Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Hello again (🕷️Fem!⚓)

Kotaro: kalian tau gak? Aruji kita ini ga smart banget.

Sena: hahaha ... ngelupain tinggi badan Kak Akaba dan Kak Kakei ya?

Monta: perbedaannya tuh ga kaya Levi dan Eren dari anime sebelah max!

Suzuna: ukenya 2 meter sementara semenya cuman 176cm.

Ikkyu: salut sih sama Akaba bisa naklukin uke 191cm.

Sakuraba: katanya sih disini Kakei tingginya engga terlalu jauh sama Akaba.

Suzuna: pasti biar kalo cipokan nyampe kawan, tidak harus naik kursi dulu atau manjat tiang gawang.

.

.

.

Sore menjelang malam pemuda berambut merah menyampirkan gitar ke pundaknya lalu beranjak dari ruang ganti menuju gerbang Sekolah Bandou, sebelum pemuda itu berhasil menginjakkan kaki keluar wilayah sekolah sahabatnya memanggilnya.

"Oi Akaba! Udah mau pulang?"

"Fuh ... ya, maaf Kotaro hari ini aku ada sesuatu yang tidak boleh ditinggalkan, tidak bisa berlatih sampai malam."

Sahabatnya tidak sudi mendengar alasan remeh dari Akaba, sampai-sampai sisir yang baru saja dipakainya masih menempel di rambutnya. Kotaro bisa menebak apa itu "Sesuatu hal yang tidak boleh ditinggalkan" Akaba malam ini. Informasi dari manajernya Akab ada janji dengan seseorang untuk bertemu dan sama sekali tidak boleh diganggu gugat meskipun itu jadwal latihan tambahan.

"Terserahlah, yang penting jangan bikin persahabatan antara Tim Kyoshin dan Bandou retak bagaikan gitarmu yang pernah menjadi korban amukan gadis bermata tajam itu."

"Fuh ... tidak akan itu Kotaro, Tim Kyoshin dan Bandou akan selalu memiliki ritme yang bagus dan juga melodi indah saling melengkapi."

"Seperti biasa aku tidak pernah mengerti dengan ucapanmu itu," sindir Kotaro.

"Fuh ... aku tidak butuh kata-kata itu dari orang tidak smart membiarkan sisirnya berada di rambut." Akaba balas mengejek sembari menyeringai jahil.

Kotarou pun memberikan sumpah serapah bonus smart spit attack pada Akaba, tidak terima trademark-nya digunakan untuk menyerang balik oleh Akaba. Akaba mengambil langkah mundur untuk menghindari hujan asam dari Kotaro.

Hujan asam berhenti setelah mendapat pukulan telak dari mantan manajer tim. Julie pun menyuruh Akaba pergi sebelum Kotaro kembali kunat dengan jurus andalannya. Akaba pun melambaikan tangan dan pamit pergi.

Diperjalanan menuju tempat tujuan Akaba tak dapat mempertahankan ekspresi datarnya, bibirnya tak tertahan untuk tidak menyunggingkan senyum. Hari ini memang hari yang sangat dinanti pemuda bermata merah ini, dia akan bertemu dengan kekasihnya lagi setelah tiga bulan lamanya.

Lupa bilang, sebenarnya Akaba berada di SMU Bandou adalah melatih para pemain Tim Bandou Spiders yang baru bersama dengan Kotaro, selama sempat Akaba akan meluangkan waktunya untuk kouhai-kouhai sepulang kuliah.

Kenapa Akaba tidak bertemu kekasihnya selama tiga bulan? Kakei memilih meneruskan pendidikannya ke Amerika, terpaksa berhubungan LDR sampai saat ini.

Tempo jalan Akaba makin lama makin cepat, merasa dia sudah terlambat dari jam yang sudah dijanjikan, Akaba memakai jam tangan, namun entah mengapa dia mengandalkan warna langit yang mulai menggelap sebagai patokannya seakan melihat jam tangan bisa menghabiskan waktu banyak dan menghambat dirinya datang tepat waktu.

🕷️⚓

Sementara itu di tempat janji, yakni tepatnya depan gedung bioskop berdiri seorang gadis berambut biru gelap seleher, sisi kiri rambutnya dikepang, sepasang mata biru laut dengan tinggi 180cm tanpa mengenakan sepatu heels. Itu tinggi alami gadis manis bermata tajam itu.

COWO GITAR OTAKU ITU MANA?! Jangan-jangan dia lupa? Atau ... dia tidak ingin jalan bersebelahan dengan perempuan yang tinggi sepertiku ini? jeritnya dalam hati, gadis ini panik dalam dunia pikirannya, pikiran negatif itu memenuhi.

Ketika rasa frustasi melanda, sebuah tepukan pelan di pundak menyadarkan si gadis dari dalam dunia pikirannya, dia pun berbalik.

"Fuh ... maaf telat Kakei-kun, tadi aku harus berdebat sebentar dengan Kotaro."

"A ... ah ... tidak apa kok Akaba."

"Fuh ... sepertinya aku membiarkanmu menunggu lama disini," ucapnya seraya menyampirkan rambut biru gelap kekasihnya ke belakang telinga.

Seketika wajah Kakei terasa panas, kedua pipinya merah, lelaki ini selaku berhasil membuatnya tersipu malu. Mulut Kakei bergemeletuk, tidak tahu harus membalas apa, suaranya tidak ingin keluar.

"Fuh ... Kakei-kun, kamu makin cantik dan tinggi saja."

Manik turquoise milik Kakei melirik ke kiri dan kanan, dua tangannya meremas kaos miliknya.

"Ada apa Kakei-kun? Kamu sakit?"

"Ti ... tidak, lebih baik kita pergi dari sini, kita ... kita mau kemana?"

"Kukira kamu minta ketemuan disini untuk menonton film."

"Eh? Aku ... aku pikir tempat ini cukup dekat dengan SMU Bandou ... jadi aku pilih disini ...," ucap Kakei malu-malu.

"Bagaimana kalau di alun-alun kota, menemaniku bermain gitar? Sudah lama aku tidak memainkan gitar untukmu."

"Tapi--"

"Fuh ... ada apa Kakei? Ritmemu kelihatan berantakan dan kamu kelihatan ada sesuatu yang membebani pikiranmu."

Tidak ada balasan dari Kakei, gadis tinggi ini memilih diam, ingin mengucapkannya terasa sangat malu bagi dirinya tetapi jika tidak diutarakan ini semakin menghancurkan perasaannya dan membiarkan rasa takut menguasai.

Akaba tiba-tiba saja menggenggam tangan Kakei ke seberang bioskop, disana ada taman kecil, tempat untuk duduk juga ada disana, dihiasi pohon-pohon kecil dan satu-dua bunga mencuat keluar dari balik batu keramik.

Tempat itu tidak ramai namun tidak juga sepi, menurut Akaba tempat itu cocok kalau Kakei ingin membicarakan sesuatu padanya dengan serius. Diskusi ringan bersama Kakei adalah salah satu hal favorit Akaba. Sebisa mungkin Akaba akan mempertahankan hubungannya dengan Kakei, dia sudah terlanjur cinta mati dengan gadis tinggi ini.

Ketika mereka berjalan beriringan, pasang mata di sekitar memperhatikan mereka, ada yang berbisik mengenai perbedaan tinggi mereka, ada juga yang memuji Akaba tampan, dan kagum dengan tingginya Kakei.

Setelah mereka mendapatkan tempat yang bagus untuk ngobrol, Akaba sudah tau apa yang ingin Kakei tanyakan padanya, tetapi Akaba lebih pilih menunggu Kakei mempertanyakannya, jika Kakei tidak bisa bertanya tentang itu, Akaba akan langsung menjawabnya.

"Akaba."

"Ya?"

"Kamu tidak risih jalan bersebelahan denganku? Maksudnya ... mana ada cowo jalan sama cewe yang lebih tinggi dari dia, 'kan aneh."

"Fuh ... sudah kuduga kamu akan menanyakan hal itu, bukankah itu hal sepele? Aku tidak peduli dengan itu," ucapnya seraya mengelus pipi Kakei. "Jangan pikirkan itu lagi, fuh ... tempat ini kayaknya kurang cocok, bagaimana kalau kita ke rumahku saja?"

"Eh?"

"Kalau tidak mau tidak apa, aku akan mengantarmu pulang sekarang, karena aku telat datang kita jadi tudak sempat berkeliling tempat ini."

"Jangan." Kakei langsung mencegah, kedua tangan Kakei menggenggam tangan Akaba kuat. "Aku ... aku ingin mengunjungi rumahmu lagi," lanjutnya, matanya bergerak perlahan melirik ke kanan, untuknya mengucapkan hal itu sangat memalukan.

"Fuh ... baiklah, sekalian menginap?"

"Itu ... itu ...."

Kakei mulai salah tingkah lagi.

"Kalau jawabannya tidak, jam 12 nanti akan kuantarkan kamu ke apartemen."

"Aku menginap." Dua kata itu terucap, Kakei sadar belakangan. Dia baru saja terjebak di jaring laba-laba dan tidak akan bisa lepas meski ingin.

"Ayo."

Akaba menggenggam tangan Kakei, menuntunnya ke rumah. Selama perjalanan pikiran Kakei sudah mengawang-ngawang diselipi panik, dia belum pernah bertemu keluarga Akaba, pikirannya kini dipenuhi dengan pertanyaan "Bagaimana kalau ...." Dia kembali mengkhawatirkan tinggi badannya yang terlampaui tidak normal untuk gadis 21 tahun.

"Sudah sampai."

Lalu Akaba mengajak masuk ke dalam rumah.

"Aku pulang."

"Selamat datang, eh? Siapa gadis manis dan tinggi ini Akaba?"

Baru saja satu langkah melewati genkan, Kakei disambut ibunya Akaba.

"Pacarku, dia berkuliah di Amerika setelah lulus dari SMU Kyoshin."

"Heee? Tinggi sekali! Keren! Kakak menggunakan pelet ya untuk mendapatkan perempuan ini."

Akaba tidak segan-segan menyentuk dahi adik perempuannya. "Jangan berbicara tidak sopan begitu."

Perempuan berambut merah panjang sepunggung itu menggembungkan pipinya. "Siapa tahu, kakak walaupun ganteng belum tentu bisa mengambil hati wanita cantik, manis, tinggi, dan cerdas ini untuk menjadi kekasih kecuali pakai jampi-jampi."

"Kakei-kun tidak diguna-guna olehku."

Adik perempuan Akaba menuding kakaknya sendiri. "Lihat! Kakak manggilnya saja menggunakan nama marga."

"Sudah-sudah kalian ini malah berantem di depan tamu," kerai ibu Akaba.

Akaba meninggalkan lorong diikuti Kakei di belakang. Kakei melihat sekeliling, semua kamar berada di lantai dua dan kamar Akaba berada tepat di depan tangga.

"Fuh ... silakan masuk."

Kakei masuk, dan langsung duduk di atas kasur Akaba layaknya kasur sendiri. Akaba tidak berbicara apapun, Akaba sendiri duduk di kursi belajarnya setelah mengeluarkan gitar listrik dari tas.

Akaba memainkan gitarnya, Kakei memperhatikan Akaba bermain, lama kelamaan mata Kakei tertutup, tubuhnya terjatuh ke kasur.

"Fuh ... sudah tidur saja. Sudahlah ... mungkin lain kali."

Akaba menyenderkan gitar listriknya ke meja belajar, beranjak dari kursi ke sisi kasur, Akaba membungkukkan badannya dan mengecul kening Kakei.

"Selamat tidur, Shun. Mimpi indah," bisiknya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro