Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Delapanbelas : Slapped by the Truth!

Alleira's POV

Pacaran?

Aku tidak tahu kalau pacaran itu rasanya seperti ini.

Seakan ada kembang api yang meletup-letup di dalam diriku, seakan ada benang tidak terlihat yang menarik kedua ujung bibirku untuk tersenyum, dan setiap kali mata kami beradu, seakan ada ribuan kupu-kupu menggelitiki perutku dan secara refleks membuatku mengalihkan pandanganku agar euforia ribuan kupu-kupu di perutku dapat sedikit mereda.

Aku tidak pernah tahu kalau berpacaran rasanya seperti ini, atau ini karena Kenneth?

Kami tersenyum begitu mata kami tidak sengaja bertemu, dan aku sering mencuri lirik kearah Kenneth yang sedang berkonsentrasi menyetir. Aku juga merasa Kenneth sering mencuri pandang kepadaku.

Hal ini, seperti tidak pernah terjadi sebelumnya. Semuanya terasa berbeda. Dan mulai hari ini, aku adalah pacar Kenenth.

Apa pacar-pacar kenneth terdahulu juga seperti ku? Seperti cacing kepanasan? Entahlah. Mereka sekarang hanya sejarah.

"EHEM EHEM!!!"

Aku dan Kenneth yang baru saja bertemu pandang, mendadak salah tingkah begitu mendengar dehama di belakang kami. Aku segera membuang wajah menghadap jalanan.

"Oke... salah satu dari kalian, Jelasin ke gue, kenapa Kenneth maksa gue duduk di belakang mulai hari ini, dan... kenapa lo berdua lirak-lirik sambil senyum-senyum kayak orang gila?" Protes Kak Keira tiba-tiba menyembul keluar di tengah kami.

Kami terdiam. Sejujurnya untuk pertanyaan pertama, aku tidak tahu apa alasan jelas Kenneth meminta Kak Keira duduk di belakang, padahal selama ini, Kak Keira selalu duduk di sebelah Kenneth selama perjalanan pulang atau pergi sekolah. Untuk pertanyaan kedua...

"Kita udah jadian." Jawab Kenneth santai seakan menyuarakan pikiranku.

"WHAT?!" Pekik Kak Keira terkejut. "Gu-Gue salah denger? Tunggu, tunggu..."

Aku melirik ke belakang, melihat Kak Keira tengah mengorek telinganya lalu kembali menyembul kan wajahnya ke tengah kami.

"Tadi lo ngomong apa?" Tanya kak Keira lagi.

"Kita berdua udah pacaran, Keira." Tegas Kenneth, membuat wajahku merah merona akibat malu.

"Anjirrrrr... lo bosen idup, Kak!" Komentar Kak Keira. Kenneth mendesis.

"Anjrit ni bocah! Bersyukur kek Kakaknya udah punya pacar, malah di bilang bosen idup." Tangan Kenneth terjulur menempeleng kepala Kak Keira.

"Kak, tapi serius deh. Lo gak mikir si Om?" Tanya Kak Keira. Om yang kak Keira maksud, pastilah Daddyku, Alvero Theodore Bramantyo, pahlawan dan Bodyguard nomor 1 ku!

"Urusan nanti. Gue udah bikin surat wasiat kok meskipun yang bisa gur tinggal buat lo cuman utang di ibu kantin. Kalau ada apa-apa sama gue, bayarin utang gue ya?" Canda Kenneth membuatku tertawa geli.

Daddyku tidak mungkin sebrutal itu sampai membunuh anak orang, apa lagi anak Sahabatnya sendiri. Mereka terlalu berlebihan!

"Al, besok bisa kencan?" Tanya Kenneth tiba-tiba kepadaku.

"K-kencan?"

"Gak bisa! Besok Alle harus ikut gue Cheers!!!" Tolak Kak Keira.

"Lo mah gitu, Kei. Bantuin Kakak lo dikit kek!"

"Ogah! Cheers lebih penting dari kencan lo. lo bisa kencan setelahnya, sampai seterusnya, tapi bukan besok!"

Mendadak wajah Kenneth menjadi datar mendengar ucapan Kak Keira barusan. Seperti kepikiran akan ucapan kak Keira, atau seperti sedang memikirkan sesuatu yang rumit.

"Eh, Kak. Gue cuman bercanda, gak usah masukin hati gitu..." Kak Keira panik. "Maksud gue, kan besok itu ada acara Cheers buat mendukung tin basket sekolah. Cuman sehari kok." Suara Kak Keira melembut.

"Gue ngerti kok, Kei..." jawab Kenneth. "Kalau gitu, besok aku tantangin om Alvero catur aja deh?" Kenneth tersenyum padaku.

"Lo gak nonton aja sekalian?" Tanya Kak Keira.

"Ogah ah ngeliat muka Nicholas. Bisa-bisa gue timpuk sepatu kepalanya nanti." Gerutu Kenneth. "Kamu gak boleh deket-deket ya, sama Nicholas? Aku cemburu!" Kenneth melirikku dan menarik jemari tanganku kearahnya.

"ADUH SUMPAH JIJIK GUE BANGGGGG!!!!" Teriak Kak Keira di kursi belakang.

"Turun kalau jijik." Jawab Kenneth cepat. Aku tertawa geli melihat kedua kembaran yang gemar beradu pendapat namun selalu satu tujuan. "Besok aku anter kalian, habis itu kalau udah selesai, kamu telepon aku aja, biar aku jemput lagi, gimana?" Kenneth beralih kepadaku.

Jujur saja aku sedikit kagok mendapati sikap Kenneth yang memang sudah lembut, jadi tambah lembut. Dan juga tatapan Kenneth yang membuat darahku berdesir dan jantungku berpompa dengan cepat.

"Gak bisa!" Sela kak Keira lagi. "Habis tanding, kita mau makan-makan bareng!"

"Sama klub basket?" Tanya Kenneth sambil mengernyit.

"Iya lah. Siapa lagi?"

"Gak, besok Alle gak ikut makan. Alle makan sama gue!" Tolak Kenneth, aku tidak keberatan sama sekali karena kalau boleh pilih, aku memang tidak mau ikut acara makan klub Cheers karena terlalu banyak orang dan lagi... aku tidak tahu harus bagaimana menghadapi Nicholas.

"Alle aja gak nolak!" Protes Kak Keira.

"Kamu mau ikut Keira makan besok, Hm?" Kenneth beralih menanyaiku.

Aku menggigit bibirku ragu karena aku dihadapkan kepada dua pilihan yang cukup berat.

"Jawab aja, sayang... gak perlu takut."

Aku terkejut mendengar panggilan baru dari Kenneth barusan. Seketika otakku tidak dapat lagi bekerja optimal, dan aku seperti lupa cara bernafas. Oh kenapa begini??

"Jijik, Ken!" Protes Kak Keira.

"Turun kalau jijik!" Suruh Kenneth.

"Oh gitu? Udah punya pacar, gak sayang adik lagi? Fine, Kak. Lelah hati adek..." ujar Kak Keira yang mampu kembali membuat suasana kembali tidak setegang tadi. Dan aku kembali bernafas normal.

"Kak, Maaf... aku temenin Kenneth makan aja, boleh?"

"YES!!! Mamam tuhh!" Seru Kenneth mengepalkan tangannya keudara.

Kak Keira mendengus dan membanting tubuhnya ke kursi penumpang.

Aku tertawa kecil melihat tingkah Kenneth dan Kak Keira yang kekanak-kanakan.

Polos sekali mereka (?)

*

Kenneth's POV

Hari pertama pacaran!!

Nanti malem Dinner bareng!!

Aku tidak pernah menyangka kalau 'pacaran' rasanya akan seperti ini.
Karena selama ini aku tidak pernah merasakan ribuan kupu-kupu di perutku saat sedang berduaan dengan pacar, atau menunggu saat-saatnya kencan atau Dinner.

Bahkan aku sama sekali tidak pernah berkencan dengan pacar-pacar terdahuluku kecuali Jessica, hmm atau Jennifer? Eh... nama pacar terakhirku siapa sih? Hmm ya pokoknya si jejeje itu lah.

Dia pengecualian karena aku memang mengajak dia kencan hanya untuk membalas kecemburuanku pada Alle saat Gadisku berkencan dengan Nicholas dulu.

Namun sekarang, Gadisku sudah kembali! Gadisku berada di sisiku, dan gadisku adalah orang yang akan ku habiskan sisa hariku bersama. Hari ini, dan seterusnya!

Aku memencet bel rumahnya dengan semangat 45 pagi itu untuk mengantar tuan putri tercinta serta adikku ke pertandingan basket sekolahan.

Awalnya aku memang mau menemani Alle nonton, tapi lebih baik kugunakan waktuku untuk melawan om Alvero agar bisa mendapat restu sebelum aku mengaku kalau aku sudah berani memacari putri kesayangannya.

Aku yakin om Alvero pasti sanggup menyemburkan kobaran api dari mulut dan telinganya bak orang kepedesan kalau tahu aku berani memacari Alle.

"Alle... Alle... Main yukkk..." ku lantunkan panggilan yang dulu sering ku ucapkan saat memanggil Alle kecil untuk bermain.

Pintu terbuka dan gadisku sudah berdiri di baliknya, tersenyum geli kepadaku dengan rambut dikuncir dua. Sungguh, dia terlihat manis sekali!

"Pagi, Kenneth!"

"Pagi..." sapaku lalu berbisik, "My Princess..."

Wajahnya bersemu merah, dan itu malah menambahkan kesan manis di dirinya.

"Kamu udah siap? Keira udah nungguin kamu." Ujarku, tidak bisa menyembunyikan senyumku melihat wajah cantik Alle.

"Udah, aku ambil tas dulu ya?" Tanyanya sambil berbalik. Aku mengangguk dan menunggu.

"Kamu yang anterin Alle?" Tiba-tiba suara ngebass nan menyeramkan itu terdengar begitu Alle pergi.

"Iya, Om. Habis itu aku mau ajak om tanding lagi. Om dirumah, kan?" Tanyaku.

Om Alvero mengernyit melihat wajahku, lalu mengangguk. "Mommy Daddy kamu dirumah? Om ada perlu sebentar sama mereka."

"Ada, Om. Tapi kayaknya bentaran lagi mau pergi anter Kelly ke Taman bermain. Lexy jadi ikut kan?" Tanyaku, om Alvero mengangguk lagi.

"Ya sudah, hati-hati menyetir, ya." Ujar om Alvero lalu masuk, berpapasan dengan Alle yang keluar sambil menenteng tas yang berisi kostumnya.

Alle berhenti dan mencium bibir om Alvero sebentar lalu menghampiriku sambil tersenyum lebar.

"Yuk!" Ajaknya. Aku tersenyum dan mengangguk lalu berpamitan pada om Alvero.

*

Tidak biasanya om Alvero seserius ini saat bermain catur.

Apa aku sudah mengalami kemajuan sampai bisa membuat om Alvero serius memikirkan taktik untuk mengskakmat ku?

Padahal selama ini aku hanya belajar secara otodidak dengan referensi internet, dan belakangan ini aku malah belajar dengan melawan Daddy yang notabene lebih mudah ketimbang melawan permainan komputer di laptopku.

Kalau memang alasannya adalah kemajuanku, aku sangat bersyukur sudah menghabiskan malam-malamku dengan belajar catur sampai mengorbankan kantung mataku yang menyaingi kantung kangguru.

Baru muncul secercah harapan kalau aku dapat bisa mengskakmat om Alvero, om Alvero dengan tidak berhati nurani mengskakmatku lagi.

"Om! Ngalah dikit kenapa sih?" Omelku, omelan yang selalu ku keluarkan saat aku kalah.

Dan biasanya om Alvero akan menyela lagi ucapanku dengan mengatakan aku bodoh, tapi kali ini om Alvero diam.

Sebenarnya apa yang terjadi dengan om Alvero?

PMS kah? Tidak mungkin, Bodoh!

Dalam diam, om Alvero kembali menyusun pion-pion catur kembali ke tempatnya, memulai seluruh permainannya dari awal lagi.

Aku hanya mengernyit menyaksikan aksi diam seribu bahasa om Alvero.

Meskipun diam, skill om Alvero masih tidak berkurang. Dengan mudah, om Alvero kembali mengskakmatku.

Tapi bedanya, begitu om Alvero kembali ingin menyusun pion-pion catur itu dalam diam lagi, aku segera menahan gerak tangan om Alvero.

Lama-lama aku takut juga kalau didiami seperti ini, seakan aku sudah berbuat sebuah kesalahan.

Atau om Alvero sudah tahu mengenai aku yang memacari Alle? Dan berpikir kalau aku yang tidak bisa mengalahkan caturnya, tidak memenuhi standart om Alvero untuk memacari Alle?

"Apa yang akan kamu pilih?" Tanya om Alvero tiba-tiba.

Pilih apaan?

Aku hanya mengernyit menunggu om Alvero memperjelas pertanyaannya.

Tapi, bukan kata-kata dari om Alvero yang keluar untuk memperjelas pertanyaannya, melainkan amplop putih yang cukup familiar bagiku, amplop yanh seharusnya ada di dalam laci kamarku, sekarang ada di atas papan catur setelah om Alvero mengeluarkannya dari balik tubuhnya.

"I-ini..."

"Om hanya dititipi oleh Daddy kamu. Mommy kamu melihat ini saat dia mau mengambil papan catur dari kamar kamu. Secara Tidak sengaja, tentu saja." Jelas om Alvero yang membuatku terdiam kaku. Aku terlalu senang hingga lupa pada penawaran ini. "Daddy kamu, tentu saja berharap kamu mengambil kesempatan itu. Om Juga berharap demikian." Om Alvero menyunggingkan senyumnya lalu menghela nafas panjang.

"Tapi kamu pasti punya alasan kenapa kamu menyembunyikan surat itu, dan tidak memberitahu keluargamu seorangpun, iya kan?" Tebak om Alvero, kali ini aku yang tidak bisa berbicara.

Ternyata om Alvero memikirkan ini semua sedari tadi, makanya diam. Dan akulah orang yang membuat suasana menjadi lebih tegang sekarang.

"Apa alasan kenapa kamu menyembunyikan ini semua pada kami, adalah... Alleira?"

Aku tidak bisa menjawab pertanyaan om Alvero. Aku tidak bisa menemukan suaraku atau meskipun bisa, aku tidak tahu bagaimana mengatakan alasanku.

"Om kurang lebih mengerti keadaan kalian. Tapi om selama ini mencoba mengabaikannya, berharap keadaan itu akan berubah, tapi ternyata tidak." Om Alvero tersenyum kecut lalu geleng-geleng. Tangan om Alvero terangkat, mengusap wajahnya yang terlihat lelah setelah seminggu bekerja.

Om Alvero kemudian menatapku. "Apa kamu benar-benar mencintai Alleira?"

Dengan mantap aku mengangguk, karena tidak ada sedikitpun keraguanku atas perasaanku itu.

"Aku mengerti ketakutan om kalau aku mungkin akan menyakiti perasaan Alle, atau mempermainkan Alle, tapi aku berani menjamin kalau hal itu tidak akan terjadi, om. Aku mungkin memang sering berganti pacar, tapi itu hanya karena aku risih dengan cewek-cewek yang mendekatiku. Tapi aku berkata jujur sama om kalau aku sama sekali tidak pernah melakukan apapun, meskipun hanya berpegangan tangan dengan mereka." Jelasku sembari menarik nafas. "Sedangkan apa yang aku rasakan pada Alleira, aku mencintai dia, tidak tahu sejak kapan perasaan itu dimulai. Jantungku berdebar dengan sangat cepat ketika berada di dekatnya, aku merasa cemburu saat melihat atau membayangkan Alleira bersama laki-laki lain, dan aku merasa tenang, saat Alleira tersenyum padaku. Dan aku bertekad untuk menjaga senyum itu agar tidak pudar."

"Kelas Akselerasi di Canada, bukan memakan waktu sebentar, Ken." Sela om Alvero, menatapku lebih serius. "Kalian masih muda. Bisa saja perasaan kalian sekarang ini hanya muncul karena terbiasa, dan kamu baru akan menyadarinya nanti? Om tidak bisa menjamin kalau kamu tidak akan berubah playboy di canada karena pasti akan banyak perempuan mendekatimu disana. Dan kamu mungkin akan memacari mereka hanya agar perempuan lain berhenti mendekatimu. Tapi bagaimana dengan Alleira?" Tanya om Alvero.

"Kamu menggambarkan pelangi di hati Alleira, kamu pergi dan menggambar pelangi lainnya di hati perempuan lain, kamu akan melupakan gambar pelangimu di hati Alleira yang memerlukan sentuhan warna kamu lagi agar warna pelangi itu tidak memudar dan berganti awan mendung." Ujar om Alvero. "Om hanya bertujuan untuk menghindari munculnya awan mendung itu di hati Alleira karena om tahu bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang dicintai, meskipun itu hanya sementara."

Aku terdiam memikirkan kata-kata om Alvero. Aku sama sekali tidak berniat menggambar pelangi lainnya di hati perempuan lain. Cukup Alleira, aku tidak memerlukan perempuan lain lagi.

"Kamu tidak mungkin membuang kesempatan untuk melanjutkan program akselerasi itu, Ken." Lanjut om Alvero. "Dan om tahu semangat kamu untuk tidak menyerah dalam memperjuangkan Alle dan mengalahkan om..."

Om Alvero menarik nafas dalam-dalam dan tersenyum getir menatapku. "Alleira adalah putri om satu-satunya. Om tahu seberapa polosnya dia, seberapa rapuhnya dia. Apa kamu bisa membayangkan seberapa sedihnya Alleira nanti kalau jarak menjadi pengalamannya dalam berpacaran?"

Aku mengernyit, tidak bisa membalas ucapan om Alvero. Memang jarak bisa mematikan suatu hubungan, tapi bukan berarti semua hubungan bisa berakhir, kan? Bahkan kami belum mencobanya. Aku tahu, jarak akan menjadi musuh terbesar kami nantinya. Tapi apa ada jalan lain yang lebih baik selain menjalani dan menghadapi jarak itu bersama? Meskipun aku dan Alle nantinya tidak akan mungkin menjadi seperti pasangan seperti yang lainnya, pasangan yang dapat berkencan kapanpun, dimanapun, dan bertatap muka sesering apapun. Tapi tidak ada salahnya untuk dicoba, bukan? Meski aku tahu aku egois. Tapi apa lagi yang dapat kulakukan?

"Tinggalkan Alleira, Ken. Sebelum warna pelangi di hati Alleira semakin menyala terang. Tinggalkan dia."

Tubuhku menegang, tanganku terkepal, dadaku berdenyut dengan sangat menyakitkan.

Apa kisah kami berakhir hanya dalam sehari? Bahkan aku masih belum berhasil meyakinkan Alle akan perasaannya sendiri.

"Sebelum Alle menyadari kalau perasaan cintalah yang menghantuinya selama ini. Om minta, Tinggalkan Alle agar senyum itu tidak pernah pudar dari wajahnya." Ulang om Alvero.

Apa aku boleh egois?

***

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro