Enambelas : Dead Kiss!
Kenneth's POV
Aku mengecek temperatur pendingin ruangan di ruanganku dan kembali mengecilkan suhunya.
Sekembalinya dari rumah Alleira tadi sampai sore ini, aku merasa merinding padahal suhu di kamarku, aku yakin sudah dapat melelehkan keju di atas Pizza.
Tapi entah kenapa hawa di sekitarku malah terasa dingin menusuk tulangku. Atau mungkin aku akan segera sakit.
Hah! Yang benar saja? Sakit? Aku?
Mungkin aku sakit karena terlalu merindukan Alleira.
Apa yang dilakukan gadis itu? Apa gadis itu sudah makan? Apa demam gadis itu sudah turun?
Ini semua karena om Alvero yang keras kepala hingga membuat Alleira menyiksa dirinya sendiri. Padahal apa susahnya untuk om Alvero masuk ke kamar Alleira dan menjenguknya sebentar?
Kalau aku jadi om Alvero, aku akan dengan sukarela dan senang hati mengunjungi Alle setiap menit. Atau kalau perlu, aku akan tidur di kamar Alle seminggu penuh untuk memastikan gadis itu baik-baik saja.
Aku terdiam dan berpikir.
Tadi hampir saja aku kelepasan mengataka perasaanku pada om Alvero.
Aku tahu dari keluarga kita berdua, satu orang yang hatinya seberat gedung pencakar langit adalah om Alvero.
Aku bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi om Alvero kalau tadi aku keceplosan.
Sepertinya aku bisa di pastikan akan menjadi santapan makan malam mereka setelah om Alvero mencincang dagingku.
Tapi aku tahu, cepat atau lambat, aku harus menghadapi om Alvero untuk menunjukan keseriusanku. Tapi tentu saja, 'cepat atau lambat' itu bukan sekarang. Karena sekarang, aku masih harus berlatih ilmu yang lebih dalam lagi untuk bisa mengalahkan om Alvero dan tatapan mautnya.
Brakkkk
"Eh kutil monyet!" Aku terlonjak dan tanpa sadar menyerukan kata-kata itu sebagai reaksi kaget, padahal aku sedang membayangkan wajah om Alvero.
"MOM! ngagetin Kenneth aja. Kalau Kenneth jantungan terus mati muda, gimana?" Gerutuku.
"Sok-sokkan kamu! Punya riwayat penyakit jantung aja gak! Mommy tuh kesini mau ngabarin kamu berita bagus!" Seru Mommy menghampiriku.
"Apa, Mom? Daddy menang lotre?" Tanyaku.
"Heh! Kalau itu sih berita bagus buat Mommy!" Mommy menjawil pipiku. "Ituu... tadi Tante Rere kesini, katanya Alleira udah mau makan, dan om Alvero ngebolehin dia buat keluar kamar meskipun gak boleh keluar rumah." Seru Mommy.
Mataku melebar, "Beneran, Mom?!" Tanyaku tidak percaya.
"Sekarang Mommy mau kesana. Kamu mau ikut?" Tanya mommy.
Aku mengangguk mantap, kemudian melihat tubuhku. "Aku mandi dulu deh, Mom. Biar wangi."
"Huuuu!!! Dasar! Ya udah, Mommy kesana duluan deh, kamu nyusul aja nanti. Mommy sekalian mau bantuin Tante Rere masak buat makan bareng." Mommy berdiri dan mencium keningku. "Mandi yang bersih, semprot parfum yang banyak, pake gel rambut, sama kemeja rapih kalau perlu."
"Mom!!! Aku cuman mau jengukin Alle, bukan mau ngelamar dia." Seruku tertawa.
"Kan bisa sekalian?" Goda Mommy.
Aku tertawa begitu Mommy keluar kamarku. Mommy benar-benar Mommy terajaib abad ini. Hanya Mommy yang sepertinya tidak pernah terpengaruh oleh amarah om Alvero dan masih ngotot menjodohkan ku di tengah pertentangan om Alvero.
Aku sangat tertarik untuk mengetahui sejarah Daddy, Mommy dan om Alvero yang sangat penuh makna. Kalau kata Mommy, penuh suka dan dukanya.
Aku segera beranjak dari kasur dan menyambar handuk untuk segera mandi sebersih dan sewangi mungkin.
Jantungku berdebar dengan cepat, tidak sabar untuk bertemu Alleira setelah 2 hari tidak melihat wajah cantiknya. Meskipun akan ada om Alvero yang pastinya akan membatasi kedekatanku dengan Alleira nanti, tapi itu bukan halangan berarti.
Aku bersenandung pelan, mengalun sebuah lagu yang membakar semangatku.
Lalu aku berteriak sambil bernyanyi.
"Who cares baby?! I think i wanna marry you!!!"
*
Dingin.
Hal itu lagi yang kurasakan saat aku masuk ke apartemen Alleira saat Lexy membuka pintu untukku masuk.
Sepertinya besok aku harus kedokter untuk mengecek kesehatanku.
Aku merasa merinding terlebih saat masuk ke dalam ruang tamu, dimana seluruh keluarga sudah berkumpul.
Dan mataku langsung menangkap sosok Alleira yang duduk di samping Keira dengan mata yang masih sembab, namun dia tersenyum menatapku.
Ohhh... aku merindukannya.
Lalu aku beralih menatap tante Rere, menyapanya hangat, dan menyapa om Alvero. Namun aku merasa aneh.
Sepertinya tatapan om Alvero sangat tajam dan membuatku kembali merinding.
Om Alvero terlihat seperti singa kelaparan yang ingin menerkam kelinci tidak bersalah.
Diposisi ini, aku adalah kelinci tidak bersalah itu.
Memangnya aku melakukan salah apa? Perasaan tadi pagi saat aku pergi dari sini, semuanya baik-baik saja?
"Hai, om." Sapaku datar.
"Hhhh..." Om Alvero menghela nafas dan membuang mukanya.
Ok, bukan rahasia lagi kalau om Alvero sedikit dingin denganku, tapi aku kira setelah beberapa hari yang lalu, saat om Alvero datang memintaku mencari Alleira, kami sudah berdamai?
"Duduk situ, Ken." Ujar Tante Rere, menunjuk bangku kosong yang ada di samping Alleira.
Mataku berbinar. Tentu saja, tanpa disuruh, aku juga akan duduk di.......si....tu...
Aku mengernyit begitu melihat om Alvero berpindah tempat duduk dari sebelah tante Rere, lalu menempati bangku kosong di sebelah Alleira yang tadi di tunjuk Tante Rere.
"Kamu ngapain duduk sana?" Tanya Tante Rere, sama bingungnya denganku.
"Kamu duduk di situ aja." Ujar Om Alvero, tidak menjawab pertanyaan tante Rere, malah menyuruhku duduk di samping tante Rere.
Lah, emang aku suaminya?!
Keira berdiri, "lo duduk sini aja, Kak. Biar gue yang duduk sebelah tante Rere." Tawar Keira.
Aku baru akan tersenyum ketika lagi-lagi om alvero merusak suasana. "Gak! Kami tetap duduk di situ, Keira. Kalau kamu gak mau duduk di samping tante Rere, Lesehan aja." Tantang om Alvero.
Hooo! Ok! Tantangan diterima.
Aku berjalan lurus lalu duduk lesehan di karpet seperti apa yang om Alvero tantangkan.
"Siapa yang suruh kamu duduk disitu?!" Tanya om Alvero tajam.
"Lah, kan om suruh lesehan? Ya aku lesehan." Jawabku.
"Bukan lesehan disitu, ruangan luas, ngapain kamu lesehan depan kaki Alleira?!"
"Ya kan yang penting aku lesehan, om!" Ngototku.
"Aduhhhh udah kek kalian!" Gemas Daddy. "Berantem mulu. Apa sih masalah lo sama anak gue, Ver?" Tanya Daddy akhirnya.
"Kalian udah ah. Al, inget umur kek. gak malu Berantem sama anak kecil?"
"Tan! Aku bukan anak kecil!" Sergahku ke Tante Rere.
"Anak ini, udah jelas banget bukan anak kecil!!" Ujar om alvero setelahku.
"Udah ah... pusing gue. Makan yuk?" Ajak Mommy.
"Yukkk! Lexy udah laper!" Seru Lexy. "Makan yuk, Kelly. Habis itu main PS bareng." Ajak Lexy bersemangat.
"Iya, Ayuk Alle, kita makan abis itu ikutan main PS." Ajakku meniru Lexy.
"Jangan pegang-pegang!" Desis om Alvero galak sebelum tanganku sempat menarik tangan Alleira.
"Si om lagi dapet tamu bulanan, ya?!" Sindirku sebal.
"Iya, dan rasanya tuh pengen ngegorok orang. Apa lagi pas ngeliat kamu!"
Lagi-lagi aku merinding ditatapi om Alvero seperti ini.
Akhirnya, ketiga orangtua minus om Alvero, tentu saja, menggiringku dan Alvero untuk duduk di meja makan.
Kali ini, om Alvero tidak bisa memprotes ketika Alleira duduk di sampingku atas suruhan Tante Rere yang langsung memelototi om Alvero hingga om Alvero bungkam.
"Bisa gak, kita melewati makan malam ini dengan tenang? Tanpa adanya peselisihan?" Sindir Tante Rere sambil menatap tajam om Alvero.
Yang disindir hanya bisa mengatupkan mulutnya dan menatapku.
Selesai makan, ketegangan itu seakan sedikit menguap. Om Alvero tidak lagi melarangku duduk di sebelah Alle, meskipun tatapannya masih terus menyenter kearahku seakan ingin memastikan kalau Alle baik-baik saja dan aku tidak berlaku macam-macam.
Orang waras seperti apa yang tidak bisa membaca suasana mengancam yang sedang di ciptakan om Alvero sekarang, dan masih sibuk berpikir untuk bertindak macam-macam?
Meskipun aku tidak tahu kenapa dan atas alasan apa om Alvero kembali mengibarkan bendera perang padaku, tapi aku sudah terbiasa.
"Kak, Lexy bikinin aku boneka santa ini. Lucu ya?" Tanya Kelly padaku sambil tertawa lebar.
"Wahh... iya lucu. Lexy pinter ya!" Ujarku berusaha bersikap seBAIKKKKKK mungkin untuk menghilangkan tatapan penuh ancamam om Alvero.
"Lucu banget ya? Sampe pengen dicium?" Sindir om alvero tiba-tiba.
Aku mengernyit. Tante Rere, dan Keira membulatkan matanya menatap om Alvero yang tiba-tiba nyamber meskipun gak ada ujan gak ada petir.
"I-iya..." jawabku bingung.
"Iya lucu, pengen aku cium. Muaaaahhh!" Kelly seperti menyambungi ucapan om Alvero dengan polos. "Nih, kakak mau ciumin?" Kelly menyodorkan kertas lipat berbentuk santa itu padaku.
"Eh?" Aku mengernyit bingung. "Kakak nyium ini?"
"Iya, cium aja cium, gak usah pake ijin segala." Lagi-lagi om alvero menyambar.
Aku kembali menatap om Alvero yang menatapku masih sama mengancamnya.
Kenapa sih si om ini? Sensi amat perasaan?
"KENNETH!!!" Seru om Alvero tiba-tiba.
"I-iya???" Jawabku ragu. Terkejut mendengar teriakan panggilan om Alvero.
"Om nantangin kamu catur!" Ucap om Alvero.
"Se-sekarang, om?" Tanyaku. Kok tiba-tiba??
"Iya lah! Mau lebaran monyet?!"
Sumpah, om Alvero kerasukan setan sensi dari mana sih? Emang ada orang yang bisa berubah secepat itu temperamennya??
Om Alvero segera berjalan ke ruang belajarnya, aku mengikuti setelahnya, lalu sisa manusia yang tadi termenung melihat kami juga ikut mengekor, kecuali Lexy dan Kelly yang lebih memilih main PS.
"Om tau gak, ok tuh nyeremin banget hari ini?" Tanyaku berusaha memecah suasana tegang.
"Karena om lagi menahan diri buat gak nyekek kamu!" Jawab om Alvero pelan sambil menyusun biji catur di atas papannya.
"Terus kalau aku menang, aku dapet apa?" Tanyaku songong. Padahal selama bertahun-tahun melawan om Alvero, tidak pernah sekalipun aku menang.
"Menang dulu baru ngomong." Desis om Alvero.
Sebenarnya aku bingung melihat om Alvero yang tampak seperti selalu menyerangku seakan aku melakukan kesalahan. Padahal aku saja tidak tahu salah apa yang mungkin sudah kulakukan.
"Kenneth, Berjuang!!" Dukung Alleira yang membuat semangatku memuncak setinggi pegunungan tertinggi.
Om Alvero mendengus melihat Alleira yang memeberiku semangat dan lebih memilih duduk di sebelahku dari pada mendukung ayahnya sendiri.
Kemudian permainan berjalan.
Seperti biasa, tanpa perlu usaha berpikir yang sulit untuk om Alvero, om Alvero dengan mudah meng-skakmatku.
"Om curang!" Protesku.
"Lah om curang apaan?" Protes om Alvero. "Kamu aja yang gak bisa mainnya."
Aku menggigit bibir bagian dalamku sambil berpikir. "Lagi!!!" Seruku.
"As your wish!" Ujar om Alvero percaya diri.
Bagaimana mau minta restu, kalau sekarang saja aku gak bisa mengalahkan om Alvero?
Gimana mau mendapatkan restu kalau om Alvero saja menatapku sedingin es batu?
Benar-benar! Cinta ini menyiksaku!
"Mom, mom tau gak, saat Kenneth dateng jemput aku, Kenneth ngomong apa sama Nicholas? Makanya Nicholas ngelepasin aku?" Tanya Alleira tiba-tiba.
Terlalu tiba-tiba sampai aku pecah konsentrasi, dan aku yakin om Alvero juga. Namun tentu aku yang lebih pecah konsentrasi karena aku tahu jelas apa yang ku katakan saat itu, dan apa yang akan Alleira katakan sekarang.
"Hm?" Tante Rere bergumam.
"A-Alle..."
"Kenneth bilang kalau aku udah di jodohin sama dia dan aku tunangannya Kenneth." Alleira tertawa, namun tidak ada satu dari mulut kami yang berada di ruang belajar ini tertawa.
"G-Gak lucu ya?" Tanya Alleira begitu sadar kalau hanya dirinya yang tertawa.
Kali ini tatapan om Alvero kembali tajam menatapku. Kenapa Alleira bisa sepolos ini melempar bom waktu?
"Oh... Tunangan?" Desis om Alvero. "Kamu menganggap omongan Mommy kamu itu serius dan menganggap Alleira tunangan kamu?" Tanya om Alvero lebih mengintimidasiku.
Aku menggeleng. Hanya itu reaksi yang bisa ku keluarkan.
"Gue serius, nyet!!" Sambar Mommy. "Lo aja yang nentang mulu."
"Gak! Gue gak setuju!" Seru om Alvero, lagi dan lagi. "Gue gak mau putri gue jadi korban salah satu cewek Anak lo yang playboy cap karat ini. Gak rela!"
Aku tahu, suatu saat sifatku yang terus bergonta ganti pacar pasti akan menyulitkanku. Tapi aku benar-benar mencintai Alleira.
"Alleira masuk ke kamar!" Ujar om Alvero.
Berbeda dengan yang kemarin, sepertinya Alleira lebih menurut kali ini. Sepertinya dia memang tidak mau berantem lagi dengan Daddynya.
"Goodnight, Dad." Ucap Alleira sambil mengecup bibir ayahnya, "Goodnight, Mom." Alleira beralih mengecup bibir Tante Rere.
Lalu Alleria berputar menatap keluargaku dan bergumam, "Goodnight, om, tante, Kak Keira, Kenneth."
Belum sempat aku membalas salam itu, Alleira, dengan cepatnya, entah kesambet setan petir dari mana, Alleira mengecup bibirku.
ALLEIRA MENGECUP BIBIRKU DI HADAPAN OM ALVERO DAN ORANG TUA KAMI!!!!
MATI LAH KAU, KENNETH.
aku seharusnya membuat surat wasiat dari kemarin-kemarin untuk mengantisipasi hal ini.
Kali ini, tatapan om Alvero lebih tajam dari yang tadi.
Nafasnya seperti memburu.
Kami semua terdiam, aku melongo, dan yang lain bengong dengan mulut menganga, selain om Alvero yang terdiam dengan rahang yang mengeras.
"Tinggalkan kami berdua!" Seru om Alvero.
"Hah?" Mommy dan tante Rere bergumam bersamaan.
"Tinggalkan aku dan Kenneth berdua!" Seru om Alvero lagi.
Tanpa menunggu perintah ketiga kali, Keira, Tante Rere, Mommy dan Daddy pergi meninggalkan kami berdua.
Mati lo ken, mati!
Keheningan melanda kami, ruangan terasa lebih dingin dan tubuhku merinding.
"Jauhi Alleira." Ucap om Alvero kemudian.
"Hah?" Aku mengernyit.
"Jauhi Alleira." Ulang om Alvero. "Alleira bukan seperti perempuan-perempuan yang selama ini kamu pacari dan bisa kamu sakitin, kamu tinggal begitu saja."
"Maksud om?" Aku mengernyit.
"Kamu memang mungkin anak sahabat om, tapi om gak bisa membiarkan Alleira tersakiti karena kamu. Kalau kamu menganggap ini mainan, lebih baik jangan kamu lanjutkan. Karena yang kamu buat sebagai mainan kali ini adalah hati anak Om!" Seru om Alvero tegas.
"Maksud om apa sih? Kenapa aku harus menjauhi Alleira? Dan apa maksud om aku mempermainkan Alleira?" Tanyaku makin bingung.
"Melihatnya sebagai seorang wanita? Menciumnya sampai dua kali? Kencan?"
Aku terhenyak. Bagaimana om Alvero bisa tahu? Apa itu alasannya om Alvero menatapku tajam?
"Alleira, tidak seperti perempuan-perempuan diluar yang bisa kamu tinggal seenaknya. Om gak akan mau melihat hati Alleira tersakiti!"
"Bagus! Karena aku juga gak mau Alleira tersakiti." Jawabku lantang.
Om Alvero mengernyit.
"Aku mencintai Alleira, om! Aku selalu mencintai Alleira." Ujarku lantang, tidak bisa mundur kembali. "Aku bukan playboy buruk seperti apa yang om pikirkan selama ini. Aku mempunyai alasan." Terangku.
"Aku mungkin memang memiliki cap Playboy, namun aku bersih dan tidak pernah melakukan hal-hal yang aneh dengan perempuan lain seperti yang om takuti." Aku tidak bisa mundur. Padahal aku tidak sama sekali berencana membicarakan ini semua sekarang. "Aku sangat mencintai Alleira, om."
Ruangan kembali hening. Kami saling bertatapan seakan itu adalah salah satu bentuk komunikasi kami untuk melihat keyakinan yang sedang aku coba untuk pancarkan.
Brukkk brakkk
"Aduh anyingggg pinggang gue..." aku terkejut begitu pintu terbuka lalu Mommy, Daddy, Tante Rere, dan Keira terjatuh saling menindih.
"Aduh duh Kei, bangun. Kasian Daddy kamu bisa tewas kegencet." Ujar Mommy yang ditindih oleh Keira.
Daddy memang yang paling tersiksa akibat tertindih di paling bawah dan langsung mencium lantai, tante Rere terjatuh di samping Daddy, Mommy dan Keira saling menindih Daddy.
"Aduh pinggang gue encokkkk!!" Daddy berdiri perlahan sambil menahan pinggangnya.
Tante Rere sudah berdiri di samping om Alvero yang langsung membantunya.
"Kalian ngapain? Nguping?" Tanya om Alvero to the point.
Wajahku memerah. Mereka pasti mendengar pernyataan cintaku.
"Eh.... itu! Kenneth gentle banget deh." Puji Mommy langsung menarikku.
"Kan Kenneth udah ngaku dia cinta sama Alle, lo buka hati dikit dong terima perjodohan mereka... ya??" Bujuk Mommy.
Om Alvero menatapku tajam, namun tidak setajam tadi ketika Alleira menciumku, lalu bergantian menatap Mommy, Daddy dan tante Rere.
Lalu om alvero melepaskan rangkulannya pada Tante Rere dan berbalik. "Gak, sebelum Kenneth bisa mengalahkan gue catur!" Ujar om Alvero meninggalkan kami.
"IHIY!!! URUSAN GAMPANG VER!!!" Teriak Mommy kegirangan. "Pokoknya mulai sekarang, kamu harus belajar main catur. Terserah sama siapa aja! Tuh, Mommy udah buka jalan buat kamu! Baik kan mommy?"
Mulutku menganga. Bagaimana bisa aku mengalahkan om Alvero?
Bertahun tahun aku beradu catur dengan om Alvero, sampai sekarangpun aku tidak pernah bisa mengalahkan om Alvero.
Jangankan skakmat. Bikin om Alvero nervous dan gigit jari aja gak pernah.
Apa aku akan bisa mendapat restu dari om Alvero sampai tua nanti?
Ya Tuhan!
***
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro