga sama.
"Saya akan memberikan uang bulanan untuk kamu."
"Tidak perlu, uang yang sempat Marrisa berikan untukku masih ada." Rahma merasa tak enak dengan Ibra.
"Sudahlah, nanti dibicarakan lagi." Ibra berdiri lalu melirik Rahma. "Sekarang temani saya makan. Bi Mirna bilang kamu yang masak hari ini?"
Rahma ikut berdiri. Dia masih ingin bertanya. "Jika anak ini lahir, apa aku boleh bertemu dengannya?"
"Sesuai perjanjian, anak itu akan menjadi anak saya dan Marrisa. Nanti kamu bisa baca lebih rinci isi perjanjian itu." Ibra menunjuk berkas di meja.
Rahma menatap lembaran itu dengan nanar. "Maaf, aku hanya ingin memastikan anakku dididik oleh siapa."
Ibra langsung menatap wajah Rahma tajam. Sepertinya dia sudah kelewatan berbicara. "Sekali lagi aku tegaskan, dia akan menjadi anakku dengan Marrisa, bukan anakmu." Ibra langsung berjalan pergi meninggalkan Rahma.
"Huft. Dasar aneh. Jelas-jelas itu anakku," bisik Rahma pelan, sebelum dia beranjak menyusul Ibra ke bawah.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro