Tigabelas : Reversal!
Kenneth's POV
Seminggu sudah setelah aku mengakui perasaanku di hadapan Keira, seminggu setelah aku tanpa sengaja menyakiti Alleira, dan seminggu setelah aku memutuskan hubunganku dengan Jasmine secara sepihak untuk pertama kali. Karena selama ini, akulah yang berada di pihak yang diputusi, Selain kasus Gabby tentunya.
Lalu... sudah seminggu juga Alleira menghindariku.
Dia sudah tidak pernah lagi pergi sekolah bersamaku, melainkan dengan Nicholas. Dan selama istirahat, Alleira selalu menghilang, entah itu bersama Nicholas, atau sendiri.
Singkatnya, Alleira memutuskan komunikasi, dan hubungan dengan Keira dan juga diriku seminggu ini.
Jujur, aku dan Alleira tidak pernah selama ini bertengkar atau tidak bicara. Kami tidak pernah membiarkan masalah hingga berlarut-larut.
Aku bahkan mencoba menghubungi ponsel Alleira yang langsung tertuju ke kotak suara, pesan singkatku juga tidak pernah lagi di balas.
Setidaknya jarak ini seakan semakin menguatkan keyakinanku atas perasaanku terhadap Alleira. Aku sangat kehilangan sosok Alleira dan itu membuat emosiku labil.
Semuanya selalu terlihat salah olehku, bahkan aku sering mencak-mencak dan melampiaskan emosiku pada Keira, Kelly, Mommy, atau Daddy.
Aku bahkan marah saat Mommy menangis menonton drama korea disampingku, alhasil, Mommy jadi bengong sendiri melihat kelabilan emosiku.
Seminggu ini juga, tidak ada satu orangpun yang berani mendekatiku atau mengajakku bicara, terutama Keira yang memang tahu alasan kelabilanku.
Tok
Tok
Tok
Tidak kujawab ketukan pintu itu. Aku bisa menebak kalau yang mengetuk pasti adalah anggota keluargaku yang sedang mengantar raga untuk menjadi amukan emosiku.
"Boleh om masuk?"
Aku menoleh begitu mendengar suara bariton yang familiar, namun pertama kali kudengar di ambang pintu.
"Om Alvero?" Gumamku. Aku melihat om Alvero menyunggingkan senyumnya padaku sesaat. "Masuk, Om."
Om Alvero masuk dan duduk di kasurku. Dan aku memutar kursi belajarku, mendekatkannya ke sudut kasur, mendekati om Alvero.
"Gimana kabar kamu?" Tanya Om Alvero. Wajah om Alvero terlihat khawatir dan lelah, tapi tidak mungkin kan kalau om Alvero mengkhawatirkanku? "Sudah lama kamu gak kerumah dan nantangin om catur. Om sampai harus bawa catur ke sini buat nantangin kamu." Om Alvero tertawa renyah, aku hanya menyunggingkan senyumku.
"Kalian berantem?" Tanya Om Alvero kemudian. Aku tahu siapa 'kalian' yang om Alvero maksudkan.
"Tidak." Jawabku pelan, karena aku sendiri tidak yakin.
"Om... sejujurnya juga bingung kenapa om bisa ada disini. Tapi om benar-benar gak tau harus mencari siapa." Ucap Om Alvero pelan sambil menunduk dan menghela nafas panjang. "Tapi sepertinya hanya kamu yang bisa membantu Om saat ini. Itupun kalau kamu masih... peduli sama Alleira."
Jantungku kembali berdegup dengan cepat begitu mendengar nama Alleira disebut. Tapi ada apa? Perasaanku sama sekali tidak enak saat ini mendengar keseriusan dari om Alvero.
"Alleira kenapa, Om?" Tanyaku.
"Kamu tahu kan kalau Alle belakangan ini dekat banget sama Nicholas?" Aku mengangguk. "Om sebagai ayah, Khawatir..."
"Memangnya kenapa, Om?" Tanyaku lebih mendesak.
"Alle, belakangan ini selalu pulang malam. Hari ini juga dia belum pulang." Ujar om Alvero, nada bicaranya terdengar sedikit menyesal, raut wajahnya juga.
Aku melihat jarum jam yang sudah menunjukan pukul 10 malam dengan raut khawatir, namun aku tidak menunjukan ke khawatiranku pada om Alvero untuk tidak menambah kepanikan.
"Kenapa om gak larang? Om kan Daddynya?" Tanyaku berusaha tenang.
"Om sebagai laki-laki, hanya bisa memegang kata-kata om saat om kalah main catur lagi sama Nicholas. Makanya, om menyesal gak bisa menjaga anak gadis om." Sesal om Alvero sambil menyunggingkan senyum tipis.
"Lalu, Om mau minta apa dariku?" Tanyaku ragu. "Apa om mau minta aku cari Alleira?" Tanyaku lagi.
"Itupun kalau kamu masih peduli." Gumam om Alvero pelan,namun masih bisa tertangkap oleh telingaku. "Om hanya takut terjadi hal-hal yang tidak om inginkan sama Alleira. Om takut Alleira terjerumus ke pergaulan yang tidak baik. Terlebih beberapa hari ini..."
Om Alvero menggantungkan ucapannya dan menghela nafas panjang.
"Tante Rere mencium aroma Alkohol dan rokok dari Alle saat pulang. Dan Alle juga sudah mulai bisa berbohong sama kami. Contohnya hari ini, saat dia bilang mau latihan cheers dengan Keira. Tapi buktinya Keira ada di kamarnya sekarang. Om merasa gagal menjadi orang tua." Keluh om Alvero. Terlihat sekali penyesalannya karena om Alvero menunduk, seakan ingin menyembunyikan wajahnya atau airmata penyesalannya.
"Alkohol? Alle kan masih di bawah umur, om? Dia gak mungkin bisa masuk ke klub malam?" Aku mengernyit.
"Tidak ada yang tidak mungkin kalau mereka menggunakan uang untuk menyuap petugasnya, Ken." Ujar om Alvero. Mata om Alvero memerah, dan aku baru melihat om Alvero sekacau ini setelah yang terakhir saat Alle diculik dulu.
Aku mengangguk dan mengulas senyumku. "Aku akan cari Alle, Om." Putusku.
"Beneran? Kamu mau bantu om?" Tanya om Alvero tidak percaya.
Aku mengangguk, lagipula aku mencari Alle, bukan hanya sekedar ingin membantu om Alvero, melainkan menenangkan kekhawatiran hatiku dan menjaga Alle dengan tanganku sendiri meskipun aku masih belum bisa mengatakan hal yang sejujurnya pada siapapun termasuk om Alvero saat ini.
"Terima kasih, Ken. Om gak tahu harus ngomong apa, dan benar-benar gak tahu harus minta tolong siapa. Karena di pikiran om, hanya ada kamu yang pasti bisa menjaga Alle dengan baik." Aku menyunggingkan senyumku. "Seperti apa yang kamu pernah bilang, Om mengenal kamu dari zaman kamu masih bentuknya kayak upil dinosaurus sampai segede ini." Om alvero tertawa mendengar ucapannya sendiri.
Aku juga ikut tertawa, mengingat Daddy suka memanggilku dengan sebutan 'anak upil' dulu. Lalu aku berdiri dan menyambar jaketku yang tergantung, aku harus segera mencari Alle sekarang, karena ini sudah terlampau larut.
"Om, Tadi om bilang, om bawa papan catur ke sini? Aku gak harus kalahin om dulu sebelum cari Alle, kan? Karena kalau begitu, aku rasa sampai bulan depan, aku gak akan bisa cari Alle." Ujarku di ambang pintu, membuat om Alvero tertawa.
"Besok-besok aja, om baru tantangin kamu. Hari ini, pengecualian lainnya. Dan lagi, Ken..." Tawaku terhenti, menunggu ucapan om Alvero. "Om titipin Alleira sama kamu, ya?"
Aku tersenyum dan mengangguk. "Hari ini aja, om?" Tanyaku menggoda, om Alvero ikut tertawa.
"Hari ini, sampai om harus nantangin kamu catur lagi." Ujar om Alvero sambil tersenyum.
"Aku tunggu, Om." Jawabku percaya diri. "Aku pamit dulu. Kasih tahu kalau Alle sudah kembali."
Aku tidak lagi menunggu jawaban om Alvero, aku segera keluar dari kamarku tergesa-gesa.
Bahkan Mommy dan Daddy juga terkejut melihatku yang keluar kamar, langsung menyambar kunci mobil dan mencium pipi mereka.
Tanpa membuang waktu lebih banyak, aku segera keluar dari apartemen menuju ke mobilku untuk mencari Alle.
*
Alleira's POV
Apa yang aku lakukan?
Apa yang aku lakukan?
Apa yang aku pikirkan?!
Sejak kapan aku mulai pintar berbohong? Aku yakin Mommy dan Daddy pasti akan kecewa padaku, tapi aku menginginkan sayap kebebasanku.
Dan disinilah aku, di dalam klub malam milik Nicholas, dimana aku dapat bertemu dengan banyak orang yang tidak pernah kutemui. Dunia malam yang dipandang jelek oleh seluruh mata, namun menurutku, justru dunia inilah seperti rumah kedua bagiku.
Apalagi disaat perasaanku tengah dilanda gelisah seperti ini. Klub Infinite milik Nicholas seakan menenangkanku.
Dengan kepemilikan Nicholas pada Klub ini, jelas saja bisa membebaskanku yang masih dibawah umur agar dapat masuk kesini. Awalnya Nicholas menolak untuk membawaku mengenal kehidupan malam ini, namun aku bersikeras dengan alasan menginginkan ketenangan.
Ya, ketenangan atas perasaanku yang aneh setiap kali aku melihat atau berdekatan dengan Kenneth semenjak obrolan terakhirku dengan Mommy.
Seminggu sudah aku menghindari Kenneth. Aku sengaja mengacuhkan telepon dan pesan singkat darinya, bahkan aku selalu keluar sampai malam seminggu ini bersama Nicholas.
Aku hanya merasa belum siap menghadapi Kenneth setelah tahu kalau Kenneth hanya menganggapku sebatas kenalan dari sahabat Daddynya.
Aku bahkan terus berbohong mengenai kerja kelompok, latihan Cheers, atau apapun yang diusulkan Nicholas. Dan aku bisa dengan lancar berbohong sekarang tanpa kelihatan gugup atau merasa bersalah sama sekali.
Tapi setelahnya? Aku terus meratapi kebohonganku seperti ini. Apa yang kupikirkan sampai aku tega berbohong pada orangtuaku?
"Bengong aja!" Tegur seorang wanita cantik yang bernama Giselle. Salah satu teman baruku yang merupakan sahabat Nicholas.
"Gak bengong." Jawabku bohong. "Nicholas mana ya?" Tanyaku mengedarkan pandanganku kesekeliling.
"Dance Floor. Turun aja, Al." Ajak Giselle yang tengah meminum minumannya di meja. Nafasnya tersengal sekembalinya dari dance floor barusan.
"Iya deh, sekalian gue pamit ya. Udah malem." Ujarku sambil berdiri.
"Ah elah Al. Baru juga jam 11. Masih pagi kali! Matahari aja masih belom nongol." Sindir Giselle.
Aku menyunggingkan senyumku dan menyesap habis orange juice ku. "Next time aja." Ujarku sebelum meninggalkan kursi VVIP di lantai 2 untuk mencari Nicholas.
Samar, saat aku menuruni tangga, aku mendengar keributan selain suara musik yang memekakkan telinga. Bahkan orang-orang yang kini berada di hadapanku seakan bergerak mundur dan menatap ketengah Dance Floor.
Aku mengernyit tidak mengerti. Mungkin ada seseorang yang tengah unjuk kebolehan di Dance Floor. Jadi aku mengabaikannya. Mataku bergerak mencari sosok Nicholas di tengah kerumunan, namun yang kutemukan adalah sahabat Nicholas Lainnya.
"Dan! lo liat Nicholas?" Tanyaku.
Daniel menatapku sedikit terkejut dan mengangguk. Tangannya lalu menunjuk ke arah Dance Floor.
Aku mengikuti pandangan matanya, lalu tercekat melihat Nicholas yang ternyata menjadi pusat perhatian pengunjung klub ini sedari tadi.
Namun dia tidak sendiri, melainkan dia bersama Kenneth.
Aku menutup mulutku dengan kedua tanganku, tanpa berpikir panjang, aku segera menerobos lautan manusia di hadapanku. Sempat aku merasa Daniel berusaha menahanku, namun aku terlalu cepat.
Hingga akhirnya aku berada di dekat mereka yang masih tidak sadar akan keberadaanku sampai aku mendorong kasar tubuh Kenneth yang sudah siap melayangkan tinjunya lagi ke Nicholas yang wajahnya sudah mengeluarkan darah segar dari pelipis dan sudut bibirnya.
"Kenneth, Stop!!!" Teriakku yang langsung membentengi Nicholas dengan badanku.
Jantungku kembali berdebar dengan cepat begitu berhadapan dengan Kenneth setelah seminggu menghindarinya.
Seluruh rasa di dadaku seakan berlomba untuk keluar. Rasa rindu menatap kedua matanya, dan juga debaran aneh itu menghinggapiku lagi.
Kenneth menatapku kaget, lalu matanya menatapku lembut seperti biasanya. Tapi tatapan itu hanya sebentar karena kemudian Kenneth menatap Nicholas dibelakangku dengan tatapan tajam.
"Ini yang lo bilang, Alle gak disini sama lo?!" Tanya Kenneth. "Brengs--"
Aku menahan lengan Kenneh lalu kembali mendorong tubuhnya begitu Kenneth ingin kembali melayangkan tinju di wajah Nicholas.
"Kenneth! Berenti! Ini bukan sarana tinju dimana lo bisa buat kekacauan!!"
Kenneth terkejut mendengar ucapanku barusan. Lalu kemudian dia mematapku tajam.
"Kamu ngebelain Nicholas? Kamu tuh sadar ini udah jam berapa? Kamu umur berapa? Ini dimana? Ini semua tuh bukan dunia kamu! Iblis ini yang kasih pengaruh buruk ke kamu!!!" Teriaknya membuat nafasku berderu dan jantungku bergemuruh.
"Kenapa lo harus sok sibuk sih? Ini hidup gue! Gue berhak keluar sama siapapun tanpa seijin lo. Lo aja bisa keluar sama Jasmine, kenapa gue gak?" Tanyaku kesal.
Kenneth terdiam, menatapku tajam lalu tangannya menarik lenganku. "Ikut gue pulang, SEKARANG!" Ujarnya.
"Lepasin tangan Alleira!" Tanganku lainnya di cekal oleh Nicholas.
"Lo gak ada hak melarang gue membawa Alleira!" Sergah Kenneth tajam. "Lepasin!"
"Gue ada hak! Gue pacarnya!!"
Aku terdiam, Kenneth juga.
Pacar? Sejak kapan aku dan Nicholas pacaran? Kami hanya sebatas pergi keluar bersama, nonton, makan, dan ke klub, bercanda bersama.
"Aw aw aw... shhh" aku meringis begitu merasakan pergelanganku yang di pegang Kenneth mengeras.
"Gue pacar Alleira, sekarang lo bisa lepasin tangan lo dari cewek gue!" Gertaknya lagi. "Lo yang gak mempunyai hak atas Alleira!"
Kenneth mendengus lalu menyunggingkan bibirnya. "Oh ya?"
Aku mengernyit. Tidak bisa mencerna apapun yang sedang terjadi disini.
"Gue punya hak penuh atas Alleira!" Ujar Kenneth tegas.
Aku bisa melihat, sekuriti sudah datang dari kerumunan orang-orang yang mendapat tontonan gratis di tengah dance floor ini.
"Oh ya? Sebagai apa? Kakak? Teman masa kecil? Atau hanya sebatas kenalan dari Daddy lo?" Tanya Nicholas menyindir. Ya, aku juga mempunyai pertanyaan itu di kepalaku. Entah apa yang akan dipilih Kenneth, tapi sepertinya pilihan terakhirlah yang akan dipilihnya. "Pak, Usir orang ini dari Klub. Dan jangan biarkan orang ini menginjakkan kakinya di sini lagi!"
Kenneth menepis lengan sekuriti yang hendak menariknya keluar, "Tanpa lo minta, gue akan keluar dan gak akan datang lagi! Tapi Alleira harus ikut sama gue!" Tegasnya lagi. "Alle, ayo!"
"Lo gak ada hak---"
"GUE ADA HAK, SETAN!!!" Potong Kenneth galak, susah tidak bisa menahan emosinya. "Gue sama Alleira udah dijodohin dari kecil, dan itu artinya, Alleira adalah tunangan gue, IDIOT!!!"
Bibirku menganga lebar. Nicholas juga. Bahkan pegangan tangannya padaku jadi terlepas.
Kesempatan itu segera dimanfaatkan Kenneth untuk menarikku yang masih tercengang untuk melangkah pergi.
Kenneth menarikku ke parkiran dan memasukkanku ke kursi penumpang.
Kami terdiam beberapa saat ditempat kami. Yang bisa kudengar hanyalah helaan nafas ku dan helaan nafas memburu dari Kenneth.
"Ken---"
"Putusin Nicholas, Al!" Potong Kenneth cepat.
"Gue gak pacaran." Jawabku. "Meskipun iya, apa hubungannya sama lo?"
Kenneth mengernyit menatapku. "Lo berubah, Al." Ucapnya.
"So do you." Sahutku cepat.
Kenneth menghela nafas pelan, aku bisa melihat dari pantulan kaca mobil kalau Kenneth sedang menatapku, membuat jantungku berdebar cepat lagi. Suasana ini mencekamku. Seakan membunuhku secara perlahan.
"Kalau kamu memang gak pacaran sama Nicholas, itu bagus." Gumamnya, aku melihat dia memindahkan persneling dan mulai fokus mengendarai mobilnya.
"Aku hanya mau kamu gak terlalu dekat lagi sama dia. Dia membawa pengaruh yang buruk buat kamu." Ucapnya.
Aku tidak mengerti pengaruh buruk apa yang diakibatkan oleh Nicholas? Apa seburuk pengaruh Kenneth kepada jantungku? Kurasa tidak.
"Om Alvero khawatir sama kamu, dia memintaku untuk mencarimu." Ucapnya lagi.
"Oh." Aku bergumam datar. Hatiku terasa kecewa saat tahu kalau kenneth mencariku hanya karena perintah Daddy.
"Aku juga khawatir." Sambungnya. "Tapi kayaknya itu gak penting untuk aku katakan."
Tubuhku sedikit menegang. Ku lihat pantulan diri Kenneth di kaca jendela, sedang menyunggingkan senyumnya.
"Tapi aku seperti kebakaran jenggot setiap dengar kamu deket sama cowok lain. Aku gak bisa mikir jernih kalau kamu diluar sana sendiri tanpa aku." Lanjutnya. Ya, aku juga sama. Aku seperti terbakar saat melihat Kenneth bersama pacar-pacarnya.
"Selama ini aku coba untuk menepis segala macam hal itu,tapi aku kembali lagi ke titip awal pemikiranku." Sambungnya. "Kenapa aku merasakan hal ini? Dan kenapa aku merasakan ini semua hanya kepadamu? Bukan Keira."
Aku menahan nafasku. Pertanyaan yang sama bergelantungan di kepalaku. Ternyata Kenneth juga menanyakan hal yang sama selama ini.
"Sampai akhirnya aku melihat kamu sama Nicholas, pertanyaanku itu seakan terjawab kalau aku selama ini cemburu."
Aku menggigir bibirku. Menoleh menatap wajah Kenneth dari samping, tapi Kenneth tetap menatap lurus jalanan di hadapannya.
"Tapi kenapa aku bisa cemburu?" Tanyanya lagi. "Aku bahkan menganggap kalau selama ini aku melindungi kamu dan Keira hanya sekedar tanggung jawabku sebagai yang tertua."
"Lalu semakin lama aku tersadar kalau aku bukan lagi melihatmu sebagai Adikku. Bukan lagi ingin menjagamu karena kewajibanku. Tapi karena sebuah keinginan di dalam hatiku yang mulai melihatmu sebagai seorang perempuan dewasa, bukan adik kecil."
Aku merasakan genangan di pelupuk mataku yang hendak mendesak keluar, tapi kutahan. Jantungku berdebar dengan cepat ingin mendengar kelanjutan ucapan Kenneth.
Kenneth menepikan mobilnya di pinggiran jalan lalu menatapku yang masih terus menatapnya. Aku bisa membaca kegugupan di mata Kenneth.
"Lalu aku bertanya pada hatiku sendiri..." ucapnya tertahan.
"Apakah ini yang namanya cinta?"
***
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro