Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DuapuluhDua : Yes, it is Love!

Alleira's POV

Aku kembali ke kamarku. Pandanganku kosong dan hatiku juga terasa hampa.

Aku baru saja kembali dari Apartemen Kenneth. Aku bertekad untuk setidaknya memberinya salam perpisahan karena ya... bagaimanapun seperti kata Kak Keira, aku juga tidak mau Kenneth pergi melanjutkan studi dengan penyesalan atas masalah yang masih tertinggal disini, yaitu aku.

Tapi apa yang kudengar setelah kakiku masuk ke dalam apartemen itu seakan sangat menampar kesadaranku. Daddy yang meminta Kenneth meninggalkan aku, dan Kenneth setuju karena dia tidak ingin aku terluka. Tapi kenapa, kenapa hatiku malah sangat sakit dan menangis? Aku bahkan tidak bisa menghampiri mereka, aku langsung melangkah keluar dan kembali lagi ke kamarku tanpa mendengarkan obrolan mereka lebih lama lagi.

Apa hubungan jarak jauh sesulit itu? Dan apa artinya tidak mau menyakiti kalau keputusan untuk berpisah tanpa mencoba terlebih dahulu saja sudah cukup membuat aku sedih dan tersiksa. Apa aku egois? Tapi kenapa aku seakan tidak rela dengan keputusan yang di ambil Kenneth?

Apa mencoba akan sesulit itu? Atau apa Kenneth memiliki alasan lain dan hanya menjadikan alasan 'tidak ingin menyakitiku' hanya sebagai tameng?

Kenapa aku tidak masuk dan menanyakan hal itu secara langsung pada Kenneth? Kenapa aku malah lari dalam ketakutan dan kesakitan?

Kenapa...

"Alle..."

Aku mengerjap dan segera aku mengusap airmataku begitu melihat Mommy dan Daddy berdiri di ambang pintu.

Mommy berjalan menghampiriku lalu memelukku, Daddy mengekor di belakang Mommy.

"Sayang... luapin aja, jangan kamu tahan. Keluarkan semua." Pinta Mommy. Tapi aku masih tidak bersuara.

"Maafin Daddy, Sayang." Gumam Daddy membelai kepalaku.

Namun aku masih terdiam. Rasanya sesak sekali dada ini untuk meluapkannya.

"Mom... Dad... dada Alle sakit..." aku menuding dadaku yang benar-benar terasa nyeri tidak berkompromi, seakan membengkak, menghalangi jalannya oksigen ke kepalaku.

"Luapkan sayang... luapkan semuanya sama kami." Pinta Mommy. Entah sejak kapan, Mommy sudah menangis. Dan Mommy menangis karenaku.

"Mommmmm....." isakku sambil memeluk Mommy, terdengar memilukan, tapi hanya itulah yang bisa ku katakan untuk menggambarkan seberapa perih hatiku.

Daddy hanya terdiam melihatku dan Mommy yang saling berpelukan, lalu Daddy keluar meninggalkan kami. Tapi aku seperti melihat cahaya yang terpantul dari pelupuk mata Daddy, cahaya yang mungkin di biaskan oleh cairan yang sedang mengantri di mata Daddy.

Dan tidak tahu berapa lama aku menangis dalam pelukan Mommy, yang aku tahu, aku sudah terlelap di dalam dekapan Mommy yang masih sama hangat dan menenangkannya seperti saat aku masih kecil dulu.

Menimbun segala perih dan nyeri di dadaku, menguburnya bersamaan dengan airmata yang meresap di baju Mommy, dan mengering di pipiku.

*

Pagi itu, Mommy membangunkanku. Mengajakku untuk ikut mengantar Kenneth ke bandara. Tapi aku tidak sanggup.

Berat rasanya melihat Kenneth masuk ke dalam bandara, melihat punggungnya yang semakin menjauh, tanpa aku tahu kapan aku bisa lagi bertemu dengannya, mengatakan rasa sakit ku, kehilanganku, kehampaanku, dan kerinduanku.

Aku menangis lagi di pelukan Mommy. Aku ingin melepas Kenneth, tapi hati kecilku yang lainnya lagi, memintaku untuk tidak menemui Kenneth dan membiarkan Kenneth melanjutkan studinya dengan tenang, membiarkan keadaan kami seperti ini tanpa harus ada lagi yang di benahi. Merelakan persahabatan kami hancur seakan kami tidak mengenal satu sama lain. Tidak saling menyapa, tidak saling bertatap wajah. Mungkin ini akan lebih baik.

"Kamu tahu, sayang?" Ujar Mommy sambil membelai kepalaku. "Tidak ada kata terlambat dalam menyadari perasaan cinta di diri kita, atau menyatakannya. Tidak ada yang dirugikan dengan mengakui perasaan cinta pada orang yang kita cintai, tidak ada jarak yang bisa memisahkan cinta sejati. Kamu ingat? Seberapa lama dan seberapa jauh Mommy dan Daddy berpisah dulu, tapi hati kami masih sama. Mom percaya, kamu bukan lagi anak kecil di dalam ingatan Mommy, Daddy, Kenneth, dan semua orang. Kamu adalah wanita dewasa yang mempunyai satu pendirian yang harus kamu tegaskan. Pilihan untuk membahagiakan dirimu sendiri, atau melepas kebahagiaan yang ada di depan mata kamu tanpa berjuang sama sekali." Ucap Mommy seraya mengecup keningku.

"Mungkin memang bukan sekarang waktu kamu untuk merasakan kebahagiaan itu. Tapi kamu bisa menciptakannya sendiri. Sebenarnya Mommy berharap kamu bisa menyelesaikan masalahmu sama Kenneth, tapi Mommy tidak mau memaksa kamu. Kamu yang berhak untuk mengetahui sendiri apa kemauan kamu, apa keinginan kamu. Sedangkan kami, kami sebagai orang tua kamu, seharusnya tidak memiliki hak untuk merusak kebahagiaan kamu. Mommy minta maaf."

Aku menggeleng dan memeluk Mommy lebih erat lagi. Lelah sudah aku terus menangis dua hari ini. Menangis untuk hal yang sama, untuk sebuah cerita yang bahkan diriku sendiri tidak tahu kelanjutannya.

"Kamu yakin gak mau ikut mengantar Kenneth, sayang?" Tanya Mommy lagi.

Aku mengangguk. Lebih baik seperti ini. Aku mungkin akan terlihat jelek nanti, atau aku mungkin juga tidak akan bisa menahan air mataku dan mempermalukan diriku sendiri. Aku tidak mau menahan kepergian Kenneth. Biarkan hatiku sesak seperti ini, karena aku tidak yakin sanggup untuk melihat Kenneth yang pergi nanti.

"Ya sudah, kamu istirahat saja, habis mengantar Kenneth, Mom akan menemani kamu disini." Ujar Mommy, mengecup keningku, menghapus jejak air mataku, lalu meninggalkanku.

Air mataku kembali mengalir bebas begitu pintu kamarku tertutup.

Sudah berapa lama aku tidak melihat Kenneth, sudah berapa lama aku tidak berbicara dengan Kenneth, dan sudah berapa lama hatiku terus memanggil nama Kenneth. Kenapa...

Drrt...

*

Kenneth's POV

11:30

Aku gak tahu kalau meninggalkan akan semenyakitkan ini.
Kalau aku tahu ini semua akan membuat kamu sedih, aku mungkin tidak akan menyatakan cintaku sejak awal.
Aku tahu hubungan kita sudah berakhir, dan aku tahu kamu benci padaku. Tapi aku hanya ingin kamu menjaga diri kamu. Kelak, kalau kita ditakdirkan untuk bersama, kita akan bersama.
Meskipun kamu membenciku, tapi aku tetap mencintai kamu. Aku belum berpamitan sama kamu sejak kemarin.
Aku pergi, ya? Maafin semua kesalahan aku yang udah membuat airmata berharga kamu mengalir. Maafin aku yang udah membuang waktu berharga kamu dengan membuat kamu mengurung diri di kamar setiap hari.
Maafin aku.... untuk mencintai kamu sedalam ini.

(Last Seen 09:42)

Aku menghela nafasku dan menatap ponselku. Jelas-jelas pesanku sudah dibaca, tapi pesan balasan tidak juga datang.

Keluargaku juga sudah kembali setelah aku masuk kedalam ruangan Check in.

Aku sedikit berharap kalau Alle setidaknya akan datang mengantarku hari ini. Tapi begitu melihat Tante Rere, om Alvero, dan Lexy yang keluar tanpa Alle, aku hanya bisa tersenyum getir.

Jadilah pesan itu ku kirim sebagai salam perpisahan dariku. Padahal awalnya aku berharap Alle akan membalas pesanku, meskipun hanya dengan satu kata 'oke', 'bye', 'i love you too' aku tidak masalah.

Oke, untuk dua kata terakhir adalah mustahil, tapi kata 'oke' apa begitu sulit untuk di ketik dan dikirim?

Aku akan pergi untuk tidak tahu berapa lama, dan tidak tahu kapan waktu liburan akan menyapa, apa dia benar-benar sebenci itu padaku sampai tidak mau melihat kepergianku?

Bahkan Mommy, Keira, dan Kelly saja sampai tidak tega melepas kepergianku dan terus menangis. Bahkan semalam saja, kasur king size ku harus di tempati seluruh wanita cantik di keluargaku yang tidak rela melepaskan aku semalaman.

Mommy Calling...

Nah, bahkan aku belum terbang saja, Mommy sudah meneleponku.

Apa Alle sama sekali tidak peduli padaku???

"Mom?" Jawabku ogah.

"KEN, ALLE HILANG!!!!"

"HAAAAAHHHH????"

"Tante Rere baru sampai rumah, dan Alle gak ada di kamarnya. Lalu sekarang om Alvero dan tante Rere...."

"Ken, kamu gak perlu khawatir. Pesawat kamu udah mau lepas landas bentar lagi. Mommy gak seharusnya ngabarin kamu hal ini." Daddy mengambil alih telepon Mommy.

"Peter! Kenneth berhak tau!!!" Gerutu Mommy di sana.

"Kenneth gak bisa berbuat apa-apa Via!" Ujar Daddy.

Kepalaku terasa pusing mendengar perdebatan mereka. Pikiranku hanya tertuju pada Alleira. Kemana gadis itu pergi???

"Kenneth,pokoknya kamu tenang aj..."

Ku tutup panggilan telepon itu dan aku segera menelepon nomor Alleira. Tidak ada jawaban. Aku lalu menelepon Om Alvero untuk menanyakan kebenaran tersebut.

Panggilan dijawab pada deringan kedua.

"Om, Alleira dimana????"

"Kamu tahu dari mana?" Tanya om Alvero.

"Alleira dimana??" Tanyaku lagi mulai tidak sabaran.

"Om tidak tahu, om sedang berusaha mencarinya, mungkin dia belum jauh. Alle hanya meninggalkan pesan kalau dia ingin menyendiri. Dia tidak mengatakan kemana. Kamu tidak perlu khawatir, Alle sudah besar. Kamu sebentar lagi harus...."

Ku putus panggilan itu. Tidak kuhiraukan perintah mereka untuk tidak pelu khawatir. Aku jelas khawatir! Aku tidak peduli apakah aku akan ketinggalan pesawat, atau aku tidak bisa melanjutkan kelas akselerasiku nanti.

Satu hal yang aku tahu, aku tidak sanggup kehilangan Alleira.

Aku menerobos keluar dari ruang tunggu, menerobos penjagaan petugas yang tidak memperbolehkanku untuk keluar karena pesawat yang akan membawaku ke Canada sudah tiba, dan itu berarti penumpang akan segera naik ke atas burung besi besar itu. Tapi aku tidak peduli.

Aku berlari secepat mungkin, menghiraukan teriakan makian atau teriakan panggilan dari orang yang ku tabrak dan juga petugas bandara.

Aku segera menyambar salah satu taksi yang ada di depanku.

Hmm.. aku tidak menyambar ke kursi penumpang melainkan ke kursi pengemudi. Bahkan supir taksi itu terkejut begitu melihat aksi nekatku, wajahnya panik seperti sedang kecopetan.

"Sir, Naik. Aku tidak punya banyak waktu, aku yang menyetir. Faster!!" Teriakku.

Supir taksi itu dengan tampang bingung, akhirnya hanya bisa menurut dan duduk disebelahku.

Segera aku melajukan mobil butut itu dengan kecepatan penuh, tidak aku pedulikan supir taksi di sebelahku yang ketakutan, dengan tangannyang mencengkram pegangan dengan sangat erat, dan wajah pucat seperti ingin melahirkan.

Kemana kamu, Alle??? Aku bisa gila kalau seperti ini.

*

Alleira's POV

Aku tidak pernah tahu kalau Shrek tidak bisa menghiburku untuk kali ini. Biasanya aku selalu menikmati wahana film animasi 4D ini dan tertawa, tapi kali ini entah kenapa Shrek dan kawan-kawannya seperti sedang menceritakan kisah memilukan di telingaku.

Aku memutuskan untuk ke USH, tempat yang salah memang, karena disini.... seperti tempat kenanganku dengan Kenneth, terutama di studio ini. Tapi aku membutuhkan tempat untuk menenangkan diri. Dan sepertinya hanya di studio ini, hatiku memilih. Karena disini, aku seakan bisa merasakan kehadiran Kenneth di sampingku.

Aku sudah hampir 1 jam berada di studio ini, menatap layar yang terus berganti, namun ekspresiku tetap sama. Aku merasa kehampaan yang sangat, perbedaan suasana yang sangat signifikan dibanding saat Kenneth benar-benar berada di sisiku. Dan aku.... aku sangat merindukannya.

Saat aku menerima pesan Kenneth, airmataku tidak berhenti berderai. Dan tempat pertama yang muncul di kepalaku adalah USH. Lalu aku langsung pergi tanpa meminta izin atau menunggu Mommy Daddy pulang. Aku membutuhkan ketenangan, ketenangan untuk mendengar kata hatiku, mendengarkan kemauan hatiku.

Aku melirik jam tangan di pergelangan tangan kiriku. Jam setengah 1. Seharusnya Kenneth sudah berada setengah perjalanan menuju ke Canada.

Apa lagi yang ku pikirkan? Hatiku terasa sangat kosong saat ini. Seakan gurun pasir yang mendadak di landa badai salju. Dingin, kosong, hampa... tidak ada kehidupan.

Aku menoleh ke bangku kosong di sebelahku, tempat dimana Kenneth biasa tempati. Tempat yang sekarang sama dinginnya dengan hatiku.

Aku mengingat bagaimana Kenneth mencium bibirku untuk pertama kalinya. Ciuman yang menghangatkan, mendebarkan, memabukkan. Aku hanya merasakan hal ini hanya saat aku bersama Kenneth. Seharusnya ini bukanlah hal yang wajar seperti apa yang Daddy katakan.

Jantungku hanya bereaksi saat Kenneth ada di sampingku, saat aku tahu Kenneth mencintaiku, Kenneth ada di dalam pikiranku. Aku....

Seperti tersadar dari kesalahan terbesar yang aku lakukan, mataku membesar, badanku langsung tegap.

Aku harus menyusul Kenneth!!

Aku bertekad untuk mengatakan semuanya, semua asumsiku, semua pikiranku pada Kenneth. Hanya pada Kenneth!!

Aku berlari keluar studio dan menuju pintu keluar USH. Aku tidak peduli kalau aku menjadi tontonan, yang aku tahu, aku harus pulang kerumah, mengambil passportku dan menyusul Kenneth di penerbangan selanjutnya!

Aku merutuki begitu melihat Taxi Stand yang tidak tahu kenapa siang-siang begini sangat di penuhi orang yang ingin menggunakan jasa servis taksi itu. Aku lalu memutuskan untuk berlari di pinggir jalan raya, dan mungkin menyetop taksi di tengah jalan nanti, dari pada harus mengantri panjang. Masih ada hal yang harus aku lakukan, dan aku tidak punya waktu mengantri lagi.

Aku berlari, aku tidak peduli tatapan orang yang melihatku aneh. Aku tidak peduli. Aku memfokuskan pikiranku pada hatiku yang seakan baru menyuarakan kebenaran. Aku tidak ingin suara hatiku hilang saat aku memperhatikan hal lain yang tidak penting.

Saat aku sedang berusaha menyetop taksi yang banyak berlalu lalang tapi tidak ada yang kosong, satu taksi berhenti tepat di depanku.

Aku sempat melihat dan sedikit terkejut saat mengira diriku melihat wajah tampan Kenneth di balik kursi pengemudi taksi itu. Apa aku sampai sebegitu merindukan Kenneth? Bahkan sopir taksi saja bisa aku lihat sebagai Kenneth.

Aku lebih terkejut begitu melihat supir taksi itu keluar. Perawakannya sangat menyerupai Kenneth. Bahkan lebih tampan dari aslinya. Apa ini efek campuran dari aku yang sudah lama tidak melihat Kenneth, dan juga sekarang aku terlalu merindukan Kenneth sampai aku berhalusinasi.

"YOU...." Oh lihat! Bahkan desisannya pun sama seperti Kenneth. Apa aku harus memeriksakan diriku ke rumah sakit jiwa?

Supir taksi yang mirip dengan Kenneth itu tiba-tiba memelukku.aku terkejut melihat aksi tiba-tiba darinya, tapi....

"You scared the shit out of me, Alleira!!!"

"K-kenneth?" Gumamku tidak yakin.

"Iya, ini aku! Berminggu-minggu kamu gak ngeliat aku, dan kamu udah melupakan aku?" Desis Kenneth. Lalu dia melepaskan pelukannya. "Apa yang kamu lakuin? Kamu mau kemana?!"

"Kamu... kenapa kamu jadi supir taksi?" Tanyaku masih bingung. "Kamu beneran Kenneth kan?"

"Iya, ini aku Kenneth! Kamu mau kemana? Kenapa kamu kabur gitu aja?" Tanyanya dengan nada sedikit meninggi, raut wajah khawatir terlihat, entah sejak kapan, hatiku yang tadi di terjang badai salju, kini kian menghangat begitu melihat Kenneth di hadapanku.

"A-aku... aku mau pulang. Aku mau ambil passport aku dan menyusul kamu ke Canada..." Jawabku. "Kamu gak jadi ke Canada?"

"Aku ninggalin pesawat aku karena aku panik denger kamu hilang." Jawabnya sambil tersenyum lalu membelai pipiku. Hangat... dia lalu memelukku lagi. "Jangan kabur lagi, Please. Aku gak sanggup memikirkan kamu dalam bahaya."

Aku menitikkan airmataku. Seharusnya aku menyadari dari awal, wangi parfum ini, tubuh hangat ini, inilah yang aku inginkan. Dan ini adalah Kenneth milikku. Hanya milikku.

Aku menggeleng dalam pelukan Kenneth. "Aku gak akan lari lagi."

"Kenapa kamu mau nyusulin aku ke Canada?" Tanya Kenneth pelan, sambil menatap mataku dari pelukannya.

"Karena aku... aku mau mengatakan isi pikiranku sama kamu." Ucapku pelan. Kenneth melepas pelukannya dan menatapku yang aku yakin sangat sangat sangat jelek dengan mata sembab akibat nangis berhari-hari.

"Aku benci kamu yang mengambil keputusan tanpa membicarakan apapun denganku, menerima permintaan Daddy untuk meninggalkanku untuk tidak menyakitiku. Aku mendengar semua ucapanmu kemarin, karena aku datang meskipun telat. Tapi aku terlalu terkejut begitu mendengar kenyataan kalau Daddy yang memintamu untuk memilih. Ini semua bukan pilihan, dan ini adalah hidup aku. Aku yang akan menjalaninya, bukan Daddy."

Aku menatap mantap Kenneth, entah dengan kepercayaan diri dari mana. "Kamu bilang biarkan takdir yang membawa cinta kemanapun, tapi takdir gak bisa menentukan sebelum kita memilih sama siapa kita akan mendaratkan perasaan cinta itu sendiri. Takdir gak bisa asal-asal cap cip cup milihin pasangan buat kita, tapi kita bisa memilih siapa yang ingin kita jadikan pasangan hidup."

"Aku mungkin memang awam, tapi aku mengerti rasanya kehilangan, kesepian, kekosongan, kehampaan."

"Maksud kamu...?" Tanya Kenneth.

"Aku gak mau kamu mengambil kesimpulan sebelum mencoba. Seberapa jauhpun jarak, akan aku coba laluin, selama aku tahu kalau kamu mencintai aku. Kita belum mencobanya, jadi kita gak tahu apa kita bisa bertahan atau gak, kan?" Tanyaku, aku bisa melihat senyum di bibir Kenneth. "Kamu minta aku buat mutusin kamu, tapi aku belum bilang kata putus ke kamu. Aku hanya bilang aku benci kamu. Benci keputusan kamu. Tapi aku gak bilang hubungan kita berakhir."

Ya, aku memang belum mengatakan kalau hubungan kita harus berakhir saat itu sampai sekarang.

"Takdir mungkin bisa mempersatukan nanti, tapi kepada siapa, itu adalah pilihan kita. Dan aku memilih kamu." Aku tersenyum, airmata yang mengalir, langsung diseka oleh Kenneth. "Perasaan ini... apa ini yang disebut cinta?"

Kenneth mengangguk, setitik airmata mengalir di pipi Kenneth. "Ya, sayang... ini Cinta."

Kenneth mencium bibirku, dalam, meluapkan ratusan perasaan rindu yang terpendam.

Hatiku juga lega setelah mengakui semuanya.

Terlebih...

Setelah tahu kalau perasaanku pada Kenneth adalah benar.

Cinta...

Aku mencintai Kenneth.

Dan kami, akan mengarungi samudra memotong jarak, menumpaa waktu dengan cinta kami.

***

END

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro