14
Bab 14
Apa yang aku lakukan? Dia ibu untuk calon anakkku, dia rela meminjamkan bahkan memberikan harga dirinya untukku. Kau tidak berhak menghukumnya dengan kata-kata sepihakmu, Ibra.
Sepanjang perjalanan pulang, hanya itu yang terngiang di kepala Ibra. Niat hati ingin menjernihkan pikiran, tetapi isi kepalanya semakin suram tak bisa berpikir. Bayangan wajah Rahma terus menghantuinya.
Sekarang sudah pukul satu pagi, bukan waktu yang tepat. Besok pagi dia akan meminta maaf. Urusan diterima atau ditolak itu bukan masalah. Rahma harus tahu, dia menyesal.
Memasuki rumah, Ibra berjalan lurus menuju kamarnya. Saat hendak membuka pintu kamar, suara ringisan yang tak jauh darinya membuat dia penasaran. Ibra berbalik dan mendekati arah suara itu berasal. Lokasinya di ruang makan.
"Apa yang sedang dilakukan Rahma?" ucapnya dalam hati.
Ibra sempat terkejut melihat wanita hamil itu menangis pilu sambil mengunyah makanan. Terlihat gemetaran saat dia bersusah payah menyuapi makanan, bercampur air mata mungkin rasa makanan itu semakin berasa menikmati penderitaannya.
Perlahan, Ibra mendekati Rahma. Rupanya Rahma tersadar kalau ada sepasang mata yang memperhatikan dirinya. Dia terlonjak kaget dan segera berdiri.
"A-ku aku tidak lapar ... tap-tapi bayi ini terus menendang-nendang kelaparan. Aku bukan seorang ibu yang egois memikirkan diri sendiri. Ya, kamu benar aku murahan, tapi sampai detik ini aku masih sadar tanggung jawabku. Dia masih ada di dalam tubuhku." Rahma bersusah payah berkata sambil memegangi perutnya.
Betapa pilu hati Ibra menatap mata itu, mata yang memancarkan ketakutan juga kekecewaan terhadap dirinya. Ibra bukannya tidak tahu kalau sang anak memang akan selalu menendang-nendang ibunya di tengah malam meminta makan. Ibra bahkan tertawa saat Bi Mirna bercerita betapa Rahma sangat kelaparan di pagi hari jika malamnya dia tidak makan dua kali.
Saat mendengar itu, ingin rasanya Ibra menemani Rahma. Pernah satu waktu Ibra mendengar derap langkah turun tangga Rahma. Ibra tahu Rahma pasti sedang kelaparan. Ibra hanya bisa mematung menunggu dari balik kamarnya dengan perasaan tak tenang, bagai pecundang yang tidak bisa membantu apa-apa kepada Rahma.
"Ssst ... cepat habiskan makananmu." Ibra menarik Rahma untuk duduk kembali. Dia duduk lalu dengan cepat dan setengah menangis menghabiskan makanannya tanpa menoleh pada suaminya. Jelas itu tatapan takut di mata Rahma kepada Ibra.
Dia kelaparan. Anakmu kelaparan di dalam sana. Kau jahat, wanita ini begitu asing di matamu, apa pun alasannya kau tidak berhak menghakiminya seperti tadi.
Rahma terus saja menunduk, mencoba sekuat tenaga menghabiskan makanannya. Hatinya merutuki menolak tawaran Bi Mirna sebelumnya. Andai di kamarnya ada cemilan, dia pasti tidak perlu turun untuk mencari makanan. Putra di dalam perutnya memang selalu mengerjainya setiap malam. Rahma juga sempat menduga jika Ibra tidak akan pulang, karena itu dia berani berlama-lama di ruang makan sendiri. Namun sayang, kesunyian kembali membuat dia teringat kejadian beberapa jam sebelumnya. Kata 'murahan' terus terdengar di telinganya.
Setelah selesai dia bergegas merapikan makanan, tapi segera ditahan Ibra.
"Sudah, besok pagi biar Bibi yang rapikan, sekarang kita tidur. Kamu mau susu hangat, Amma? Biar aku buatkan?"
Rahma menggeleng sambil terus menundukkan kepala. Tangannya masih bergetar. Betapa pilu hati Ibra.
Menyesal. Ibra sungguh merutuki kebodohannya saat tadi. Emosinya meluap tanpa bisa dibendung.
Rahma masih enggan menatap wajah Ibra. Dengan sabar Ibra merapikan rambut dan sisa makanan yang masih menempel di sekitar wajahnya. Lalu memberikan segelas air agar isakannya mereda, Rahma menerimanya. Meminumnya walau masih sesenggukan.
Ibra memang belum pernah melihat Rahma yang seperti ini. Rahma yang rapuh, menyedihkan, dan ketakutan. Beberapa bulan ini Ibra enggan menatap matanya, menyentuh wajahnya, atau sekadar mendengarkan celotehan lucu wanita ini. Ibra juga tersiksa menahan gairah yang terlarang di antara mereka. Terlarang karena kebodohan mereka akan suatu janji.
"Sssstt, sudah maafin kata-kataku tadi ya, Amma. Aku emosi sesaat. Maafkan aku. Kamu tidak seperti itu, tampar aku agar kamu puas, tampar pria brengsek ini!!!" Desakan Ibra justru semakin membuat Rahma terpancing mengeluarkan isakan. Lihat, akibat ulahmu!
Rahma hanya menggeleng tanpa melihat wajah Ibra, lalu menangis dengan kencangnya. Terisak-isak meluapkan kesedihan, sakit hati bercampur rasa rindu akan pria brengsek ini.
Spontan Ibra mengangkat tubuh Rahma dalam gendongannya. Rahma tidak merespons dan tidak menolak. Tubuhnya sudah bergetar dan lemah untuk membalas tindakan Ibra.
Kepalanya bersandar di dada Ibra, tapi Rahma tidak merangkul pria itu, lebih memilih memeluk dirinya sendiri. Meringkuk dalam gendongan Ibra dan tetap sesenggukkan menahan tangis yang tidak bisa dia hentikan.
Aku akan membawanya ke kamarku dan menenangkannya.
Ibra merebahkan Rahma dengan lembut, menjadikan tanggannya bantalan untuk Rahma tidur, Ibra memeluk erat tubuh Rahma tanpa bersuara.
Hanya suara isakan pilu yang masih terdengar. Ibra menepuk-nepuk punggung Rahma dengan pelan, sesekali dia mengusap lembut untuk menenangkan Rahma. Posisi mereka berimpitan, perut besar Rahma menjadi pembatas mereka berpelukan.
"Sssstt ... tidurlah, Amma." Tak lama mereka sama-sama dikejutkan dengan pergerakan di perut Rahma. Rupanya si bayi mengetahui ada kehadiran sang ayah. Rahma memekik kaget, lalu dengan sigap Ibra mengelus-elus perut Rahma.
Putraku menyapaku untuk pertama kalinya. Ada rasa senang di hati Ibra. Akhirnya dia dapat merasakan pergerakan itu. Tendangan yang selalu membuat Ibra iri saat Bi Mirna menceritakannya. Akhirnya dia bisa menyentuh istri tercintanya. Mendekap wanita yang sangat dia rindukan. Wangi Rahma masih sama, seperti saat Ibra selalu memeluknya.
"Kamu juga tidur yah, Nak. Kasihan mamamu lelah kalau kamu menendang-nendang terus, Papa ada di sini menemani kalian berdua. Papa janji tidak akan meninggalkan kalian lagi seperti kemarin. Sekarang Papa milik kalian berdua," ujarnya sambil mengusap lembut perut Rahma, lalu mengecup perut bulat itu. Akhirnya Rahma mendapatkan saat-saat yang selalu dia impikan. Berada dalam dekapan Ibra dan mendapat usapan di perutnya saat anaknya menendang.
Apakah harus dengan tangis dan hinaan, Rahma bisa sedekat ini dengan Ibra?
"Papa akan menjaga kalian," bisik Ibra lembut sambil mengelus perut Rahma.
Oh, kata-kata sandiwara yang sangat menenangkan, pikir Rahma. Sejenak dia menikmati kata-kata itu biarlah jika ini hanya akting semata.
Kumohon, beri aku bonus waktu untuk merasakan layaknya pasangan yang berbahagia menanti kelahiran putra pertama kami, batin Rahma terus berteriak penuh harap.
Belaian halus Ibra begitu meredakan hati gundah Rahma. Entah pengaruh hormon atau memang hati Rahma yang terkontaminasi oleh Ibra sudah merasa membaik.
Rahma mulai tenang.
Perlahan isakannya mereda diiringi suara dengkuran halus, tubuh Rahma juga sudah mulai melemah. Ibra menatap wajah sendu Rahma. Mata bengkak yang menandakan dia menangis tanpa henti.
Andai waktu bisa diulang kembali.
Di samping itu, Ibra tersenyum lega karena istrinya terlihat berisi, pipinya semakin tembam, dan keseluruhan yang ada pada Rahma membuatnya rindu.
Apa yang kau pikirkan, Ibra? Kau begitu mendamba bermesraan dengan Rahma? Siapa yang lebih murahan sekarang?
Ibra sadar Rahma perlahan sudah sangat menggangu hatinya. Mengecoh cintanya yang hanya untuk Marrisa, yang kini hampir hilang, bahkan sepertinya tidak tersisa kenangan Marrisa di hati Ibra.
Marrisa pernah menangis, tapi hati Ibra tidak sesakit dan sepilu saat dia melihat Rahma menangis seperti tadi. Dengan pelan Ibra mengecup dahi Rahma, dengan sentuhan lembut Ibra mengecup setiap bagian di wajah Rahma penuh kerinduan.
Mereka terlelap, seolah telah kembali kepada pemilik hatinya. Tidak ada rasa canggung, rasa aneh, rasa asing. Kali ini mereka melupakan itu semua demi sang bayi yang meronta di dalam sana.
Hati mereka menyatu tapi raga mereka berusaha menolak. Hanya anak yang berada di dalam rahim ibunya yang sementara dapat menyatukan mereka.
***
Okey, sampai di sini aku update..
Sisanya bisa dilihat dalam bentuk buku.. Kan mau lebaran, sisihkan duit thr untuk beli buku ini abis lebaran hahah
Nanti akan aku update lebih jelasnya. Jangan di hapus dari library yah cerita ini.
Secara keseluruhan memang versi yg ini berbeda dengan versi awal. Adegan2 nya juga akan berubah.
Kira2 klo buka po dari aku, ada yang mau nggak? Di toko buku juga bisa kamu beli, sih...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro