4
Bab 4
Setelah dua minggu pernikahan Marrisa dan Ibra, rencana keberangkatan Marrisa memang diminta ditunda oleh Ibra, dikarenakan kebersamaan mereka masih terbilang singkat. Ibra belum puas menikmati kemesraan yang selama ini dia idamkan bersama Marrisa, wanita yang dia sebut sebagai cinta pertama. Marrisa mau tidak mau harus menuruti kemauan suaminya jika ingin mendapatkan kebebasan berkarier sebentar lagi.
Pernikahan kedua untuk suaminya pun masih ditunda. Rahma masih mendiami apartemen Marrisa, sementara Marrisa tinggal di rumah pribadi Ibra.
Ternyata Ibra mempunyai rumah di Jakarta, tidak ada yang tahu, kecuali sopir dan Bi Mirna yang sudah mengurusi Ibra dari kecil. Rumah memang dibeli karena waktu kerja Ibra sekarang berpusat di Jakarta. Lebih tepatnya untuk menghindari pantauan orangtua. Orangtua Ibra hanya tahu putranya memiliki apartemen di Jakarta.
Bi Mirna adalah orang pertama yang mengetahui perjanjian itu. Mengingat dia butuh bantuan Bi Mirna untuk menemani Rahma nantinya.
"Sayang, dua hari lagi aku berangkat ke Italia. Ayo, segera jemput Rahma, kasihan dia menunggu lama di apartemenku." Ibra tetap diam berusaha tidak mendengar.
"Kamu sudah berjanji setelah menikahi Rahma, dia akan tinggal di sini. Sekadar pemberitahuan, aku akan menyewakan apartemen itu." Marrisa bercerita saat mereka sedang menikmati teh di sore hari. Marrisa sudah cukup tahu bahwa merayu sang suami dengan kemampuan ranjang yang dia miliki ternyata sangat berguna.
"Iya, dia bisa tinggal di kamar tamu." Ibra sebenarnya sangat tidak setuju dengan pernikahan ini. Tetapi jika ini menyangkut calon anaknya kelak dia tidak mau mengambil risiko.
"Makasih, Sayang." Marrisa mengecup bibir Ibra.
"Kenapa tidak melakukan bayi tabung saja, Rissa?"
Marrisa tertawa sejenak.
"Rahma juga bertanya seperti itu, Ibra. Dengar yah, aku tidak mau keturunan kamu lemah. Selagi masih sanggup untuk normal kenapa tidak? Aku ikhlas, Sayang. Lagi pula risiko diketahui khalayak ramai, kan sudah aku jelaskan, Sayang." Ibra menghela napasnya saat Marrisa membelai dadanya. Sungguh pintar sang istri meredakan emosi suaminya.
"Aku mau kasih tahu Rahma yah, kasihan dia hidup sendiri." Ibra mengerutkan dahinya. Bisa dibilang selama dua minggu ini Marrisa selalu menyelipkan sedikit cerita tentang Rahma. Marrisa sudah meminta Rahma pergi ke dokter kandungan. Mencari kebutuhannya sendiri.
"Kalau kasihan kenapa kamu mau memulai perjanjian sinting ini sama dia? Seperti yang kamu bilang, dia sepupumu. Kalau orangtuamu dan dia tahu bagaimana?" cecar Ibra, masih tidak percaya dengan permainan gila yang akan dia geluti.
"Pertama aku nggak dekat sama sepupuku itu, aku nggak tahu dia sebelumnya ngapain di Bali. Kedua, keluarga nggak ada yang peduli sama dia, orangtuanya sudah meninggal, jadi nggak ada yang perlu dipikirkan." Ibra tadinya berpikir tidak mau seatap dengan Rahma, tapi mendengar penjelasan Marrisa kalau dia tidak punya siapa-siapa, hati Ibra jadi terenyuh. Lagi pula lebih mudah dipantau, batinnya sedikit luluh
Kasihan juga sepupumu, Ris.
"Bi Mirna itu selalu ikut sama kita yah, Sayang?" selidik Marrisa.
"Ya, kalau kamu bisa urus rumah tangga dan kebutuhanku, aku bisa pindahkan Bi Mirna di rumah Mama di Lombok." Ibra menggoda istrinya yang tidak bisa apa-apa. Sungguh bodoh kamu Ibra, menikahi wanita seperti ini.
"Tidak, aku benci ngurusin rumah, apalagi masak."
Ibra hanya tertawa.
***
"Siap, suamiku?" tanya Marrisa menepuk lengan Ibra. Hari saat Ibra akan menikah lagi akhirnya datang. Marrisa menunggu di mobil sementara Bi Mirna menemani proses pernikahan tersebut di Kantor Urusan Agama. Karena mereka menikah tanpa sepengetahuan keluarga, saksi pernikahan mereka hanya dari pihak petugas KUA setempat. Terlebih Rahma tidak mempunyai orangtua dan kerabat laki-laki, sehingga dalam hal ini pejabat resmi KUA menjadi hakim yang berhak menjadi wali pernikahannya.
Sebenarnya baik Rahma ataupun Marrisa hanya menginginkan menikah sah menurut agama saja, tetapi diluar dugaan, Ibra mau menikah sah dimata agama dan hukum negara, sama seperti dia menikahi Marrisa. Marrisa pada akhirnya setuju, dan mempersiapkan persyaratan yang diajukan Kantor Urusan Agama setempat. Rahma sendiri sempat dibuat tak percaya akan niat Ibra, tetapi lagi-lagi Marrisa berucap semua demi keturunan yang akan dilahirkan Rahma. Status anak itu harus jelas sejak lahir. Risiko memang, tapi Ibra tak mau melakukan kesalahan atas calon keturunannya. Karena itu, dia melakukannya secara hati-hati tanpa membuat kecurigaan dari pihak media. Mengingat Marrisa cukup dikenal publik.
Ibra melangkah keluar mobil, melirik Marrisa yang tersenyum di dalam mobil. Sementara Bi Mirna keluar dari mobil satunya.
Sambil menatap arah lorong, mereka masih menunggu kedatangan satu orang lagi, Rahma belum juga menunjukan batang hidungnya. Ibra terlihat kesal, begitu pun Marrisa yang harus segera berangkat ke bandara.
"Maaf, aku telat, aku tidak hafal alamat KUA di sini." Rahma datang dengan napas tersengal-sengal. Marrisa sudah memberitahukan Rahma, kalau Ibra menunggu di dalam. Ibra membuang muka. Entah kenapa Ibra tidak mau memandang wajahnya. Wajah Rahma mengingatkan Ibra kepada Marrisa. Tapi dia berbeda.
"Ayo, cepat aku harus mengantar Marrisa ke bandara," ucap Ibra tak acuh kepada Rahma. Setelah selesai proses ijab kabul dan mengurus surat-surat, Marrisa segera berangkat diantar Ibra ke bandara, sementara Bi Mirna menemani Rahma untuk pulang ke rumah Ibra.
"Kamu pulang bareng Bi Mirna, Ibra mau antar aku ke bandara, kamu jangan pakai perasaan yah, dengan suamiku." Marrisa menekankan kata-kata terakhirnya. Rahma berusaha tidak peduli. Di kejauhan dia melihat sepasang suami istri itu saling membalas senyum sebelum mobil itu pergi menjauh. Sungguh ironis dirinya akan berada di antara mereka berdua selama waktu yang sudah ditentukan.
"Ayo Ibu, sama saya pulangnya." Bi Mirna tampak sopan kepada Rahma. Rahma sangat kikuk dipanggil ibu. Saat di mobil, Bi Mirna tersenyum terus menatap Rahma.
"Ibu, biasa sarapan apa? Nanti biar saya buatkan, panggil saya Bi Mirna saja. Jangan sungkan, saya akan bantu Ibu mengurus semua di rumah Bapak Ibra." Rahma sempat dibuat malu karena bibi yang baru dia kenal ini berusaha akrab dengan dirinya.
"Jangan panggil saya 'ibu', Bi. Saya risih dengarnya, panggil saja saya Rahma." Rahma tersenyum pada Bi Mirna yang mengingatkannya dengan Ibu Suci di panti asuhan.
Omong-omong, apa kabarnya panti, ya, batin Rahma melamun. Sedikit lega, karena uang sudah bisa kirimkan sedikit. Marrisa belum memberikan sesuai perjanjian.
Sesampainya di rumah Ibra, Rahma dibuat terkejut dengan betapa megah dan mewahnya rumah sang suami. Rahma hanya tertawa mendengar batinnya berkata 'suami'.
Rahma tidur di kamar lantai atas, di kamar tamu. Di lantai pertama hanya ada satu kamar besar milik Ibra dan Marrisa. Bukan masalah bagi Rahma. Ini sudah lebih dari cukup, kamar mandinya saja yang sekarang ini malah lebih besar dibandingkan rumahnya. Mengenai nasib rumahnya, Rahma menyewakan rumah peninggalan orangtuanya dalam jangka satu tahun. Harapnya semoga semua berjalan sesuai rencana. Menikah, memberikan keturunan, lalu kembali lagi ke kehidupan bersama panti asuhan.
Sambil terus memeriksa kamar yang akan dia tempati sampai waktu yang ditentukan, Rahma membuka pintu balkon di dalam kamarnya, balkon khusus menghadap taman kolam renang. Mungkin itu akan menjadi tempat kesukaannya selama Rahma di rumah itu.
Rahma tertawa mengejek, mengejek dirinya sendiri, kenekatan ini sudah tak bisa dihentikan. Tempat ini akan menjadi saksi dirinya menjual harga diri termahalnya kepada seorang pria, menjual hak dan kewajibannya sebagai ibu yang rela memberikan buah hatinya untuk wanita lain.
"Sinting kamu Rahma." Rahma menepuk wajahnya pelan. Dia punya alasan menerima ini, mungkin hati kecilnya memang menginginkan pernikahan? Tidak, Rahma menggeleng, dia mau impian mendiang ayahnya tercapai. Selain itu, panti asuhan sudah seperti rumah baginya. Dia menemukan keluarga satu nasib di sana.
Lalu seenaknya kamu memberikan anak kandungmu untuk orang lain? batin Rahma masih berteriak. Rahma berpikir, dia mungkin tidak ada bedanya dengan pelaku kriminal yang menelantarkan buah hatinya di jalan.
Tapi Rahma ibu yang berbeda, dia bahkan sudah berencana sebelum bayi ini ada, bahkan dibuatnya saja Rahma tidak tahu kapan. Berhasil atau tidak, dia juga tidak tahu.
Ibu macam apa dirimu, Rahma. Tapi ini demi panti, Rahma percaya hanya pantilah tujuan hidupnya. Dia tidak tertarik menjalin hubungan, walau belum pernah, tapi sampai detik ini tidak ada yang bisa membangkitkan semangatnya untuk menjalin kasih.
Tapi suamimu sepertinya menarik?
Rahma langsung menggeleng, dia terlalu lama melamun.
"Semangat Rahma!" ucapnya sendiri. Apa yang terjadi selanjutnya, hadapi saja.
Rahma merogoh ponselnya di dalam kantong pakaian. Sejak tadi dia memang memikirkan Ibu Suci. Setidaknya masih ada sisi berguna dirinya saat ini. Rahma menghibur diri.
"Ibu, apa kabar? Bagaimana kondisi atap panti? Apa sudah mulai diperbaiki? Syukurlah. Apa renovasi bangunan yang lain sudah dilakukan? Iya, doakan Rahma juga, Bu. Pekerjaan Rahma di sini cukup nyaman. Bos Rahma baik, berjiwa sosial, makanya mudah dapetin uang untuk membantu panti," Rahma memang berbohong kepada Ibu Suci perihal uang yang diberikan Rahma. Mengingat jumlahnya tidak sedikit.
"Salam sama semua keluarga di panti, Bu, Rahma kangen." Rahma tersenyum mendengar ucapan Ibu Suci. Hari ini bisa dia nikmati dengan perasaan lega.
***
Sudah satu minggu Rahma bagai wanita terpenjara di rumah Ibra. Semenjak pertemuan dengan Ibra terakhir di KUA, Ibra tidak menginap lagi di rumah itu. Bi Mirna bilang majikannya akan jarang pulang ke rumah jika sedang sibuk. Tapi Rahma berpikir kalau Ibra menghindari dirinya. Bukankah rumah ini dia beli untuk memudahkan waktu kerjanya? Rahma sedikit bertanya pada Bi Mirna, mereka juga baru menempati rumah ini karena sebelumnya mereka tidak tinggal di ibu kota.
Rahma sekali lagi tidak mau ambil pusing. Jika memang belum saatnya untuk apa dipusingkan? Anggap dewi keberuntungan sedang memihaknya. Toh, hidup di rumah ini tidak membuatnya menderita. Ibra tidak melupakannya begitu saja, Rahma tahu itu.
Bi Mirna selalu menemaninya. Rahma mengisi waktu dengan menyalurkan hobi memasaknya bersama Bi Mirna. Wanita tua itu juga membantu.
Dia bebas berkreasi dengan memasak dan membuat kue, bahkan Bi Mirna memberitahukan makanan dan minuman apa yang disukai oleh Ibra. Selama seminggu Rahma merasa seperti les kilat untuk mengenal kepribadian Ibra, suaminya. Mendengar dari cerita Bi Mirna, terlihat Ibra sangat mencintai Marrisa.
Tidak heran. Lelaki mana yang rela menerima tawaran bejat sang istri seperti yang terjadi sekarang ini, jika tidak berlandaskan cinta. Cinta buta lebih tepatnya.
Mengingatnya, Rahma jadi terhina sendiri. Kau ikut andil Rahma dalam perjanjian bejat itu, hati Rahma selalu mengingatkan.
Sore itu Rahma sedang membuat kue cokelat brownies resep dari keluarga Sarha, Bi Mirna memberitahukan kalau ibu mertuanya hobi bertualang di dapur, dan brownies adalah salah satu buatan Nadira Sarha yang paling Ibra sukai.
"Apa yang sedang kamu lakukan?"
Degh!
Suara itu? Rahma menoleh dan menatap lelaki yang menikahinya seminggu lalu. Wajahnya tampak kusut, dasi sudah berantakan, baju kerja yang sudah keluar tidak rapi, rambut pun acak-acakan seperti tidak tersisir dengan sempurna. Bulu-bulu halus mulai tumbuh di pipinya.
Penampilan yang sangat menarik dan gagah di mata Rahma.
Apa yang dia lakukan selama seminggu ini sampai membuatnya tidak terawat seperti sekarang?
"Hei, kamu nggak dengar saya bicara? Apa yang kamu lakukan dan di mana Bi Mirna? Tolong suruh buatkan saya teh hangat!" ketus Ibra karena hanya dijawab dengan lamunan Rahma. Belum lagi cara Rahma menatap dirinya.
"Maaf, Bi Mirna pergi ke supermarket untuk belanja bulanan, aku sedang membuat brownies nggak sengaja lihat buku resep di dapur," jawab Rahma pelan. Ini pertama kali mereka melakukan komunikasi. Rahma berusaha tenang.
"Memang kamu bisa buatnya?" ejek Ibra.
Rahma menaikkan alisnya. "Kenapa nggak bisa? Ini ada resepnya dan kita tinggal ikuti petunjuknya," jawab Rahma enteng.
"Tapi resep itu milik mamaku, banyak yang mengikuti sesuai resep tapi tidak semirip buatan mamaku," tegas Ibra.
Ini orang kenapa judes banget. Rahma berdecak dalam hatinya.
"Masalah enak atau nggaknya tergantung niat yang bikin, kalau dia bikin dengan rasa sayang pasti ada energi positif dari hasil buatannya." Rahma malah tidak mau kalah. Ibra hanya memandang dengan sebal.
"Terserah, saya mau mandi dulu," ketus Ibra sekali lagi. Sejujurnya dia bingung ingin memulai pembicaraan seperti apa dengan Rahma. Wajah cantik Rahma mengecoh isi otaknya.
Siapa yang nanya? Ngeselin!
"Tolong buatkan saya teh hangat," perintah Ibra dengan ketus sambil berjalan meninggalkan ruangan. Ibra terus mengingat Marrisa dan semakin rindu saat melihat Rahma.
Dasar pria judes. Rahma menyesal sempat terpesona sesaat dengan penampilan urakan Ibra.
Beruntung saat Ibra tengah mandi, Bi Mirna datang. Rahma memberitahukan Bi Mirna jika Ibra ingin dibuatkan teh. Dia pun segera pergi ke atas, merasa kehadirannya mengganggu Ibra. Rahma tidak mau Ibra tidak nyaman di rumahnya sendiri karena dia.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro