Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sembilanbelas : Dilema...

Kenneth's POV

Aku menatap piring makanan di hadapanku tanpa nafsu. Serasanya rasa laparku menguap begitu saja karena masalah yang terus menerus menghantui isi kepalaku. Mengenai percakapan terakhirku dengan om Alvero. Mengenai Cinta atau Cita.

Dua hal yang sama sekali tidak terpikir olehku kalau aku harus memilih pada akhirnya. Kenapa aku tidak bisa memilih keduanya sekaligus? Apakah aku boleh egois untuk tetap mempertahankan Alleira di sisiku dan aku pergi meninggalkannya ke Canada untuk beberapa waktu?

Meskipun kelak aku bisa pulang setiap liburan, tapi itu semua pasti akan terasa berbeda.

Om Alvero benar kalau Alleira adalah pribadi yang rapuh, dan aku juga tidak mau menjadikan pengalaman pertamanya dalam berpacaran adalah untuk menaklukkan jarak di antara kami.

Percayalah, meskipun kami mungkin masih bisa menukar pesan, bertelepon, atau bertatap muka via Internet, itu semua akan berbeda dengan langsung bertatap muka, berbicara, dan saling menguatkan dengan pelukan sayang atau apapun itu.

Kalau aku membuang kesempatan untuk memgikuti kelas akselerasi, sama saja aku membuang harapan Daddy agar aku dapat segera meneruskan perusahaan Daddy. Dimana meneruskan perusahaan Daddy dalam usia muda, adalah impianku sejak kecil dulu.

Aku mengerjap begitu merasakan telapak tangan yang hangat menyentuh pipiku.

Sudah berapa lama aku melamun dan mengabaikan keberadaan gadisku ini?

Alleira tersenyum dengan begitu manisnya di hadapanku. Raut matanya menyiratkan berbagai pertanyaan kepadaku.

"Kenneth kenapa melamun?" Tanya Alleira. "Kenneth kalah catur lagi sama Daddy?"

Aku menyunggingkan senyumku.

Selepas mendengar permintaan om Alvero, aku tidak menjawab atau menyetujuinya. Karena jujur saja kalau pilihan yang di hadapkan om Alvero berat untuk ku ambil dalam hitungan detik.

Aku langsung berpamitan untuk menjemput Alleira saat itu juga dan kemudian melamun sampai sekarang. Aku bahkan lupa, bagaimana caraku hingga menyetir sampai ke restoran ini.

"Tuh kan Kenneth ngelamun lagi." Alleira menepuk pipiku pelan. "Mikirin apa sih? Kenneth cerita dong. Alleira kan sekarang pacarnya Kenneth."

Jantungku berdesir mendengar ucapan Alleira barusan. Alleira yang seperti ini terlihat berbeda. Dia seakan sudah mengerti apa itu artinya seorang pacar.

"Kata Caroline, kalau orang pacaran itu harus saling terbuka dan jangan menyimpan rahasia supaya gak ada salah paham." Ujar Alleira seakan memberitahuku kalau Alleira yang barusan mengatakan 'alleira kan sekarang pacarnya kenneth' adalah Alleira yang sama seperti dulu. Polos.

"Kamu kasih tau mereka kalau kita udah pacaran?" Tanyaku sambil tersenyum.

Alleira menggeleng. "Tadi mereka lagi ngobrol tentang pacaran gitu. Aku dengerin deh jadinya." Alleira nyengir, membuatku gemas melihat kepolosannya.

"Mereka ngobrolin apa aja?" Tanyaku berusaha mengalihkan topik agar Alleira tidak lagi menanyaiku tentang masalah yang sedang mengusik kepalaku.

"Banyak!" Seru Alleira girang. "Terus Wendy juga bilang kalau dia baru pisah dari pacarnya. Putus gitu." Alleira tersenyum kaku.

"Kenapa?"

"Pacarnya Wendy kan pindah sebulan yang lalu ke Las Vegas, terus wendy bilang gak tahan sama hubungannya yang kayak pacaran sama telepon aja. Terus juga belakangan, Wendy bilang kalau pacarnya ternyata ada pacar lain di Las Vegas saat Wendy ke sana rencana mau kasih surprise. Jadinya mereka pisah deh. Padahal mereka udah pacaran hampir 2 tahun loh."

Aku terdiam. Las Vegas dan Los Angeles hanya terpisah 4 jam dengan mengendarai mobil, dan hubungan mereka yang sudah berjalan 2 tahun kandas begitu saja? Memang itu semua salah di pihak laki-laki yang tidak setia. Tapi di lain sisi, Wendy juga merasa jenuh karena berpacaran dengan ponselnya, bukan dengan pacar nyatanya. Hal yang paling kutakuti.

Bagaimana dengan hubungan kami yang baru berjalan beberapa hari?

"Caroline juga bilang kalau pacaran yang di pisah jarak itu sama aja kayak gak pacaran. Mending gak usah pacaran sekalian dari pada jadi monoton ngeliatin HP melulu." Alleira tertawa, namun tidak denganku.

"Tuh kan kenneth ngelamun lagi!" Tegur Alleira menepuk tanganku. "Kenneth mikirin apa sih??"

Aku mengerjap lagi kemudian menyunggingkan senyum ku yang terasa kaku lalu menggeleng. "Tidak ada. Aku gak mikirin apapun." Bohongku.

Ah... baru awal berpacaran saja aku sudah berbohong. Aku tidak bisa menjamin kalau kedepannya tidak akan ada lagi kebohongan lainnya.

"Lalu... menurut kamu tentang pacaran jarak jauh, gimana?" Tanyaku memancing pendapatnya.

Alleira mengernyit, ia sedang berpikir lalu tersenyum. "Aku gak tau, Ken. Soalnya aku belum pernah pacaran apa lagi sampai merasakan pacaran jarak jauh gitu. Jarak Kenneth sama Alle kan cuman tiga langkah dari pintu apartemen." Alleira tersenyum. Aku mencoba memaksakan senyumku. "Tapi mendengar pengalaman mereka, Aku jadi takut kalau pacaran jarak jauh gitu. Untung aja jarak kita ga jauh ya, Ken?"

Aku kembali menyunggingkan senyum kakuku. Om Alvero benar, Alleira yang mudah terpengaruh dengan omongan orang lain, pasti tidak akan bisa bertahan melawan jarak. Senyum yang ada di wajah Alleira pasti akan pudah secara perlahan. Dan pelangi yang ada di hati Alleira perlahan akan berubah menjadi awan mendung. Dan itu semua pasti karenaku.

Apa aku harus terus menerus menorehkan warna di pelangi hati Alleira, atau berhenti menggambar warna pelangi itu agar pelangi itu masih dapat menghilang tanpa meninggalkan bekas?

Keegoisanku hanya akan membawa luka di senyum Alleira. Tapi kalau aku tidak egois, akulah yang akan terluka. Terluka melepas orang yang aku cintai begitu saja.

"Ken?" Panggil Alleira lagi.

Aku menatap manik mata Alleira dalam lalu tersenyum padanya. "Minggu depan, kita kencan yuk, Al? Ke USH lagi. Mau?" Ajakku.

"USH lagi? Kenneth gak bosen?" Tanya Alleira bingung. Aku menggeleng. "Tapi Alle harus alasan apa sama Daddy?"

"Aku yang akan minta ijin. Tapi kamu mau, kan?" Tanyaku memastikan.

"Tapi memangnya ga ada tempat lain? Kita kan udah pernah kencan di USH?"

"Dulu kan belum pacaran. Kalau sekarang kan beda." Belaku mencari alasan.

Aku tahu aku ngotot sekali ingin kesana, tapi disana, disana adalah tempat saat aku mulai menyadari perasaanku pada Alleira.

"Ya sudah, minggu depan, ya?" Tanya Alleira kembali girang. Aku tersenyum dan mengangguk.

Hidup akan selalu dihadapkan pada pilihan. Aku tahu aku tidak bisa keluar dari masalah ini tanpa mengambil pilihan. Aku hanya ingin memastikan apakah pilihan yang kelak ku ambil adalah pilihan yang tepat?

*

Alleira's POV

"Putri Daddy girang banget dari kemarin?" Tanya Daddy begitu aku sampai di meja makan pagi ini.

Aku memang tidak bisa menyembunyikan senyumku sejak kemarin. Tepatnya sejak Kenneth mengajakku berkencan minggu depan.

"Ada dehhh! Daddy mau tau aja." Seruku sambil menyunggingkan senyum lebar.

"Kamu udah mulai rahasiaan sama Daddy sekarang?" Daddy mengernyit dan aku mengangguk.

"Rahasia kawula muda!" Jawabku menggoda Daddy.

"Oh, Daddy udah tua, gitu?" Aku tahu Daddy pura-pura tersinggung, dan itu lucu.

"Daddy tetap ganteng kok." Pujiku sambil bergelayut manja di lengan Daddy.

"Jangan godain Daddy. Daddy kan milik Mommy." Sahut Mommy dari dalam dapur, menghampiri kami dengan membawa senampan susu dan kopi untuk Aku, Lexy, dan Daddy.

"Daddy milik Alle!!" Seruku sambil memeluk lengan Daddy erat.

"Iya, iya... Daddy milik putri kecil Daddy yang super manja satu ini kok." Sahut Daddy sambil mengecup keningku. Hal yang paling kusukai dari Daddy yang selalu berlaku lembut kepadaku.

"Kak Alle manja, ih!" Cibir Lexy.

"Sirik aja." Aku menjulurkan lidahku pada Lexy lalu beralih menatap Daddy. "Kan aku sayang Daddy, gak apa-apa dong kalau manja. Ya gak Dad??"

Daddy tersenyum sambil mengangguk. "Betul sekali!" Daddy mengambil cangkir kopinya yang tadi Mommy letakkan di meja.

"Kalau aku udah nikah sama Kenneth nanti, boleh juga kan manja gini sama Daddy?"

"UHUKKKK" Daddy tersedak, dan kopi Daddy yang panas sedikit tersembur.

Aku tahu aku kelepasan bicara dengan menyebut nama Kenneth barusan, bodoh!

"Daddy gak apa-apa?" Aku menyeka kopi yang mengalir di sudut bibir Daddy dengan lembaran tissue.

"T-Ta uhukkkk tadi kamu ngomong apa?" Tanya Daddy serak.

Aku melirik Mommy meminta pertolongan, meskipun Mommy juga tampak sedikit terkejut.

"Uhmmm... Alle ada tugas sekolah belum kelar. Alle bawa sarapan Alle ke kamar dulu ya. Bye Mom, bye Dad!!" Aku tidak sepenuhnya berbohong, aku memang ada tugas, tapi itu hanya tugas kesenian yang mudah dikerjakan.

Tanpa menunggu jawaban mereka, aku segera mengambil roti lapisku dan susu kedalam kamar lalu menguncinya.

Aku menghela nafasku dan meredakan debaran jantungku yang berdebar dengan cepat karena ini pertama kalinya aku kabur sebelum pembicaraan selesai. Tapi ini sangat menyenangkan sekali.

Aku berjalan ke meja belajarku, meletakkan susu di atasnya, dan merebahkan tubuhku di atas kasur.

Kira-kira Kenneth sudah bangun belum, ya? Sudah sarapan? Apa kalau aku kirim pesan sekarang, akan mengganggu?

Ahhhh kenapa aku ini? Kenapa aku jadi aneh seperti ini?

Aku tersenyum sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

Tapi kemarin Kenneth aneh sekali. Semenjak kami resmi berpacaran dua hari yang lalu, Kenneth terlihat banyak pikiran. Seakan mempertimbangkan banyak hal.

Terlebih saat kemarin dia mengajak kencan di USH. Aku merasa aneh dari sorot matanya yang seakan menyiratkan penyesalan. Atau itu hanya perasaanku saja?

Drrt

Drrt

Ponselku bergetar di atas nakas. Segera kuraih dan aku melihat nama Kenneth di layar.

Baru juga dipikirin. Aku tersenyum. "Halo?"

"Al, Morning... aku ganggu kamu?"

Aku tersenyum begitu mendengar suaranya. Lalu aku menggeleng. "Morning, Kenneth." Sapaku. "Gak ganggu sama sekali. Kamu udah sarapan?"

"Belum." Jawabnya cepat. "Maaf, Al. Tapi aku mau tanya, apa Keira ada bilang sehabis makan malam, mereka mau kemana lagi? Atau apa Keira bilang dia mau menginap di rumah salah satu teman Cheers kalian?" Tanya Kenneth tiba-tiba.

Aku mengernyit, lalu berpikir sebentar. "Sepertinya tidak. Memangnya kenapa?"

"Keira belum kembali dari kemarin. Aku telepon ponselnya juga gak aktif." Aku mendengar nada khawatir dari suara Kenneth. "Apa kamu bisa hubungin... OH! Tunggu sebentar!"

Aku mendengar suara bising dari tempat Kenneth, juga suara Tante Via dan om Peter.

"Oh, Al. Keira baru kembali. Kamu gak perlu khawatir lagi." Ujar Kenneth lega.

"Beneran? Syukur deh. Terus kak Keira bilang dia dari mana?" Tanyaku juga ikutan lega.

"Gak tau, dia lagi di introgasi sama Mommy dan Daddy. Aku udah masuk ke kamar, mau lanjutin tidur lagi." Kenneth tertawa kecil.

"Kamu gak mau sarapan?" Tanyaku geli.

"Kalau kamu mau suapin, boleh kok." Ujarnya, aku tertawa. "Kamu udah sarapan?" Tanyanya.

"Lagi sarapan." Jawabku sambil melirik piring berisi roti lapis dan segelas susu di atas meja belajarku.

"Tumben kamu boleh mainan HP saat sarapan?" Tanya Kenneth bingung.

Kuceritakanlah kejadian tadi yang membuatku terpaksa harus mengungsi ke kamar untuk melanjutkan sarapan. Aku bahkan sampai tertawa membayangkannya lagi. Kenneth juga tertawa.

"Terus kopinya gimana? Baik-baik aja kan?!" Tanya Kenneth.

"Ken!! Kamu kok khawatirin kopinya?" Aku tertawa geli di ikuti oleh Kenneth.

"Kasian kopinya jatoh, Al." Jawab Kenneth membuatku semakin tertawa lebar.

"Kennn!" Seruku gemas. "Denger suara kamu begini, aku jadi pengen ngeliat kamu. Hmm... rindu? Aneh ya, padahal kamu cuman di depan apartemenku doang. Gak kebayang kalau kamu jauh di ujung sana." Aku tertawa, namun tidak lagi kudengar tawa Kenneth.

"Aku... juga Kangen sama kamu, Al." Jawab Kenneth tertawa getir. "Aku ke apartemen kamu sekarang, ya? Tapi aku mandi dulu." Ujarnya yang membuatku tersenyum lebar. Jantungku berdebar cepat.

Aku mengangguk mantap.

"Kamu lanjutin makan kamu dulu aja." Ujar Kenneth.

"Aku tunggu, ya?" Ujarku terdengar sangat manja, seperti aku sedang bermanja dengan Daddy.

"I Love you, Al."

Aku terkejut, bibirku terangkat sangat lebar, jantungku berdebar sangat, sangat, sangat cepat. Inikah rasanya berpacaran? Hanya satu kalimat itu, aku seakan mampu melupakan duniaku bahkan aku lupa cara untuk bernafas.

"I... I Love you too, Ken..." jawabku pelan.

***

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro