Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Limabelas : The Confession (?)

Alleira's POV

Aku menghela nafasku berat. Mataku sembab, kepalaku terasa berat. Sudah dua hari aku dihukum, dan dua hari juga aku tidak kesekolah, keluar kamar, atau menyentuh makananku.

Aku hanya merasa kecewa dan ingin menghukum diriku sendiri atas kesalahanku yang sudah membohongi orang tuaku dan membuat Daddy marah padaku. Bahkan dua hari ini, Hanya Mommy yang setiap hari masuk ke kamar dan membujukku makan, tapi aku hanya menangis tanpa menjawab bujukan Mommy.

Lexy juga hanya beberapa kali masuk ke kamarku, namun aku abaikan juga. Kenneth dan Kak Keira, tidak diperbolehkan bertemu denganku atas perintah Daddy. Bahkan Kelly, Tante Via dan om Peter juga tidak di perbolehkan menemuiku.

Dan hal yang membuatku lebih sedih adalah, tidak sekalipun Daddy datang menemuiku, meskipun hanya sekedar menanyakan kabarku, memintaku menyentuh makananku, atau mendengar permintaan maafku.

Apa kesalahanku sebesar itu hingga Daddy enggan bicara dan tidak lagi peduli padaku?

"Alle sayang..." Suara lembut Mommy terdengar dari balik pintu.

Aku yang memang sudah terbangun, segera kembali memejamkan mata sembabku, kembali pura-pura tertidur dan membalikkan badanku membelakangi pintu.

"Kamu masih tidur, sayang?" Ku dengar langkah kaki mendekat kearahku dan helaan nafas beratnya.

Kemudian aku mendengar suara dentingan nampan metal dan sendok di dekatku, seperti biasanya selama dua hari ini, Mommy membawakanku sarapan setiap pagi, dan makan siang, dan Malam. Tapi seperti biasa juga, makanan itu tidak ku sentuh sebagai hukuman untuk diriku sendiri. Toh Daddy saja tidak peduli padaku. Entah aku harus bagaimana agar Daddy mau menjengukku. Apa aku harus sekarat dulu?

"Alle makan ya, sayang? Udah dua hari kamu gak makan. Kasihan perut kamu..." bujuk Mommy. Aku masih terdiam, terus berpura-pura tidur meski air mataku sudah mengalir lagi.

Tangan dingin Mommy menyentuh keningku, membuatku sedikit terlonjak dari tempatku.

"Kamu sama Daddy kamu tuh sama-sama keras kepala. Mommy pusing sama kalian. Menyiksa diri sendiri buat apa sih?" Gerutu Mommy pelan. "Mommy tinggalin obat penurun demam di nampan kamu. Makan buburnya, terus makan obatnya, baru kamu lanjutin lagi pura-pura tidur kamu itu, Alle. Mommy masih harus urus Daddy kamu dikamar."

Mommy berdiri dari kasurku, mataku terbelalak dan segera memutar tubuhku, melihat Mommy yang akan mengangkat nampan makan malamku yang tidak ku sentuh sama sekali.

"Daddy kenapa?" Tanyaku parau.

Mommy menyunggingkan senyumnya sekilas padaku, "gak enak badan. Kamu makan sarapan kamu dan makan obat kamu, ya? Nanti Mommy kesini lagi buat cek keadaan kamu." Ujar Mommy, berbalik meninggalkanku di kamar.

Aku menyadari kalau wajah cantik Mommy tadi terlihat sangat lelah. Dan kenapa Daddy bisa gak enak badan? Apa Daddy baik-baik saja?

Setitik airmata kembali turun membasahi pipiku. Aku sangat merindukan perhatian Daddy.

*

Author's POV

Rere membawa nampan sarapan berisi bubur ayam yang dia buat ke kamarnya beserta segelas air hangat, dan obat sakit maagh milik Alvero.

"Bagaimana? Alle sudah mau makan?" Tanya Alvero begitu melihat istrinya masuk dengan nampan sarapannya.

Rere meletakkan nampan itu di nakas, dan tersenyum tipis kepada suaminya lalu menggeleng.

"Dan seperti apa yang aku takutin, Alle mulai demam." Jawab Rere pelan, membuat hati Alvero nyeri mendengar putri kesayangannya menyiksa diri begitu. "Tapi aku udah kasih obat, tapi itu tergantung sama dia, apa dia akan makan atau gak. Aku hanya takut cepat atau lambat, Alle akan tumbang karena tidak ada asupan makanan yang masuk kedalam tubuhnya. Bahkan air putih saja hanya dia minum sedikit. Aku khawatir sekali melihat Alle."

Alvero merasa Rere sengaja mengatakan hal itu semua kepadanya yang memang sampai sekarang belum menjenguk Putri satu-satunya atau bicara dengan baik-baik pada Alleira.

"Kamu juga makan dulu. Aku tahu kamu kaya, tapi bukan berarti kamu boleh buang-buang makanan. Cukup Alle aja yang mogok makan, kamu jangan ikutan. Kamu udah tua, inget umur. Sparepart dalem kamu itu udah mulai usang, gak sekuat dulu lagi, jangan dibikin jadi rusak!" Gerutu Rere sedikit ketus pada Alvero.

Alvero maklum dengan sifat ketus Rere yang marah kepadanya karena tidak mau mendengar nasihat Rere untuk menelan egonya untuk menemui Alleira dan berbicara dengannya.

Oleh karena itu, Alvero juga ikutan mogok makan selama putri kesayangannya itu menolak makan agar Alvero dapat merasakan penderitaan yang sama dari Alleira.

Sedangkan Rere hanya bisa geleng-geleng dan mengerti dari mana sifat keras kepala Putrinya itu.

"Kekeras kepalaan kamu ini bukan cuman menyiksa kamu, tapi juga putri kamu, Ver. Apa susahnya sih kamu masuk ke kamar Alleira dan bicara sama dia? Putri kamu itu jelas sangat menyesali perbuatannya, dan kamu sebagai orang tua seharusnya bukan malah memperkeruh penyesalannya dan membuat Alleira berpikir kalau kamu gak sayang lagi sama dia sampai kamu gak jenguk dia sama sekali."

Yang bisa Alvero lakukan adalah diam menengarkan segala macam nasihat Istrinya.

"Sudahlah, dua hari sudah aku berusaha mengetuk pintu keras kepala di kepalamu. Aku harus ke butik hari ini. Habiskan makananmu dan temui Alleira." Ujar Rere sambil mengambil mantel dari lemarinya.

Rere berjalan mendekati Alvero, mengecup bibirnya lembut lalu berlalu meniggalkan Alvero yang masih sibuk berpikir dengan isi kepalanya.

*

Alvero berjalan mondar mandir di kamarnya dengan tidak tenang. Kata-kata Rere tentu saja mencubit pintu hatinya.

Setelah berusaha menelan egonya, Alvero dengan yakin berjalan keluar kamarnya, lurus menuju ke pintu kamar Alleira, namun kemudian berhenti lagi.

Alvero menarik nafasnya dalam-dalam lalu menghembuskannya. Tangannya terangkat hendak mengetuk pintu kamar Alleira setelah berpikir sebentar.

"Loh, Om ngapain disitu?"

Alvero loncat dari tempatnya akibat terkejut begitu mendengar suara ngebass yang tiba-tiba terdengar.

"Kamu tuh..." Alvero memucat begitu melihat Laki-laki muda yang berdiri tidak jauh dari tempatnya, sedang menatapnya bingung. "Jangan ngagetin om kenapa sih? Om udah gak muda!" Omel Alvero pada laki-laki itu.

"Om ngapain berdiri disitu?" Tanya Laki-laki itu masih bingung.

Alvero menarik nafas panjang untuk meredakan degup jantungnya. Lalu beralih menatap laki-laki itu. "Itu... ehm.. lagi mau ngecek pintu..." Alvero kemudian mengernyit dan berkacak pinggang. "Kenapa juga om harus kasih alasan kenapa om berdiri di rumah om sendiri?! Nah kamu ngapain dirumah Om? Gak pake ngebel atau permisi dulu, main masuk aja!"

"Aku udah bel berkali-kali tadi. Jadi aku putusin buat masuk sendiri. Tante Rere yang suruh aku masuk nemuin Alle. Katanya dia demam dan gak mau makan." Sahut laki-laki itu santai sambil berjalan mendekati Alvero. "Om gak kerja?"

Alvero menggeleng, "Kamu gak sekolah?" Tanya Alvero balik.

Laki-laki itu menyunggingkan senyumnya sebentar lalu menggeleng. "Aku khawatir sama keadaan Alleira."

"Oh..."

Alvero terdiam sebentar lalu berbalik menjauhi pintu kamar Alleira, menuju kembali ke kamarnya.

"Om mau kemana??" Tanya Laki-laki itu segera mengejar Alvero.

"Kamu temuin Alle aja. Kamu kan selalu berhasil membujuk Alle." Alvero tersenyum. "Masuk aja, Ken. Om mau kembali ke kamar."

"Lalu apa yang tadi om lakuin di depan pintu Alle? Om pasti mau masuk ke kamar dan memastikan keadaan alle, kan?" Tanya Kenneth to the point. "Kenapa sekarang gak jadi?"

Alvero tersenyum namun mengabaikan pertanyaan Kenneth.

"Om, mungkin memang aku bisa membujuk Alle untuk makan, tapi aku yakin yang Alle butuhkan sekarang itu adalah Om." Ujar Kenneth tegas.

"Tapi om udah jahat sama Alleira. Alleira pasti benci sama Om." Alvero tersenyum getir dan hatinya terasa sakit saat mengatakan hal itu.

"Gak akan, Om. Aku kenal Alleira, dan bagi Alleira, om itu pahlawannya. Alleira sangat menghormati om meskipun cara om menjaga Alle itu sedikit salah hingga Alle jadi bisa berbohong. Tapi selama yang aku tahu, Alleira sangat menyayangi om melebihi apapun." Kenneth berdiri di hadapan Alvero dan menatap Alvero yakin. "Masuk kesana dan dengerin apa yang Alleira ingin katakan, Om. Alleira cukup menyiksa dirinya sendiri. Aku gak mau Alleira sampai kenapa-kenapa karena..."

Alvero mengernyit begitu Kenneth menggantung ucapannya.

Sebagai sesama laki-laki, Alvero tahu jelas tatapan apa yang sedang Kenneth berikan saat menyebut nama Alleira. Di tambah dengan kata-kata menjurusnya. Namun bukan sekarang.

Alvero belum siap mendengar dan memberi jawaban.

"Om akan masuk." Potong Alvero. "Kamu bisa melanjutkan ucapan kamu lain hari."

Kenneth tersenyum getir dan mengangguk. "Kalau begitu, aku kembali dulu ke Apartemen. Aku permisi, Om." Kenneth berbalik dan berjalan lurus menuju ke pintu keluar.

Alvero melihat Kenneth yang sempat berhenti dan menatap pintu kamar Alleira sebentar sebelum melanjutkan langkahnya ke pintu keluar.

Bukan sekarang... jangan sekarang... pinta batin Alvero. Hatinya masih belum siap mengakuinya.

*

Alvero mengetuk pelan pintu kamar Alleira, namun tidak ada jawaban. Alvero kemudian membuka pelan pintu itu dan mendapati kamar yang hanya di sinari oleh sinar matahari yang masuk menerobos jendela yang di tutup oleh tirai tipis.

Alvero melihat Alleira yang masih tertidur di kasurnya, memunggungi pintu masuk dan nampan sarapannya yang masih belum di sentuh dan juga sekantung kecil obat yang Alvero tebak sebagai obat penurun demam.

Ruangan ini terasa mati meskipun ada penghuninya di dalam. Hati Alvero terasa sakit.

Dirinya berjalan mendekati kasur Alleira dan duduk di sisinya pelan. Alleira masih diam tidak bergeming.

"Alleira..." panggil Alvero pelan.

Alleira yang tadi tengah tidur, membuka matanya begitu mendengar suara Alvero.

Suara itu terasa nyata di telinganya, tapi terasa pudar di hatinya, namun kepudaran itu terhapus ketika Tangan Alvero menyentuh kening Alleira.

Alvero menghela nafasnya berat begitu merasakan demam yang lumayan tinggi di tubuh Alleira.

"Sayang... kamu makan, ya?" Bujuk Alvero pelan.

Alleira membalikkan tubuhnya dan menatap wajah ayahnya yang terlihat lebih kurus dan lelah. Hatinya sedikit lega melihat ayahnya disini. "Daddy?" Suaranya parau.

Alvero terkejut melihat sembab di kedua mata cantik putrinya. Apa mata sembab itu, karena aku?

Alleira duduk di posisinya dengan susah payah karena kepalanya yang terasa berat di bantu oleh Alvero.

"Kamu makan ya, Sayang?" Bujuk Alvero lagi dengan pandangan sayu menatap Alleira.

Tanpa menjawab, Air mata Alleira kembali menggenang dan Alleira segera berhambur memeluk Alvero.

"Dadddddd... Maafin Alle... maafin Alle, Dad..." pertahanan Alvero rubuh. Airmatanya juga ikut mengalir mendengar penyesalan putri kesayangannya.

"Maafin Daddy udah menghukum kamu dan membentak kamu, Sayang..."

Alleira menggeleng dalam pelukan Alvero, "Gak dad, Alleira yang salah... Alleira udah bohongin Daddy, Alleira udah melanggar perintah Daddy... Alleira salah... Alleira sayang sama Daddy, Jangan cuekin Alle lagi. Jangan marah sama Alle lagi..." pinta Alle sesengukan.

Alvero memeluk Alleira semakin erat. "Daddy sayang sama Alle, Daddy gak bermaksud cuekin Alle. Daddy hanya takut kamu marah sama Daddy karena Daddy kelewatan sama kamu... maaf ya sayang? Alle anak Daddy yang paling Daddy sayang, Daddy cuman gak mau Alle salah pergaulan." Seru Alvero menenangkan Alleira di pelukannya. Hatinya kini terasa lega. "Sekarang, Alleira makan, ya? Alleira lagi demam, sayang."

Alleira menggeleng dan terisak. "Suapin..." ujar Alle pelan membuat Alvero tersenyum geli.

Alvero segera mengambil mangkuk bubur yang sudah dingin dari nampannya, mengaduk dan menyendoki sesuap bubur itu ke Alleira. Namun Alleira tidak membuka mulutnya.

"Daddy makan dulu. Daddy jadi kurus pasti gara-gara Alle, kan?" Ujar Alleira. Alvero tersenyum dan memasukan sesendok bubur ke mulutnya lalu kembali menyendoki bubur itu ke Alleira yang langsung dilahap oleh Alleira.

"Kamu kenapa gak makan, sih? Sampai sakit gini." Tanya Alvero.

"Alle ngehukum diri Alle sendiri yang udah bikin banyak orang kecewa." Jawab Alle pelan. "Daddy, Mommy, Alleira, Kenneth, Kak Keira..."

"Kenneth?!" Alvero mengernyit. "Kennethhh??" Ulang Alvero.

"Iya, Kenneth. Dia juga kecewa sama Alleira yang mendadak ngejauhin dia. Padahal Alleira cuman..."

"Kamu gak panggil Kenneth Kakak lagi?!" Tanya Alvero.

Alleira mengangguk. "Kenneth minta aku jangan panggil dia kakak lagi."

Alvero terdiam. Alvero jelas mengerti tujuan Kenneth.

"Kenneth bilang dia gak menganggap Alleira adiknya. Tapi sebagai wanita. Aneh kan, Dad? Adiknya atau bukan, aku kan tetap aja seorang wanita seperti Mommy."

Tanpa disadari, Alvero terus menyendoki bubur itu masuk kedalam mulutnya yang sudah penuh sambil terus berpikir dan mendengar ucapan Alleira.

"Lalu, Daddy... Mommy melarang aku untuk bicara, tapi aku gak mau bohong lagi sama Daddy, jadi aku mau bicara sama Daddy..."

Jantung Alveri berdegup dengan cepat lagi. Tangannya tidak berhenti menyendokkan bubur kedalam mulutnya, bukan ke mulut Alleira yang lebih membutuhkan asupan makanan.

"Alleira merasa aneh kalau berada di dekat Kenneth. Jantung Alle berdebar kayak lagi lari marathon. Terus juga Alle sebel ngeliat Kenneth deket-deket sama pacarnya."

Ting

Sendok dan mangkuk yang di pegang Alvero berdenting. Alvero menatap tidak percaya Alleira.

"Kata Mommy itu cemburu, tapi aku masih tidak mengerti. Lalu, aku juga merasa perasaan hangat di dadaku, dan juga nyaman saat Kenneth ada di sampingku dan menciumku. Mommy bilang kalau perasan ini sama seperti perasaan Mommy kepada Daddy dulu. Karena aku gak bisa mendapat jawaban pasti, aku mau tanya sama Daddy, apa perasaanku ini yang namanya Cinta? Apa yang kurasakan pada Kenneth itu cinta?" Tanya Alleira dengan wajah polosnya.

Bibir Alvero terkatup rapat. Kata-kata Alleira terus terngiang di kepalanya.

"Ken...neth... mencium...mu?" Tanya Alvero terbata-bata.

Alleira mengangguk. "Iya. Mencium bibirku. Ehm... 2 kali. Sekali saat aku kencan di USH, dan sekali lagi saat aku dihukum bersama Kenneth di perpustakaan." Alleira menjawab sebelum di tanya.

"2 kali? Kencan? Perpustakaan?" Suara Alvero terdengar sedikit menyeramkan, namun Alleira tidak menangkap sinyal itu.

Alleira kembali mengangguk tanpa menyadari perubahan ekspresi Alvero yang sedang menahan emosinya untuk tidak menerjang pintu apartemen seberang mereka.

"Menurut daddy, Apa perasaan itu namanya cinta?" Tanya Alleira lagi.

"Gak! Bukan, itu hal biasa!" Jawab Alvero tidak santai. "Kenneth nyium kamu??" Tanya Alvero lagi masih tidak percaya dengan pendengarannya.

Alleira lagi-lagi mengangguk. "Jadi perasaanku ini perasaan biasa?" Tanya Alleira. "Hah kalau begitu, kenapa aku harus uring-uringan selama ini. Makasih ya, Dad udah bantu jawab pertanyaan aku. Sekarang aku lega banget rasanya."

Alvero meletakkan mangkuk setengah kosong itu di meja, lalu berdiri. Sama sekali tidak senang karena telah bantu menjawab pertanyaan Alleira.

"Daddy mau kemana?" Tanya Alleira bingung.

"Habiskan makanan kamu lalu makan obat dan istirahat. Daddy mau kembali ke kamar." Jawab alvero datar.

"Ngapain?" Tanya Alleira bingung.

Apa dirinya salah bicara?

"Mandi air dingin." Jawab Alvero lagi. Mendinginkan emosi yang hendak meluap. jawab batinnya. "Ingat, kamu masih di hukum, dan gak boleh kemana-mana seminggu ini. Daddy akan kembali lagi memastikan kamu makan makanan kamu sampai kamu sembuh." Ujar Alvero sebelum meninggalkan Alleira.

"Baik, Dad!" Sahut Alleira sudah lebih ceria. Dia bahkan tersenyum pada Alvero yang wajahnya sudah lebih lecek dari baju kusut.

Kenneth mencium Alleira?

Dua kali?

Kencan?

Perpustakaan?

Menganggapnya sebagai seorang wanita?

WAH KENNETH NYARI MATI!

***

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro