Empatbelas : (not) A Right Moment!
Author's POV
"Apakah ini yang namanya cinta?" Tanya Kenneth pelan, matanya menatap mata Alleira yang tidak berkedip sama sekali. Bibirnya terbuka sedikit menandakan kegugupannya.
"G-gue..." Alleira tergagap begitu melihat Kenneth memajukan tubuhnya. Mata Alleira seakan terkunci pada mata Kenneth.
Kenneth tahu kalau Alleira gugup, dirinya juga. Jantungnya berdebar sangat cepat, lebih cepat dari saat dia selesai latihan bela diri atau lari marathon.
Tapi Kenneth sudah mengerti arti dari debaran ini. Perasaan lega mengetahui Alleira tidak berpacaran dengan Nicholas, perasaan bahagia karena sudah berbicara dengan Alleira, dan juga perasaan tenang saat Alleira sudah berada di sisinya.
Tanpa bisa Kenneth kendalikan, tubuhnya sudah berjalan maju, tangannya sudah menggapai pipi Alleira yang tubuhnya semakin bergerak mundur.
"Al, I think i..."
My songs know what you did in the dark
So light 'em up, up, up
Light 'em up, up, up
Light 'em up, up, up
I'm on fire
Wajah Kenneth berhenti 1 centi dari wajah Alleira. Mereka sama-sama mengernyit begitu lagu Fall Out Boy terlantun ditengah keheningan seakan menyindir.
Kenneth bergerak mundur, mereka berdua sama-sama berdeham menghilangkan keanehan yang langsung menyelubungi mobil itu.
Kenneth kemudian beralih kepada ponselnya yang terletak di sisi pintu, dimana Fall Out Boys masih menyanyi dengan riang menyindirnya.
Kenneth merasa sepertinya sepulang mengantar Alle nanti, Dia akan mengganti lagu ringtonenya menjadi lagu yang lebih mendukung suasana Romantis dadakan ini.
Kenneth menghela nafas lalu mengambil ponselnya.
Uncle Al 👹
Kenneth mengernyit dan menghela nafas lagi sebelum menjawab panggilan dari Alvero.
"Halo?"
"Gimana? Kamu udah ketemu? Kamu dimana? Kok gak kasih kabar ke om?" Berondong Alvero begitu mendengar sapaan Kenneth.
"Om!" Panggil Kenneth sebal. "Om ganggu!!"
"Ganggu apa? Ganggu kamu cariin Alleira? Ya kan namanya om panik, Ken!" Kenneth mendesah dan melirik Alleira yang kembali membuang muka ke arah luar jendela.
"Ya udah, om tunggu aja, Aku anterin Alleira." Ujar Kenneth akhirnya.
"Ok... eh tunggu, KAMU UDAH KETEMU ALLEIRA?!" Pekik Alvero kaget. Bahkan Alleira sampai berpaling akibat mendengar suara ayahnya di balik telepon Kenneth. "Terus maksud kamu ganggu tadi, ganggu apa? Kamu gak lagi apa-apain Alleira kan?! Om peringatin sama kamu---"
"Om nething mulu sih sama aku! Udah ah om, aku mau nyetir dulu, bye!" Sela Kenneth segera memutuskan panggilan.
Kenneth berdeham begitu kesunyian kembali mennyelimuti mereka selama beberapa menit kedepan.
"A-aku antar kamu pulang. Om Alvero udah khawatir sama kamu."
Alleira tidak menjawab, namun hanya mengangguk sambil terus menatap kaca jendela di sampingnya.
Mobil kemudian mejalu tanpa ada satu orangpun diantara mereka yang berniat melanjutkan perbincangan atau kegiatan mereka yang sempat tertunda sebelum Alvero menyela mereka lewat telepon.
Bagi mereka, diam adalah hal yang bijak saat ini untuk menenangkan detak jantung mereka yang bergemuruh.
*
Kenneth's POV
Om Alvero marah besar.
Aku tahu om Alvero begitu mengkhawatirkan Alle, terlebih Alle memang sudah berbohong, melanggar jam malam, dan masuk ke klub saat dirinya masih di bawah umur.
Tapi menurutku, pergaulan lah yang seharusnya om Alvero salahkan. Toh Alleira seperti ini juga karena terpengaruh. Lagipula Alleira mengaku kalau dirinya sama sekali tidak menyentuh minuman keras atau obat-obat terlarang.
Dirinya hanya minum Orange Juice, menikmati hingar bingar musik memekakkan telinga, dan mencari teman baru.
Namun justru pengakuan Alleira malah memancing emosi om Alvero. Bahkan tante Rere sampai harus menahan amarah om Alvero yang hampir meledak.
Aku mengerti alasan kemarahan om Alvero, aku juga bisa melihat ke khawatiran dan juga kelegaan saat om Alvero menatap Alleira di depan pintu tadi. Dan kemarahan om Alvero ini, memang sudah sewajarnya menurutku agar Alleira mengerti kalau apa yang dia lakukan adalah sebuah kesalahan.
"Ver, udah. Kasihan Alleira lo marahin terus." Daddyku menengahi. Mommy, Daddy, dan Keira sudah ada di apartemen Alleira begitu kami pulang. Aku tidak melihat Kelly dan Lexy. Mungkin mereka sudah tidur, mengingat ini sudah larut malam.
"Dad kecewa sama kamu, Al. Daddy gak nyangka sampai sekarang kalau kamu tega membohongi Daddy dan pergi ke klub malam." Ujar om Alvero lagi, entah untuk yang keberapa kalinya.
"Udah lah, Om." Belaku.
"Kamu juga!!!" Tatapan om Alvero beralih padaku. Aku spontan mengernyit.
Bukankah aku yang menjadi pahlawan lagi kali ini? Kenapa aku juga kena masalah?
"Om belum selesai bicara sama kamu tadi! Anak kurang asem. Ganggu apaan saat om telepon tadi, hah?!"
Keringatku mengucur, bibirku kelu. Aku hanya menjawab secara spontan perihal hal mengganggu saat aku tengah terbawa suasana dan nyaris menyatakan cintaku pada Alleira. Aku tidak kepikiran akibat yang akan kuterima.
"Gak ada, om. Om... ehm... ganggu aku lagi nyetir!" Elakku, om Alvero mengernyit, menyelidik.
Perhatian om Alvero kemudian beralih ke Alleira yang tiba-tiba beranjak dari sofanya, hendak meninggalkan kami.
"Alleira, Daddy belum selesia bicara!" Seru om Alvero.
"Udah lah, ver. Biarin Alle masuk kamar. Dia capek dengerin kamu marah terus." Bela tante Rere.
"Gak bisa, Re! Apa yang udah Alle perbuat itu sudah membuat kita kecewa. Dia harus tahu apa salah yang telah dia perbuat!" Gerutu om Alvero.
Aku mengadah begitu mendengar isakkan dari arah Alleira. Setetes air mata juga jatuh membasahi karpet di hadapanku.
Alleira menangis.
Kepalanya menunduk, dan aku bisa melihat beragam emosi di wajahnya.
Penyesalan, kesedihan, kesakitan, dan kerapuhan.
Aku baru berdiri dan hendak memeluk Alleira, untuk menenangkannya, namun om Alvero langsung berseru dengan keras. "Masuk ke kamar kamu! Mulai hari ini, Daddy melarang kamu keluar kamar selain kesekolah. Mommy akan mengantar makanan untuk kamu. Kamu Daddy hukum selama satu minggu penuh. Gak boleh pergi-pergi meskipun itu kerja kelompok, latihan cheers, atau apapun alasannya."
Keira terlonjak. "Loh, Om! Minggu depan cheers kita ada pertunjukan buat pertandingan basket." Protes Keira.
"Kalian bisa melakukannya tanpa Alleira!" Seru om Alvero.
"Gak bisa om, Leira sama aku itu di posisi Flyers. Gak ada yang bisa gantiin posisi--"
"BATALKAN!!" Bentak om Alvero langsung membuat Keira terdiam. Namun kemudian om Alvero menghela nafas lalu bergumam lebih dengan nada yang sedikit melembut. "Maaf Keira, tapi Alleira harus dihukum, dia harus mempertanggung jawabkan kesalahannya."
Aku menoleh menatap Alleira. Tangannya bergetar dan terkepal. "A-Aku permisi." Suara Alleira bergetar. Tanpa mengangkat kepalanya, Alleira segera berjalan meninggalkan kami di ruang keluarga, menuju ke kamarnya.
Begitu Alleira meninggalkan kami, om Alvero langsung menghela nafas panjang, menyandarkan tubuh di sofa dan memijat pelipisnya.
"Kami terlalu keras, Al." Ujar tante Rere yang duduk di samping om Alvero.
"Lalu apa yang bisa kulakukan untuk menjaga putri kita? Membiarkannya tersesat di tengah pergaulannya yang tidak benar?"
"Ngejodohin Alleira sama Kenneth."
"Masa aku harus ngejodohin-- Eh Via kuya! Modus lo!" Aku menatap Mommy yang cengengesan di tengah suasana genting ini saat om Alvero kemakan omongannya Mommy untuk menjodohkanku dengan Alleira.
"Come on, Bro! Rileks! Gue cuman bercanda, biar kerutan di kening lo gak tambah banyak." Ujar Mommy mengejek kerutan di dahi om Alvero. "Menurut gue juga lo keterlaluan meskipun lo kecewa sama Alle. Apa lo pernah berpikir, kenapa Alleira jadi pinter bohong sama lo?"
Om Alvero mendengus.
"Mungkin aja karena lo terlalu mengekang Alle. Masanya Alle itu adalah masa untuk mencari jati dirinya sendiri. Yang lo harus lakuin sebagai orang tua, mensupport dia, dan percaya sama mereka. Bukan malah mengekang. Yang ada anak malah bakal ngeberontak." Ujar Mommy bijak.
"Bener apa yang dibilang Via, Al. Alle itu butuh dukungan dan arahan, bukan hukuman." Sambung Tante Rere.
"Nah loh... 2 lawan 1, kalah lu, Bro!" Daddy cengengesan, namun langsung dihadiahi pukulan oleh Mommy. Gantian Keira yang ketawa begitu Daddy mengaduh.
Sedangkan aku, aku memakukan tatapan mataku ke pintu kamar Alleira.
"Ken..."
Aku menoleh menatap tante Rere yang tersenyum padaku.
"Hibur Alleira ya? Kayaknya cuman kamu yang bisa nenangin Alleira sekarang."
Kau tersenyum dan mengangguk. Tentu saja aku bersedia, meski tanpa disuruh.
"Cuman ngehibur! Awas macem-macem!" Ancam om Alvero mewanti-wanti.
"Om tuh hobinya nething mulu sama aku. Awas keriput om tambah banyak nanti." Ejekku segera melesat kabur sebelum om Alvero kembali meledak.
*
Aku berhenti tepat di depan pintu kamar Alleira. Aku bahkan masih bisa mendengar isakkan Alleira di balik pintu ini. Sungguh menyesakkan hatiku.
Ku ketuk pintu kamar itu dan seketika itu juga isakkan itu menjauh dan berhenti.
Kembali ku ketuk, namun tidak ada jawaban yang kuterima. Kuputuskan untuk membuka pintu itu yang untungnya tidak dikunci. Ruangan dibaliknya gelap dan hanya dibantu oleh penerangan remang-remang dari balik jendela kamarnya.
Ku berjalan mendekati kasur, bisa aku lihat dia sedang meringkuk diatasnya, ditutupi oleh selimut tebal, mengesankan kalau dirinya tidak ingin di ganggu.
Aku duduk di sisi kasurnya. "Al..." panggilku, tubuhnya sedikit bergetar. Mungkin dia tidak mengira bahwa aku yang akan masuk kemari. "Kamu udah tidur?" Tanyaku meski aku yakin dia hanya pura-pura tidur. Namun masih tidak ada jawaban darinya.
"Kamu tahu, kalau Daddy kamu gak benar-benar bermaksud menghukum kamu tanpa alasan, kan?" Tanyaku pelan. Aku tahu Alleira mendengarkanku. "Aku juga bukan mau membela om alvero, tapi aku tahu kalau om Alvero sangat menyayangi kamu. Dan sangat mengkhawatirkan kamu."
Alleira masih diam, entah kenapa dia sekarang keras kepala sekali. Dia lebih memilih pura-pura tidur ketimbang berbicara denganku yang sudah nyaris sakit jantung duduk di sebelahnya.
"Aku juga khawatir sama kamu. Aku gak tenang saat aku gak di samping kamu." Sambungku sambil menyunggingkan senyum.
"Aku udah putus dari Jasmine, Al. Dan itu karena kamu."
Bisa kurasakan kasur sedikit begoyang, mungkin tubuh Alleira sedikit menegang akibat ucapanku.
"Atau lebih karena perasaanku sama kamu." Koreksiku. "Awalnya aku hanya ingin membalasmu yang berkencan dengan Nicholas, tapi kamu seperti tidak peduli. Tapi saat terakhir aku bertemu denganmu di lorong sekolah, dimana aku menyinggung perasaanmu dengan kata-kataku, aku mulai sadar kalau aku kelewatan." Ucapku, meskipun aku tahu, penyesalan sekarang, tidak ada gunanya.
"Aku mau minta maaf sama kamu, tapi kamu terus menghindar dari aku, aku jadi kayak cacing kepanasan, atau menjelma jadi Keira saat dia lagi dapet tamu bulanan, emosian." Aku tertawa kecil. "Dan hari ini, aku tahu kalau om Alvero benar-benar khawatir denganmu, adalah saat om Alvero tiba-tiba mendatangi kamarku, memintaku mencarimu, menjagamu."
Alleira masih diam di tempatnya, tidak bergerak sedikitpun.
"Tapi bukan karena om Alvero, lalu aku mencari kamu. Tapi karena hatiku yang mengkhawatirkan kamu, sampai aku merasa bisa menjungkir balikkan dunia untuk mencarimu. Perasaan takut yang sama saat tahu kamu di culik dulu, namun lebih kuat." Ucapku. Tanganku terangkat ingin menyentuh pundaknya, tapi kutarik kembali tanganku.
"Aku tidak tahu sejak kapan ini semua dimulai, tapi setelah aku sadar, ini semua sudah terlalu besar untuk aku hilangkan atau aku hindari." Aku diam beberapa saat berpikir sejenak, lalu menghela nafas dan membelai kepala Alleira yang tiba-tiba menegang saat ku sentuh kepalanya.
"Goodnight, Alleira. Kita lanjutin omongannya saat kamu udah tenang aja." Ucapku, lalu aku menarik tanganku menjauh dan hendak berbalik.
Alleira lalu tiba-tiba bergerak, menahan tanganku yang tadi menyentuh kepalanya dengan cepat.
"Ken..." panggilnya parau.
Aku menoleh, aku tidak bisa melihat jelas ekspresi wajahnya akibat gelap, tapi aku yakin, wajah cantik itu kini sembab akibat menangis.
"Maaf, ngerepotin lo..." ucapnya pelan.
Aku menggeleng, "Gak sama sekali, Al. Aku ngelakuin ini atas keinginan sendiri." Jawabku sambil tersenyum. "Selain itu, dari pada kamu minta maaf, aku hanya mau kamu ngelakuin sesuatu untuk aku."
Alleira terdiam dan melepaskan pegangan tangannya padaku. "Apa?"
"Kembalilah jadi Alleiraku yang polos seperti dulu. Kata-kata gue-lo gak cocok kamu pakai. Kamu lebih cocok menjadi Alleira yang manis seperti Alleira yang selama ini duduk manis di hatiku, namun terus berlarian di kepalaku."
Aku tersenyum meskipun Alleira tidak bisa melihatnya. Aku mendekati Alleira yang masih terdiam, dan mengecup keningnya. "Goodnight, Alleira."
Aku berjalan menuju ke pintu, ketika ku tutup pintu kamarnya, samar-samar aku mendengar Alleirs mengucapkan kata selamat malam kepadaku. Aku mengulum senyumku. Rasanya hatiku sudah sangat lega saat ini meskipun aku belum bisa mengatakan hal itu secara gamblang.
Tapi setidaknya aku dudah sangat yakin kalau memang Alleiralah yang ku inginkan selama ini, dan Alleira adalah wanita yang selalu ku cintai.
***
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro